Anda di halaman 1dari 2

OS seorang anak laki-laki berusia 9 tahun 10 bulan datang dengan Kejang 4 jam SMRS, riwayat demam selama 3 hari,

Mual, muntah, dan pusing pada kepala sebelah kiri. Dari Kasus didapatkan bahwa sekitar 1 tahun yang lalu, OS mengalami cedera kepala berat, akibat kecelakaan sepeda motor dengan perdarahan otak dan tulang tengkorak yang retak. OS sempat mengalami koma dan menjalani perawatan selama 11 hari oleh dr. SpS. Cedera kepala berat pada OS memenuhi criteria dimana terdapat koma yang menunjukan GCS kurang dari 8 dengan morfologi fraktur cranium linear bagian frontal dan Intra Cerebral Hematoma. CKB dengan ICH pada OS adalah faktor resiko timbulnya kejang pada OS kali ini. Pada OS, serangan kejang sekarang bukanlah yang pertama kali. kejang yang pertama dialami 3 bulan setelah OS kecelakaan, tidak dicetuskan demam. Diketahui bahwa OS menerima pengobatan dari dokter SpS yakni piracetam. Piracetam adalah agen nootropik yang digunakan untuk membantu kemunduran daya piker, dan memproteksi system saraf pasien yang rusak akibat ICH. Sayangnya, pengobatan tersebut dihentikan dan OS tidak pernah control ke dokter saraf setelah 1 bulan berobat. OS kali ini kejang mengalami serangan kejang ke-2 sebanyak 2 kali, dengan durasi 5 menit setiap kejang, kejang kelojotan, gerakan berulang, dan gerakan kaku disertai relaksasi, mata OS mendelik ke atas dan mulut mengeluarkan busa, OS juga mengompol. Kejang diawali adanya demam selama 3 hari. Beberapa criteria kejang demam agaknya sesuai dengan pasien dimana criteria kejang demam menurut Livingstone : 1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun 2. Kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit. 3. Kejang bersifat umum 4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam. 5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kjang normal 6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukan kelainan. 7. Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali Dari 7 kriteria Living stone, pasien memenuhi 4 poin. Namun perlu diingat bahwa patofisiologi demam pada pasien tidaklah sama dengan kejang demam. OS memiliki riwayat kejang

sebelumnya dengan tanpa didahului demam sekitar 3 bulan lalu. OS juga memiliki riwayat ICH yang menjadi etiologi kejang pada OS sendiri. ICH pada pasien sudah terjadi 1 tahun yang lalu. ICH akan mencetuskan kerusakan neuron cerebri dengan menimbulkan oedema cerebri, nekrosis jaringan, dan peningkatan TIK sehingga timbul koma. Setelah dirawat dan dinyatakan membaik, keadaan neuron otak OS yang mengalami kerusakan akibat perdarahan lambat laun menyembuh. Namun neuron otak tersebut akan membentuk jaringan sikatriks yang dikenal sebagai gliosis. Gliosis terbentuk oleh sel-sel glia yang merupakan sel penyokong di otak. Dikatakan bahwa normal neural network (jaringan neuron2 yang normal) pada otak OS berubah menjadi jaringan neural yang abnormally hyperexcitable (secara abnormal yang mudah tereksitasi) ditambah dengan adanya gliosis. Proses perubahan jaringan normal menjadi epileptic state inilah yang disebut Faktor Epileptogenik . Gliosis pada dasarnya akan mengganggu hantaran listrik antar neuron dan membantu mencetuskan hipereksitabilitas. OS saat usia kecil (6 bulan sampai 5 tahun) tidak pernah mengalami kejang walaupun demam sampai 39 C. Ini artinya ambang kejang OS masih dalam batas normal sehingga tidak menderita kejang demam saat kecil. Namun, setelah terjadi CKBdan ICH 1 tahun yang lalu, kerusakan neuron otak menjadi permanen akibat gliosis dan memudahkan terjadinya hipereksitabilitas neuron sehingga menurunkan ambang kejang dan memudahkan terjadinya kejang walaupun demam pada OS tidak terlalu tinggi. Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan, baik dari status generalis maupun neurologis. Fokus infeksi demam juga belum ditemukan. Pasien masih Compos mentis. Rangsal meningeal negative. Pemeriksaan saraf kranialis dan reflex dalam batas normal. Tidak ditemukan adanya spastisitas maupun reflek patologis. Ini menunjukan bahwa kemungkinan infeksi SSP seperti meningitis dan ensepalitis dapat dihindari. Dari hasil pemeriksaan labolatorium, tidak ditemukan adanya Hiponatremia , hipoglikemia menunjukan tidak terdapat gangguan elektrolit yang mencetuskan kejang pada pasien. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan labolatorium maka didapatkan diagnosis yang mengarah pada pasien yakni Late post traumatic epilepsy yang dicetuskan demam.

Anda mungkin juga menyukai