Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS KASUS

Gemelli adalah salah satu bentuk kehamilan multiple dimana seorang ibu mengandung 2 janin. Pada kasus ini diperkenalkan seorang pasien wanita berusia 38 tahun dengan G4P3A0. Pada kasus, Faktor resiko yang meningkatkan angka insidensi dari gemelli pada antara lain usia maternal yang berusia diatas 35 tahun yakni 38 tahun dan multiparitas (P3). Pada pasien diagnosis gemelli ditegakkan dengan melalui tahapan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, pasien mengakui adanya gerakan janin lebih sering dari kehamilan sebelumnya. yang seharusnya memang pada kehamilan kembar gerakan janin bertambah banyak. Perut pasien yang dirasakan lebih cepat membesar daripada kehamilan sebelumnya juga merupakan salah satu ciri kehamilan kembar. Kemudian dari hasil USG pada saat ANC, pasien mengaku USG dilakukan pada usia kehamilan 3 bulan, dikatakan bayi dalam kandungan kembar. Pada usia kehamilan 8 bulan dari USG, dokter mengatakan bayi kembar letak lintang. Dalam hal ini memang UK merupakan hal penting dimana pada sebelum trimester ke-3 pemeriksaan fisik seperti Leopold akan sulit meraba bagian janin sehingga menimbulkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis kehamilan kembar, namun pemeriksaan penunjang USG dapat sangat membantu seperti yang pasien katakan. Dari hasil pemeriksaan fisik pada pemeriksaan Leopold didapatkan lebih dari 3 bagian besar janin, dan ukuran TFU yakni 41 cm yang lebih besar dari usia kehamilan yakni 39-40 minggu yang seharusnya TFU-nya sekitar 37-38 cm. Kemudian didapatkan 2 DJJ bayi yang berjauhan tempat di perut ibu dengan perbedaan DJJ sebesar 10 dpm. Pada bayi I didapatkan DJJnya 142 dpm sedangkan bayi II DJJnya 132 dpm. sesuai dengan pemeriksaan fisik pada kehamilan kembar. Kemudian dari hasilUSG didapatkan hasil yang mendukung diagnosis kehamilan kembar yakni didapatkan gambaran 2 Janin dengan Bayi I TBJ 2504 gram, Bayi II TBJ 2800 gram, plasenta monokorion diamnion, sekat +, janin gemelli hidup, lintang-lintang. Maka diagnosis Gemelli tegak Dalam kasus ini pasien juga memiliki preeklampsia berat dimana preeklampsia berat merupakan salah satu komplikasi dari kehamilan kembar. Tekanan darah pasien saat datang

yakni 190/100 mmHg merupakan salah satu kriteria diagnosis dari PEB. Selain itu didapatkan adanya proteinuria +2 dan udema tungkai atas dan bawah (+/+). Kehamilan yang kembar, Usia pasien yang diatas 35 tahun ditambah Berat badan pasien 99 kg dan tinggi badannya 165 cm menunjukkan status gizi lebih atau obesitas merupakan faktor resiko terjadinya preeklampsia berat. Pada kehamilan kembar terdata bahwa luas plasenta cenderung lebih besar dari biasanya sehingga dapat meningkatkan resiko preeklampsia. Pasien ini belum memiliki tanda-tanda inpartu dimana belum ada kontraksi teratur, keluar air-air, lendir darah dari jalan lahir. Perburukan PEB juga disangkal melalui anamnesis. Usia kehamilan aterm dan janin pertama letak lintang (kedua janin yang lintang-lintang) merupakan indikasi sectio caesarea dan kontraindikasi lahir pervaginam. Sehingga diputuskan untuk dilakukan SC cito dengan tujuan agar bayi dan ibu selamat dan menghindari resiko perdarahan postpartum maupun eklampsia. Pemberian anti kejang MgSO4 dan antihipertensi merupakan langkah-langkah yang diperlukan untuk menghindari komplikasi tersebut. Pada Hasilnya yakni telah dilahirkan kedua bayi perabdominan melalui sectio caesarea dengan Bayi I berat lahir 2580 gram dan bayi II dengan berat lahir 2750 gram, kemudian didapatkan sesuai USG plasenta monokorion diamnion dilahirkan lengkap, dengan sekat yang membagi plasenta sama besar dan keadaan tali pusat yang terkesan sama baik pada kedua bayi, telah dilakukan milk test dan hasilnya negatif. Pada follow up didapatkan Hb bayi I 19,8 g/dL dan bayi II 17,6 g/dL sehingga menyingkirkan adanya anemia. Maka disimpulkan tidak ada TTTS (twin to twin tranfusion syndrome). Untuk kedua bayi penanganan selanjutnya dikerjakan oleh perina. Pada pasien post op SC dilakukan penanganan lanjutan seperti pada SC pada umumnya. Namun, ditambahkan pengendalian tekanan darah dan observasi perburukan PEB. Keadaan pasien dari hasil pemeriksaan labolatorium ulangan post op belum menunjukan adanya perbaikan. TD awal post op NH0 adalah 180/113 mmhg dengan Hb post op 9,7 (Hb awal 11,2). Pada pasien TD yang masih tinggi dan butuh observasi ketat perburukan PEB merupakan pertimbangan mengapa pasien perlu dirawat di ruang intermediate. Pada ruangan intermediate dapat digunakan monitor Tanda vital 24 jam. Setelah 2 hari dirawat di intermediate, pasien dipindahkan ke ruangan bangsal biasa dan diberikan terapi medikamentosa lanjutan untuk PEB, mencegah infeksi post op, dan melakukan perawatan post op SC. Setelah 6 hari, TD pasien sudah

membaik 140/90 mmHg dengan protein urin +1 dan oedema tungkai berkurang. OS boleh pulang.

Anda mungkin juga menyukai