Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KELOMPOK III SKENARIO 3 BLOK PSIKIATRI

Hiperaktif Pada Anak dan Keterlambatan Kemampuan Bicara

Disusun Oleh:
Aditya Agung Weda Kusuma Agustina Alfia Nourita Putri Ana Yunitasari Riski oktarini R.M Rido Hertansa Sadewa Yudha Sanny kusuma Sinta Septia Taufik Ali Zaen

TUTOR: Arief Suryawan,dr

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan fungsi afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Biasanya perilaku-perilaku yang sering dilaporkan oleh orang tua pasien adalah keterlambatan berbicara dari anak-anak biasanya, perilaku aneh acuh dan tak acuh, atau cemas jika anaknya dicurigai tuli. Kebiasaan abnormal ini biasanya sudah terlihatpada anak berusia 3 tahun. Pada saat-saat inilah biasanya orang tua menyadari bahwa anaknya memiliki kelainan, walaupun tak sepenuhnya sama. Menurut buku Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders-Fourth Edition (DSM-IV), gangguan autis dapat ditandai dengan tiga gejala utama, yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan gangguan perilaku. Gangguan perilaku dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata, serta kesulitan dalam bahasa. Autisme adalah salah satu kasus yang jarang ditemui, tetapi jika pemeriksaan yang teliti dilakukan di suatu rumah sakit maka, kejadian autisme didapatkan sekitar 2- 5 setiap 10 000 anak di bawah umur 12 tahun. Pada anak-anak autis yang juga memiliki gangguan retardasi mental, maka prevalensinya mencapai antara 20 setiap 10 000 kasus. Penelitian di amerika memperkirakan anak-anak autisme mencapai 2 13 setiap 10000 anak. Gangguan autisme lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, perbandingan hingga 3 kali lebih sering. Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar). Gangguan autisme pada anak-anak memperlihatkan ketidakmampuan anak tersebut untuk berhubungan dengan orang lain atau bersikap acuh terhadap orang lain yang mencoba berkomunikasi dengannya. Mereka seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri, bermain sendiri, dan tidak mau berkumpul dengan orang lain. Namun, anak autis biasanya memiliki kelebihan atau keahlian tertentu, seperti pintar menggambar, berhitung atau matematika, musik, dan lain-lain.

RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah fisiologi perkembangan anak (perilaku, bahasa, dan kognitif)? 2. Bagaimanakah fisiologi bicara? 3. Bagaimanakah efek ibu perokok berat dan alkoholik pada perkembangan anak? 4. Bagaimanakah hubungan kelahiran normal (spontan) dengan keluhan anak? 5. Bagaimanakah patofisiologi gangguan bicara? 6. Bagaimana patofisiologi pasien hiperaktif? 7. Bagaimanakah etiologi, patofisiologi, dan efek dari kejang demam terhadap keluhan anak? 8. Apakah hubungan antara usia, jenis kelamin, dengan keluhan pasien? 9. Apasaja diagnosis banding keluhan pasien? (retardasi mental, afasia, autisme, tuna rungu, dan gangguan hiperkinetik)? 10. Bagaimana penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis keluhan pasien?

TUJUAN PENULISAN a. Mahasiswa dapat memahami proses dari perkembangan mental anak dan akibat yang ditimbulkan apabila terjadi gangguan pada tahapan-tahapan tersebut. b. Mahasiswa dapat memiliki pengetahuan tetang definisi, etiologi, manifestasi klinis, hingga penatalaksanaan kepada pasien dengan kelainan autisme maupun retardasi mental

MANFAAT PENULISAN a. Dengan memahami proses perkembangan mental anak, mahasiswa dapat memahami sebab-sebab kelainan perkembangan mental pada anak. b. Mahasiswa dapat menerapkan penatalaksanaan yang tepat untuk menangani pasien dengan kelainan autisme dan retardasi mental.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Anak Periode ini merupakan kelanjutan dari masa bayi (lahir sampai usia 4 tahun) yang ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik, motorik dan kognitif (perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku), psikosial serta diikuti oleh perubahan-perubahan yang lain. 1. Perkembangan Fisik Pertumbuhan fisik pada masa ini lambat dan relatif seimbang. Peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang badannya. Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya. 2. Perkembangan Motorik Perkembangan motorik pada usia ini menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Anak-anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan pandai meloncat serta mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus ketrampilanketrampilan motorik, anak-anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak-anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang, dll. Beberapa perkembangan motorik (kasar maupun halus) selama periode ini, antara lain : a). Anak Usia 5 Tahun Mampu melompat dan menari

Menggambarkan orang yang terdiri dari kepala, lengan dan badan. Dapat menghitung jarijarinya Mendengar dan mengulang hal-hal penting dan mampu bercerita Mempunyai minat terhadap kata-kata baru beserta artinya Memprotes bila dilarang apa yang menjadi keinginannya Mampu membedakan besar dan kecil. b). Anak Usia 6 Tahun Ketangkasan meningkat Melompat tali

Bermain sepeda Mengetahui kanan dan kiri. Mungkin bertindak menentang dan tidak sopan. Mampu menguraikan objek-objek dengan gambar

c). Anak Usia 7 Tahun. Mulai membaca dengan lancar. Cemas terhadap kegagalan. Peningkatan minat pada bidang spiritual. Kadang Malu atau sedih d). Anak Usia 8- 9 Tahun. Kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat Mampu menggunakan peralatan rumah tangga. Ketrampilan lebih individual. Ingin terlibat dalam sesuatu. Menyukai kelompok dan mode. Mencari teman secara aktif e). Anak Usia 10 -12 Tahun. Perubahan sifat berkaitan dengan berubahnya postur tubuh yang berhubungan dengan pubertas mulai tampak. Mampu melakukan aktivitas rumah tangga,

seperti mencuci, menjemur pakaian sendiri , dll. Adanya keinginan anak unuk menyenangkan dan membantu orang lain. Mulai tertarik dengan lawan jenis. 3. Perkembangan Kognitif. Dalam keadaan normal, pada periode ini pikiran anak berkembang secara berangsur-angsur. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar. Menurut teori Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah dasar disebut pemikiran Operasional Konkrit (Concret Operational Thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek peristiwa nyata atau konkrit. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya. Dalam masa ini, anak telah mengembangkan 3 macam proses yang disebut dengan operasi-operasi, yaitu : a). Negasi (Negation), yaitu pada masa konkrit operasional, anak memahami hubungan hubungan antara benda atau keadaan yag satu dengan benda atau. keadaan yang lain.. b). Hubungan Timbal Balik (Resiprok), yaitu anak telah mengetahui hubungan sebab-akibat dalam suatu keadaan. c). Identitas, yaitu anak sudah mampu mengenal satu persatu deretan benda-benda yang ada. Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui suatu perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi, pada tahap ini anak telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkanya dapat berfikir untuk melakukan suatu tindakan, tanpa ia sendiri bertindak secara nyata. Perkembangan Memori Selama periode ini, memori jangka pendek anak telah berkembang dengan baik. Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi banyak peningkatan dengan disertai adanya keterbatasan-keterbatasan. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut, anak berusaha menggunakan strategi memori (memory strategy), yaitu merupakan perilaku disengaja yang digunakan untuk meningkatkan memori. Matlin (1994) menyebutkan 4 macam strategi memori yang penting, yaitu : 1. Rehearsal (Pengulangan) : Suatu strategi meningkatkan memori dengan cara mengulang informasi yang telah disampaikan.

berkali-kali 2.

Organization (Organisasi) : Pengelompokan dan pengkategorian sesuatu yang digunakan

untuk meningkatkan memori. Seperti, anak SD sering mengingat nama-nama teman sekelasnya menurut susunan dimana mereka duduk dalam satu kelas.

3.

Imagery (Perbandingan) : Membandingkan sesuatu dengan tipe dari karakteristik

pembayangan dari seseorang. 4. Retrieval (Pemunculan Kembali) :

Proses mengeluarkan atau mengangkat informasi dari tempat penyimpanan. Ketika suatu isyarat yang mungkin dapat membantu memunculkan kembali sebuah meori, mereka akan menggunakannya secara spontan. Selain strategi-strategi memori diatas, terdapat hal lain yang mempengaruhi memori anak, seperti tingkat usia, sifat anak (termasuk sikap, kesehatan dan motivasi), serta pengetahuan yang di peroleh anak sebelumnya.

b. Perkembangan Pemikiran Kritis Perkembangan Pemikiran Kritis yaitu pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir secara reflektif. c. Perkembangan Kreativitas Dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan sekolah. d. Perkembangan Bahasa Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang kata-kata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat. Perkembangan Psikosial Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan peraturan yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya. a. Perkembangan Pemahaman Diri

Pada tahap ini, pemahaman diri atau konsep diri anak mengalami perubahan yang sangat pesat. Ia lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal. b. Perkembangan Hubungan dengan Keluarga Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan periode sebelumnya, karena rata-rata anak menghabiskan waktunya di sekolah. Interaksi guru dan teman sebaya di sekolah memberikan suatu peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan ketrampilan sosial. c. Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya

Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu. Umumnya mereka meluangkan waktu lebih dari 40% untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan terkadang terdapat duatu grup/kelompok. Anak idak lagi puas bermain sendirian dirumah. Hal ini karena anak mempunyai kenginan kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok.(Anonim,2009)

Beberapa Gangguan Pada Anak yang Menyebabkan Sulit bicara Retardasi Mental Retardasi mental adalah keadaan dengan intelegensi yang kurang sejak masa perkembangan (sejak lahir atau seja masa anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan , tetapi gejala utama yang menonjol adalah intelegensi yang terbelakang (Maramis, 1998).

1. Penyebab Retardasi Mental (Maramis, 1989) a. Akibat infeksi atau intoxikasi Retardasi mental akibat infeksi intracranial, serum, obat, atau zat toxic lainnya, antara lain pada ensefalopati infeksi post naal, ensefalopati bilirubin, parotitis epidemika, rubella, sifilis, dan toxoplasmosa kongenital. b. Akibat rudapaksa atau sebab fisik lain Rudapaksa sebelum lahir, serta trauma lain seperti sinar-X bahan kontrasepsi, dan usaha melakukan abortus dapat menyebabkan retardasi mental. c. Akibat gangguan metabolism, pertumbuhan, atau gizi Beberapa contoh yang sering mengakibatkan retardasi mental antara lain lipoidosa otak infantile, fenilketoburia, dan histiositosis.

d. Akibat penyakit otak yang nyata Retardasi mental akibat neoplasma di otak, seperti nerofibroma, angiomatosa otak trigermini, dan sklerosa. e. Akibat pengaruh prenatal yang tidak jelas Keadaan ini diketahui sejak sebelum lahir tetapi tdak jelas penyebabnya, seperti anensefali, kraniostenosa, hipertelorisme, dan makrosefali. f. Akibat kelainan kromosom Kelainan ini terdapat dalam jumlah atau bentuk kromosomnya. g. Akibat prematuritas Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gr atau dengan masa hamil kurang dari 38 minggu dan tidak mendapat sebab-sebab lain. h. Akiba gangguan jiwa yang berat Gangguan jiwa yang berat dalam masa anak-anak juga dapat menyebabkan retardasi mental. i. Akibat deprivasi psikososial Retardasi mental akibat cultural familial dan atau akibat deprovasi lingkungan.

2. Aspek-aspek Retardasi Mental (Ghosali, 1983) : a. Aspek medik : adanya perubahan-perubahan dasar dalam otak misalnya : perubahan unsur-unsur yang penting di dalam otak, perubahan metabolisme sel-sel otak, kurangnya kapasitas transmisi antar neuron. b. Aspek psikologi : adanya gangguan perkembangan fisik, intelligensi dan emosi pada bayi sampai anak prasekolah; timbulnya rasa rendah diri akibat kemampuannya lebih rendah daripada anak normal. c. Aspek pendidikan (edukatif) : kesukaran menangkap pelajaran pada anak-anak retardasi mental yang mulai bersekolah sehingga perlu pendidikan khusus yang disebut sekolah luar biasa. d. Aspek perawatan : tidak jarang anak dengan retardasi mental jenis yang berat atau sangat berat tak mampu mengurus kebutuhannya sendiri misalnya : makan, minum, mandi sehingga perlu perawatan khusus untuk anak ini, yang dengan sendirinya merupakan beban yang sangat berat bagi orang tuanya ataupun perawat yang mengasuhnya.

e. Aspek sosial : kurangnya kemampuan daya belajar dan daya penyesuaian diri sosial sesuai dengan permintaan masyarakat sehingga penempatan anak dalam masyarakat selalu kurang memuaskan baik bagi masyarakat, keluarganya maupun anaknya sendiri.

3. Klasifikasi Retardasi Mental (Ghosali, 1983; Maramis, 1998) a. Retardasi mental taraf perbatasan / Subnormal / Border-line. - IQ 68-85, umur mental 12-16 tahun. Ciri-cirinya : - dapat dididik di sekolah biasa, meskipun tiap kelas dicapai dalam 2 tahun. - dapat berfikir secara abstrak. - dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk

b. Retardasi mental ringan / Debil. - IQ 52--67, umur mental 8 -11 tahun. - 80 % dari anak dengan RM termasuk dalam golongan ini Ciri-cirinya : dapat dilatih dan dididik. dapat merawat dirinya dan melakukan semua pekerjaan di rumah. tidak dapat dididik di sekolah biasa tetapi harus di Sekolah Luar Biasa. koordinasi motorik tidak mengalami gangguan. kelainan kongenital biasanya tidak didapatkan. perkembangan fisik biasanya normal tetapi perkembangan bicara biasanya

masih terlambat (biasanya bicara kurang sempurna dan perbendaharaan kata-kata kurang)

c. Retardasi mental sedang = Imbecile ringan. - IQ 35--50, umur mental 4 - 8 tahun - Angka kejadian sekitar 12 % dari seluruh kasus RM Ciri-cirinya : - dapat dilatih dan dapat dididik sampai ke taraf kelas II - III SD - dapat dilatih merawat dirinya sendiri misalnya : makan, mandi dan berpakaian sendiri - mengenal bahaya dan dapat menyelamatkan diri - koordinasi motorik biasanya masih sedikit terganggu

d. Retardasi mental berat = Imbicile berat. IQ 20-35, umur mental 2-4 tahun

- Angka kejadian 8 % dari seluruh RM Ciri-cirinya : - dapat dilatih dan tak dapat dididik. - dapat dilatih merawat dirinya sendiri; makan, mandi dan berpakaian sendiri - kadang-kadang masih dapat mengenal bahaya dan menjaga dirinya - pergerakan motorik biasanya masih terganggu, pergerakan kaku dan spastis - biasanya masih didapatkan kelainan kongenital - perkembangan fisik dan berbicara masih terlambat - masih mudah terserang penyakit lain

e. Retardasi mental sangat berat = Idiot. - IQ 0 -- 19. Umur mental (mental age) kurang dari 2 tahun. Ciri-cirinya : - tidak dapat dilatih dan dididik - tidak dapat merawat diri sendiri, makan disuapi, berpakaian harus ditolong - tidak mengenal bahaya, tak dapat menjaga diri terhadap ancaman fisik - pergerakan motorik biasanya terganggu, pergerakan kaku atau spastis - biasanya didapatkan kelainan kongential misalnya bentuk kepala abnormal, kelainan fisik pada badan anggota badan seperti badan kecil, bungkuk; bentuk tangan abnormal jari kelingking bengkok - perkembangan fisik dan bicara terlambat - sering tak dapat diajar berbicara, bicara hanya 1 suku kata saja (ma,pa) - mudah terserang penyakit lain, misalnya tbc, infeksi lain

Autis 1. Pengertian Autisme Autisme berasal dari kata autos yang berarti segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum ( 1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering disebut orang yang hidup di alamnya sendiri (Yusuf, 2003).

2. Penyebab Autisme (Yusuf, 2003) a. Faktor Psikogenik Ketika autisme pertamakali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner, autism diperkirakan disebabkan pola asuh yang salah. Kasus-kasu perdana banyak ditemukan pada keluarga kelas menengah dan berpendidikan,` yang orangtuanya bersikap dingin dan kaku pada anak. Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut kurang memberikan stimulasi bagi perkembangan komunikasi anak yang akhirnya menghambat perkembangan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak. Kalau semula penyebabnya lebih pada faktor psikologis, maka saat ini bergeser ke factor organik dan lingkungan. b. Faktor Biologis Dan Lingkungan Hasil pemeriksaan laboratorium, juga MRI dan EEG tidak memberikan gambaran yang khas tentang penyandang autisme, kecuali pada penyandang autisme yang disertai dengan gangguan kejang. Dugaan neurologis terjadi pada abnormalitas fungsi kerja otak, dalam hal ini neurotransmitter yang berbeda dari orang normal. Jumlah neurotransmitter pada penyandang autisme berbeda dari orang normal dimana sekitar 30-50% pada penderita autisme terjadi peningkatan jumlah serotonin dalam darah. Kondisi lingkungan seperti kehadiran virus dan zat-zat kimia/ logam dapat mengakibatkan munculnya autisme ( http://www.autism society org, 2002). Zat-zat beracun seperti timah ( Pb) dari asap knalpot mobil, pabrik dan cat tembok; kadmium (Cd) dari batu baterai serta turunan air raksa (Hg) yang digunakan sebagai bahan tambalan gigi (Amalgam). c. Faktor Genetik Sampai saat ini diduga faktor genetik berpengaruh kuat atas munculnya kasus autisme. d. Faktor Lain Beberapa faktor lainnya yang juga telah diidentifikasi berasosiasi dengan autisme diantaranya adalah usia ibu ( makin tinggi usia ibu, kemungkinan menyandang autis kian besar ), urutan kelahiran, pendarahan trisemester pertama dan kedua serta penggunaan obat yang tak terkontrol selama kehamilan.

3. Gejala Autisme

Gejala autisme infantile timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun.Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Seorang ibu yang cermat dapat melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat untuk berinteraksi dengan orang lain (Yusuf, 2003). Secara umum ada beberapa gejala autisme yang akan tampak semakin jelas saat anak telah mencapai usia 3 tahun, ( Budiman, 1998) yaitu: a. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terlambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti , echolalia, sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya, dstnya. b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain sendiri, dstnya. c. Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perlaku yang berlebih ( excessive ) dan kekurangan ( deficient ) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton .Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti gambar, karet, dll yang dibawanya kemana-mana. d. Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati, dan toleransi; kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. e. Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan, dsbnya.

4. Diagnostik Autisme Secara detail, menurut DSM IV (1995), kriteria gangguan autistik adalah sebagai berikut: a. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) : 1) Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini : a) Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial. b) Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.

c) Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain. d) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik. 2) Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini: a) Perkembangan bahasa lisan (bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal. b) Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi c) Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulangulang. d) Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya. 3) Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada 1dari gejala berikut ini : a) Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan focus dan intensitas yang abnormal/ berlebihan. b) Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh. c) Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari obyek. b. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain simbolik dan imajinatif. c. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak A. TUNARUNGU I. Definisi Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran. II. Klasifikasi Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel A. Kirk berdasarkan besarnya desibel (db) yang tidak dapat diterima oleh alat pendengaran: 0 db 0 26 db : Menunjukan pendengaran yang optimal : Menunjukan seseorang masih mempunyai pendengaran yang optimal

27 40 db

: Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan

tempat duduk yang strategis letaknya, dan memerlukan terapi bicara ( tergolong tunarungu ringan ) 41 55 db 56 70 db : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,

membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara ( tergolong tunarungu sedang ) : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih punya sisa

pendengaran untuk belajar bahasa, dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar dengan cara yang khusus (tergolong tunarungu berat ) 71 90 db : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang kadang dianggap

tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus ( tergolong tunarungu berat ) 91 db : Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung

pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan diangap tuli (tergolong tunarungu berat sekali ) III. Karakteristik Karakteristik tunarungu dari segi emosi dan sosial: 1. Egosentrisme yang melebihi anak normal 2. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas 3. Ketergantungan terhadap orang lain 4. Perhatian yang sukar untuk dialihkan 5. Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah 6. Lebih mudah marah dan cepat tersinggung

B. APHASIA Aphasia merupakan istilah umum untuk semua gangguan berbahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak. Adanya aphasia akan mengakibatkan terjadinya ketidakmampuan mengucapkan kata-kata dan nama-nama untuk menyatakan objek-objek biasa. Dibagi dalam bentuk motorik (ekspresif), sensorik (reseptif), global, nominal, sintaktik, dan jargon. Pada aphasia motorik, suatu gangguan pembicaraan yang disebabkan oleh mental organik dimana pasien masih mengerti pembicaraan tetapi kemampuan untuk berbicara secara keseluruhan terganggu, pembicaraan ragu-ragu, sulit, membutuhkan banyak tenaga, dan tidak tepat. Pada aphasia sensorik, kehilangan kemampuan untuk mengerti arti kata-kata, tetapi masih mampu berbicara; meskipun bicaranya berubah-ubah, tidak masuk akal, dan tidak dapat dipahami. Pada umumnya gangguan berbicara terjadi akibat aphasia motorik dan sensorik (aphasia

global). Pada aphasia nominal pasien mendapat kesukaran dalam menemukan nama yang benar untuk objek tertentu. Aphasia sintatik adalah suatu keadaan dimana pasien tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk menyusun kata-kata dalam urutan yang tepat dan benar. Aphasia jargon merupakan keadaan dimana kata-kata yang dihasilkan secara keseluruhan bersifat baru, tidak masuk akal, dan diulang-ulang. Aphasia yang didapat dengan epilepsi, suatu gangguan dimana seorang anak yang sebelumnya mengalami perkembangan normal dalam berbahasa, kehilangan kecakapan berbahasa secara reseptif dan ekspresif sedangkan inteligensinya tetap. Bangkitan biasanya disertai abnormalitas yang paroksismal (kacau) pada EEG, dan pada kebanyakan kasus dengan serangan epilepsi. Pada umumnya serangan dimulai pada umur 3-7 tahun dengan kehilangan kecakapan diatas beberapa hari sampai minggu. Cirri khas klinis memberi kesan terlibatnya suatu proses inflamasi ensefalitis. Kira-kira 1/3 pasien tetap dalam gangguan berbahasa reseptif yang cukup berat. C. HIPERAKTIF Anak yang hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas (GPPH) atau attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu kondisi ini sering disebut minimal brain dysfunction syndrome. (Ayu, 2008) Insidens GPPH di Amerika dilaporkan bervariasi dari 2-20% anak usia sekolah, sedangkan di Inggris dilaporkan kurang dari 1%. GPPH lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan, dengan rasio yang berkisar antara 2:1 sampai 9:1. Insidens GPPH sangat bervarisi menurut budaya maupun negara, dan juga tergantung pada daerah pengambilan sampel, apakah di daerah pedesaan, atau perkotaan. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh : 1. Epilepsi/prematuritas (berat badan bayi lahir rendah) 2. Trauma kelahiran (toksin intrauterin-ekstrauterin, trauma kepala) 3. Retardasi mental ringan/sedang 4. Riwayat gangguan neurologik lainnya (masalah biokimia, faktor genetik) 5. Ada riwayat keluarga dengan gejala ADHD (Limoa dan Fatah, 2005) Gejala GPPH biasanya muncul pada usia 3 tahun, tetapi diagnosis umumnya belum ditegakkan sampai anak masuk sekolah, misalnya playgroup atau taman kanak-kanak. Diagnosa GPPH ditegakkan berdasarkan DSM IV-TR, ICD 10, dan PPDGJ III. Umumnya di Indonesia menggunakan PPDGJ III, dengan kriteria ciri-ciri utama GPPH, yaitu : 1. Sukar memusatkan Perhatian :

Perhatian mudah teralih Sulit konsentrasi Sulit mempertahankan perhatian Sering tidak mendengarkan

2. Impulsivitas : Sering bertindak sebelum berpikir Sulit menunggu giliran dalam permainan Sulit mengatur pekerjaannya

3. Hiperaktifitas : Selalu bergerak Tidak bisa duduk diam Berlari dan memanjat Onset usia 3-7 tahun (Limoa dan Fatah, 2005)

Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu cepat dihentikannya tugas dan ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai karena perhatiannya tertarik kepada kegiatan lainnya (sekalipun hasil laboratorium pada umumnya tidak menunjukkan adanya derajat gangguan sensorik atau perseptual yang tidak biasa). Berkurangnya ketekunan dan perhatian ini seharusnya hanya didiagnosis bisa sifatnya berlebihan bagi anak dengan usia atau IQ yang sama. (Limoa dan Fatah, 2005) Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan relatif tenang. Tolak ukur untuk penilaiannya adalah bahwa aktivitas tersebut berlebihan dalam konteks apa yang diharapkan pada suatu situasi dan dibandingkan dengan anak-anak lain yang sama umur dan nilai IQ-nya. Ciri khas perilaku ini paling nyata di dalam suatu situasi yang berstruktur dan diatur yang menuntut suatu tingkat sikap pengendalian diri yang tinggi. (Limoa dan Fatah, 2005) Perlu diwaspadai pula,gangguan hiperkinetik biasanya disertai oleh kondisi lain yang harus segera ditangani, yaitu : - Autisme - Depresi - Gangguan cemas - Kesulitan belajar - Retardasi mental - Gangguan persepsi (disorder of perception /DAMP) (Ayu, 2008)

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa GPPH tidak ada yang patognomonik. Beberapa pemeriksaan kadang menunjukkan hasil yang abnormal pada anak GPPH, seperti hasil yang immatur dan disorganisasi pada EEG, dan PET menunjukkan menurunnya aliran darah otak di bagian frontal. Hal ini sesuai dengan studi imaging yang melaporkan berkurangnya metabolisme dan perfusi glukosa di daerah frontokortikal. Untuk mengatasi masalah gangguan ADHD, biasanya dilakukan beberapa terapi yaitu : 1. Terapi Keluarga (ortu) Tetap sabar, telaten menerima anak apa adanya Melatih disiplin yang tetap Melatih berkali-kali untuk kematangan sosialnya, dengan menyibukkan anak ke hal-hal yang positif 2. Terapi obat-obatan Imipramin, methyl phenidat, haloperidol (Limoa dan Fatah, 2005)

BAB III PEMBAHASAN dan DISKUSI

Terdapat beberapa diagnosis banding mengapa seorang anak laki-laki 4 tahun belum bisa berbicara atau keterlambatan berbicara. Yaitu retardasi mental, autis, tuna rungu dan afasia. Seperti yang diterangkan di atas retardasi mental adalah keadaan dengan intelegensi yang kurang sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak) sehingga perkembangan mental kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama yang menonjol adalah intelegensi yang terbelakang. Untuk diagnosis yang pasti harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial bisaa sehari-hari. Penilaian diagnostik adalah terhadap kemampuan umum, bukan terhadap suatu area tertentu yang spesifik dari hendaya atau ketrampilan. Secara psikologi anak akan merasa rendah diri karena kurang mampu menangkap pelajaran dan secara sosial anak kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pada kasus yang berat dan sangat berat, anak dapat mengalami keterlambatan berbicara. Anak juga memiliki disabilitas fisik dan gangguan motorik mencolok. Pada kasus yang ringan dan sedang anak masih menunjukkan komunikasi walaupun sederhana. Sedangkan tuna rungu menyebabkan kurangnya atau hilangnya kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang dikarenakan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran. Afasia merupakan istilah umum untuk semua gangguan berbahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak. Afasia tidak berhubungan dengan intelegensi. Jadi seorang anak yang afasia memiliki intelegensi yang tetap. Anak yang menderita tuna rungu ataupun afasia tidak memiliki karakteristik semacam hiperaktif atau selalu bergerak seperti tidak mengenal lelah. Diagnosis banding yang terakhir adalah autis. Autis merupakan salah satu pervasive development disorder. Tiga ciri utama autism diantaranya gangguan pada interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan pola tingkah laku / minat yang repetitive dan stereotip. Gejala telah muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan interaksi sosial yang jelas pada perilaku non-verbal (kontak mata terbatas, ekspresi wajah datar, tidak menoleh jika dipanggil). Tidak bermain dengan teman sebaya dengan cara yang sesuai, tidak berbagi minat dengan orang lain, kurang mampu melakukan interaksi sosial timbal balik. Gangguan komunikasi yaitu terlambat bicara atau tidak bisa bicara tanpa kompensasi penggunaan gesture / isyarat, mereka yang bisa bicara bisaanya tidak dapat memulai dan mempertahankan percakapan serta penggunaan bahasa yang berulang, stereotipik atau tidak dapat dimengerti.

Pola tingkah laku menunjukkan minat yang terbatas dan abnormal dalam intensitas dan fokus, terikat secara kaku pada ritual yang kelihatannya tidak memiliki fungsi khusus, gerakan yang stereotipik dan berulang (flapping, gerakan jari-jari, bertepuk tangan, menyentuh benda-benda, rocking) juga preokupasi pada bagian dari benda. Anak tidak mau diam atau selalu bergerak seperti tidak mengenal lelah. Hal ini adalah ciri-ciri dari gangguan hiperkinetik termasuk dalam gangguan perilaku dan emosional pada masa anak. Gangguan hiperkinetik disebut juga attention deficit and hiperactivity disorder (ADHD). Syarat mutlak diagnosisnya adalah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan secara nyata pada lebih dari situasi. Anak-anak ini sering beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain, seringkali kehilangan minat pada sesuatu atau tugas tertentu dan mudah tertarik pada hal lain. ADHD didiagnosis bila perilaku anak berlebihan dibanding dengan anak lain yang seusia atau nilai IQ yang sama. Seperti yang dijelaskan di tinjauan pustaka, gangguan hiperkinetik pada anak sering menyertai gangguan lainnya seperti autis dan retardasi mental yang ringan atau sedang. Anak dalam skenario ini kemungkinan menderita autis. Anak ini adalah kedua dari dua bersaudara, memiliki kakak perempuan yang berkembang normal. Menurut penelitian, prevalensi penyakit ini lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Penderita laki-laki berjumlah 3-5 kali lebih banyak daripada perempuan. Namun bila yang terkena adalah perempuan, derajat penyakit lebih parah. Secara genetika, sindroma X rapuh mungkin berhubungan dengan gangguan autistik, tapi jumlah orang dengan kedua gangguan autistik dan sindroma X rapuh tidak jelas. Autis diturunkan secara autosomal resesif. Penyebab autisme dapat digolongkan menjadi penyebab prenatal, perinatal dan postnatal. Pada kasus di skenario ini anak mendapat penyebab prenatal karena ibunya seorang perokok berat dan menggunakan alkohol saat hamil. Dan juga penyebab postnatal karena pernah mengalami kejang demam saat usia 6 bulan. Kejang demam diketahui menjadi salah satu penyebab autis tersering selain infeksi sistem saraf pusat dan infeksi traktus gastrointestinal. Walaupun etiologi autis ini belum diketahui secara pasti, namun paparan toksik saat masa prenatal dihipotesiskan menjadi salah satu etiologinya. Ibu dari anak di skenario ini adalah perokok berat dan konsumsi alkohol. Rokok dan alkohol merupakan bahan teratogen. Pada waktu usia 6 bulan, anak tersebut pernah mengalami kejang demam dan dirawat di RS selama 5 hari. Terdapat 2 jenis kejang demam yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Disebut sederhana apabila berlangsung singkat, umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit, bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan

fokal dan tidak berulang dalam waktu 24 jam. Sedangkan disebut kompleks apabila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, atau kejang fokal / parsial satu sisi / kejang umum didahului dengan kejang parsial, atau berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun atau kurang sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) bisaanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat. Peningkatan kebutuhan metabolisme otak yang tidak terpenuhi ini akan mempengaruhi pertumbuhan otak pada masa balita, karena pertumbuhan otak akan terus berlanjut hingga anak berusia 10 tahun, 3 tahun pertama adalah periode emasnya. Kejang demam cukup sering terjadi pada anak-anak, 3-5% dari semua anak. Kejang demam yang terjadi bisaanya berifat sederhana, namun 30% diantaranya bersifat kompleks. Kejang demam berhubungan dengan suatu level kejang yang disebut status epileptikus. Kejang demam yang berhubungan dengan status epileptikus dapat menyebabkan kerusakan pada neuron di amigdala. Dalam suatu studi pada primata tingkat tinggi, membuktikan bahwa status epileptikus yang diinduksi memiliki efek penghapusan atau kerusakan neuron GABAergic di amigdala, dimana hal ini berpengaruh secara langsung pada proses kontak mata, respon timbal balik kepada orang lain, perilaku sosial, regulasi emosional dan lain-lain (Binstock, 1997).

BAB IV PENUTUP

KESIMPULAN Penyakit pada pasien belum dapat ditentukan secara pasti.Kemungkinan pasien tersebut diduga terkena kelainan autis dan retardasi mental. Prevalensi autis pria dibanding wanita adalah 3:1, dan autis diturukan secara autosomal resesif. Selain karena genetik, kejang demam yang dialami anak tersebut diduga menjadi penyebab terhambatnya pertumbuhan neuron pada otak anak tersebut. Diagnosis autis juga ditegakkan dari gejala-gejala yang dialami oleh anak tersebut, yaitu belum bisa bicara dan autis seringkali disertai hiperaktif/hiperkinetik. Selain itu, awitan kelainannya diketahui saat anak sudah berusia lebih dari 3 tahun.

SARAN Penanganan kasus untuk pasien autisme maupun retardasi mental membutuhkan partisipasi dari semua pihak baik keluarga, lingkungan, dan pihak medis. Oleh karenaitu dibutuhkan dukungan dan perhatian dari keluarga untuk memberikan penatalaksanaan secara non-terapi pada anak-anak yang menderita gangguan tersebut.Untuk diagnosa

pasti,diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti tes IQ dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Perkembangan Anak Perkembangan Fisik, Motorik, Kognitif, Psikososial. ttp://www.g-excess.com/id/perkembangan-anak-perkembangan-fisik-motorik-kognitifpsikososial.html (diaksestanggal 27 November 2009)

APA. DSM IV. 1995. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Fourth Edition. Washington DC.

Budiman,

Melly.

1998.

Makalah

Simposium.

Pentingnya

Diagnosis

Dini

dan

Penatalaksanaan Terpadu Pada Autisme.

Ghosali,

Endang

Warsiki.

1983.

Retardasi

Mental.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_RetardasiMental.pdf/16_RetardasiMental.htm

Kaplan, HI, Saddock. Sinopsis Psikiatri , ilmu pengetahuan Perilaku psikiatri klini edisi ke 7 jilid ke 2. Jakarta: Binarupa Aksara Maramis. 1998. Retardasi Mental dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Hal 385-390.

Nuhriawangsa, Ibrahim. 2009. Symptomatologi Psikiatri. Edisi ketiga. Surakarta: Balai Penerbit FK UNS

Yusuf,

Elvi

Andriani.

2003.

Autisme:

Masa

Kanak.

http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-elvi.pdf

Anda mungkin juga menyukai