Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ANEMIA GRAVIS
PENDIDIKAN PROFESI NERS KEPERAWATAN MEDIKAL

Oleh: Nurul Fauziah (0910720065)

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG, 2013

ANEMIA GRAVIS

A. Definisi Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut okesigen ke jaringan (Smeltzer & Bare, 2002). Anemia adalah berkurangnya kadar Hb dalam darah sehingga terjadi gangguan perfusi O2 ke jaringan tubuh. Disebut gravis yang artinya berat dan nilai Hb di bawah 7 g/dl sehingga memerlukan tambahan umumnya melalui

transfusi. Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006). B. Etiologi 1. Kehilangan sel darah merah a. Perdarahan Perdarahan dapat diakibatkan berbagai penyebab diantaranya adalah trauma, ulkus, keganasan, hemoroid, perdarahan pervaginam, dan lain-lain. b. Hemolisis yang berlebihan Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel darah merah itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah (kelainan ekstrinsik). Sel darah merah mengalami kelainan pada keadaan : Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan, contohnya adalah pada penderita penyakit sel sabit (sickle cell anemia) Gangguan sintesis globin, contohnya pada penderita thalasemia

Kelainan membrane sel darah merah, contohnya pada sferositosis herediter dan eliptositosis Difisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi piruvat kinase (Price, 2006). 2. Kekurangan zat gizi seperti Fe, asam folat, dan vitamin B12. C. Patofisiologi Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum tulang dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera. Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya (mis., apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100 mg/dL), hemoglobin akan terdifusi dalam glomerulus ginjal dan ke dalam urin (hemoglobinuria). Jadi ada atau tidak adanya hemoglobinemia dan

hemoglobinuria dapat memberikan informasi mengenai lokasi penghancuran sel darah merah abnormal pada pasien dengan hemolisis dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat hemolitik tersebut. Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien tertentu

disebabkan oleh penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi, biasanya dapat diperoleh dengan dasar (1) hitung

retikulosit dalam sirkulasi darah, (2) derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dengan biopsy; dan (3) ada atau tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemian. Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organorgan penting. Salah satunya otak, otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).

Gambar 1. Pohon Masalah Anemia

D. Manifestasi Klinis Selain beratnya anemia, berbagai faktor mempengaruhi berat dan adanya gejala: (1) kecepatan kejadian anemia, (2) durasinya, (3) kebutuhan metabolism

pasien bersangkutan, (4) adanya kelainan lain atau kecacatan, dan (5) komplikasi tertentu atau keadaan yang mengakibatkan anemia. Semakin cepat perkembangan anemia, semakin berat gejalanya. Pada orang yang normal penurunan hemoglobin, hitung darah merah, atau hematokrit tanpa gejala yang tampak atau ketidakmampuan yang jelas secara bertahap biasanya dapat ditoleransi sampai 50%, sedangkan kehilangan cepat sebanyak 30% dapat menyebabkan kolaps vaskuler pada individu yang sama. Individu yang telah mengalami anemia selama waktu yang cukup lama, dengan kadar hemoglobin antara 9 dan 11 g/dl, hanya mengalami sedikit gejala atau tidak ada gejala sama sekali selain takikardi ringan di saat latihan. Dispneau latihan biasanya terjadi hanya di bawah 7,5 g/dl; kelemahan hanya terjadi di bawah 6 g/dl; dispneau istirahat di bawah 3 g/dl; dan gagal jantung pada kadar yang sangat rendah 2 2,5 g/dl. Secara umum gejala klinis anemia yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah). Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Namun pada anemia berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung (Sjaifoellah, 1998).

E. Pemeriksaan Penunjang Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain: a) Pemeriksaan Laboratorium 1. Hemoglobin Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli.

2. Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus: Mean Corpusculer Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%. 3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.

Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag. 4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW) Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara.

Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.

5. Eritrosit Protoporfirin (EP) EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya

membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang. 6. Besi Serum (Serum Iron = SI) Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat Keterbatasan hemoglobin jatuh. luas dan

besi serum karena variasi diurnal yang

spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter spesifik. 7. Serum Transferin (Tf) Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan. 8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma. lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang

9. Serum Feritin Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/ l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada

inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA),

Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

b) Pemeriksaan Sumsum Tulang Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis

sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.

F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan anemia bergantung pada jenis anemia yang diderita seseorang, antara lain: 1. Anemia Defisiensi Besi Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini hanya kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 g, kira-kira 50 mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kg BB pada wanita. Umumnya akan terjadi anemia dimorfik, karena selain kekurangan Fe juga terdapat kekurangan asam folat. Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia paling banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang (ankilostomiasis). Infestasi cacing tambang pada seseorang dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia. Bila disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia. Penyebab lain dari anemia defisiensi adalah : Diet yang tidak mencukupi. Absorbsi yang menurun. Kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, laktasi. Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah. Hemoglobinuria. Penyimpanan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis paru.

Penatalaksanaan : 1) Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan antelmintik yang sesuai. 2) Pemberian preparat Fe : Fero sulfat 3 x 325 mg secara oral dalam keadaan perut kosong, dapat dimulai dengan dosis yang rendah dan dinaikkan bertahap. Pada pasien yang tidak kuat dapat diberikan bersama makanan. Fero glukonat 3 x 200 mg secara oral sehabis makan. Bila terdapat intoleransi terhadap pemberian preparat Fe oral atau gangguan pencernaan sehingga tidak dapat diberikan oral, maka dapat diberikan secara parenteral dengan dosis 250 mg Fe ( 3mg/kg BB ) untuk tiap g% penurunan kadar Hb di bawah normal. Iron dekstran mengandung Fe 50 mg/ml, diberikan secara

intramuscular mula-mula 50 mg, kemudian 100-250 mg tiap 1-2 hari sampai dosis total sesuai perhitungan. Dapat pula diberikan intravena,

mula-mula 0,5 ml sebagai dosis percobaan, Bila dalam 3-5 menit tidak menimbulkan reaksi, boleh diberikan 250-500 mg. 3) Selain itu, pengobatan anemia defisiensi zat besi biasanya terdiri dari suplemen makanan dan terapi zat besi. Kekurangan zat besi dapat diserap dari sayuran, produk biji-bijian, produk susu, dan telur. Tetapi yang paling baik adalah diserap dari daging, ikan, dan unggas. Pada kebanyakan kasus anemia defisiensi zat besi, terapi zat besi secara oral dengan larutan Fe2+ + garam besi. Obat-obat yang dapat menurunkan absorpsi zat besi dalam tubuh : Obat antasida yang mengandung Al, Mg, Ca2+. Tetracycline dan doxycycline Antagonis H2 Proton pump inhibitor Cholestyramin

2. Anemia Pernisiosa Kekurangan vitamin B12 bisa disebabkan oleh factor intrinsic dan factor ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12 akibat factor intrinsic terjadi karena gangguan absorpsi vitamin yang merupakan penyakit herediter autoimun, sehingga pada pasien mungkin dijumpai penyakit-penyakit autoimun lainnya. Kekurangan vitamin B12 karena factor intrinsic ini tidak dijumpai di Indonesia. Yang lebih sering dijumpai di Indonesia adalah penyebab intrinsic karena kekurangan masukan vitamin B12 dengan gejala-gejala yang tidak berat. Didapatkan adanya anoreksia, diare, lidah yang licin, dan pucat. Terjadi gangguan neurologis, seperti gangguan keseimbangan. Penatalaksanaan : Pemberian vitamin B12 1.000 mg/hari secara intramuscular selama 5-7 hari, 1 kali tiap bulan.

3. Anemia Defisiensi Asam Folat Asam folat terutama terdapat dalam daging, susu, dan daun-daun yang hijau. Umumnya berhubungan dengan malnutrisi. Penurunan absorpsi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi terjadi di seluruh saluran cerna. Juga berhubungan dengan sirosis hepatis, akrena terdapat penurunan cadangan asam folat. Dapat ditemukan gejala-gejala neurologis, seperti gangguan

kepribadian dan hilangnya daya ingat. Selain itu juga perubahan megaloblastik pada mukosa (anemia megaloblastik). Penatalaksanaan : Pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula dengan pemberian / suplementasi asam folat oral 1 mg per hari.

4. Anemia pada Penyakit Kronik Anemia ini dikenal pula dengan nama sideropenic anemia with

reticuloendothelial siderosis. Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia terbanyak kedua setelah anemia defisiensi yang dapat ditemukan pada orang dewasa di Amerika Serikat. Penyakit ini banyak dihubungkan dengan berbagai penyakit infeksi, seperti infeksi ginjal, paru. Penatalaksanaan : Pada anemia yang mengancam nyawa, dapat diberikan transfusi darah merah seperlunya. Pengobatan kobalt dengan dan suplementasi besi tidak dapat

diindikasikan.

Pemberian

eritropoeitin

dikatakan

memperbaiki anemia pada penyakit kronik.

5. Anemia Aplastik Terjadi karena ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah. Penyebabnya bisa karena kemoterapi, radioterapi, toksin, seperti benzen, toluen, insektisida, obat-obat seperti kloramfenikol, sulfonamide, analgesik (pirazolon), antiepileptik (hidantoin), dan sulfonilurea. Pasien tampak pucat, lemah, mungkin timbul demam dan perdarahan. Penatalaksanaan : Transfusi darah, sebaiknya diberikan transfusi darah merah. Bila diperlukan trombosit, berikan darah segar atau platelet concentrate. Atasi komplikasi ( infeksi ) dengan antibiotik. Higiene yang baik perlu untuk mencegah timbulnya infeksi. Kortikosteroid, dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat trombositopenia berat. Androgen, seperti fluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon, dan nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi, virilisasi, retensi air dan garam, perubahan hati, dan amenore.

Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Champlin, dkk menyarankan penggunaannya pada pasien > 40 tahun yang tidak menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien yang telah mendapat transfusi berulang.

Transplantasi sumsum tulang.

6. Anemia Hemolitik Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah (normal 120 hari), baik sementara atau terus-menerus. Anemia terjadi hanya bila sumsum tulang telah tidak mampu mengatasinya karena usia sel darah merah sangat pendek, atau bila kemampuannya terganggu oleh sebab lain. Tanda-tanda hemolisis antara lain ikterus dan splenomegali. Etiologi anemia hemolitik dibagi sebagai berikut : Intrinsik : kelainan membrane, kelainan glikolisis, kelainan enzim, dan hemoglobinopati. Ekstrinsik : gangguan sistem imun, mikroangiopati, infeksi (akibat plasmodium, klostridium, borrelia), hipersplenisme, dan luka bakar. Penatalaksanaan : Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena reaksi toksik-imunologik, yang dapat diberikan adalah kortikosteroid (prednisone, prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat-obat sitostatik, seperti klorambusil dan siklofosfamid. G. Asuhan Keperawatan Diagnosa yang dapat muncul 1. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh 2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer 3. Keletihan Rencana intervensi keperawatan Diagnose Tujuan dan criteria hasil Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, status nutrisi: intake nutrient dan biochemical measures menunjukkan perbaikan dengan criteria NOC: Outcome 1 2 3 4 5

Nutritional status: nutrient intake Intake besi Intake protein Intake kalori Intake vitamin Intake mineral Nutritional status: biochemical measures Hemoglobin Hematokrit Serum albumin Total iron binding capacity v v v v v v v v v

Rencana intervensi

NIC Nutrition Therapy 1. Lengkapi pengkajian nutrisi sesuai kebutuhan 2. Monitor makanan/cairan yang dicerna dan hitung intake kalori sehari-hari 3. Tentukan dengan kolaborasi dengan ahli diet, jumlah kaloro dan tipe kalori yang dibutuhkan untuk mendapatkan kebutuhan nutrisi yang tepat 4. Berikan edukasi pada pasien dan keluarga untuk konsumsi makanan yang tinggi protein, kalori, zat besi dan vitamin 5. Tentukan apakah klien membutuhkan enteral feeding 6. Berikan nutrisi melalui enteral apabila dibutuhkan 7. Berikan penjelasan kepada keluarga mengenai kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh klien Nutritional Monitoring 1. Monitor albumin, total protein, hemoglobin dan hematokrit 2. Monitor adanya mual atau muntah 3. Monitor kalori dan intake nutrient

Diagnose Tujuan dan

Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam, perfusi jaringan:

criteria hasil

selular adekuat dengan criteria hasil NOC: Outcome 1 2 3 4 5

Tissue perfusion: cellular Tekanan darah systole Tekanan darah diastole Saturasi oksigen Capillary refill Mual Penurunan kesadaran Pucat v v v v v v v

Rencana intervensi

1. Kaji warna kulit, suhu dan kelembaban, apakah seluruh tubuh atau terlokalisir 2. Ukur CRT 3. Palpasi nadi perifer 4. Kaji fungus motorik dan sensorik 5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian tablet penambah darah atau agen yang sesuai dengan kondisi anemia klien 6. Berikan cairan, elektrolit dan okesigen sesuai indikasi

Diagnose Tujuan dan criteria hasil

Keletihan Setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam tingkat keletihan pasien berkurang dengan criteria hasil NOC: Outcome Fatigue level Kelelahan Kelesuan Sakit kepala Aktivitas sehari-hari v v v v 1 2 3 4 5

Rencana

1. Kaji tingkat keletihan klien dan tanyakan perasaan klien dengan

intervensi

adanya keletihan yang dialami klien 2. Review kemampuan dan kebutuhan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari 3. Berikan terapi oksigen tambahan sesuai kebutuhan 4. Sarankan untuk beristirahat dan tidak terlalu lelah dalam melakukan aktivitas

Daftar Pustaka Anugrah P, dkk. 2012. Anemia Gravis Et Causa Perdarahan Pervaginam. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto. Price, S A. Wilson, L M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC Doengoes M, Moorhouse M, Murr A. 2010. Nursing Diagnosis Manual, 3th Edition.Philadelphia: F.A.Davis Company. Bulechek G, Butcher H, Dochterman J. 2008. Nursing Interventions Classification (NIC), fifth edition. Missouri: Mosby Elsevier. Moorhead S, Johnson M, Maas M, Swanson E. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC), fifth edition. Missouri: Mosby Elsevier. NANDA International. 2012. Nursing Diagnosis, Definition and Classification 2012-2014. West Sussex: Willey-Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai