Anda di halaman 1dari 21

BAB I Pendahuluan

Hidung berdarah atau dalam istilah kedokteran epistaksis (epistaxis) adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung dan nasofaring. Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Rongga bagian depan, terdapat septum yang membagi rongga hidung menjadi dua, dan terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.1 Epistaksis seringkali merupakan gejala ataupun manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera di tangani. 2 Epistaksis, atau perdarahan hidung, dilaporkan telah terjadi pada 60 persen dari populasi umum. Dengan puncak kejadian pada usia < 10 tahun dan > 50 tahun . Epistaksis lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita.3 Di Amerika Serikat, satu dari setiap tujuh orang untuk beberapa waktu dalam hidup mereka akan mengalami epistaksis.. Epistaksis terbagi atas dua jenis , yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior.4 Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal dapat berupa trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing,tumor,dan pengaruh udara lingkungan. Sedangkan pada kelainan sistemik misalnya penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sitemik, perubahan tekanan atmosfer, kelainan hormonal,dan kelainan kongenital.2

Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri

sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Kasus- kasus epistaksis kebanyakan terjadi pada daerah anterior septum nasi, dan dapat diatasi dengan kauterisasi. Namun, epistaksis posterior lebih memerlukan pendekatan yang lebih agresif termasuk metode posterior nasal packing dan endoscopic cauterization. (1,5)

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os nasal, prosesus frontalis os maksila,dan prosesus nasalis os frontalis. Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior,sepasang kartilago nasalis lateralis inferior,tepi anterior kartilago septum.(1,2,3) Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu: a. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan dan periosteum pada bagian tulang sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.(2,3) b. Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka

inferior,media,superior,dan suprema yang biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.Ada 3 meatus yaitu meatus inferior,media,dan superior. Di meatus nasi bermuara sinus-sinus paranasalis. Dan yang di inferior bermuara duktus nasolakrimalis

c. Dinding inferior rongga hidung dibentuk oleh os maksila dan palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis.(2)

Gambar 1 : Dinding Nasi Lateral 1 2.2 Vaskularisasi Hidung 6 a. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. ethmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a. karotis interna. b. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahn dari cabang a. maksilaris interna , diantaranya ialah ujung a. palatina mayor an a.. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki ronnga hidung di belakang ujung posterior konka media. c. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum nasi terdapat anastomis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. ethmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area)

Gambar 2 : Pleksus Kiesselbach 3,5

d. Vena- vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdanpingan

dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernous. 2.3 Fisiologi Hidung Berdasarkan teori fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasalis adalah: 6 a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan, dan mekanisme imunologik lokal b. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu c. d. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan peindung panas e. Refleks nasal.

2.4 Definisi Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri. 1,4 Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.5
5

2.5 Epidemiology Frekuensi epistaksis sulit untuk ditentukan karena sebagian episode menyelesaikannya dengan pengobatan mandiri sehingga tidak dilaporkan. Namun, dari beberapa sumber terakhir, bahwa kejadian epistaksis pada populasi umum adalah sekitar 60%, dengan lebih sedikit dari 10% mencari perhatian medis.7 Distribusi usia bimodal, dengan puncak pada anak-anak (2-10 tahun) dan orang tua (50-80 tahun). Epistaksis jarang terjadi pada bayi sampai kemudian di tahun-tahun balita. Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada perempuan (42%).7

2.6 Etiologi Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis.3 Epistaksis dapat ditimbulkan oleh kelainan lokal dan kelainan sistemik.2,3,5 a. Lokal 1. Trauma Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti terkena pukul, jatuh atau
6

kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.1,2 Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi pada spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. 2 Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian berdarah.1 Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.2 2. Infeksi lokal Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis.2 Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.4,5 3. Neoplasma Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernodal darah, hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.1,2,7 4. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von Willendbrand disease.(2) Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.7

5. Pengaruh lingkungan Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah.2,7 6. Deviasi septum Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-gosok hidung.1,2,7 b. Sistemik 1. Kelainan darah Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia, hemofilia dan leukemia.2 Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.7

Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis. 7 Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.7 2. Penyakit kardiovaskuler dan penyakit sistemik lain Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, misalnyai pada aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.2,7 a) Hipertensi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.4,7

b) Arteriosklerosis Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah.4,7

c) Sirosis Hepatis Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.7

d) Diabetes Mellitus Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan

mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.7

e) Infeksi akut Demam berdarah Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigenantibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
10

pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.5,7

f) Gangguan hormonal Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.7 2.7 Patofisiologi Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadangkadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.7 a. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana. 3,5,7

11

Gambar 3: Epistaksis anterior 7 b. Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.7

Gambar 4. Epistaksis posterior 7

2.8 Diagnosis a. Anamnesis


Pasien harus ditanya tentang presentasi awal pendarahan, pendarahan sebelumnya dan pengobatan mereka , kondisi komorbiditas , dan obat-obatan saat ini, termasuk obat hemodinamik dan obat herbal dan rumah. Meskipun diferensial diagnosis mencakup penyebab lokal dan sistemik, faktor lingkungan seperti kelembaban dan alergen juga harus diperhatikan.3

Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.5 Penting

12

mendapatkan riwayat trauma, riwayat pengobatan terperinci. adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung.

Gambar 5 : Perdarahan Hidung b. Pemeriksaan Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.4,5,7 Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara.3,5,8 Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.8

Pemeriksaan yang diperlukan berupa: 1. Rinoskopi anterior

13

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat. 5,7 2. Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma 8 3. Pengukuran tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.8 4. Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.4,5 5. Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.5

Gambar 6: Tampilan endoskopi epistaksis posterior 5

2.9 Penatalaksanaan Langkah awal

14

Persiapkan pelindung diri, berupa pakaian, sarung tangan , dan kacamata pelindung dapat dipakai. Cahaya cukup baik disediakan oleh headlamp dengan sinar sempit disesuaikan . Pasien harus diposisikan dengan nyaman dalam posisi duduk , memegang baskom bawah dagunya . Selanjutnya seperti biasa , pertama perhatikan ABC ( Airway , Breathing , dan Circulation ).7 Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien 7. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain: 3,8 a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode Trotter).8

Gambar 7. Metode Trotter c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah. 3,5,7 d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat
15

10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.7 e) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari. 5,7

Gambar 8 :Tampon anterior 7 f) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior). Setiap pasien

16

dengan tampon Bellocque harus dirawat.7,8 9 : Tampon Posterior 7

Gambar

Gambar 10: Tampon Bellocque 8

g) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. 8

Gambar 11. Tampon posterior dengan Kateter Foley 8

17

Gambar-13b: Double Balloon terpasang

Gambar-13c: Perbandingan Double Balloon sebelum dan sesudah di kembangkan

h) Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.8 i) Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.8 2.10 Komplikasi Komplikasi dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), Air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik. 1,2,3 Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah. 2.11 Prognosis Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.7

18

BAB III KESIMPULAN Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik.
19

Epistaksis berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi dua yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri. Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah: a. Memencet hidung b. Pemasangan tampon anterior dan posterior c. Kauterisasi d. Ligasi (pengikatan pembuluh darah)

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997. 2. Mangunkusumo E, wardani RS. Epistaksis. In:Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Keenam ed. Jakarta FKUI, 2007; 155-160.

20

3. Corry JK, Timothy C. Management of Epistakxis, 2005. Diakses pada tanggal 2 september 2013 dari http://www.aafp.org/afp/20050115/contents.html 4. American academic of otolaryngology head and neck surgery. Diakses pada tanggal 2 september 2013 http://www.entnet.org/HealthInformation/Nosebleeds.cfm 5. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19. Diakses pada tanggal 2 september 2013 dari http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784 6. Soetjipto D, dkk. Hidung. In:Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Keenam ed. Jakarta FKUI,2007;118-122 7. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007 Nov 28. Diakses pada tanggal 2 september 2013 dari http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment 8. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007 Feb 2. Diakses pada tanggal 2 september 2013 dari: http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistaxis.aspx

21

Anda mungkin juga menyukai