Anda di halaman 1dari 12

Luka Bakar Fase Akut dan Penatalaksanaannya Oleh : Muhamad Ikbal

I.

Pendahuluan Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Luka bakar berat dapat menyebabkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Sekitar 2 juta orang menderita luka bakar di Amerika Serikat, tiap tahun dengan 100.000 yang dirawat di Rumah Sakit dan 20.000 yang perlu dirawat dalam pusat-pusat perawatan luka bakar. Di Indonesia belum ada jumlah pasti mengenai luka bakar tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk serta industri, angka luka bakat tersebut semakin meningkat. Penderita dengan luka bakar lebih dari 50% daerah permukaan tubuh memiliki cukup kemungkinan untuk tetap bertahan bila dirawat dengan tepat1 Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit dan juga menimbukan efek sistemik yang sangat kompleks. Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Beratnya luka bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Selain beratnya luka bakar, umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi prognosis.2

II.

Etiologi Penyebab luka bakar yang tersering adalah terbakar api langsung yang dapat dipicu atau diperparah dengan adanya cairan yang mudah terbakar seperti bensin, gas kompor rumah tangga, cairan cairan dari tabung pemantik api, yang akan menyebabkan luka bakar

pada seluruh atau sebagian tebal kulit. Pada anak kurang lebih 60% luka bakar disebabkan oleh air panas yang terjadi pada kecelakaan rumah tangga, dan umumnya merupakan luka bakar superfisial, tetapi dapat juga mengenai seluruh ketebalan kulit (derajat tiga)2 Penyebab luka bakar lainnya adalah pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Bahan kimia ini bisa berupa asam atau basa kuat. Asam kuat menyebabkan nekrosis koagulasi, denaturasi protein dan rasa nyeri yang hebat. Asam hidrofluorida mampu menembus jaringan sampai ke dalam dan menyebabkan toksisitas sistemik yang fatal, bahkan pada luka yang kecil sekalipun. Alkali atau basa kuat yang banyak terdapat dalam rumah tangga antara lain cairan emutih pakaian (bleaching), berbagai cairan pembersih, dll. Luka bakar yang disebabkan oleh basa kuat akan menyebabkan jaringan mengalami nekrosis yang mencair (liquefactive necrosis). Kemampuan alkali menembus jaringan lebih dalam lebih kuat daripada asam, kerusakan jaringan lebih berat karena sel mengalami dehidrasi dan terjadi denaturasi protein dan kolagen. Rasa sakit baru timbul belakangan sehingga penderita sering terlambat datang untuk berobat dan kerusakan jaringan sudah meluas.2

III.

Patofisologi Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak baru lahir sampai 1m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi, pembuluh kapiler dibawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh sekali pun akan rusak dan menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan intrakapiler ke interstisial sehingga terjadi udem dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Rusaknya kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan penguapan1,2

Kedua penyebab di atas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan intravaskular. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejla yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia1,2 Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang terhirup. Udem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara parau, dan dahak berwarna gelap akibat jelaga. Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. Karbonmonoksida sangat kuat terikat dengan hemoglobin sehingga hemoglobin tidak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu lemas, bingung, pusing, mual, dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal1,2 Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik1,2

Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dan

toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granu lasi membentuk nanah1,2 Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan nanah yang bayak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menjadi

nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis1,2 Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gagal, kaku dan secara estetik sangat jelek1,2 Luka bakar derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di prsendian; fungsi sendi dapat berkurang atau hilang1,2 Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristaltis usus menurun atau berhenti karena syok. Juga peristaltis dapat menurun karena kekurngan ion kalium1,2 Stres atau beban faali setra hipoperfusi daerah splangnikus pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan

gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling atau stress ulcer. Aliran darah ke lambung berkurang sehingga terjadi iskemia mukosa. Bila keadaan ini berlanjut, dapat timbul ulkus akibat nekrosis mukosa lambung. Yang dikhawatirkan pada tukak Curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemesis dan/atau melena1,2 Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi, dan mudah terjadi infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Kecacatan akibat luka bakar bisa sangat hebat, terutama bila mengenai wajah. Penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat tersebut., sampai bisa menimbulkan gangguan jiwa yang disebut schizophrenia postburn.2

IV.

Fase Luka Bakar Untuk mempermudah penangaan luka bakar maka perjalanan penyakitnya dibedakan dalam 3 fase yaitu akut, subakut dan fase lanjut. Pembagian 3 fase tersebut tidak menunjukan sekat pembatas yang jelas diantara ketiga fase ini. Kerangka berfikir dalam penanganan penderita tidak dibatasi oleh kotak fase dan tetap terintegrasi. Langkah penatalaksanaan fase sebelumnya akan berimplikasi klinis pada fase selanjutnya3 1) Fase akut/ fase syok/fase awal 3,4 Fase ini dimulai saat kejadian sampai penderita mendapat perawatan di IRD/ Unit luka bakar. Pada fase ini penderita luka bakar, seperti penderita trauma lainnya akan megalami gangguan ancaman dan gangguan airways (jalan nafas) breathing

(mekanisme bernafas) dan gangguan sirkulasi. Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terjadi trauma, gangguan inhalasi dalam 4872 jam pasca trauma. Cedera inhalasi merupakan penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase ini dapat terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termal / panas yang berdampak sistemik. Adanya syok yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang masih berhubungan akibat problem instabilitas sirkulasi. Permasalahan dan penanganan pada fase ini akan menjadi bahasan utama dalam makalah ini. Trauma inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki angka kolerasi dengan angka kematian. Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau jika luka bakar mengenai daerah muka / wajah dapat menyebabkan kerusakan mukosa jalan nafas akibat gas, asap, atau uap panas yang terhisap mengakibatkan timbulnya edem yang mana akhirnya dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan nafas karena edema laring. Efek intoksikasi karbon monoksida (CO) mengakibatkan terjadinya hipoksia jaringan. Karbon Monoksida memiliki afinitas yang cukup kuat terhadap pengikatan hemoglobin dengan kemampuan 210-240 kali lebih kuat dibandingkan dengan kemampuan O2. Jadi CO akan memisahkan O2 dari Hb sehingga mengakibatkan hipoksia jaringan. Kecurigaan adanya trauma inhalasi bila penderita luka bakar mengalami hal sebagai berikut ; 1. Riwayat terjebak dalam ruang terutup 2. Sputum tercampur arang 3. Luka bakar perioral termasuk hidung bibir mulut atau tenggorokan 4. Penurunan kesadaran termasuk confusion

5. Terdapat tanda distres pernafasan, seperti rasa tercekik tersedak, malas bernafas, atau adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata dan tenggorokan menandakan adanya iritasi mukosa 6. Adanya takipnea 7. Pemeriksaan kadar karboksihemoglobin. Pada trauma inhalasi, kadar COHb 35-45 % (berat). Bila kadar COHb lebih dari 15 % setelah 3 jam kejadian maka bukti kuat terjadi trauma inhalasi 8. Analisa Gas Darah . PaO2 yang rendah ( kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50%, FiO2=0,5) mencurigakan telah terjadi adanya trauma inhalasi 9. Pada foto thorak biasanya normal pada fase awal 10. Bronkoskopi fiberoptic . Bila terdapat sputum, edema mukosa adanya bintik-bintik perdarahan dan ulserasi maka diagnosis trauma inhalasi sudah tegak. 11. Tes fungsi paru ( Scan Paru xenon). Selain airway dan ventilasi yang menjadi perhatian dalam luka bakar fase akut juga sirkulasi tidak kalah penting untuk diperhatikan. Pada luka bakar berat / Mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstravasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskular ke jaringan intersitial mengakibatkan terjadinya hipovelemic intravascualar dan edema intersitial. Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan masif di jaringan intersitial menyebabkan kondisi hipovelemik.

2) Fase Subakut 3,4 Fase ini berlangsung setelah fase syok berakhir atau dapat teratasi. Luka yang terjadi dapat menyebabkan beberapa masalah yaitu : proses inflamasi atau infeksi, problem penetupan luka dan keadaan hipermetabolisme 3) Fase lanjut Fase ini penderita sudah dinyakan sembuh tetapi tetap dipantau melalui rawat jalan. Problema ynag muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi , deformitas dan timbulnya kontraktur.

V.

Penatalaksanaan Luka Bakar Fase Akut 3,4 Pada penanganan penderita dengan trauma luka bakar seperti pada trauma-trauma lainnya harus ditangani secara teliti dan sistematik . langkah pertama saat terbakar

adalah mematikan api pada tubuh misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan oksigen pada api yang menyala. 1. Evaluasi Pertama (Triage) A. Airway, ventilasi dan sirkulasi Priortias utama pada pasien trauma bakar adalah mempertahankan jalan nafas, ventilasi yang efektif dan sirkulasi pasien. Apabila diperlukan segera lakukan intubasi endotrakeal, pemasangan infuse untuk mempertahakankan volume sirkulasi. B. Pemeriksaan fisik secara keseluruhan (Secondary Survey) Petugas memakai sarung tangan steril bebaskan penderita dari baju yang terbakar kemudian lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh untuk

mengetahui apakah ada trauma lain seperti trauma abdomen dan trauma tulang belakang. C. Anamnesis Lakukan anamnesa dengan tujuan apakah penderita terjebak dalam runag tertutup sehingga kecurigaan adanya trauma inhalasi yang dapat menyebabkan obsrtruksi jalan nafas D. Pemeriksaan luka Bakar Selanjutnya lakukan pemeriksaan luka bakar tujuannya untuk menentukan derajat luka bakar. Ditentukan luas luka bakar menggunakan Rule of nine dan tentukan kedalaman dari luka bakar itu sendiri. 2. Penanganan di Ruang Emergency a) Diwajibkan petugas kesehatan memakai sarung tangan steril b) Bebaskan pakaian yang terbakar c) Dilakukan pemeriksaan yang teliti dan menyerluruh untuk memastikan adanya trauma lain yang menyertai d) Bebaskan jalan nafas. Pada luka bakar dengan distress jalan nafas dapat dipasang endotracheal tube. Trakeostomy hanya bila ada indikasi. e) Dilakukan pemasangan iv line, diberikan cairan ringer laktat dengan jumlah 30-50 cc/kg/jam untuk dewasa dan 20-30 cc/kg/jam untuk anak-anak diatas 2 tahun dan 1cc/kg/jam untuk anak dibawah 2 tahun. f) Dilakukan pemasangan foley cateter untuk memonitor jumlah produksi urine dan dicatat jumlah urine/jam g) Dilakukan pemasangan nasogastrik tube h) Untuk penghilang nyeri hebat bisa diberikan morfin secara intravena i) Diberikan ATS bila diperlukan

j) Pencucian luka dikamar operasi dalam keadaan pembiusan umum. Luka dicuci debridement dan disinfeksi dengan salvon 1:30 setelah bersih tutup dengan tulle kemudian olesi dengan Silver Sulfa Diazine (SSD) sampai tebal dan tutup dengan kasa steril. Pada hari ke-5 kasa dibuka dan penderita dimandikan dengan air dicampur Salvon 1:30 k) Lakukan Eskarotomi dan Fasiotomi l) Penutupan luka dapat terjadi atau dapat dilakukan bila preparasi bed luka telah dilakukan dimana didapatkan kondisi luka yang relative lebih bersih dan tidak infeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur operasi. Secara persekundam terjadi proses epitelisasi pada luka bakar yang relative superficial. Untuk luka bakar yang dalam pilihan yang paling tersering split tickness skin grafting. Split ticknes grafting merupakan tindakan definitf penutupan luka yang luas. Tandur alih kulit dilakukan bila luka tersebut tidak sembuh-sembuh dalam waktu 2 minggu dengan diameter > 3 cm.

VI.

Penanganan Pernafasan 3 1) Tanpa distres pernafasan a) Intubasi / pipa endotrakeal b) Pemberian oksigen 2-4 liter / menit c) Penghisapan sekret secara berkala d) Humadifikasi dengan nebulizer e) Pemberian bronkodilator ( ventolin inhalasi ) f) Pemantauan gejala dan tanda distress pernafasan Subjektif ( gelisah, sesak nafas)

Objektif ( frekuensi nafas meningkat >30 kali/menit, sianotik, stridor, aktifitas otot pernafasan tambahan, perubahan nilai hasil pemeriksaan analisis gas darah) g) Pemeriksaan radiologik h) Posisi setengah duduk i) Pelaksanaan di ruang resusitasi gawat darurat 2) Dengan Distres pernafasan Kasus ini diperlakukan secara khusus untuk mengatasi masalah distress pernafasan yang dijumpai ; a) Dilakukan trakeostomi dengan local anestesi, dengan atau tanpa kanul trakeostomi. b) Pemberian Oksigen 2-4 liter / menit melalui trakeostomi c) Pemersihan secret saluran pernafasan secara berkala serta bronchial washing d) Humidifikasi dengan nebulizer e) Pemberian bronkodilator ( ventholin setiap 6 jam ) f) Pemantuan gejala dan tanda distress pernafasan Subjektif ( gelisah, sesak nafas) Objektif ( frekuensi nafas meningkat 3-40 kali/menit, sianotik, stridor, aktifitas otot pernafasan tambahan, perubahan nilai hasil pemeriksaan analisis gas darah) g) Pemeriksaan radiologik h) Diobservasi pada posisi duduk i) Resusitasi dilakukan di instalasi gawat darurat.

Daftar Pustaka

1. Sabiston C David Jr, M.D.Luka Bakar. Buku Ajar Bedah .Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.1995.hlm 151-163 2. Sjamsuhidajat, de Jong. Luka bakar. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed 3. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran EGC.2007. Hlm: 103-110. 3. Aston, Robert, Charles.Thermal, Electrical, and Chemical Injuries.Grabb and Smith Plastic Surgery.Philadelphia,New York.Lippincott-Raven Publisher.1997.page 161-169 4. Holmes H Holmes and Heimbach David M.Burn.Schwartzs Manual of Surgery.New York.McGRAW-HILL publisher.1999.page140-152

Anda mungkin juga menyukai