Amir Hamzah
Tidak mungkin jadi politisi atau birokrasi kalau tak pandai menipu,
bagaimana tidak jabatan seberat itu hanya dijejali oleh orang-orang yang sama
sekali tak jelas latar belakang keilmuannya tetapi sudah memiliki gelar berhimpit
di depan dan belakang namanya, kadang masih ditambah dengan singkatan-
singkatan yang semakin membuat orang awam terheran-heran, salah satu
penyakit yang sedang menjakiti orang-orang birokrasi kita; suka pasang gelar
tanpa pertimbangan!
Tak diragukan lagi aliran dana BOS yang cair tiap bulan menjadi incaran
siapapun di level pengelola dari tingkat yang paling rendah yaitu kepala sekolah
sampai ketingkat birokrsasi di kator dinas pendidikan. Terang saja aliran ini
menjadi salah salah satu manifestasi kongkalikong yang paling bisa dipastikan
waktu pencairannya. Segala macam upaya diusahakan untuk mencari celah
keuntungan, seperti gurita yang semakin tak terhitung jumlah tentaklenya.
Misalnya saja penggelembungan jumlah murid, sekolah-sekolah fiktif di bawah
yayasan yang tidak jelas akte pendiriannya sampai pada manipulasi data
belanjaan yang berbentuk laporan pertanggungjawaban. Semua diatur dalam
sebuah sistem yang terkontrol yang disebut dengan “korupsi berjemaah”.
Kalau membodohi orang yang tolol itu biasa dan lumrah, orang tolol
cukup disuguhi cerita horor atau kualat tujuh turunan dan kutukan dari langit
sudah cukup, yang tidak biasa adalah membodohi orang pintar! Luar biasa, ini
baru prestasi yang pantas mendapatkan perhargaan layak seperti baru lulus
dengan cum laude di jurusan teknik nuklir. menakjubkan, semua terjadi dengan
terang-terangan tanpa tirai sedikitpun, semua orang tahu bahwa dana BOS
sudah bengkok 180 derajat, betul-betul pertunjukan etika yang tidak pantas
dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis
kepercayaan. Pertanyaannya, kenapa kok tidak ada tindakan, sepi seolah tak
terjadi apa-apa? Inilah masalahnya.
Sistem kerja korupsi berjemaah ala BOS memang pantas dijadikan model
percontohan yang nyata dari adat ketimuran yang dikenal dengan “gotong-
royong”. Sebuah pola kerja yang memang menjadi semangat hidup bangsa
indonesia yang tidak terlalu senang dengan paham individualis. Dinas
pendidikan dengan sigap segera membentuk jaringan kerja yang bertugas
membedung produktifitas manajemen berbasis sekolah yang menjiwai semangat
otonomi pendidikan, sehingga sekolah yang paling canggih sekalipun kerja
manajemennya tetap akan kandas di level assesmen orang dinas. Kemudian ada
tim khusus yang bekerja secara profesional untuk memanipulasi
laporanpertanggungjawaban dengan catatan mendapatkan royalti atau lebih
tepatnya setoran upeti dari sekolah secara rutin dengan jumlah yang sudah
ditentukan. Kabarnya praktik seperti ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah
saja, bahkan di kota besar justru lebih ganas, sekolah tidak murah adalah motto
yang menyebabkan anak-anak harus terjun kejalan menjadi sampah masyarakat
karena orang tuanya tidak memiliki biaya untuk membayar pendidikan.
Manisnya janji pendidikan gratis hanya tinggal kenangan ketika eforia kampanye
sampai ke kampung-kampung. Sebuah pelajaran politik praktis yang konyol
bahwa masyarakat kita mudah ditipu dan mudah percaya dengan bualan,
mungkin mental ini memang menjadi kutukan tujuh turunan sejak jaman
penjajahan atau kita belum merdeka sama sekali, hanya saja yang menjajah
sekarang bukan kompeni tetapi orang pribumi sendiri.
Stempel Karet
Benda ini sangat berjasa dan menjadi salah satu yang paling penting
dalam melancarkan legitimasi korupsi kecil-kecilan yang mewabah di negeri ini
karena aturan mainnya asal ada bukti kwitansi pembayaran, selesai urusan.
Jangan kaget kalau di dinas pendidikan ada jabatan baru sebagai tukang jahit
laporan pertanggungjawaban dengan peralatan yang sangat sederhana,
sekeranjang stempel karet yang bentuk dan ukurannya bermacam-macam,
capnya pun beraneka ragam, mirip toko kelontongan yang menjual beraneka
ragam barang dan jasa. Ada beberapa yang memang meniru milik toko-toko
yang terkenal di wilayah masing-masing tetapi tidak sedikit yang fiktif alias
palsu.
Sebuah pola kerja yang sama sekali tidak canggih tetapi sangat efekti f
untuk urusan tipu-menipu dan sekali lagi sebuah tontonan yang membosankan
ditengah-tengah semangat transparansi dan reformasi di segala bidang. Ini
hanya soal perubahan sistem dan pola korupsi yang sebenarnya tidak beranjak
dari bentuknya yang paling primitif yaitu menggelapkan uang rakyat. Hanya saja
kalau jaman dulu (baca: Orba) korupsi dilakukan oleh orang-orang yang
memang memiliki posisi yang memungkinkan, tetapi sekarang korupsi
dibudidayakan dan beranak-pinak sampai pada level yang paling rendah dan
tempat-tempat yang seharusnya menjadi lahan penanaman moral bagi anak-
anak penerus republik ini. Sekolah menjadi salah satu tempat yang tidak lagi
steril dan secara sengaja memberikan pengaruh buruk kepada kepribadian anak-
anak di masa yang akan datang. Bukankah guru itu digugu dan ditiru? Kalau
gurunya kencing berdiri maka muridnya kencing berlari.
Sudah jarang kita mendengar jargon “guru hanya bisa korupsi kapur”
meskipun para guru tetap tidak beranjak dari posisinya sebagai kambing hitam
atas amburadulnya sistem yang dijalankan oleh pemerintah, apalagi otonomi
daerah yang nyata-nyata melahirkan raja-raja kecil di lingkungan pemerintahan.
Para guru mungkin malu dengan prilaku kebanyakan kepala sekolahnya karena
bagaimanapun mereka ada dalam sistem kerja sebuah lembaga yang
berlambang tut wuri handayani itu. Mungkin saja guru mendapatkan bagian dari
dana BOS yang dikelola oleh sekolah tetapi tentu tidak dengan gratisan, di
samping jumlahnya yang tidak sebarapa pengaturannyapun seketat ikat
pinggang. Dalam hal ini guru sama sekali tidak berdaya, pernah suatu ketika
seorang guru yang sok pahlawan melaporkan kepala sekolahnya ke dinas
pendidikan karena korupsi yang dilakukan kepala sekolahnya sudah tidak
terkendali tetapi bukannya dipuji karena keberaniannya melebihi pasukan TNI di
perbatas Ambalat malah disemprot oleh kepala dinasnya dan yang lebih
memprihatinkan, pahlawan kesiangan kita ini karir kedinasannya tetap jongkok.
Komunikasi psikologis
Sekolah adalah sebuah lembaga yang sangat unik, sistem kerja yang
diterpkan lebih mendekati hubungan antara orang tua dan anak, kakak beradik
atau teman seperjuangan. Semua dilandasi oleh hubungan emosional yang tulus
dan akrab bukan seperti mandor dan buruh atau atasan dan bawahan,
komandan dan anak buah, pendek kata sekolah adalah manifestasi dari sebuah
keluarga besar yang harmonis. Komunikasi psikologis lebih doninan daripada
komunikasi verbal dalam linkungan yang menjadi pusat dari agen perubahan
dalam tatanan kehidupan manusia. Tetapi sayang keadaan itu lambah laun
tergerus oleh sebuah sistem yang sebenarnya diharapkan menjadi penopang
keberlangsungan hidup sekolah, terutama yang berada jauh di pelosok.
Para guru sekarang mulai belajar menngerutu dan tidak ikhlas dalam
menjalankan tugasnya, beberapa menjadi pemalas dan sering melakukan class
action menuntut kebijakan yang lebih transparan dan beradab. Mungkin kerena
meraka hampir tidak kebagian jatah tetapi selalu menjadi sasaran omelan
masyarakat karena dana BOS sama sekali tidak membantu meringankan beban
mereka untuk menjadikan anak-anaknya tidak buta hurup seperti orangtuanya.
Tidak seperti kepala sekolah yang memiliki kewenangan mutlak seperti raja
karena memang dilindungi oleh sistem kongkalikong, taraf kehidupan mereka
mulai berubah lambat laun menjadi kaum borjuis kelas kampungan, ada
beberapa yang sudah berani memakai roda empat sekedar ingin menunjukkan
dominasi kekuasaanya dan membuat garis perbedaan yang jalas antara guru
dan kepala sekolah.