AMIR HAMZAH*
Sebuah upaya mengangkat citra dan martabat merupakan antitesis dari anggapan
bahwa terdapat suatau kenyataan yang tidak selaras secara normatif telah terjadi dalam
tatanan sebuah masyarakat. karenanya perlu dilakukan pembenahan, penataan ulang,
bahkan pada tingkatan perombakan sebuah kemapanan pola yang sudah berlaku secara
umum dalam lingkungan sebuah masyarakat.
Upaya-upaya seperti ini tentu saja tidak begitu saja mendapatkan tanggapan yang
memadai dari komunitas masyarakat yang bersangkutan karena sangat mungkin
perubahan dianggap mengancam taradisi yang telah berlangsung secara turun temurun.
Bisa jadi upaya menuju perbaikan sudah sering dilakukan sebelumnya, misalkan oleh para
tokoh agama, pendidikan di sekolah atau lembaga lain yang berkepentingan secara
nasional.
Tetapi, sampai saat ini tampaknya usaha yang ada belum membuahkan hasil yang
meggembirakan. Pesan-pesan normatif yang disampaikan melalui kegiatan-kegiatan
keagamaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan bahkan politik, masih bersifat retorik
belaka. Hal itu menunjukkan bahwa usaha yang ada masih pasif dan tidak belum
mengesankan masyarakat untuk menyadari akan pentingnya tuntutan jaman. Perubahan
yang terjadi belum menunjukkan sebuah kesadaran yang menjadi bagian dalam pola
kehidupan sehari-hari.
STIGMATISASI
Masyarakat Pulau Mandangin terisolir, tidak ada akses yang memadai untuk
melakukan asimilasi secara intens degan masyarakat luar. Tidak ada catatan sejarah yang
dapat menunjukkan sejak kapan pulau kecil tersebut berpenghuni dan dari mana asal-usul
penghuninya. Fakta mitospun tidak menunjukkan indikasi bahwa leluhur mereka adalah
Bangsacara dan Ragapadmi karena keduanya meninggal akibat pembunuhan pada masa
kerajaan. Sementara ini yang berkembang di kalangan masyarakat luas bahwa mereka
berasal dari komunitas “buangan” karena penyakit kusta yang sengaja diisolir oleh
pemerintah. Perlu dimaklumi bahwa penanganan penyakit tersebut pada masanya belum
sebaik sekarang.
Masyarakat Pulau Mandangin adalah pelaut yang handal dan suka bekerja keras,
tidak jarang mereka melaut berhari-hari sampai ke luar Madura untuk memperoleh
penghasilan yang cukup. Biasanya mereka membentuk satu tim dalam satu rombongan
kapal yang besar dengan peralatan yang dirancang sebagai teknologi tepat guna. Tidak
jarang pula yang hanya melaut sendirian dengan kapal kecil yang hanya dilengkapi oleh
mesin sederhana atau lasim disebut dengan mesin “tempel”.
c. Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan yang dimaksud adalah sistem kekeluargaan mereka yang masih
terikat kuat dalam himpunan keluarga-keluarga besar. Kebanyakan dari mereka masih
hidup secara berkelompok dalam satu lingkungan rumah tangga. Banyak ditemukan dari
beberapa deret rumah dihuni oleh satu ikatan keluarga sedarah ditambah oleh orang luar
yang terikat dalam perkawinan. Hal ini memunculkan suatu kebiasaan saling bergotong-
royong antara mereka dalam kegiatan sehari-hari maupun dalam hajatan yang lebih besar.
Terdapat pula kebiasaan mengambil anak angkat, baik dari kerabatnya maupun dari
orang lain dengan sistem pembagian satu hasil tangkapan untuk si pengasuh. Biasanya si
anak angkat terus menerus hidup bersama orangtua angkatnya meskipun orang tua
kandungnya tinggal tidak jauh dari mereka. Kebiasaan unik tersebut dilakukan oleh
seluruh kalangan masyarakat tanpa membedakan status sosial.
d. Minim pendidikan
Pendidikan merupakan kunci dari segala permasalahan. Dapat dipastikan jika
tingkat pendidikan suatu masyarakat tinggi, maka tingkat kesadaran mereka terhadap
tatanan normatif kehidupan juga menjadi tinggi dan sebaliknya. Pemerintah sudah
berupaya keras untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan di Pulau
Mandangin. Terhitung sembilan sekolah dasar negeri, satu sekolah menengah negeri dan
satu SLTA swasta serta program-program informal terus diberdayakan. Belum lagi
pendirian yayasan-yayasan pendidikan yang juga didanai oleh pemerintah serta yayasan
pendidikan informal yang juga mendapatkan bantuan yang tidak sedikit, begitupula
pemberanasan buta huruf dan kejar paket terus digalakkan. Tetapi sampai saat ini segala
upaya tersebut belum mampu mendongkrak kesadaran masyarakat terhadap tuntutan
jaman yang makin terbuka.
Kenyataan ini memang terasa pahit, terutama bagi para guru yang mengabdi di
Pulau Mandangin. Meskipun bukan berarti upaya mereka sia-sia, tetapi fakta berbicara
bahwa keadaan masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Kesadaraan masyarakat
terhadap pentingnya pendidikan masih belum terbentuk. Dikotomi sekolah agama
(pesantren) dan sekolah umum masih menjadi pemehaman yang perlu diluruskan. Lebih
dari 70 % lulusan SD melanjutkan ke pesantren, menikah atau berhenti samasekali,
sisanya melanjutkan ke SMP. Artinya perlu ditingkatkan lagi upaya-upaya yang mengarah
kepada hal-hal yang bersifat praktis daripada teoritis. Hal-hal yang lebih memiliki nilai
manfaat dan langsung dirasakan oleh masyarakat bahwa pendidikan itu penting dalam
kehidupan sehari-hari dan bukan alat untuk mencari kerja.