Anda di halaman 1dari 30

I. A.

Latar Belakang

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN), adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan kumpulan gejala-gejala klinik yang ditandai dengan gejala proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia. Sindrom Nefrotik merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh salah satu dari sekelompok penyakit yang merusak sistem penyaringan ginjal, glomeruli. Struktur glomeruli ini mencegah sebagian besar protein tersaring masuk ke dalam urin. Insidens Sindrom Nefrotik di Amerika Serikat dan Inggris mencapai 2-4 kasus baru per 100.000 anak per tahun (Clark, 1999). Di Negara berkembang, misalnya di Indonesia, angka ini lebih tinggi mencapai 6 kasus baru per 100.000 anak per tahun (Sjaifullah, 2006). Pada anak-anak, penyakit ini didiagnosa lebih banyak pada anak lakilaki dibandingkan dengan pada anak-anak perempuan, biasanya antara usia 2 dan 3 tahun. (Hetty. 2010) Menurut etiologinya, Sindrom Nefrotik dapat dibagi 2, yaitu SN primer dan SN sekunder. Faktor etiologi SN primer masih tidak diketahui (idiopatik), sedangkan SN sekunder timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. SN primer paling sering dijumpai pada anak-anak. Sindrom Nefrotik Kongenital termasuk dalam golongan SN Primer, merupakan sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Namun pada berbagai penelitian jangka panjang, ternyata respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis, sehingga saat ini
1

klasifikasi yang dipakai di Indonesia lebih berdasarkan pada respon klinik yaitu Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS). (Alatas, 2005) Steroid masih merupakan pilihan pertama untuk terapi pada sindrom nefrotik. Terapi steroid ini mengacu pada pengobatan yang dinyatakan oleh International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) tahun 1967. Namun saat ini studi mengenai pengobatan sindrom nefrotik telah banyak dilakukan di pusat nefrologi seluruh dunia, sehingga dengan berbagai perubahan yang terjadi perlu dilakukan pembahasan mengenai penatalaksanaan sindrom nefrotik dan berbagai resiko yang mungkin muncul dalam penatalaksaan sindrom nefrotik tersebut.
B. Tujuan Penulisan 1. Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengelolaan pasien

sindrom nefrotik
2. Memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian program pendidikan profesi di bagian

Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

II. TINJAUAN PUSTAKA I.

Sindrom Nefrotik
A. Definisi

Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan gejala-gejala klinik yang ditandai dengan gejala proteinuria masif ( 40 mg/m2 Luas Permukaan Badan/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2mg atau dipstik +2), hipoalbuminemia 2,5 gr/dL, edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia. (IDAI, 2005).
B. Etiologi

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :


1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan

sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
2. Kelainan

histopatologik

glomerulus

pada

sindrom

nefrotik

primer

dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan,

disempurnakan

dengan

pemeriksaan

mikroskop

elektron

dan

imunofluoresensi. Tabel ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL) Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Jenis ini meliputi 70-80% kasus pada anak. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak. Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya (2002) menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan laporan ISKDC tahun 1978 melaporkan 76,4% kasus tipe kelainan minimal dari 521 pasien SN yang dibiopsi. (Sibley, 1985)

3. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik

atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah:
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,

sindrom Alport, miksedema.


b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,

AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun

serangga, bisa ular.


d. Penyakit sistemik imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura

Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal. C. Patogenesis dan Patofisiologi

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. (Noer, 2006)

Gambar 1. Skematis Kebocoran Protein pada Ginjal

Proteinuria Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas

glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuria tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN, kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Pada nefropati lesi minimal , proteinuria disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan pada
10

nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity. (Gunawan, 2006; Wirya, 2002) Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila potein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan nonselektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul yang besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG. (Gunawan, 2006; Wirya, 2002) Hipoalbuminemia Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. (Gunawan, 2006; Wirya, 2002) Hiperlipidemia Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein

11

dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. (Gunawan, 2006)

Lipiduria Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan protenuria daripada dengan hiperlipidemia. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel. (Gunawan, 2006; Wirya, 2002) Edema Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema makin berlanjut. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan
12

ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. (Gunawan, 2006; Wirya, 2002) Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis. (Gunawan, 2006; Wirya, 2002) Hiperkoagulabilitas Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi intravena. Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI). (Gunawan, 2006; Wirya, 2002) Kerentanan terhadap infeksi Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, dan gangguan sistem komplemen. Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A, dan gamma globulin karena kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga

13

terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis. (Gunawan, 2006; Wirya, 2002)

Keseimbangan nitrogen Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN. Gangguan fungsi ginjal Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi Penyakit Ginjal Tubuler Akut (PGTA). Proteinuria merupakan faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN. Progresivitas dan kerusakan kerusakan glomerulus, perkembangan dengan

glomerulosklerosis,

tubulointerstisium

dikaitkan

proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya

14

glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti. (Gunawan, 2006; Wirya, 2002)

Gambar 2. Skematis Patofisiologi Sindrom Nefrotik

D. Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. I. Anamnesis Pasien SN biasanya datang dengan keluhan bengkak di ke dua kelopak mata atau di tungkai dan seluruh tubuh. Bila keluhan lebih berat dapat disertai dengan asites dan edema skrotum. Kadang juga dapat disertai jumlah urin yang berkurang dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

15

II. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Pemeriksaan fisik juga harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan darah.

Gambar 3. Gejala Klinis dan Laboratoris Sindrom Nefrotik (Gunawan, 2006)

III. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1. Urinalisis 2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio

protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari


3. Pemeriksaan darah a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,

hematokrit, LED)
b. Kadar albumin dan kolesterol plasma 16

c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin.

Urinalisis pada Sindrom nefrotik (SN) ditemukan proteinuria masif ( 40 mg/m2 Luas Permukaan Badan/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2mg atau 3+ sampai 4+) dan dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, serta rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal, meningkat kecuali ada penurunan fungsi ginjal dan dapat disertai hiperkolesterolemia. (IDAI, 2005).
II.

Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik Penatalaksanaan sindrom nefrotik (SN) meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal, mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, serta mencegah dan mengatasi penyulit. Prinsip pengobatan SN awalnya bergantung pada derajat kerusakan atau gambaran patologi anatomi pada ginjal (Wirya, 2002). Namun pada berbagai penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis pada pasien SN dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi, sehingga dalam pembahasan kali ini akan lebih menekankan penggunaan steroid dalam penatalaksanaan SN. (Alatas, 2005) Pasien yang didiagnosis SN pertama kali sebaiknya mendapat perawatan di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pemberian diet, penanganan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi
17

kepada orangtua. Pasien SN relaps sebaiknya dirawat di rumah sakit jika disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Pasien SN tidak diharuskan untuk menjalani tirah baring dan aktivitas kesehariannya dapat disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bahkan bila edema tidak terlalu berat, penderita SN boleh beraktivitas seperti misalnya bersekolah. (Alatas, 2005) Terapi pada pasien SN meliputi terapi suportif dan terapi kortikosteroid:
1. Terapi Suportif a. Dietetik

Pemberian diet tinggi protein dahulunya dianjurkan untuk mengimbangi keluarnya protein dalam urin. Namun saat ini hal tersebut dianggap sebagai kontraindikasi karena akan meningkatkan beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein dan meningkatkan permeabilitas makroglomerulus terhadap makromolekul yang meningkatkan proteinuria sedangkan keseimbangan protein tetap negatif dan kadar albumin serum yang rendah akan menetap. Selain itu hiperfiltrasi ini juga dapat menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus (Kaysen, 1991; Wingen, 1997) Namun demikian, masih terdapat perbedaan pendapat

mengenai efek pemberian diet rendah protein terhadap fungsi glomerulus dan pengaruh terhadap kejadian proteinuria. Namun demikian, diet rendah protein dapat mengakibatkan malnutrisi energi
18

protein dan gangguan pertumbuhan pada anak. Sehingga berdasarkan konsensus, diet protein yang dianjurkan adalah 2 gram/kgBB/hari. (Alatas, 2005) Asupan natrium juga perlu dibatasi 2 gram per hari untuk mengurangi keseimbangan natrium yang positif. Secara praktis dapat dilakukan dengan menganjurkan tidak menambahkan garam pada makanan. Pembatasan garam yang sangat ketat dapat dilakukan pada pasien yang tidak member respon pada terapi diuretik. (Wirya, 2002) Anjuran diet lainnya adalah pada pasien dengan

hiperkolesterolemia. Diet lemak yang dianjurkan adalah <200 mg/ hari kolesterol, atau jumlah lemak tidak lebih dari 30% kalori total harian. Namun respon individu terhadap diet ini sulit ditentukan pengaruhnya. Selain itu masalah kepatuhan pasien terhadap pembatasan lemak, terutama untuk jangka waktu lama. Perkembangan terakhir adalah dengan diet vegetarian yang mengandung kedelai yang ditambah asam amino esensial dinilai lebih efektif menurunkan hiperlipidemia. (Amico, 1994)
b. Diuretik

Diuretik sering digunakan jika pembatasan natrium tidak memberikan respon terhadap edema. Selain itu juga perlu dilakukan restriksi cairan selama ada edema berat. Diuretik yang diberikan yaitu furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, dapat dikombinasikan dengan spironolakton 219

3mg/kgBB/hari. Pemakaian diuretik lebih dari 2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah. Jika diuretik tidak berhasil mengurangi edema, biasanya disebabkan keadaan hipovolemia atau hipoalbuminemia berat, dan dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari intersisial, dan dilanjutkan dengan pemberian furosemid intravena 1-2mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu, dapat diberikan plasma 20ml/kgBB/ hari secara perlahan untuk mencegah dekompensasi jantung. (Alatas, 2005)
c. Proteinuria dan Hipoalbunemia

Dapat diberikan albumin intravena, namun hal ini merupakan prosedur yang mahal dan hanya menaikkan konsentrasi albumin plasma secara sementara. Infus albumin hanya diberikan untuk pasien dengan deplesi volume plasma simtomatik dengan hipotensi. Obat-obatan seperti ACE inhibitor dapat mengurangi keluarnya protein dalam urin. Secara teoritis obat-obatan ini menurunkan tekanan darah dan vasodilatasi pascaglomerulus, namun efek antiproteinuria dapat muncul diduga berkaitan dengan adanya perubahan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul. Efek antiproteinuria ini juga bergantung pada dosis, lama pengobatan, dan masukan natrium. Pemberian ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah untuk menguji toleransi, kemudian dinaikkan secara progresif sampai toleranis maksimal. (Wirya, 2002)

20

d. Hiperlipidemia

Diet rendah lemak saja pada kebanyakan pasien SN tidak cukup untuk menurunkan hiperlipidemia. Saat ini penghambat HMG-CoA seperti lovastatin, pravastatin, dan simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada pasien SN. Pengobatan ini biasanya direspon baik dan dapat menurunkan kolesterol serum hingga 36%. (Wirya, 2002)

e. Hiperkoagulabilitas

Tromboemboli merupakan komplikasi serius yang sering dijumpai pada pasien SN. Obat anti koagulan dapat menurunkan resiko trombosis namun mengandung resiko timbulnya perdarahan.

Pemakaian terbatas pada keadaan terjadinya resiko trombosis seperti pada tirah baring yang lama, pembedahan, dan dehidrasi. Akibat resiko trombosis yang tinggi pada pasien SN, maka secara teori pemberian antikoagulan diteruskan bahkan sampai seumur hidup. Pemberian antikoagulan jangka panjang ini merupakan keharusan pada pasien dengan dua atau lebih episode trombosis atau satu episode yang mengancam kehidupan. (Wirya, 2002)
f.

Antibiotik Profilaksis

21

Pemberian antibiotik profilaksis berupa penisilin oral 2 x 125-250 mg di beberapa negara dianjurkan pada pasien SN dengan edema dan asites (Hodson, 2002). Namun di Indonesia hal ini tidak dianjurkan, tetapi perlu dipantau jika terdapat tanda-tanda infeksi yang memerlukan antibiotik. (Alatas, 2005)
g. Imunisasi

Pemberian imunisasi terhadap Streptococcus pneumoniae di bberapa negara dianjurkan, namun karena keefektifannya belum jelas hal ini belum dianjurkan di Indonesia. Pasien SN perlu menghindari kontak dengan penderita varisela. Bila terjadi kontak dapat diberikan profilaksis imunoglobulin varicella-zooster. (Alatas, 2005)
2. Terapi Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan pengobatan sindrom nefrotik idiopatik pilihan pertama, kecuali bila terdapat kontraindikasi. Dosis berdasarkan berat badan dihitung berdasarkan berat badan tanpa edema (digunakan berat badan terhadap tinggi badan pada persentil 50). Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam,, dan terapi kortikosteroid pada SN dibagi berdasarkan respon terhadap pengobatan tersebut.
a. Pengobatan inisial

22

Berdasarkan rekomendasi ISKDC, pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh 2mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi kedalam 3 kali pemberian untuk menginduksi terjadinya penurunan proteinuria. Prednison dosis penuh diberikan selama 4 minggu. Pada 80% kasus, remisi telah terjadi dalam waktu 2 minggu, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan 4 minggu. Bila terjadi remisi, maka pemberian steroid dilanjutkan selama 4 minggu kedua dengan 2/3 dosis awal secara selang sehari, 1 kali sehari setelah makan pagi. Jika setelah 4 minggu awal tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.(Alatas, 2005)

b. Pengobatan relaps

Pasien dengan pengobatan inisial dan sudah mengalami remisi total, 60-70% diantaranya akan mengalami relaps, dan 50% diantaranya mengalami relaps sering yang bergantung pada

penggunaan steroid. Pengobatan yaitu dengan pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu sampai terjadi remisi dilanjutkan dengan dosis prednison selang sehari selama 4 minggu. Jika sampai pengobatan dosis penuh belum terjadi remisi, maka pasien didiagnosis sebagai SN resisten steroid dan harus mendapat terapi imunosupresif lain.
23

Pasien SN dengan proteinuria +2 tanpa disertai edema, diberikan terlebih dahulu antibiotik selama 5-7 hari. Hal ini biasanya disebabkan infeksi pada saluran napas atas. Bila setelah pengobatan antibiotik kemudian proteinuria menghilang maka tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial sangat penting, karena dapat meramalkan kejadian penyakit selanjutnya. Berdasarkan penelitian, yang paling sering adalah kejadian relaps sering yang muncul lebih dari 2 kali dalam 6 bulan.

c. Pengobatan SN relaps sering (dependen steroid)

Pasien dinyatakan SN relaps sering apabila relaps muncul lebih dari 2 kali dalam 6 bulan. Pengobatan pasien SN dengan relaps sering saat ini memiliki empat pilihan, yaitu:
1. Pemberian steroid jangka panjang

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat dilakukan sebelum terapi siklofosfamid. Pasien setelah mencapai remisi dengan dosis penuh, dapat diberikan
24

steroid selang sehari dengan dosis diturunkan perlahan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan hingga 6-12 bulan. Apabila dalam proses terapi muncul:
a. Relaps dengan dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis selang sehari b. Dosis rumat <1 mg tetapi disertai efek samping steroid yang

berat atau relaps dengan gejala seperti hipovolemia, trombosis dan sepsis, maka diberikan siklofosfamid dengan dosis 23mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 8-12 minggu.
2. Pemberian levamisol

Pemberian levamisol masih terbatas karena efeknya masih belum dapat dipastikan. Dalam sebuah studi dinyatakan levamisol dapat mempertahankan remisi hingga 50%. Penelitian yang dilakukan di Indonesia memperlihatkan hasil yang kurang memuaskan, sehingga terapi ini belum dapat direkomendasikan penggunaannya di Indonesia. Jika tetap diberikan, dosis levamisol adalah 2,5mg/kgBB dosis tunggal selang sehari selama 4-12 bulan. (Hoyer, 2006)
3. Terapi sitostatika

25

Obat sitostatika yang sering digunakan adalah siklofosfamid dosis 2-3mg/kgBB atau klorambusil dosis 0,2-0,3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Sitostatika dapat mengurangi relaps hingga 93% pada tahun pertama dan 66% selama 5 tahun. Pemberian siklofosfamid memberikan remisi lebih baik pada SN relaps sering dibandingkan SN resisten steroid. Efek samping antara lain depresi sumsum tulang, alopesia, zoospermia, dan dapat menyebabkan keganasan, sehingga perlu pemantauan darah. Jika leukosit kurang dari 3000/L, kadar hemoglobin kurang dari 8 gr/dL, atau jumlah trombosit < 100.000/L, penggunaan sitostatika dihentikan sementara hingga kadarnya kembali normal.
4. Terapi siklosporin

Pasien yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatika dianjurkan untuk mendapatkan siklosporin dengan dosis 5mg/kgBB/hari. Pemberian siklosporin ini dapat mempertahankan remisi sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan. Tetapi bila pemberian siklosporin dihentikan, biasanya akan terjadi relaps kembali. (Hoyer, 2006)
d. Pengobatan SN resisten steroid

Pengobatan SN resisten steroid hingga saat ini belum memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal karena hal tersebut
26

mempengaruhi prognosis pada pasien resisten steroid. Pengobatan yang dapat diberikan adalah:
1. Siklofosfamid

Pemberian siklofosfamid dilaporkan dapat menimbulkan remisi pada 20% pasien (Hogg, 2000). Siklofosfamid dosis tunggal diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari selama 3-6 bulan. Jika terjadi relaps kembali setelah pemberian siklofosfamid, pasien dapat dicoba dengan terapi prednison kembali karena SN yang resisten steroid dapat sensitif kembali. Namun jika terjadi resisten kembali, pasien dapat diberikan siklosporin. (Jerome, 2010)
2. Siklosporin

Pemberian siklosporin dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20%. Siklosporin diberikan dengan dosis 5 mg/kgBB/hari. Efek samping siklosporin antara lain hipertensi, hiperkalemia,

hipertrikosis, hipertrofi gingiva dan juga bersifat nefrotoksik. Namun sayangnya, harga obat ini relatif mahal sehingga pemakaiannya amat jarang atau sangat selektif. (Hoyer, 2006) Pada pasien SN yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik (siklofosfamid) dan siklosporin, dapat diberikan diuretik dikombinasikan dengan ACE inhibitor untuk mengurangi proteinuria. Jenis obat yang dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,3mg/kgBB 3 kali sehari. Tujuan pemberian ACE

27

inhibitor ini juga untuk menghambat terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif). (Alatas, 2005)
III.

Komplikasi Komplikasi dapat terjadi pada semua pasien SN, baik SN responsif steroid maupun SN resistensi steroid. Komplikasi yang dapat muncul yaitu infeksi, tromboemboli, hiperlipidemia, hipokalsemia akibat penggunaan steroid jangka panjang, dan hipovolemia akibat pemberian diuretik yang berlebihan. (Alatas, 2005)

PROTEINURIA
- Transferine - Glob.Thyroxin - Glob. Vit. D - Coagulation factors F VII, IX, XII HYPOALBUMINAEMIA B-lipoprot hyperlipidaemia ONCOTIC PRESSURE OEDEMA HYPOVOLAEMIA Peripheral circulation collaps Aldosteron Na and H2O retention Hb Packed cell vol Viscocity Vein thrombosis Death Renal perfusion renin plasma Ureum + K Lipiduria IgG IgE IgA IgM Fibrinogen

Gambar 4. Komplikasi pada Sindrom Nefrotik

III. KESIMPULAN 28

29

DAFTAR PUSTAKA

Amico G, Gentile GM, Manna G, et al. 1994. Effect of Vegetarian Soy diet on hyperlipidemia in nephrotic syndrome. Lancet 1994:1131-4 Clark, AG. Barrat TM. 1999. Steroid responsive nephrotic syndrome. Dalam: Pediatric Nephrology, Edisi 4. Lippincott Williams and Wilkins 1999: 731-47. Guideline for the Management of Nephrotic Syndrome Renal Unit Royal Hospital for Sick Children Yorkhill division Dr J Beattie October 2007. Gunawan, Carta A. 2006. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran No. 150. hal: 51-53 Hetty. 2010. Nefrotik Sindrom. Universitas Malahayati. Lampung. Downloaded at: 15 Mei 2010 Hoyer, F. Peter., Brodehl, Johanes. 2006. Initial Treatment of Idiopathic Nephrotic Syndrome in Children: Prednisone versus Prednisone Plus Cyclosporine A: A Prospective, Randomized Trial. American Society of Nephrology. J. Am Soc Nephrology 17: 1151-1157 Jerome, Lane. C. MD. 2010. Nephrotic Syndrome: Treatment & Medication. Assistant Professor of Pediatrics, Northwestern University Medical School; Attending Physician, Department of Pediatrics, Division of Kidney Diseases, Children's Memorial Hospital, Chicago Kaysen GA. Hyperlipidemia of nephrotic syndrome. 1991. Kidney intl:. 32: suppl: 8-15 Noer, Sjaifullah Muhammad, Soemyarso, Ninik. 2006. Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR. Wingen AM, Fabian-Bach C, Schaefer F, Mehls O. 1997. Randomised, multicentre study of a low-protein diet on the progression of renal failure in
children. Lancet.;349:11171123

Wirya, Wila IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

30

Anda mungkin juga menyukai