Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KEANEKARAGAMAN DAN KLASIFIKASI VERTEBRATA

Rhinoceros sondaicus
Guna Memenuhi Tugas Uji Kompetensi VI Keanekaragaman dan Klasifikasi Vertebrata

Disusun Oleh : MEMORITA WALASARI K4311041 P.BIOLOGI / B

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

Rhinoceros sondaicus

A. Klasifikasi Badak jawa termasuk ke dalam salah satu hewan berkuku ganjil atau Perissodactyla. Klasifikasi Badak jawa berdasarkan taksonomi menurut Lekagul dan McNeely (1977) adalah: Kingdom Phyllum Kelas Ordo Family Genus Species : Animalia : Chordata : Mammalia : Perissodactyla : Rhinocerotidae : Rhinoceros Lin. 1755 : Rhinoceros sondaicus

(Desmarest,1822)

B. Ciri-ciri Morfologi

Badak Jawa mempunyai ukuran tubuh lebih besar dari badak sumatra (Dicerorhinus sumatraensis). Badak jawa mempunyai kulit yang tebal dan berlipat-lipat seperti perisai . Menurut Hoogerwerf (1970), tinggi badan badak jawa dari telapak kaki hingga bahu mencapai 168 -175 cm dengan panjang badan dari moncong hingga ujung ekor mencapai 392 cm dan panjang kepala badak jawa mencapai 70 cm. Berat tubuh badak jawa dapat mencapai 2 .280 kg dan tubuhnya tidak berambut kecuali pada bagian telinga dan bagian ekor. Lekagul dan McNeely (1977) menyebutkan bahwa tubuh badak jawa dibungkus kulit yang mempunyai corak mozaik

dengan tebal antara 25-30 mm. Kulit luarnya mempunyai lipatan berbentuk sadel pada bagian punggung serta dekat ekor, dan kaki belakang (Hoogerwerf 1970). Hoogerwerf (1970) menyebutkan lebar kaki badak jawa mencapai

27-28 cm sedangkan menurut Ramono (1973) diacu dalam Rahmat (2007) ukuran tapak kaki diukur dari kuku-kuku yang paling luar berkisar antara 23/25 -29/30 cm. Pendapat yang hampir sama dinyatakan oleh Lekagul dan McNeely (1977) yaitu lebar telapak kaki dari sisi terluar adalah 250 -300 mm dan mempunyai tiga kuku. Ukuran jejak badak jawa berkorelasi positif dengan kelas umur (Schenkel & Schenkel-Huliger 1969). Hubungan antara ukuran jejak dengan kelas umur badak jawa disajikan pada table.

Tabel Perbandingan ukuran jejak dengan perkiraan kelas umur badak jawa Ukuran Kelas Umur Jejak (cm) < 20

Usia

< 1 Tahun

II

20-23

< 1 Tahun 1 2 tahun

III IV V

24-25 26-28 29-30

Dewasa Remaja Remaja Tua

Sumber: Schenkel & Schenkel-Hulliger (1969)

Rahmat (2007) menyatakan bahwa individu badak jawa jantan mempunyai cula tunggal yang tumbuh di bagian depan kepala yang sering disebut cula melati. Sedangkan Individu betina, cula yang tumbuh hanya berupa benjolan yang disebut cula batok. Sody (1941) diacu dalam

Muntasib (2002) menyebutkan, cula badak jawa telah muncul sejak tahap embrio. Hoogerwerf (1970) menyebutkan, panjang cula badak jawa jantan

dapat mencapai 27 cm dan panjang rata-rata cula jantan dewasa yaitu 21 cm jika diukur mengikuti panjang lengkungnya. Cula badak jawa yang berumur sekitar 11 bulan mempunyai cula sepanjang 5-7 cm (Rahmat 2007). Warna cula badak jawa adalah abu-abu gelap sampai hitam, dimana bagian pangkal warnanya lebih gelap dibanding bagian ujung. Semakin tua umur badak, maka semakin gelap warna culanya (Groves 1971 diacu dalam Sadjudin 1984). Badak jawa mempunyai bibir atas yang lebih panjang dari bibir bawah dan berbentuk seperti belalai pendek yang berfungsi untuk merenggut makanan (Rahmat 2007). Ketika mengambil makanan, bibir atas dapat digerakkan bersama dengan bibir bawah sehingga dapat menjepit dan membantu mengambil makanan karena badak jawa mempunyai leher yang pendek dan sulit untuk menengok (Lekagul dan McNeely 1977).

Menurut Sody (1941) dalam Muntasib (2002), cula telah mulai muncul pada anak yang baru dilahirkan dan bahkan sudah ada pada tahap embrio sekalipun. Individu betina tidak memiliki cula, tetapi hanya mempunyai benjolan saja yang sering disebut sebagai cula batok. Kulit badak jawa sangat tebal, kira-kira 25-30 mm dan berupa perisai yang terbuat dari zat tanduk. Kulit luarnya mempunyai corak mozaik atau seperti sisik yang tersusun rapi, mempunyai lipatan kulit pada bagian bawah leher hingga bagian atas yang berbatasan dengan bahu. Lipatan di atas punggung membentuk sadel dan terdapat lipatan-lipatan di dekat ekor dan bagian atas kaki belakang (Prawirosudirjo 1975, Hoogerwerf 1970).

Indera penglihatan badak pada umumnya termasuk badak jawa, tidak sebaik indera pendengaran dan penciumannya yang tajam. Oleh karena itu, badak dapat mengetahui datangnya ancaman dan bahaya melalui

suara dan bau musuhnya dengan menggunakan indera pendengaran yang baik dan indera penciumannya yang tajam (Hoogerwerf 1970). Hoogerwerf (1970) juga menyebutkan bahwa dalam sehari, badak dapat menempuh jarak 15 - 20 km, tetapi sebaliknya sering pula berada di sekitar wilayah yang luas jelajahnya tidak lebih dari 0,5 km untuk beberapa hari. C. Habitat dan Penyebaran

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan yang dipergunakan sebagai tempat hidup satwaliar (Alikodra 2002). Kawasan yang digunakan oleh badak jawa sebagai habitat adalah hutan dataran rendah, dan rawarawa serta beberapa daerah dengan ketinggian diatas 100 mdpl. Hoogerwerf (1970) menyebutkan, badak jawa menempati daerah relatif rendah di Ujung Kulon, seperti daerah Cigenter, Cihandeleum, bagain barat Gunung Payung, dan Nyiur. Badak jawa menyukai daerah yang mempunyai vegetasi rapat seperti semak dan perdu yang rapat, untuk menghindari daerah terbuka pada siang hari (Hommel 1987; Schenkel & Schenkel-Huliger 1969). Jejak badak jawa jarang sekali terlihat di daerah perbukitan dan hutan primer (Hoogerwerf 1970).

Habitat badak jawa terdiri dari tiga bagian yaitu komponen fisik, biologis, dan sosial. Komponen fisik habitat badak jawa adalah ketinggian, kelerengan, kubangan, dan air (neraca air, kualitas air, ketersediaan air, kondisi air permukaan). Komponen biologis habitat badak jawa adalah struktur vegetasi, pakan badak jawa dan satwa besar lainnya (Muntasib 2002). Menurut Hoogerwerf (1970), terdapat lebih dari 150 spesies pakan badak jawa dan dari jenis-jenis pakan yang dimakan badak jawa jarang ditemukan tumbuhan sejenis rumput. Hal ini dikarenakan badak jawa bukan

merupakan pemakan rumput (grazer) melainkan pemakan pucuk dan ranting (browser). Sedangkan Muntasib (2002) menyatakan bahwa terdapat 252 jenis pakan badak dari 73 family. Jumlah seluruh vegetasi di Ujung Kulon

adalah 453 jenis dari 92 family. Sehingga perbandingan pakan badak mencapai 50% dari seluruh jenis dan 70 % dari seluruh family yang ada di Ujung Kulon.

Family Rhinocerotidae mempunyai penuyebaran yang sangat luas. Dari lima spesies badak yang ada di dunia, dua genus terdapat di Asia dan dua genus terdapat di Afrika. Badak yang t erdapat di Afrika adalah badak hitam (Diceros bicornis), badak putih simun), sedangkan adalah

(Ceratotherium

badak yang terdapat di Asia badak badak india (Rhinoceros

unicornis),

sumatra dan

(Dicerorhinus badak jawa Untuk

sumatraensis), (Rhinoceros

sondaicus).

Rhinoceros sondaicus pernah tersebar di Thailand, Vietnam, Malaysia, Burma dan Indonesia (Hoogerwerf 1970).

Badak jawa pernah terdapat di Bengal, Assam, Thailand, Indocina, Cina Tenggara dan pada abad XX masih ditemukan dalam jumlah kecil di Burma, Malaya, dan Sumatra (Schnkel & Schenkel-Hulliger,1969). Daerah penyebaran badak jawa tidak pernah mencapai Burma bagian Utara dan Jawa TImur karena habitat yang tidak tersedia (Groves 1967 diacu dalam Muntasib 2002).

Laporan TNUK (2008) menyebutkan populasi badak jawa adalah 44 ekor, dan hanya terdapat di Semenanjung Ujung Kulon. penelitian sebelumnya menunjukan bahwa populasi Penelitian-

badak jawa sejak tahun

1967 mengalami kenaikan yang cukup berarti bagi pelestariannya Pertumbuhan populasi badak jawa mengalami peningkatan sejak tahun 1937 (Hoogerwerf 1970) walaupun kegiatan sensus dan inventarisasi baru dilaksanakan secara berkesinambungan mulai tahun 1967 (Rinaldi et al. 1997).

Sensus pertama mencatat jumlah populasi badak jawa sebanyak 25 ekor (Schenkel dan Schenkel-Hulliger 1996). Sadjudin (1991) mencatat populasi badak jawa pada tahun 1984 sebanyak 52 individu dan terjadi

fluktuasi populasi badak jawa di Ujung Kulon. Hingga Tahun 1981 tingkat kelahiran populasi badak jawa dapat digolongkan cukup baik, mengingat Selain itu

komposisi umur yang didominasi oleh remaja dan betina dewasa.

masih dijumpai sedikitnya 7 (tujuh) ekor anak badak jawa yang masih bersama induknya (Sadjudin 1984). D. Sifat Hidup, Reproduksi dan Diet

a. Prilaku makan Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa badak jawa adalah salah satu jenis mamalia herbivora besar dan berdasarkan jenis makanannya dapat digolongkan ke dalam jenis satwa browser. Jenis makanannya adalah pucukpucuk daun baik tumbuhan pohon maupun semak belukar, ranting, kulit kayu dan liana.Diameter cabang yang dimakan bervariasi antara 10 sampai 17 mm. Diameter pohon yang dicabut dengan akarnya atau dirobohkan umumnya bervariasi antara 10 - 15 cm. Pada umumnya pohon yang bagian tumbuhannya diambil oleh badak sebagai makanannya tidak mati melainkan tumbuh kembali sehingga diduga badak jawa memiliki mekanisme memelihara dan melestarikan sumber pakannya (Schenkel & Schenkel-Hulliger 1969, Hoogerwerf 1970, Sadjudin & Djaja 1984). Pohon dan semak belukar yang roboh seringkali tetap hidup dan tumbuh pucuk-pucuk baru jika pucuk lama dipatahkan atau tumbuh terus dalam arah mendatar bila akar-akarnya tercabut. Ini semuanya menjadi tanda khas bagi kehadiran satwa tersebut selain jejak, kotoran dan lain-lain (Hoogerwerf 1970).

Perilaku makan badak jawa dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku makan adalah jenis pakan, ketersediaan dan distribusi jenis pakan. Menurut Sadjudin & Djaja (1984), badak jawa mempunyai beberapa cara untuk mencapai atau meraih makanannya, yaitu: 1) Memangkas adalah mengambil makanan dengan cara dipangkas dan biasanya digunakan untuk mengambil jenis-jenis tumbuhan pakan yang tingginya sesuai dengan jarak jangkauannya. Cara seperti ini merupakan cara yang paling sering dilakukan oleh badak jawa.

2) Menarik adalah mengambil makanan dengan cara ditarik dan biasanya digunakan untuk mengambil jenis-jenis tumbuhan merambat atau liana dipepohonan. 3) Melengkungkan adalah mengambil makanan dengan cara dilengkungkan batang pohonnya menggunakan dada dan biasanya digunakan untuk mengambil jenis-jenis tumbuhan yang cukup tinggi sehingga sulit untuk dijangkau. 4) Mematahkan adalah mengambil makanan dengan cara dipatahkan untuk mengambil sebagian dari tumbuhan seperti daun dan ranking. Cara seperti ini biasanya dilakukan apabila tumbuhan pakannya merupakan jenis tumbuhan berkayu, baik pada tingkat pancang maupun tiang.

b. Wilayah jelajah Pada daerah jelajah dapat ditemukan jalur-jalur badak, baik jalur permanen yang selalu dilewati oleh badak maupun jalur tidak permanen yang dilalui pada saat badak mencari makanannya. Pada umumnya jalur permanen berbentuk lurus dengan arah tertentu dan bersih darisemak belukar, sedangkan jalur tidak permanen pada umumnya merupakan jalur baru yang masih dapat dijumpai bekas injakan semak belukar yang arahnya tidak beraturan. Fungsi jalur ini adalah sebagai jalan penghubung antara daerah tempat mencari makan, berkubang, mandi dan tempat istirahat. Rata-rata panjang pergerakan badak jawa dalam satu hari berkisar antara 1,4 sampai 3,8 km (Amman 1985). Menurut Lekagul & McNeely (1977) dan Hoogerwerf (1970), pergerakan badak jawa dalam satu hari berkisar antara 15 sampai 20 km. Muntasib (2002) menyatakan bahwa proses penandaan daerah jelajah biasanya dilakukan setelah berkubang. Lumpur yang dibawa dari kubangan akan menempel pada batang pohon dan tumbuhan sepanjang jalur yang dilaluinya. Menurut Schenkel & Schenkel-Hulliger (1969), cara tersebut adalah untuk penandaan baru pada jalurnya sehingga mudah dikenali lagi dengan tepat.

c. Perilaku sosial Secara ekologi badak jawa termasuk satwa yang soliter kecuali pada saat musim kawin, bunting, dan mengasuh anak. Perilaku sosial umumnya hanya ditunjukkan pada masa berkembangbiak, yakni sering dijumpai individu badak

jawa dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas jantan dan betina atau jantan, betina dan anak (Schenkel & Schenkel-Hulliger 1969). Lama waktu berkumpul tersebut sampai saat ini belum banyak diketahui sehingga aktivitas berkelompok sering diduga berdasarkan dari lama waktu berkumpul badak india, yakni 5 bulan (Gee 1952 dalam Lekagul & McNeely 1977).

d. Perilaku kawin Menurut Schenkel & Schenkel-Hulliger (1969), biologi reproduksi badak jawa hampir mirip dengan badak india (Rhinoceros unicornis). Oleh karena itu sampai saat ini perilaku kawin badak jawa diduga sama dengan perilaku kawin badak india. Berdasarkan pengamatan petugas TNUK Bulan perkawinan badak jawa terjadi pada Agustus dan September. Menurut Gee (1964) dalam Lekagul & McNeely (1977), masa kawin badak india diduga berkisar antara 46 sampai 48 hari. Periode menyusui dan memelihara anak berkisar antara 1 sampai 2 tahun dan lama kebuntingan sekitar 16 bulan. Interval melahirkan adalah satu kali dalam 4-5 tahun dengan jumlah anak yang dilahirkan satu ekor. Badak betina dapat digolongkan dewasa apabila telah berumur 3 - 4 tahun, sedangkan jantan sekitar umur 6 tahun. Umur maksimum badak betina mampu menghasilkan keturunan adalah 30 tahun.

e. Perilaku berkubang dan atau mandi

Berkubang dan atau mandi merupakan salah satu aktivitas yang sangat penting bagi badak jawa. Tujuan dari aktivitas ini adalah sebagai sarana untuk beristirahat, menjaga kesehatan tubuh dari gigitan serangga, menurunkan suhu tubuh, serta membersihkan tubuh dari kotoran, hama dan penyakit. Aktivitas berkubang dan atau mandi, baik langsung maupun tidak langsung sangat tergantung pada ketersediaan air dihabitatnya. Oleh karena itu, aktivitas berkubang bagi badak jawadi TNUK dipengaruhi oleh musim. Pada waktu musim hujan badak jawa relatif lebih sering melakukan aktivitas berkubang.

Hal ini disebabkan ketersediaan air tawar yang relatif merata di seluruh kawasan Semenanjung Ujung Kulon; sedangkan aktivitas mandi lebih banyak dilakukan pada waktu musim kemarau. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa tempat kubangan tidak hanya berfungsi untuk berkubang, melainkan juga berfungsi sebagai tempat minum dan membuang air seni. Perilaku membuang air seni di tempat kubangan ini berfungsi sebagai alat untuk menandai daerah jelajahnya.

E. Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) sebagai satu-satunya habitat

badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) yang tersisa, saat ini kondisinya semakin memburuk sehingga diperkirakan daya dukungnya bagi populasi badak menurun. Oleh karena itu, salah satu strategi konservasi badak jawa adalah membangun populasi baru melalui program reintroduksi atau trans-lokasi (MoFRI, 2007). Upaya pembangunan meta populasi perlu dilakukan karena TNUK sebagai satu-satunya habitat badak jawa

menghadapi resiko gagal melindungi badak jawa jika Gunung Anak Krakatau meletus, bencana tsunami atau bencana Hutan lainnya dan seperti Konservasi wabah Alam

penyakit.Direktorat

Jenderal

Perlindungan

(PHKA) telah menetapkan kriteria untuk habitat kedua bagi badak jawa yaitu: (1) pernah menjadi daerah sebaran badak jawa; (2) memiliki kondisi habitat yang sesuai; (3) tersedia air sepanjang tahun; (4) merupakan kawasan konservasi; (5) memiliki luasan yang cukup;

(6) ada indikasi pernah dihuni badak jawa; (7) mudah untuk pemindahan; (8) derajat pemisahan antara habitat asli dan habitat kedua; (9) kapasitas pengelolaan di habitat kedua; (10) potensi dukungan eksternal; (11) komitmen pemerintah daerah setempat; (12) potensi kegiatan ekowisata; dan (13) potensi untuk pendidikan dan pembangunan kepedulian

masyarakat di habitat baru. Di samping ke-13 kriteria tersebut, kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar calon habitat kedua juga dapat menjadi faktor

penentu keberhasilan program reintroduksi. Sikap, dukungan atau penolakan terhadap program reintroduksi bisa menjadi kunci keberhasilan program

tersebut. Oleh karena itu, dukungan atau penolakan dari masyarakat dan faktor-faktor penyebabnya perlu dikaji sebelum program reintroduksi

diimplementasikan agar dapat berjalan lancar dan tidak mengalami hambatan non teknis.

Ada empat desa yang berbatasan langsung dengan calon habitat kedua badak di kawasan Gunung Honje, TNUK, yaitu Desa Ujungjaya, Tamanjaya, Cibadak, dan Rancapinang. Sementara di TNGHS, hanya ada satu desa yang berbatasan langsung dengan calon habitat kedua badak yaitu Desa Citorek Kidul (Ciusul). Perambahan Hutan vs Reintroduksi Badak Sikap masyarakat sekitar Gunung Honje terhadap program reintroduksi badak ke Gunung Honje sangat dipengaruhi oleh status mereka sebagai perambah hutan atau bukan perambah hutan. Hal ini juga dapat dilihat dari persentase perambah yang mendukung program reintroduksi lebih rendah

(42%) daripada dukungan yang diberikan oleh masyarakat bukan perambah hutan (49%). Meskipun demikian masyarakat bukan perambah lebih berani menyatakan penolakan terhadap program reintroduksi (30%), sementara

perambah hutan hanya 15% yang berani menyatakan menolak, selebihnya 43% memilih menyatakan tidak menolak maupun mendukung atau netral. Hal ini dapat dipahami, karena perambahan hutan merupakan perbuatan

melawan

hukum sehingga tampaknya para perambah tidak

berani

secara

terbuka menyatakan sikap melawan program pemerintah karena takut akan mendapat kesulitan. Ketergantungan pada Hutan vs Reintroduksi Badak Sikap, dukungan atau penolakan masyarakat sekitar Gunung Honje terhadap reintroduksi badak tidak dipengaruhi oleh ketergantungan mereka

kepada hutan. Hal ini juga dapat dilihat dari penolakan yang lebih rendah (17%) datang dari masyarakat yang tergantung kepada hutan daripadamasyarakat yang tidak tergantung kepada hutan (23%). Padahal secara logika sikap penolakan akan lebih besar dari masyarakat yang akan terkena dampak yaitu yang menggantungkan hidupnya kepada hutan.Meskipun demikian, sama halnya dengan sikap perambah, sikap masyarakat yang tergantung kepada hutan juga lebih banyak menyatakan netral (39%) daripada masyarakat yang tidak tergantung kepada hutan (28%). Dukungan kepada program reintroduksi lebih banyak diberikan oleh masyarakat yang tidak tergantung kepada hutan (49%) daripada yang tergantung kepada hutan (44%). Citra Taman Nasional vs Reintroduksi Badak Sikap, dukungan, dan penolakan masyarakat sekitar Gunung Honje terhadap program reintroduksi sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka mendapatkan manfaat dari taman nasional. Masyarakat yang merasa telah mendapatkan manfaat dari keberadaan taman nasional cenderung lebih

banyak memberikan dukungan (47%) terhadap program tersebut dibandingkan masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dari taman nasional (29%). Sikap penolakan terhadap program juga lebih banyak berasal dari

masyarakat yang merasa belum mendapat manfaat dari taman nasional (29%) daripada masyarakat yang sudah mendapat manfaat (23%). Senada dengan masyarakat perambah dan masyarakat tergantung kepada masyarakat yang belum merasakan manfaat taman nasional hutan,

pun lebih

banyak menunjukkan sikap netral (42%) dibandingkan masyarakat yang sudah mendapatkan manfaat (30%). Persepsi Masyarakat vs Reintroduksi Badak Sikap, dukungan, dan penolakan masyarakat Gunung Honje

terhadap program reintroduksi badak juga sangat dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap hutan, badak, dan taman nasional. Masyarakat yang memiliki

persepsi yang positif terhadap hutan, taman nasional, dan badak cenderung lebih banyak memberikan dukungan terhadap program reintroduksi badak

(51%) daripada masyarakat yang memiliki persepsi negatif terhadap hutan, taman nasional, dan badak (33%). Meskipun demikian, masyarakat yang

memiliki persepsi negatif tidak ada yang menyatakan sikap penolakan secara terbuka, mereka memilih tidak menjawab atau netral (67%). Sementara

masyarakat yang memiliki persepsi positif masih ada yang bersikap menolak (23%) dan netral (26%).

Jadi, citra taman nasional di mata masyarakat sangat mempengaruhi sikap masyarakat terhadap program-program konservasi seperti reintroduksi badak. Untuk itu, ke depan sangatlah penting membangun citra yang baik melalui program-program yang berpihak kepada masyarakat dan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan taman nasional. Masyarakat menilai taman nasional dari hal yang paling sederhana, yaitu apakah taman nasional telah memberikan manfaat kepada mereka atau belum. Bila masyarakat menilai taman nasional telah memberikan manfaat bagi kehidupan mereka, maka mereka cenderung untuk mendukung programprogram konservasi yang

diselenggarakan oleh balai taman nasional.

Persepsi yang positif terhadap hutan, taman nasional, dan satwa langka dilindungi juga sangat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan apakah mereka akan mendukung atau menolak suatu program konservasi di daerah mereka yang berdampingan dengan kawasan konservasi. Masyarakat yang memahami manfaat hutan dan menyadari pentingnya balai taman

nasional sebagai lembaga yang bertugas menjaga kelestarian manfaat hutan serta mengetahui nilai keberadaan suatu satwa langka cenderung akan memberikan langka. dukungan kepada upayaupaya konservasi hutan dan satwa

Ketergantungan terhadap sumberdaya hutan, walaupun tidak secara signifikan mempengaruhi sikap masyarakat dalam menentukan dukungan

kepada program reintroduksi, namun ada indikasi bahwa ketergantungan juga menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) yang dapat

terekspresikan dalam sikap

menolak atau mendukung

suatu

program

konservasi. Masyarakat yang hidupnya tergantung kepada keberadaan hutan yang lestari untuk hutan memenuhi kebutuhan dalam dasarnya kondisi akan cenderung agar sisi dapat lain

menginginkan menjamin

tersebut tetap mereka di

lestari Di

kehidupan

masa mendatang.

ketergantungan yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi ancaman bagi kelestarian hutan itu sendiri atau satwaliar yang hidup di dalamnya. Oleh karena itu, ke depan yang diperlukan adalah bukan menghilangkan ketergantungan tetapi mengelola ketergantungan tersebut sebagai alat untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dan menggalang partisipasi mereka untukmenjaga dan melestarikan hutan seisinya. Keberadaan perambah hutan di dalam kawasan taman nasional akan mempengaruhi dukungan masyarakat terhadap program konservasi seperti reintroduksi badak jawa. Hal ini karena mereka khawatir, kepentingan mereka akan dikalahkan oleh kepentingan badak jawa yang memiliki Status nilai konservasi tinggi, secara nasional dan sangat signifikan

internasional.

sebagai perambah

berpengaruh

terhadap dukungan program reintroduksi badak di TNUK, tetapi tidak signifikan di TNGHS. Hal ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain: luas kepemilikan lahan di sekitar TNUK yang relatif rendah dibandingkan di sekitar TNGHS dan posisi tawar mereka kepada pihak taman nasional.

Penggarapan lahan hutan di TNGHS sudah dilakukan sejak tahun 1970-an sebelum kawasan hutan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, sementara di TNUK relatif lebih baru yaitu sekitar tahun 1990-an atau sekitar awal era reformasi. Dengan demikian masyarakat penggarap lahan hutan di TNGHS merasa memiliki posisi yang kuat karena sudah secara turuntemurun menggarap lahan tersebut. Sementara masyarakat sekitar TNUK

merasa posisi mereka sebagai pelanggar hukum lebih kuat sehingga setiap saat mereka merasa terancam oleh tindakan hukum, seperti pengeluaran mereka dari kawasan hutan.Untuk mengatasi perambahan oleh masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan kebutuhan dasarnya dari lahan hutan diperlukan rekonsiliasi antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan konservasi, sehingga tidak ada pihakpihak yang dirugikan tetapi sebaliknya tercipta

simbiose mutualisma antara masyarakat dan taman nasional.

Daftar Pustaka

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit: :Fakultas Kehutanan IPB. 366 hal. Amman H. 1985. Contribution to the ecology and sociology of the javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicusDesm., 1822). Inangural Dissertati. Philosophisch. Naturwissenschaftlichen Fakultat der Universitat Basel. Econom-Druch A.G. Basel. Hoogerwerf A. 1970. Udjung Kulon: The Land of the Last Javan Rhinoceros. E.J. Brill Leiden. hlm 286-296. Lekagul B, McNeely J. 1977. Mammals of Thailand. The Association for the Conservation of Wildlife. Bangkok. Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia (MoFRI). (2007). Strategy and action plan for the conservation of rhinos in Indonesia 2007-2017. Jakarta: MoFRI. Muntasib, Harini E.K.S. dkk., 1997. Panduan Pengelolaan Habitat Badak Jawa (Rhinoseros sondaicus Desmarest) Di Taman Nasional Ujung Kulon. Muntasib H. 2002. Penggunaan Ruang Habitat oleh Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desm. 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [Disertasi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahmat UM. 2007. Analisis Tipologi Habitat Preferensial Badak (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) di Taman Nasional Jawa Ujung

Kulon [Tesis]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Ramono WS. 1973. Javan rhinoceros in Ujung Kulon. Direktorat PPA. Bogor. Rinaldi, D., Mulyani,Y.A., & Arief H. 1997. Status Populasi dan Perilaku Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest) diTN Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, 18 Maret 1997. Hal. 41-47 Sadjudin HR, Djaja B. 1984. Monitoring Populasi Badak Jawa sondaicus Desm., 1822) di Semenanjung Ujung (Rhinoceros

Kulon. Fakultas

Biologi. Universitas Nasional.

Sadjudin, HR. 1991. Studi Perilaku dan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, Desmarest 1882) di Ujung Kulon. Bogor: Jurusan

Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Schenkel R, Schenkel L.-Hulliger. 1969. The Javan Rhinoceros (Rhinoceros

sondaicusDesm., 1822) in Udjung Kulon Nature Reserve, Its Ecology and Behavior. Field Study 1967 and 1968. Acta Tropica Separatum 26 (2). Taman Nasional Ujung Kulon. 2007. Laporan Sensus Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Pandeglang. Tim Peneliti Badak, Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Media Konservasi Edisi Khusus, 1997. Hal. 1-15. Desmarest, 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon:

Anda mungkin juga menyukai