Anda di halaman 1dari 23

PORNOGRAFI DAN TEKNOLOGI

(Komodifikasi dan Pembatasan Akses Pada Materi Bermuatan Pornografi) 1


Oleh: Agus Raharjo 2

A. Pendahuluan Seorang filosof China Lao Tze berujar, Tubuh, pikiran dan jiwa itu satu, ketika tubuh mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran dan menjiwainya, tubuh menjadi satu irama dengan alam, perbuatannya adalah murni dan tidak ada alasan untuk malu. Pernyataan ini menunjukkan bahwa keselarasan antara tubuh, pikiran dan jiwa itu membawa keharmonisan dalam tindakan atau perbuatan, sehingga perbuatan itu lebih bermakna. Politik

kebertubuhan Lao Tze menginginkan adanya persatuan dan kesatuan di antara ketiganya, agar segala perbuatan dari seseorang merupakan cermin dari apa yang dipikirkan dan dijiwainya. Dalam konteks ini, maka ketika tubuh tidak mengekspresikan lagi apa yang ada dalam pikiran dan tidak pula menjiwainya, maka ekspresi tubuh akan menggambarkan ketidakselarasan tersebut. Perlakuan terhadap tubuh atau politik kebertubuhan mengajarakan bagaimana melihat dan memperlakukan tubuh seseorang. Pada satu sisi

berdiri pendapat seperti apa yang dikatakan oleh Lao Tze, dan di sisi lain berdiri pendapat yang hanya ingin mengeksploitasi satu sisi saja dari manusia, yaitu tubuh dengan mengeyampingkan pikiran dan jiwa dari si pemilik tubuh. Politik kebertubuhan Lao Tze tak berarti meniadakan moral, karena dapat terjadi apa yang diekpresikan oleh tubuh dan pikiran serta dijiwainya dalam pandangan orang lain justru merupakan perbuatan tidak bermoral. Inilah

makna bahwa manusia merupakan mahluk sosial, sehingga segala perbuatannya tak lepas dari tatanan nilai, norma, aturan dan juga hukum yang mendukung tercapainya tata tertib dalam masyarakat.

Materi kuliah ke 5 mata kuliah cybercrime pada Jurusan Teknik Informatika, Fak. Sains dan Teknik Unsoed Purwokerto Dosen Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto.

2 Politik kebertubuhan yang hanya menonjolkan tubuh atau

mengeksploitasinya, memperlakukan tubuh sebatas nilai guna bagi si pemilik tubuh maupun bagi rezim ekonomi yang memandang tubuh sebagai sebuah komoditas. Gambaran mengenai nilai guna tubuh hanya bagi kepentingan ekonomis pemiliknya terlihat dari makna yang muncul dari kata pornografi. Pornografi yang secara etimologis berarti ungkapan atau tulisan mengenai pelacur atau deskripsi mengenai perbuatan para pelacur menggambarkan nafsu rendah yang dieksploitir dengan tujuan atau sebagai alat untuk menarik minat lawan jenis. Politik kebertubuhan yang memandang tubuh sebagai sebuah komoditas menemui titik temu dengan kapitalisme yang menjadikan tubuh sebagai sebuah produk dengan bingkai yang lebih menarik. Pada sisi ini, tubuh dieksploitasi untuk menggugah dan membangkitkan nafsu dan selera lawan jenis. Dengan bantuan teknologi maka muncul produk-produk yang lebih variatif, sehingga muncul variasi baru pornografi baru yaitu pornoaksi, pornomedia, pornoteks, pornosuara (partyline), cyberporn, cybersex,

teledildonic, virtual sex dan sebagainya.

Munculnya produk-produk itu

memberikan pilihan bagi konsumen untuk memilih produk mana yang tepat. Dalam dunia bisnis, nafsu seksual merupakan komoditas yang tak habis ditekan inflasi, sehingga akan tetap memberi keuntungan bagi pelaku bisnisnya. Tulisan ini akan menguraikan mengenai keterkaitan antara teknologi dan pornografi, di mana produk dan penyebaran pornografi mencapai titik kulminasinya ketika bersatu dengan teknologi. Di tangan kapitalisme,

teknologi berkembang sebagai upaya pemenuhan hasrat atas keinginan dengan mengeksploitasi tubuh manusia sebagai sebuah komoditas. Hasrat itu pun menerjang batas teritorial melalui teknologi informasi dan batas-batas hukum yang mengatur akses terhadap materi yang bermuatan pornografi. Bagian akhir dari tulisan ini akan menguraiakan mengenai upaya hukum untuk mengurangi dampak buruk penyebaran pornografi melalui pembatasan akses yang diatur dalam berbagai perundang-undangan yang mencerminkan pula tingkat perkembangan teknologinya.

3 B. Pornografi dan Politik Kebertubuhan Ada pandangan yang berat sebelah mengenai persoalan pornografi. Perempuan selalu dijadikan objek yang utama dalam penggambaran materi yang bermuatan pornografi, padahal tak sedikit pula laki-laki yang menjadi lebih tepatnya pasangan dalam materi pornografi tersebut. Budaya patriarki pada masyarakat kita menempatkan dominasi laki-laki di atas perempuan, sehingga posisi perempuan menjadi tersubordinasi dan selalu menjadi objek dan korban yang dapat dieksploitasi. Tubuh seorang perempuan dalam tatapan masyarakat patriarki diberi makna tertentu yang secara kultur sebagai seks semata-mata. Tubuhnya berarti seks, semua yang ada pada tubuhnya itu hanya memiliki satu makna: seks. Representasi dalam semua genre pornografi, hard-core, softcore, iklan sampai estetika, sebenarnya memiliki struktur tetap yang bisa kita lihat pada kehadiran terus menerus sebuah unsur dari praktek representasionalnya: objek perempuan, dan sebuah faktor lain yang juga selalu ada, yakni subjek laki-laki sebagai produser dan konsumen pornografi, apapun bentuk representasinya. Objektivikasi perempuan di dalam pornografi adalah hasil dari subjektivikasi laki-laki. Selain mengobjektivikasi perempuan, representasi-representasi

pornografi juga mendegradasi diri perempuan (Syarifah, 2006: 139-141). Pandangan subjektivitas laki-laki terhadap objektivitas perempuan di dukung oleh keadaan alamiah perempuan, di mana hampir setiap tubuh perempuan merupakan sebuah misteri karena merupakan aurat. Ketika misteri itu tertutup rapat, maka akan memberikan keagungan dan keanggunan pada perempuan itu, akan tetapi ketika misteri itu terbuka meski hanya sedikit, apalagi keseluruhan maka akan memberikan rasa penasaran atau hasrat pada laki-laki yang melihatnya. Ketika aurat terkuak apalagi jika dijadikan

konsumsi publik - maka luruhlah keagungan dan keanggunan yang ada perempuan itu. Aurat sendiri berasal dari kata aura-un yang berarti keji, ini berarti menutup aurat akan menghindari kekejian dan membuka aurat berarti mengundang kekejian. Secara etimologis, pornografi berarti penggambaran ungkapan atau tulisan mengenai perbuatan para pelacur. Istilah ini disamakan dengan

4 pencabulan (obscence/lewd) atau lascivious (yang menimbulkan nafsu birahi). Pornografi berarti pula penggambaran mengenai nafsu rendah atau ungkapan atau tulisan yang dapat menimbulkan atau membangkitkan nafsu rendah. Dikatakan nafsu rendah, tak lain dan tak bukan karena penyaluran nafsu itu tidak ditempatkan pada tempat yang tepat atau halal. Pornografi bersifat relatif, bahkan dalam lingkungan suatu bangsa sendiri, terjadi lagi variasi pengertian pornografi itu, misalnya antara suku Aceh dan Bali, Minahasa dan Bugis terjadi perbedaan yang mencolok sekali. Dalam kasus pornografi, kecermatan dan imajinasi para hakim akan diuji (Hamzah, 1987). Ini merupakan salah satu kesulitan dalam menentukan batasbatas larangan pornografi, dan ini tak hanya terjadi di Indonesia saja (lihat Akdeniz, 1997; Guinn, Pornography: Driving The Demand in International Sex Trafficking, http://ssrn.com/author=199608, diunduh pada 23 Maret 2007, pukul 12.30 wib). Dari kesulitan untuk mendefinisikan secara pasti arti pornografi, ada upaya untuk membagi definisi pornografi menjadi tiga sebagaimana dikemukakan oleh Marra Lanot (dalam Aripurnami, 1994). Pertama,

definisi pornografi dari sudut pandang konservatif yang menganggap semua penggambaran telanjang adalah pornografi. Pandanan kaum konservatif ini biasanya dapat dijumpai pada pemuka agama atau ulama, termasuk Pemerintah Indonesia yang berupaya mengurangi dampak negatif pornografi dengan melakukan sensor terhadap produk-produk yang bermuatan pornografi dan membuat peraturan larangan pornografi. Kedua, definisi pornografi berdasarkan pendekatan liberal.

Pendekatan ini didukung oleh para penulis dan seniman yang melakukan visualisasi atas karya-karyanya, seperti pelukis, pembuat film. Menurut

mereka pornografi adalah sesuatu yang baik-baik saja karena merupakan aspek seksualitas kita. Mereka juga beranggapan bahwa seks itu manusiawi dan kita tidak bisa menghilangkan seks dari kehidupan kita. Para seniman, model atau artis yang berpose polos di depan kamera, berdalih bahwa foto atau filmnya mengandung keagungan dan keindahan sensualitas, akan tetapi mereka lupa bahwa ketika foto atau film kebugilan mereka menjadi komoditas

5 media masaa, maka foto atau film itu akan terikat dengan tanda (sign) dan kode (code) semiotika dan konvensi sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Tanda dan kode semiotika dan konvensi sosial ini mengatur makna yang dapat atau tidak dapat diterima secara sosial (Piliang, 1999: 4; 2003: 247-251). Ada dua pandangan mengenai seni dan estetika yang dapat dipakai untuk memahami masalah pornografi. (nude) Konsep dan estetika kebugilan modernis (naked).

membedakan

antara

ketelanjangan

Ketelanjangan tidak menonjolkan aspek seksual serta sensual tubuh, melainkan apa yang disimbolkan, misalnya kesuburan dan kelembutan pada tubuh perempuan. Kebugilan merupakan gambaran dari tubuh yang polos yang telah mendapatkan makna sosial sehari-hari, seperti pembangkit birahi, komoditas yang dijual dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, karya seni modernis bernuansa ketelanjangan digolongkan sebagai seni murni (high art), dan hanya dapat dipahami serta dinikmati keindahannya dengan pengalaman estetik yang mendalam. Pengalaman semacam ini, tidak diperlukan untuk berdialog dengan kebugilan yang dikategorikan sebagai bagian dari seni pop, sebuah bentuk seni yang menjadi bidang subur untuk bersemayamnya pornografi. Berdasarkan alasan ini, para pekerja seni modernis tidak

menginginkan pornografi ditempatkan sebagai bagian dari seni dan estetika, karena arti muatan dari pornografi sebagai seni pop memang berbeda dengan seni murni (Rasuanto, 1999: 4). Sementara itu, estetika pasca-modernis menekankan seni tak dapat dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, seperti ekonomi, politik dan sosial. Apakah seni adalah murni atau pop, keduanya sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi masyarakat. Masalahnya

bukan merumuskan seni atau keindahan itu apa, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita, artinya, apakah sesuatu dapat disebut seni atau bukan seni, tidak ditentukan oleh kriteria objektif, melainkan oleh sebuah ideologi politik yang dominan dan yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni. Estetika pasca modernis melihat pornografi sebagai eksploitasi dan merendahkan martabat perempuan. Jadi di

6 lihat dari kedua sudut pandang, pornografi bukan masalah seni atau estetika, melainkan etika (Rasuanto, 1999: 4; Syarifah, 2006: 7-8). Termasuk dalam barisan pendukung pendekatan liberal ini adalah golongan feminis pro pornografi atau kaum libertarian seksual. Para

libertarian seksual merumuskan pornografi sebagai revolusi pembebasan individu, apapun jenis kelaminnya dan berapapun usianya, dari represi seksual yang telah berlangsung sekian abad lamanya. Argumennya adalah tak ada pertimbangan moralitas umum yang dapat dipakai untuk membenarkan pelanggaran terhadap hak individual. Mereka menampik mewacanakan

pronografi dalam konteks isu perempuan, melainkan sebagai sebuah isu sosial dalam lingkup yang sangat luas (Syarifah, 2006: 19-20). Kaum libertarian seksual berpendapat bahwa perempuan telah lama mengalami diskriminasi untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan

pribadinya dalam bidang seksual. Kaum ini memahami sikap anti pornografi yang diperlihatkan kalangan feminis sebagai hal yang ironis. Pada satu sisi para feminis menyatakan kepeduliannya terhadap realisasi hak-hak perempuan dalam kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat, berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik, akan tetapi di sisi lain, mereka mengekang, menindas, ekspresi-ekspresi itu dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap hak-hak perempuan juga (Strossen, 1995: 30). Bagi kaum ini, tuntutan untuk memberangus pornografi adalah alat ampuh dalam mengekang hak-hak dan kepentingan-kepentingan perempuan, mengingkari kebebasan perempuan untuk melakukan dan menentukan sendiri pilihan-pilihan seksualnya, termasuk merugikan kepentingan-kepentingan perempuan yang secara sukarela bekerja dalam sektor industri seks. Tuntutan memberangus pornografi berarti menganggap perempuan tidak mampu menerapkan kebebasannya, setidak-tidaknya, sejauh seks dan ekspresi seksual terkait. Kebebasan seksual dan kebebasan berekspresi yang eksplisit secara seksual merupakan aspek-aspek esensial dari kebebasan manusia, maka melakukan sensor terhadap hal-hal tersebut akan menghapuskan hak-hak manusia secara lebih luas (Syarifah, 2006: 163).

7 Menurut kelompok ini, skema penghapusan pornografi yang dipegang kaum feminis hanya berlandaskan pada satu pemikiran tentang keuntungan yang spekulatif, sementara akibat-akibat negatif yang substansial dari penghapusan pornografi tidak dapat mengimbangi keuntungan-keuntungan substansial apapun. Hal ini menyebabkan feminis bukan hanya menentang keras pandangan-pandangan anti-pornografi, tapi juga segala upaya yang ditujukan untuk menghapuskan pornografi (Syarifah, 2006: 163-164). Ketiga, definisi yang muncul dari pendekatan feminis yang muncul di tahun 1970-an dan 80-an sebagai bagian dari gelombang kedua gerakan feminis dan gerakan kebebasan seksual. Bagi para feminis, ketelanjangan adalah sesuatu yang biasa saja sepanjang hal itu berada dalam konteks keindahan dan merupakan satu kesatuan arti. Feminis seperti Catharine A. MacKinnon (1985: 1-70) dan Diana Russell (1977: 11-15) menyerang pornografi sebagai eksploitasi dan penindasan terhadap perempuan, Pornografi

memperlakukan mereka sebagai objek kontrol laki-laki.

merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap hak-hak sipul perempuan dan harus dilawan (Dworkin, 1988). Bagi feminis, pornografi adalah presentasi baik secara verbal maupun gambar dari perilaku seksual yang merendahkan atau kasar dari satu atau lebih pelaku. Selanjutnya dijelaskan bahwa pornografi adalah ideologi dari budaya yang mengangkat dan memaafkan perkosaan dan tindak kriminal lain yang ditimpakan kepada perempuan dan anak-anak. Pornografi berkaitan dengan hak asasi dan aspek-aspek sosial, politik, serta ekonomi. Pornografi adalah salah satu bentuk pelanggaran hak-hak asasi kaum perempuan sekaligus merupakan reduksi kekerasan terhadapnya. Ada tiga argumen yang sering digunakan untuk saling menyangkutkan kebenaran dari hubungan sebab-akibat antara penghapusan pornografi dan reduksi kekerasan terhadap perempuan. Pertama, sikap terbuka terhadap

imaji-imaji yang seksis, sarat dengan kekerasan, berarti bisa mendorong orang ke arah perilaku yang seksis dan kekerasan. Kedua, pemberangusan yang efektif terhadap pornografi akan secara signifikan mereduksi eksposur imaji yang seksis dan brutal. Ketiga, sensor dengan efektif dapat menghapuskan

8 atau mengurangi pornografi. Asumsi yang melandasi ketiga premis feminis ini adalah tak ada bukti bahwa pornografi tidak merugikan. Berdasarkan asumsi ini maka kebebasan berekspresi secara seksual melalui pornografi akan terhempas, dan begitu juga kebebasan seksual jenis apapun lainnya, karena tanggung jawab untuk membuktikan bahwa pornografi memang merugikan, dibebankan secara aktual kepada mereka yang berusaha menikmati kebebasan seksualnya (Syarifah, 2006: 167-168). C. Komodifikasi Materi Pornografi Materi pornografi berkembang dari waktu ke waktu. Sejak Publius Ovidius menyampaikan karya bermuatan pornografi dalam bentuk syair; relief-relief dan patung-patung yang bersifat cabul di Candi Sukuh, karya sastra Serat Centhini, sampai kepada bentuknya yang sekarang seperti dalam VCD, film maupun mikro film, merupakan penggambaran dari perkembangan teknologi yang menjadi medium penyampai sekaligus pendokumentasiannya. Ada beberapa argumen untuk menjelaskan bagaimana materi yang bermuatan pornografi dapat disebarluaskan dan demikian pula dengan perkembangan pengaturannya. Argumen pertama didasarkan pada revolusi dalam sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi pengetahuan umat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Stevan Harnad (Steven Harnad, Post-Gutenberg Galaxy: The Fourth Revolution in the Means of Production of Knowledge, Public-Access Computer System Review 2 (1): 3953, http://cogprints.org/1580/00/harnad91.postgutenberg.html, diunduh

tanggal 23 Agustus 2003 pukul 20.30 wib; dan Mahayana, 2000: 24 25). Revolusi pertama terjadi ketika bahasa muncul untuk pertama kalinya ribuan tahun yang lalu, revolusi kedua berupa ditemukannya tulisan. Guttenberg dengan mesin cetaknya memulai revolusi ketiga dalam sejarah tool konstruksi pengetahuan manusia. Kini kita memasuki revolusi keempat dimana tulisan dapat didistribusikan dengan kecepatan amat luar biasa, yang dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas (borderless way of thinking). Argumen kedua berkaitan dengan cara bagaimana manusia

berkomunikasi atau mengkomunikasikan hasil pemikirannya. Manusia sesuai dengan tingkat peradabannya melakukan komunikasi dengan berbagai

9 peralatan yang tersedia. Menurut Everett M. Rogers dalam hubungan

komunikasi di masyarakat, dikenal empat era komunikasi, yaitu era tulis, era media cetak, era media telekomunikasi dan era media komunikasi interaktif. Era media komunikasi interkatif ini ditandai dengan adanya komputer, videotext, teletext, teleconferencing dan sebagainya (Rogers, 1986: 25; Bungin, 2003: 1). Sayling Wen menggambarkan perkembangan teknologi informasi menjadi beberapa bagian, yang didasarkan pada pemanfaatan informasi itu sendiri dan tingkat peradaban yang ada pada masing-masing jaman. Kategori pertama adalah media sebagai sarana komunikasi antar pribadi. Pada kategori ini kita dapat menjumpai ada enam media, yaitu suara, grafik, teks, musik, animasi dan video. Kategori kedua adalah media penyimpanan, di mana

dijumpai enam media, yaitu buku dan kertas, kamera, alat perekam, kamera film dan proyektor, alat perekam video dan disk optikal. Kategori ketiga adalah transmisi media. Pada kategori ini kita jumpai komunikasi, penyiaran dan jaringan yang memudahkan manusia untuk menyampaikan, menyimpan dan mentransmisikan informasi yang dibutuhkan (Wen, 2003: 15-86 dan 92). Manusia bukanlah mahluk yang dapat begitu saja dipuaskan dengan teknologi, apalagi yang terkait dengan perasaan ataupun kepuasan batin. Untuk itulah diperlukan teknologi yang dapat memuaskan hasrat manusia akan hal-hal yang bersifat immaterial, misalnya aroma, rasa dan sentuhan. Teknologi di masa depan menurut Wen memungkinkan keinginan manusia itu terpenuhi jika kombinasi komputer, jaringan serta bioteknologi dapat menciptakan lebih banyak media penyimpanan peralatan transmisi dan platform media, sehingga dimungkinkan berkomunikasi lewat aroma, rasa dan sentuhan (Wen, 2003: 104). Semua bentuk perkembangan teknologi itu mewarnai bentuk-bentuk atau produk yang bermuatan pornografi. Pengalaman seksual seseorang

sekarang dapat ditransmisi ke alam virtual yang akhirnya dapat dinikmati bersama dengan orang lain. Inilah yang dinamakan trading reality, di mana realitas yang ada di alam nyata ditransmisi ke alam virtual, dan siapa saja yang hendak mengakses harus membayar sejumlah uang tertentu. Jika ramalan

10 Wen mengenai teknologi di masa mendatang benar, maka kita dapat memilih lawan jenis menurut aroma dan rasa yang kita mau. Perkembangan teknologi itu membawa bentuk-bentuk baru dari pornografi, yang oleh Burhan Bungin diidentifikasikan menjadi pornoaksi, pornomedia, pornoteks dan pornosuara. Pornoaksi merupakan penggambaran aksi gerakan tubuh, penonjolan bagian-bagian tubuh yang dominan memberi rangsangan seksual, sampai dengan aksi mempertontonkan payudara dan alat vital yang tidak disengaja atau disengaja, untuk membangkitakan nafsu seksual bagi yang melihatnya. Pornomedia adalah aksi-aksi subjek-objek

seskuat yang dipertontonkan secara langsung dari seseorang kepada orang lain sehingga menimbulkan rangsangan bagi seseorang. Pornomedia ini

merupakan realitas porno yang diciptakan media, seperti gambar dan teks porno yang dimuat di media cetak, film porno (baik dalam bentuk VCD, DVD, film yang dapat didownload pada handphone), cerita porno melalui radio, provider telepon maupun melalui internet (cyberporn, cybersex) (Bungin, 2001: 6-7). Pornoteks merupakan karya porno yang ditulis sebagai naskah cerita atau berita mengenai berbagai versi hubungan seksual, dalam berbagai bentuk nnarasi, konstruksi cerita, tertimonial atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, termasuk cerita porno dalam buku-buku komik sehingga pembaca merasa seakan-akan menyaksikan sendiri, mengalami atau menyaksikan sendiri peristiwa hubungan seks itu. Pornosuara dapat berupa suata, tuturan, kata-kata dan kalimat yang diucapkan seseorang, yang langsung atau tidak langsung, bahkan secara halus atau vulgar melakukan rayuan seksual, suara atau tuturan tentang objek seksual atau aktivitas seksual melalui telepon (partyline) dan saluran komunikasi lain. Semua bentuk-bentuk empiris itu menimbulkan rangsangan atau fantasi seksual terhadap objek yang digambarkan itu (Bungin, 2001: 6-7). Bisnis seksual atau bisnis yang bermotif seksual seperti pornografi merupakan bisnis yang kebal terhadap inflasi ekonomi, hal ini terjadi karena komoditas yang diperjualbelikan dibutuhkan semua orang. Bagi budaya

patriarki, kata kunci dalam bisnis itu adalah perempuan, yang hampir seluruh

11 bagian tubuh dapat dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi (Marcus, 1981: 78-79). Di tangan para kapitalisme yang didukung dengan perkembangan teknologi sebagaimana tesebut di atas bisnis ini mencapai bentuknya yang sempurna sebagai mesin uang. Yasraf Amir Piliang (2004: 361-396; 2002: 1; dan 1999: 45-47), menyebutkan bahwa tubuh perempuan di dalam budaya kapitalisme tidak saja dieksplorasi nilai gunanya (use value) umpamanya sebagai pekerja, perempuan yang dilacurkan, pelayan; tetapi juga nilai tukarnya (value exchange), seperti perempuan model, hostess, dan kini nilai tandanya (sign value) seperti pornografi, seni erotis, video erotis, situs porno, cyberporn. Maka, tubuh perempuan telah menjadi politik tubuh dalam ekonomi politik dan budaya kapitalisme, tentu dengan segenap potensi dan nilai ekonomi yang dimilikinya, bahkan dikatakan oleh Bartow (2008: 102) sebagai a dominant industrial force that has driven the evolution of the internet. Menurut Piliang, kita bisa mengenali keberadaan politik tubuh ini dalam tiga tingkatan. Pertama, ekonomi-politik tubuh (political-economy of the body), menyangkut masalah bagaimana tubuh digunakan di dalam kapitalisme, berdasarkan konstruksi sosial, atau ideologi kapitalisme, berdasarkan konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme (dan, partriarki). Persoalannya di sini adalah sejauh mana eksistensi tubuh perempuan secara fisik, dieksplorasi ke dalam berbagai bentuk komoditi. Hal ini melukiskan eksistensi tubuh perempuan sebagai fenomena dunia fisik yang ditempatkan dalam kerangka mistifikasi sosialnya. Kedua, ekonomi politik tanda tubuh (political economy of the body of signs), berfokus pada bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda di dalam sistem pertandaan kapitalisme. Sistem pertandaan ini membentuk citra, makna dan identitas diri perempuan di dalamnya. Persoalan politik tanda ini berhubungan dengan eksistensi tubuh perempuan sebagai tanda dan citra yang diproduksi di dalam berbagai media kapitalistik, misalnya televise, radio, musik, Koran, komik, internet, fashion, benda-benda konsumsi dan sebagainya. Ketiga, ekonomi politik

hasrat (political economy of desire), bagaimana potensi birahi perempuan menjadi ajang eksploitasi ekonomi. Artinya, bagaimana potensi itu

12 disalurkan, digairahkan, dikendalikan, atau bahkan dijinakkan di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang menyertai produk komoditi. Dukungan kapitalis dalam pengembangan teknologi penyimpan dan penyampai materi pornografi serta kekuatannya untuk mengarahkan ekonomi politik yang ada pada tubuh (perempuan) merupakan kekuatan yang dahsyat dalam menentukan arah perkembangan moral dan identitas suatu bangsa. Mesin-mesin hasrat yang telah diciptakannya telah menyerbut tatanan moral masyarakat sehingga batas antara yang tabu dan yang sakral, yang bermoral dan amoral, menjadi tidak jelas. Ketika ketidakjelasan batas itu dibiarkan, maka tatanan moral yang ada pada masyarakat akan runtuh dan diganti dengan tatanan moral baru yang mentolerir bentuk-bentuk eksploitasi perempuan. D. Upaya Pemerintah Dalam Membatasi Akses Pada Materi yang Bermuatan Pornografi Pornografi merupakan topik yang kontroversi, terutama dengan munculnya media baru, yaitu Internet sehingga memunculkan moral panic di antara lembaga peradilan, pemerintah dan media tradisional (Benschop, Albert, 2003, Pornography in Cyberspace, Internet Hornification and Cyber Sexual Obsesions, http://www.sociosite.net/topics/pornography.htm, diunduh pada 26 Agustus 2006, pukul 10.16 wib; dan Akdeniz, 1997). Kepanikan ini menyebabkan berbagai negara membatasi akses, bahkan melarang peredaran materi yang mengandung pornografi. Akan tetapi karena tidak ada kesatuan pendapat mengenai definisi pornografi secara internasional (terutama mengenai ukuran moral, budaya dan variasi pengaturan), maka sulit untuk menentukan materi pornografi seperti apa yang dapat dijadikan sebagai ukuran yang pasti bagi masyarakat global. Sub judul di atas mengisyaratkan bahwa pornografi bukanlah sesuatu yang dilarang, akan tetapi dibatasi peredarannya. Pembatasan peredaran

pornografi disangkutpautkan dengan kekhawatiran akan dampak negatif yang melekat pada pornografi. Pornography is bad because it is violence and oppression dan pornography is absolutely bad by religious commandement or other rule arising from amorality of prohibition, demikian argumen mereka yang menganggap pornografi sebagai kejelekan. Pornografi dalam hal ini

13 lebih tepat dikatakan sebagai kecabulan (obscenity) yang akan membawa lima korban, yaitu minors, unsuspecting viewers, women put at risk of violence or discrimination, pornography users, and all of us (Mackinnon dan Blumen, 1995, Is Pornography Bad?, http://www.spectacle.org/Is_Pornography_Bad. html, akses tanggal 28 Mei 2003 pukul 13.15 wib). Di sisi lain, pornography must be tolerated for free speech reasons dan pornography is good, liberating, allows us to grow as sexual beings. Pada sisi ini pornografi dianggap membawa kebaikan-kebaikan sebagaimana

dikemukakan oleh Stossen dan McElroy (dalam Mackinnon dan Blumen, 1995), karena: a. it provides women with sexual information b. it strips away the real world confusion about sex c. it breaks cultural and political stereotypes, allowing women to interpret sex for themselves d. it is the great leveler of shame e. it is sex therapy. Meski pornografi membawa kebaikan dan keburukan, akan tetapi pembatasan terhadapnya tak dapat disamakan di tiap wilayah, karena pornografi sendiri bersifat relatif, artinya tergantung pada ruang, waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaan suatu bangsa. Pembatasan pornografi bagi kelompok yang anti pornografi berkaitan dengan persoalan moral, ahlak, sopan santun umum, rasa susila, disintegrasi sosial. Wacana ini melihat

pornografi dalam konteks pelecehan terhadap kesakralan dari prinsip-prinsip prokreasi serta privatisasi maupun personalisasi hubungan seks. Seks dalam pornografi telah dijadikan seks publik yang tujuannya semata-mata untuk mengisi kebutuhan rekreasi. menganggap seks telah Dalam status seks publik, wacana ini nilai-nilai adilihungnya, karena

kehilangan

disekularisasi oleh pornografi, akibatnya seks menjadi mesum, cabul, jorok, tidak senonoh dan menjijikkan. Gambaran tentang seks seperti inilah yang disodorkan pornografi ke tengah kehidupan orang banyak, seks yang merusak moral orang banyak dan berdampak pada disintegrasi sosial (Syarifah, 2006: 18).

14 Bagi mereka yang tidak setuju dengan pembatasan kelompok pro pornografi justru mendukung sekularisasi seks untuk hiburan yang merangsang birahi. Wacana-wacana ini tidak berkepentingan terhadap

stigma-stigma moral, mesum, cabul, jorok dan sebagainya. Dengan dalih kebebasan individu untuk berkehendak dan berekspresi, mereka memiliki pembenarannya sendiri untuk membentengi sikap pro pornografi yang dianutnya. Oleh sebab itu, bukan pandangan yang keliru, kalau orang Para

mengatakan bahwa pornografi mempunyai pangsa pasarnya sendiri.

konsumennya akan selalu berusaha mencari dan membeli hiburan seks tersebut. Ada semacam kebutuhan ego dalam diri mereka yang hanya bisa dipuaskan melalui kenikmatan-kenikmatan seks yang dipresentasikan dalam pornografi (Syarifah, 2006: 18-19). Hukum merupakan salah satu bentuk pembatasan yang paling nyata terhadap pornografi. Dalam konteks hukum negara, kita memiliki beberapa perundang-undangan yang melarang pornografi. Pembatasan yang paling

umum ada pada Pasal 282, 283, 532 dan 533 KUHP. Kemudian pembatasan terhadap pornografi dan pornoaksi yang ditujukan kepada pers diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13 huruf a UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, sedangkan Pasal 13 huruf a melarang perusahaan iklan memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau menganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. Pembatasan pornografi bagi media yang menggunakan spektrum frekuensi radio, termasuk televisi di atur dalam Pasal 36 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 36 ayat (5) menentukan bahwa isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Dalam bidang perfilman, film yang mengandung muatan pornografi tak akan lolos sensor dan dilarang untuk diedarkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perfilman. Pasal 40 menentukan bahwa

15 Dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta): a. Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan, dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau b. Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan, dan/atau menayangkan potongan film dan/atau suara tertentu yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimakud dalam Pasal 33 ayat (6); atau c. Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan, dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1). Larangan ini dipertegas dengan adanya PP No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film yang bertugas memotong atau menghapus dalam suatu film atau reklame film yang mengandung muatan pornografi (Pasal 19 ayat (3)). Pasal tersebut menentukan antara lain Bagian-bagian yang perlu dipotong atau dihapus dalam suatu film dan reklame film dinilai dari segi sosial budaya, yaitu: a. Adegan seorang pria atau wanita dalam keadaan atau mengesankan telanjang bulat, baik dilihat dari depan, samping, atau dari belakang; b. Close up alat vital, paha, buah dada, atau pantat, baik dgn penutup atau tanpa penutup; c. Adegan ciuman yang merangsang, baik oleh pasangan yg berlainan jenis maupun sesama jenis yang dilakukan dengan penuh birahi; d. Adegan, gerakan atau suara persenggamaan atau yang memberikan kesan persenggamaan, baik oleh manusia maupun oleh hewan, dalam sikap bagaimanapun, secara terang-terangan atau terselubung; e. Gerakan atau perbuatan onani, lesbian, homo atau oral sex; f. Adegan melahirkan, baik manusia maupun hewan, yang dapat menimbulkan birahi. Pengaturan mengenai pembatasan pornografi terus berkembang, dan belum lama ini telah disahkan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam undang-undang tersebut (Pasal 27 ayat (1) mengatur larangan bagi setiap orang untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Belum lama ini Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 44

16 Tahun 2008 tentang Pornografi. Undang-undang ini merupakan undang-

undang khusus sehingga cakupannya lebih luas dibandingkan dengan undangundang terdahulu. Akan tetapi jika dibandingkan dengan RUU Pornografi dan Pornoaksi, materi yang ada pada UU Pornografi masih lebih sempit cakupannya. Ada beberapa materi yang diperdebatkan oleh aktivis perempuan dan terutama warga negara yang terancam dengan adanya UU Porngrafi itu. Dalam Pasal 1, disebutkan bahwa gambar gerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh atau pesanlainnya yang memuat kecabulan atau eskploitasi seksual masuk dalam pengertian pornografi. Para aktivis perempuan

menganggap bahwa kata-kata tersebut di atas sudah termasuk dalam pengertian pornoaksi, padahal undang-undang itu berjudul pornografi sehingga seharusnya tidak memuat materi pornoaksi. Jika kita melihat arti asli pornografi, pornoaksi tidak termasuk dalam pengertian pornografi, sedangkan jika dilihat secara lebih luas dengan melihat dan mempertimbangkan pada perkembangan makna pornografi, maka pornoaksi termasuk dalam pengertian pornografi. Perluasan arti pornografi pada undang-undang ini juga lebih luas dengan memasukkan larangan dilakukannya pornografi anak, hal yang diatur dalam perundang-undangan sebelumnya. Ada hal yang kontradiktif dalam pengaturan pornografi, terutama konsistensi antara Pasal 2 dan Pasal 3 huruf b. Pasal 2 menegaskan bahwa pengaturan pornografi berasaskan (salah satunya) kepastian hukum. Asas ini mengandung konsekuensi bahwa para pelanggar undang-undang ini akan ditangkap dan diadili dengan undang-undang ini tanpa pandang bulu. Akan tetapi melihat kenyataan masyarakat Indonesia yang plural, hal itu tak dapat sepenuhnya dilakukan. Beberapa daerah di negara ini masih memelihara

budaya yang menganggap memperlihatkan aurat adalah hal yang biasa sehingga bagi mereka hal yang demikian tidak menimbulkan nafsu syahwat. Pasal 3 huruf b menyatakan bahwa pemerintah akan menghormati, melindungi dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Jika ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 huruf b dihadapmukakan, maka terjadi kontradiksi, dan jika Pasal 2 diterapkan

17 secara konsekuen, maka seni, budaya, adat isitiadat maupun ritual keagamaan yang menonjolkan aurat tubuh manusia akan musnah. Ketentuan ini yang kemudian menimbulkan anggapan bahwa pemerintah saat ini sedang berupaya untuk mensyariatkan negara, artinya syariat dalam agama tertentu yang melarang memperlihatkan aurat akan dijadikan sebagai landasan negara dalam menghalangi perkembangan seni, budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan yang ada di Indonesia. Dari berbagai peraturan yang melarang pornografi, dapat terlihat sampai sejauh mana pemerintah mengakomodasi perkembangan teknologi sebagai cara untuk membatasi akses pada muatan pornografi, di samping penggunaan istilah yang tidak baku dalam berbagai perundang-undangan. Jika kita melihat pada aturan umum dalam KUHP (Pasal 282), maka terlihat bahwa produk ini tercipta ketika konstruksi pemikiran manusia memasuki revolusi kedua dan ketiga (menurut Harnad), era tulis menurut Rogers dan kategori pertama dan kedua dari perkembangan teknologi informasi menurut Wen; yaitu ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg atau dikenal dengan Era Gutenberg. Sebagai akibatnya adalah rumusan pada pasal tersebut

terbatas pada penafsiran berupa hasil karya tulis, gambar atau benda yang disebarluaskan, ditunjukkan atau ditempelkan di muka umum. Penafsiran terhadap pasal ini belum menjangkau perkembangan teknologi selanjutnya, di mana era Gutenberg telah berakhir. Pengaturan pada UU Pers, UU Penyiaran, UU Perfilman, dan PP No. 7/1994 menunjukkan upaya pembatasan akses melalui teknologi telah memasuki era ketiga (menurut Harnad), era media cetak dan media telekomunikasi menurut Rogers, dan kategori kedua dan ketiga menurut Wen. Pada era ini, materi pornografi sudah dimodifikasi dalam berbagai bentuk baik tulisan maupun elektronik, mudah dibuat, disimpan dan disebarluaskan melalui transmisi media. Pengaturan selanjutnya (UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi) merupakan upaya untuk membatasi akses terhadap muatan pornografi yang telah meluas dan melintasi batas-batas usia, jenis kelamin, batas negara dan budaya yang disebabkan oleh perkembangan

18 teknologi informasi bernama Internet. UU No. 44/2008 melarang secara tegas jaringan internet digunakan untuk penyebaran materi pornografi (Pasal 18 dan Pasal 19), bahkan jika ketentuan ini dilanggar jaringan tersebut akan diputus. Namun apa daya, internet adalah dunia tanpa batas yang tak dapat dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah. Upaya Kementrian Komunikasi dan Informasi menyediakan software gratis untuk pemblokiran situs porno tak sepenuhnya berhasil. Situs porno tetap dapat dijumpai, bahkan semakin dilarang, semakin banyak bermunculan situs baru, bak cendawan di musin hujan, patah satu tumbuh seribu. Perkembangan Internet membuat perolehan materi pornografi dapat diperoleh dengan mudah, baik yang berupa tulisan, gambar, film (dengan berbagai variasinya), dan mudah pula disimpan dalam berbagai bentuk penyimpanan. Revolusi keempat yang dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas menurut Harnad, berimbas pula pada ungkapan atau produkproduk yang bermuatan pornografi yang dapat diungkapkan melalui berbagai cara dan dengan bantuan teknologi informasi dapat dimodifikasi sehingga menjadi sebuah komoditas yang mudah diperjualbelikan. Era media

komunikasi interaktif (seperti Internet) memungkinkan penawaran dan permintaan terhadap materi pornografi dapat diperoleh secara on line. Akan tetapi dengan menggunakan kategori Wen, kedua aturan tersebut di atas belum mencakup pada komunikasi lewat aroma, rasa dan sentuhan. Para ahli sampai sekarang masih mencari bagaimana menyajikan aroma, rasa dan sentuhan pada layar komputer, termasuk aroma, rasa dan sentuhan dari lawan jenis. Jika ini terwujud, dan materi pornografi masuk dalam ranah tersebut, maka akan semakin banyak pilihan bagi masyarakat dalam menikmati materi pornografi. Apakah undang-undang yang sudah ada dapat menjangkau Jika belum, maka kredo yang (tertatih-tatih) dengan

perkembangan teknologi yang demikian. menyatakan bahwa hukum selalu

tertinggal

perkembangan teknologi akan semakin terbukti kebenarannya. Perkembangan Internet yang demikian pesat membuat kontrol terhadap materi pornografi tak dapat dilakukan oleh pemerintah (melalui peraturan dan aksi lain) menjadi tidak maksimal. Pemerintah sendiri akhirnya

19 kewalahan untuk memblokir banyaknya situs porno yang setiap saat muncul. Keterbatasan kemampuan pemerintah dan mudahnya seseorang membuat situs porno menimbulkan pemikiran untuk melakukan Governance without Government (Benschop, 2003, Regulation of CyberPorn, Moral and Technological Filters, Social Control and Criminal Prosecution,

http://www.sociosite.net/topics/regulation_porno. htm, diunduh pada 26 Agustus 2006, pukul 10.16 wib), yaitu kontrol terhadap akses pornografi yang dilakukan oleh para pelaku di dunia maya (cyberspace). Inilah kesadaran yang mesti ditumbuhkan bagi para cyberis yang berpuncak pada selfregulation. Dari berbagai peraturan yang membatasi akses terhadap pornografi sebagaimana tersebut di atas, terlihat bahwa perkembangan peraturan tersebut tak dapat dilepaskan bahkan merupakan cermin dari perkembangan teknologi yang ada pada masanya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa persoalan

pornografi tidak melulu persoalan etika, moral, ekonomi, politik dan agama semata, akan tetapi juga merupakan persoalan teknologi. Teknologi

menjanjikan berbagai hal yang memudahkan manusia memecahkan persoalan sekaligus menjerumuskan manusia dalam jurang ketergantungan (Naisbitt, et.al., 2001: 23-59; Raharjo, 2007: 34-38). Inilah yang mesti dicegah agar teknologi dapat diambil manfaatnya dan menjauhi serta menghindari dampak negatifnya. Persoalan kedua berkaitan dengan penggunaan berbagai istilah pada peraturan tersebut di atas yang melarang akses atau penyebarluasan materi pornografi. Tidak ada keseragaman istilah yang digunakan untuk melarang penyebarluasan pornografi seperti pornografi, melanggar rasa kesusuilaan, cabul dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan di Amerika Serikat maupun Inggris. Meski secara kultural mereka memiliki rasa yang berbeda dengan kita, akan tetapi larangan terhadap pornografi lebih dibatasi pada apa yang disebut obscene (kecabulan) dan child pornography (pornografi anak). Larangan dalam peraturan yang begitu luas, dapat mengancam kebebasan ekspresi seseorang dan menghambat kreativitas. Inilah yang sampai sekarang di Amerika masih ramai diperdebatkan apakah pornografi termasuk yang

20 dilindungi atau tidak oleh First Amendment Konstitusi Amerika sebagai bagian dari free speech (Koppelmen, 2007: 1-23; 2005: 1635; Weinstein, 2007: 46). Hal ini berbeda dengan di negeri kita, di mana debat mengenai kebebasan ekspresi yang berkaitan dengan pornografi belum sampai pada taraf konstitusi. Semua pengaturan atau pembatasan ini hanya akan menjadi macan kertas jika tidak diikuti dengan pelaksanaan yang tegas. Lagi pula persoalan pornografi bukan hanya persoalan hukum semata, melainkan persoalan budaya pula selain politik, ekonomi, sosial dan agama. Sebagai persoalan budaya, maka batas antar budaya terus bergeser, sehingga di masa mendatang bukan tidak mungkin apa yang sekarang dikatakan pornografi di masa mendatang bukan lagi masuk kategori itu. Apakah para pembuat dan

pelaksana hukum sudah menjangkau ke arah sana. Demikian pula dengan teknologi, apakah aturan yang ada telah pula mengakomodasi perkembangan teknologi. Kenyataan inilah yang perlu diakomodasi, karena dalam ilmu

hukum berlaku kredo ilmu (hukum) adalah untuk kenyataan, bukan sebaliknya, kenyataan untuk ilmu. Apakah kenyataan yang ada di masyarakat akan diakomodasi atau akan mengakomodasi kenyataan yang dimanipulasi sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada.

E. Simpulan Politik kebertubuhan dan budaya patriarki membawa tubuh perempuan sebagai objek sekaligus komoditi yang diperjualbelikan dan membawa keuntungan ekonomis. Eksploitasi terhadap tubuh perempuan dalam bentuk pornografi mendapat perlawanan dari kaum konservatif dan feminis anti pornografi, akan tetapi, perlawanan yang begitu kuat dari para kapitalis, pelaku dan produser pornografi mampu mementahkan semua bentuk perlawanan itu. Hukum menjadi senjata bagi golongan anti pornografi dengan alasan sebagai penjaga moral bangsa. Pada sisi lain, hukum pun harus melihat kenyataan bahwa pornografi bukan sekadar persoalan hukum, sehingga hukumpun harus melihat realitas yang ada pada bidang lain itu untuk

21 menentukan batas-batas pornografi yang dapat ditolerir dan dibatasi, termasuk perkembangan teknologi yang semakin lama semakin supra. Pornografi

adalah penggambaran yang mengutamakan tubuh untuk membangkitkan nafsu birahi, padahal tubuh tidak lebih mulia dari indria. Khrisna dalam

Bhagavadgita (Swami Prabhupada, 1989) mengingatkan kepada kita semua jangan hanya mengutamakan gambaran tubuh, apalagi yang membangkitkan nafsu. Khrisna mengatakan, indria lebih tinggi daripada yang tanpa hidup, dan pikiran lebih mulia dari indria, orang pandai lebih mulia dari pikiran, dan jiwa lebih mulia dari kepandaian, maka renungkanlah tentang jiwa, coba renungkan, untuk muncul lebih tinggi dari tubuh, indria, pikiran dan kepandaian. Jika semua orang berfikir demikian, maka bagaimanapun

ekspresi seseorang (laki-laki maupun perempuan) yang menimbulkan nafsu birahi menjadi tak berarti dihadapan orang tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU
Bungin, Burhan; 2001, Erotika Media Massa, Surakarta: Muhammadiyah University Press; --------------------, 2003, Pornomedia, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta: Kencana; Hamzah, Andi; 1987, Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta: Bina Mulia; Mahayana, Dimitri, 2000, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, Bandung: Rosda; Marcus, Maria; 1981, A Taste for Pain: On Masochism and Female Sexuality, London: Souvenir Press Ltd.;

22
Nasibitt, John., Nana Naisbitt dan Douglas Philips. 2001. High Tech, High Touch, Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Bandung: Mizan; Raharjo, Agus, 2007, Hukum dan Teknologi, Suatu Tinjauan Filosofis dan Kritik Terhadap Positivisme Hukum, Semarang: BP Undip; Rogers, Everett M.; 1986, Communication Technology: The New Media in Society, London: The Free Press Collier Macmillan Publisher; Strossen, Nadine, 1995, Defending Pornography: Free Speech and the Fight for Womens Rights, New York: Scribner; Swami Prabhupada, Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta; 1989, Bhagavad-gita As It Is, The Bhaktivedanta Book Trust International; Syarifah, 2006, Kebertubuhan Perempuan Dalam Pornografi, Jakarta: Yayasan Kota Kita; Wen, Sayling; 2003, Future of the Media, Memahami Zaman Teknologi Informasi, Batam: Lucky Publishers; Yasraf Amir Pilian, 1999, Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme, Bandung: Mizan; -----------------------, 2003, Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial, Solo: Tiga Serangkai; -----------------------, 2004, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra;

JURNAL Bartow, Ann, 2008, Pornography, Coercion, and Copyright Law 2.0., Vanderbilt Journal of Entertainment and Technology Law, Vol. 10 No. 4; Harnad, Steven, Post-Gutenberg Galaxy: The Fourth Revolution in the Means of Production of Knowledge, Public-Access Computer System Review 2 (1): 39-53, http://cogprints.org/1580/00/harnad91.postgutenberg.html, diunduh pada tanggal 23 Agustus 2003 pukul 20.30 wib; Koppelmen, Andrew, 2007, Is Pornography Speech, Public Law and Legal Theory Series No. 07-08; --------------------------, 2007, Free Speech and Pornography: A Response to James Weinstein, 31 N.Y.U. Rev. of Law and Social Change; --------------------------, 2005, Does Obscenity Cause Moral Harm?, 105 Colum. L. Review 1635; MacKinnon, Catharine, 1985, Pornography: Civil Rights, and Speech, 20 Harvard Civil Rights-Civil Liberties Law Review; -------------------------- & Jonathan, Blumen, 1995, Is Pornography Bad?, http://www.spectacle.org/Is_Pornography_Bad. html, akses tanggal 28 Mei 2003 pukul 13.15 wib Russel, Diane E.H., 1977, On Pornography, 1 Chrysalis 11-15; Weinstein, James, 2007, Democracy, Sex, and The First Amendment, 31 N.Y.U. Rev. of Law & Social Change;

23
MAKALAH Akdeniz, Yaman, 1997, The Regulation of Pornography and Child Pornography on the Internet, Law Faculty, University of Leeds, http://www.leeds.ac.uk/law/pgs/yaman/yaman.htm, diunduh pada 16 Mei 2005, pukul 20.30 wib; Aripurnami, Sita; 1994, Pornografi Dalam Perspektif Perempuan, Makalah dalam Seminar Pornografi Dalam Perilaku Kriminal, UI Depok, 11 Februari Benschop, Albert, 2003, Pornography in Cyberspace, Internet Hornification and Cyber Sexual Obsesions, http://www.sociosite.net/topics/pornography. htm, diunduh pada 26 Agustus 2006, pukul 10.16 wib; -----------------------, Benschop, 2003, Regulation of CyberPorno, Moral and Technological Filters, Social Control and Criminal Prosecution, , http://www.sociosite.net/topics/regulation_porno. htm, diunduh pada 26 Agustus 2006, pukul 10.16 wib; Blumen, Jonathan, 1995, Is Pornography Bad?, dapat dijumpai di http://www.spectacle.org/Is_Pornography_Bad.html, akses tanggal 28 Mei 2003. Dworkin, Andrea & Catharine A. Mackinnon, 1988, Pornography & Civil Rights: A New Day For Womens Equality, Appendix D; Guinn, David E., Pornography: Driving The Demand in International Sex Trafficking, http://ssrn.com/author=199608, diunduh pada 23 Maret 2007, pukul 12.30 wib) Rasuanto, Bur, Pornografi, Soal Etika Bukan Estetika, Kompas, 9 Agustus 1999; Piliang, Yasraf Amir, Pornokitsch, Kompas, 28 Juli 1999; -----------------------, Perempuan dan Pornografi: Komodifikasi Perempuan Dalam Budaya Kapitalisme, Makalah pada diskusi publik Menguak Pornografi, kerjasama Institut Perempuan dan LBH Bandung, Landmark Convention Hall Bandung, 20 Juli 2002;

Anda mungkin juga menyukai