Anda di halaman 1dari 14

Sick Building Syndrome NAMA NIM EMAIL : AHMED HAYKAL HILMAN : 10.2008.160 : airmatrix2003@yahoo.

com

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PENDAHULUAN

Sick building syndrome (SBS) atau sindrom gedung sakit dikenal sejak tahun 1970. Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai masalah kesehatan akibat lingkungan kerja berhubungan dengan polusi udara dan buruknya ventilasi gedung perkantoran. Sick building syndrome terjadi akibat kurang baiknya rancangan, pengoperasian dan pemeliharaan gedung. Gejala yang dapat terjadi berupa iritasi kulit, mata dan nasofaring, sakit kepala, lemas, lemah, mual, batuk, dan sesak. Gejala tersebut akan berkurang atau hilang bila pekerja tidak berada di dalam gedung, hal tersebut dapat terjadi pada satu atau dapat tersebar di seluruh lokasi gedung.

ISI
Diagnosis Okupasi
Untuk dapat mendiagnosis penyakit akibat kerja pada individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan

menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman:

1. Diagnosis klinis Setelah diagnosis klinis ditegakkan baru dapat dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan atau tidak.

Anamnesis : Identitas Keluhan utama : batuk pilek berulang sejak 3 minggu. Keluhan tambahan : demam hilang timbul, mata panas, mual, nyeri seluruh badan dan terkadang gatal. Apakah sebelumnya sudah diobati Riwayat alergi Riwayat penyakit Riwayat pekerjaan : sudah berapa lama bekerja, riwayat pekerjaan sebelumnya, alat kerja, bahan kerja, proses kerja, barang yang diproduksi, waktu bekerja sehari, kemungkinan pajanannya, APD yang digunakan, hubungan gejala dengan waktu kerja dan apakah pekerja lain mengalami gejala yang serupa.

Pemeriksaan Fisik : Tanda-tanda vital : peningkatan suhu badan

Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap Pemeriksaan foto thoraks : foto thoraks di lakukan untuk menentukan adanya kelainan klinis penyakit paru. Pemeriksaan spirometri : untuk menilai kegagalan fungsi paru.

Pemeriksaan Tempat Kerja : untuk memastikan adanya dan menggukur kadar faktor penyebab penyakit di tempat atau di ruangan kerja. Penerangan Kebisingan Kelembaban Kebersihan Ventilasi udara1,2

2. Pajanan yang dialami Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Diperlukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup : Pajanan saat ini dan sebelumnya Didapat dari anamnesis

Menurut hasil penelitian dari Badan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat atau National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) 466 gedung di Amerika Serikat menemukan bahwa ada enam sumber utama pencemaran udara di dalam gedung, yaitu:

52% pencemaran akibat ventilasi yang tidak adekuat dapat berupa kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi udara yang tidak merata, dan buruknya perawatan sarana ventilasi.

Pencemaran udara dari alat- alat di dalam gedung seperti mesin fotokopi, kertas tisu, lem kertas dan lem wallpaper, zat pewarna dari bahan cetakan, pembersih lantai serta pengharum ruangan (sebesar 17%).

Pencemaran dari luar gedung dapat juga masuk ke dalam ruangan, hal ini dikarenakan tidak tepatnya penempatan lokasi masuknya udara segar dalam ruangan (sebesar 11%).

Pencemaran

bahan

bangunan

meliputi

pencemaran

formaldehid,

lem,

asbes, fibreglass dan bahan lain yang merupakan komponen pembentuk gedung tersebut (sebesar 3%). Pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa, dan produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin serta seluruh sistemnya (sebesar 5%). Sebesar 12 % dari sumber tidak diketahui.2,4

3. Hubungan pajanan dengan penyakit Menghubungkan pajanan dengan penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah, lama, dan sebagainya). Identifikasi pajanan Apakah pajanan dapat menyebabkan penyakit Adakah hubungan gejala dan waktu kerja Adakah hubungan gejala dengan pekerjaan

1. Faktor individu:
a. Debu kertas. b. Asap rokok c. Debu dalam ruangan d. Penggunaan komputer

2. Faktor gedung:
a. Suhu ruangan yang tinggi (lebih dari 23C dalam ruangan ber-AC). b. Aliran udara dalam ruangan rendah (kurang dari 10 liter/ detik/ orang). c. AC dalam ruangan. d. Kontrol yang rendah terhadap suhu dan pencahayaan. e. Rendahnya perawatan dan kebersihan gedung. f. Kerusakan pada jaringan air.2,3

4. Pajanan yang cukup besar Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut. Cara/proses kerja, lama kerja dan lingkungan kerja Pemakaian APD4

5. Faktor Individu Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami. Status kesehatan fisik : alergi, riwayat penyakit keluarga Status kesehatan mental Higienitas3

6. Faktor lain diluar pekerjaan Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit. Hobi Kebiasaan Pajanan dirumah Pekerjaan lain1

7. Diagnosis Okupasi Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa untuk menegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja diperlukan pengetahuan yang spesifik, tersedianya berbagai informasi yang didapat baik dari pemeriksaan klinis pasien, pemeriksaan lingkungan di tempat kerja (bila memungkinkan) dan data epidemiologis.5,6

Differential Diagnosis

Legionella Pneumonia : Suatu infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bakteri Legionella pneumophilia dan spesies lainnya dari Legionella; yang bisa menyebabkan serangkaian penyakit, mulai dari batuk ringan dan demam sampai pneumonia.

Bakteri ini ditemukan di dalam sistem pengaliran air dan bisa bertahan di dalam sistem penyejuk udara yang hangat dan lembab di gedung-gedung perkantoran, termasuk rumah sakit. Karena itu jika organisme ini menyebar melalui sistem penyejuk udara di hotel atau rumah sakit, maka bisa terjadi wabah yang luas.

Gejalanya berupa:

Sakit dan kaku otot Nyeri persendian Tidak enak badan Lemas Sakit kepala Demam Menggigil Batuk kering Sesak nafas Nyeri dada Diare

Diagnosis dapat ditegakkan dengan : Pemeriksaan Fisik : o Pemeriksaan menggunakan stetoskop pada paru akan terdengar akan terdengar suara ronki halus Pemeriksaan Penunjang : o Pemeriksaan dahak dengan dengan pewarnaan DFA (direct fluorescent antibody) menunjukkan adanya Legionella o Biakan bakteri dari saluran pernafasan o Tes urin menunjukan antigen positif o Hitung jenis darah menunjukkan adanya leukositosis o Peningkatan laju endap darah

Erithromycin adalah antibiotik pilihan untuk penyakit Legionella Pneumonia. Pada kasus yang tidak terlalu berat, dapat diberikan per-oral (melalui mulut); jika tidak memungkinkan, bisa diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah). Sebagian

besar penderita yang diobati dengan erythomycin akan menunjukkan perbaikan, tetapi proses penyembuhannya memerlukan waktu yang lama.1,7,8

Working Diagnosis

Sick Building Syndrome : SBS atau Sick Building Syndrome merupakan gangguan kesehatan yang dialami oleh seseorang atau beberapa orang di dalam suatu gedung atau bangunan. SBS bisa diartikan sebagai situasi dimana muncul gejala-gejala penyakit yang berhubungan dengan kondisi di dalam ruangan kantor, di mana gejala penyakit itu tidak bisa diidentifikasikan secara jelas dan bergantung pada lama waktu yang dihabiskan di dalam kantor. Sick building syndrome biasanya terjadi karena buruknya ventilasi dan adanya kontaminasi polutan di udara, baik berupa debu, asap, maupun polutan lainnya. Sebagian besar keluhan kesehatan hilang setelah berada di luar gedung dalam waktu tertentu. Dalam banyak kasus, Sick Building Syndrome biasanya terjadi di gedunggedung perkantoran, meskipun tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi di bangunan atau gedung laintermasuk sekolah ataupun apartemen.

Gejala dapat berupa : Badan terasa pegal, Sesak napas, Pusing, Pilek, serta lelah-letih-lesu. Keluhan lain seperti mata merah, perut kembung, migrain, dan mata berair, sulit konsentrasi, sakit tenggorokan, sesak napas, batuk, mual, kulit kering dan batuk kering sering juga dirasakan.

Meskipun penyebab spesifiknya masih belum diketahui, berikut adalah hal-hal yang dianggap dapat menyebabkan Sick Building Syndrome, biasanya berhubungan dengan ketidaksesuaian temperatur, kelembaban, serta pencahayaan dalam suatu bangunan.

Kontaminasi polutan kimia dari luar : Udara dari luar yang masuk ke dalam gedung dapat menjadi salah satu sumber polusi dalam suatu gedung. Polusi dari asap pembuangan sepeda motor, pipa udara, dan saluran pembuangan dalam gedung (kamar mandi dan dapur) dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan udara dalam bangunan yang memiliki sistem ventilasi udara yang buruk.

Kontaminasi polutan kimia dari dalam : Sebagian besar polutan berbahaya yang terdapat dalam suatu bangunan memang berasal dari dalam bangunan itu sendiri, di antaranya dari material pelapis bangunan, karpet yang berdebu, mesin fotokopi, furnitur maupun alat pembersih yang mengandung bahan kimia berbahaya yang termasuk Volatile Organic Compound (VOC), misalnya formaldehyde. Selain itu, asap rokok, kompor, maupun alat pemanas lainnya juga dapat menjadi sumber polutan kimia yang berbahaya dari tubuh. Berdasarkan penelitian, jenis-jenis polutan tersebut dalam konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan akut, selain itu juga mengandung karsinogen yang merupakan penyebab kanker.

Kontaminasi polutan biologis : Polutan biologis termasuk di dalamnya adalah serbuk sari, bakteri, virus, serta lumut. Polutan-polutan ini dapat hidup dan berkembang dalam air menggenang dan ruangan yang lembab. Apabila terkontaminasi, dapat menyebabkan demam, badan menggigil, batuk, sesak napas, pegal-pegal, ataupun reaksi alergi.

Sistem tata udara yang kurang baik : Pada tahun 1970-an, embargo minyak dunia membuat para arsitek mulai membuat bangunan yang lebih kedap dari udara luar, dengan ventilasi ke luar bangunan yang lebih sedikit. Hal ini antara lain untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Pengurangan ventilasi udara ke luar ini diketahui, dalam banyak kasus, berpengaruh besar terhadap penurunan tersebut.1,2,10 kondisi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan

Penatalaksanaan

Solusi penanganan Sick Building Syndrome, antara lain sebagai berikut: 1. Memperbaiki sistem tata udara dan AC dalam gedung dapat menjadi salah satu cara mengurangi polutan yang terdapat dalam gedung. Seminimalnya, mesin penghangat ruangan, sistem ventilasi, dan sistem pendingin ruangan (AC) harus dirancang untuk memenuhi syarat minimum dari sistem tata udara yang baik dalam suatu gedung. Pastikan bahwa sistem tata udara telah beroperasi dan dipelihara dengan memperhatikan ventilasi dan pertukaran udara yang baik. Jika diketahui adanya sumber polutan berbahaya yang dikeluarkan oleh AC, harus ada saluran pembuangannya yang langsung mengarah ke luar bangunan. Cara ini biasanya dilakukan untuk membasmi polutan yang banyak terdapat pada area tertentu dalam bangunan, seperti toilet, ruang fotokopi, serta ruang khusus merokok. 2. Memindahkan ataupun memperbaiki sumber polutan dalam gedung adalah salah satu cara paling efektif dalam membasmi polutan-polutan berbahaya dalam gedung. Cara ini termasuk dengan pemeliharaan rutin terhadap sistem pendingin ruangan (HVAC), membersihkan tempat-tempat yang menjadi tempat menggenangnya air, pelarangan merokok dalam gedung ataupun menyediakan tempat khusus merokok dengan ventilasi yang langsung mengarah ke luar bangunan, dan lain-lain. 3. Memasang penyaring udara. Hal ini sebenarnya tidak lantas membuat udara menjadi bersih dan bebas polutan, namun cukup efektif dalam mengurangi jumlah polutan yang masuk ke dalam gedung.

Terapi medikamentosa Tatalaksana dapat diberikan simptomatis, misalnya demam dan sakit kepala maka berikan Parasetamol, gatal-gatal diberikan antihistamin, erithromycin untuk Legionella.

10

Terapi non medikamentosa o Edukasi: perubahan cara kerja o Pindah bagian, pindah shift o Rehabilitasi, jika perlu11

Pencegahan

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi: Umumnya penderita Sick Building Syndrome akan sembuh apabila keluar dari dalam gedung tersebut, gejala-gejala penyakitnya dapat disembuhkan dengan obat-obat simtomatis (obat-obat penghilang gejala penyakit). Upaya agar udara luar yang segar dapat masuk ke dalam gedung secara baik dan terdistribusi secara merata ke semua bagian didalam suatu gedung. Dalam hal ini perlu diperhatikan agar lubang tempat masuknya udara luar tidak berdekatan dengan sumber-sumber pencemar di luar gedung agar bahan pencemar tidak terhisap masuk ke dalam gedung. Ventilasi dan sirkulasinya udara dalam gedung diatur sedemikian rupa agar semua orang yang bekerja merasa segar, nyaman dan sehat, jumlah supply udara segar sesuai dengan kebutuhan jumlah orang didalam ruangan,demikian pula harus diperhatikan jumlah supply udara segar yang cukup apabila ada penambahan-penambahan karyawan baru dalam jumlah yang signifikan. Perlu pula diperhatikan pemilihan bahan-bahan bangunan dan bahan pembersih ruangan yang tidak akan mencemari lingkungan udara di dalam gedung dan lebih ramah lingkungan (green washing,non toxic, natural, ecological friendly ). Penambahan batas-batas ruangan dan penambahan jumlah orang yang bekerja dalam satu ruangan hendaknya dilakukan setelah memperhitungkan agar setiap bagian ruangan dan setiap individu mendapat ventilasi udara yang memadai

11

Jangan asal membuat sekat ruangan saja, dan jangan terus menerus menambah jumlah orang untuk bekerja dalam satu ruangan sehingga menjadi penuh sesak Alat-alat kantor yang mengakibatkan pencemaran udara, seperti mesin fotocopy, diletakkan dalam ruangan terpisah. Renovasi kantor dengan menggunakan bahan-bahan bangunan baru, cat baru, lem baru, agar dipasang exhaust fan yang memadai agar pencemaran dari volatile organic compounds (VOCs), terutama uap benzene dan formaldehyde yang berasal dari bahan-bahan bangunan baru dapat segera dibuang.2,11

12

PENUTUP

Sick Building Syndrome merupakan kondisi ketika para pekerja dalam suatu gedung mengalami penurunan kesehatan yang berkaitan dengan lamanya waktu berada di dalam gedung. Pada kasus yang ringan, keluhan ini akan menghilang ketika Anda keluar dari gedung tersebut. Keluhan yang dialami biasanya menetap dalam waktu setidaknya selama dua minggu. Berdasarkan riset yang dilakukan Institut Nasional Kesehatan dan Keselamatan Kerja (NIOSH) AS pada tahun 1997, sebanyak (52%) penyakit pernapasan yang terkait dengan sick building syndrome bersumber dari kurangnya ventilasi dalam gedung serta dan kinerja AC gedung yang buruk. Perlu diketahui bahwa suhu AC di dalam gedung bertingkat biasanya kelewat dingin, yaitu berkisar antara 20-23 derajat celsius. Suhu udara inilah yang membuat bakteri-bakteri seperti Escheriachia dan Legionella sp berkembang biak. Sisanya, 17% disebabkan pencemaran zat kimia yang ada di dalam gedung. Seperti mesin foto kopi, pengharum ruangan, larutan pembersih, atau bahan kain pelapis dinding.

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Anies.Mewaspadai Komputindo;2005.

Penyakit

Lingkungan.

Jakarta:

PT

Elex

Media

2. Slamet, Juli Soemirat. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press;2002. 3. Aditama TY, Andarini SL. Sick building syndrome. Med J Indones 2002;11: 12431. 4. Utami ET. Hubungan antara kualitas udara pada ruangan ber-AC sentral dan sick building sindrome di kantor Telkom Divre IV Jateng-DIY. Tesis

DIY:UNNES:2005. 5. Sudoyo W Aru,Setiohadi Bambang,Alwi Idrus, K Simadibrata M,Setiati Siti. Ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta:InternaPublishing ;2009. 6. Rubenstein David,Wayne David, Bradley Jhon. Kedokteran klinis. Edisi ke-6. Jakarta:Erlangga;2003. 7. Price SA, Wilson M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke - 6. Jakarta:EGC;2006. 8. Gunawan Sulistia G, Nasfrialdi RS. Farmakologi dan terapi. Edisi ke 5. Jakarta: Balai penerbitan FKUI ; 2009. 9. Shulman TS, et al, Paduan penyakit Infeksi dan Terapi Antimikroba pada Anak, EGC, Jakarta, 2001, hal 496-522. 10. Kumar V, Cotran R, Robbins S. Buku Ajar Patologi. 7th ed. Jakarta: EGC; 2000. p. 537-51. 11. Zul Dahlan.Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2000.

14

Anda mungkin juga menyukai