Anda di halaman 1dari 7

KULTUR MASYARAKAT PULAU MANDANGIN

ANTARA ADAT DAN TUNTUTAN JAMAN


Sebuah upaya mengangkat citra dan martabat

AMIR HAMZAH*

Masyarakat Pulau Mandangin merupakan sebuah komunitas yang unik, mereka


tinggal di pulau kecil sekitar perairan selat Madura, dalam administrasi pemerintahan,
Pulau Mandangin berada dalam wilayah teritorial Kecamatan Sampang. Masyarakat kota
biasa menyebut komunitas Pulau sebagai orang ”poloh” (orang pulau), sebuah sebutan
yang memberikan stigma perbedan yang sangat jelas dengan komunitas masyarakat
perkotaan, yang biasa disebut sebagai orang dataran, padahal mereka hidup dalam satu
kesatuan wilayah Kecamatan Sampang.

Keunikan mayarakat Pulau Mandangin bisa dilihat dari pola-pola kebudayaannya


yang sangat berbeda dengan pola masyarakat kota. Namun seringkali keunikan-keunikan
tersebut justru bedampak negatif dan tidak menguntungkan bagi citra dan martabat
masyarakat Pulau. Hal ini akan berdampak tidak baik di masa yang akan datang apabila
tidak dilakukan upaya rekonstruksi sejak dini.

LATAR POKOK MASALAH

Sebuah upaya mengangkat citra dan martabat merupakan antitesis dari anggapan
bahwa terdapat suatau kenyataan yang tidak selaras secara normatif telah terjadi dalam
tatanan sebuah masyarakat. karenanya perlu dilakukan pembenahan, penataan ulang,
bahkan pada tingkatan perombakan sebuah kemapanan pola yang sudah berlaku secara
umum dalam lingkungan sebuah masyarakat.

Upaya-upaya seperti ini tentu saja tidak begitu saja mendapatkan tanggapan yang
memadai dari komunitas masyarakat yang bersangkutan karena sangat mungkin
perubahan dianggap mengancam taradisi yang telah berlangsung secara turun temurun.
Bisa jadi upaya menuju perbaikan sudah sering dilakukan sebelumnya, misalkan oleh para
tokoh agama, pendidikan di sekolah atau lembaga lain yang berkepentingan secara
nasional.

Tetapi, sampai saat ini tampaknya usaha yang ada belum membuahkan hasil yang
meggembirakan. Pesan-pesan normatif yang disampaikan melalui kegiatan-kegiatan
keagamaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan bahkan politik, masih bersifat retorik
belaka. Hal itu menunjukkan bahwa usaha yang ada masih pasif dan tidak belum
mengesankan masyarakat untuk menyadari akan pentingnya tuntutan jaman. Perubahan
yang terjadi belum menunjukkan sebuah kesadaran yang menjadi bagian dalam pola
kehidupan sehari-hari.

STIGMATISASI

Masyarakat Pulau Mandangin terisolir, tidak ada akses yang memadai untuk
melakukan asimilasi secara intens degan masyarakat luar. Tidak ada catatan sejarah yang
dapat menunjukkan sejak kapan pulau kecil tersebut berpenghuni dan dari mana asal-usul
penghuninya. Fakta mitospun tidak menunjukkan indikasi bahwa leluhur mereka adalah
Bangsacara dan Ragapadmi karena keduanya meninggal akibat pembunuhan pada masa
kerajaan. Sementara ini yang berkembang di kalangan masyarakat luas bahwa mereka
berasal dari komunitas “buangan” karena penyakit kusta yang sengaja diisolir oleh
pemerintah. Perlu dimaklumi bahwa penanganan penyakit tersebut pada masanya belum
sebaik sekarang.

Stigmatisasi bahwa masyarakat Pulau Mandangin adalah identik dengan penyakit


kusta masih berlanjut sampai saat ini, meskipun data pengurangan yang ditunjukkan oleh
dinas kesehatan sudah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Beberapa kasus yang
ditemukan lebih kepada kurang kesaadaran pada penderita untuk melakukan antisipasi
sejak dini dengan memeriksakan ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit. Kemungkinan lebih
dari 95% masyarakat Pulau Mandangin sudah terbebas dari penyakit kusta. Upaya yang
dilakukan pemerintah dalam menangani masalah tersebut sangat baik dan menjadi
prioritas, terbukti dengan dibangunnya dua Puskesmas Pembantu dengan tenaga yang
didatangkan dari luar serta melibatkan masyarakat setempat guna memperlancar
perencanaan, di antaranya; secara berkala petugas mendatangi rumah-rumah penduduk
untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan secara gratis, juga dilakukan sensus
kesehatan secara berkala untuk mengetahui perkembangan hasil yang telah dicapai. Di
sekolah-sekolah dilakukan imunisasi rutin oleh pihak Puskesmas, juga seringkali dilakukan
penyuluhan kesehatan di balai desa. Bagaimanakah menghilangkan stigma i buruk tersebut
dan menempatkan masyarakat Pulau Mandangin sejajar dengan masyarakat luar?
Beberapa hal yang perlu dihatikan sebagai berikut:

POLA-POLA PRILAKU MASYARAKAT

Pola Prilaku Positif

a. Pelaut yang handal

Masyarakat Pulau Mandangin adalah pelaut yang handal dan suka bekerja keras,
tidak jarang mereka melaut berhari-hari sampai ke luar Madura untuk memperoleh
penghasilan yang cukup. Biasanya mereka membentuk satu tim dalam satu rombongan
kapal yang besar dengan peralatan yang dirancang sebagai teknologi tepat guna. Tidak
jarang pula yang hanya melaut sendirian dengan kapal kecil yang hanya dilengkapi oleh
mesin sederhana atau lasim disebut dengan mesin “tempel”.

Kebiasaan tersebut juga melahirkan percampuran budaya antara masyarakat


pulau yang ada di sekitar perairan selat Madura maupun selat Jawa. Hal ini memberikan
dampak positif bagi perkembangan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat, terutama
dalam hal perekonomian di mana banyak sekali terjadi transaksi ekonomi lintas pulau. Di
samping itu, hal tersebut menguntungkan bagi masyarakat kota Sampang pada umumnya.
Lalu lintas perdagangan ikan konsumsi maupun industri banyak melibatkan masyarakat
kota.

b. Kultur agama yang kuat


Nuansa religius masih sangat kental dalam komunitas masyarakat nelayan pada
umumnya, tetapi masyarkat Mandangin lebih steril dari pengaruh luar, tidak seperti
komunitas nelayan yang ada di wilayah “daratan” yang sudah terkontaminasi. Misalkan
pola berpakaian mereka masih mencitrakan muslim tradisional yang sesungguhnya
sehingga tidak sulit membedakan komunitas Mandangin dalam komunitas masyarakat
yang lebih luas. Contoh lain adalah rata-rata masyarakatnya lulusan pondok pesantren dan
tidak sedikit di antara mereka yang hafidz Qur’an (mampu membaca tanpa melihat teks).
Di samping itu rata-rata masyarakatnya sudah menunaikan ibadah haji—
bagaimanapun caranya—dan menjadi suatu kebanggan tersendiri dalam tatanan status
sosial. Melaksanakan ibadah haji adalah cita-cita yang paling ingin dicapai oleh sebagian
besar masyarakat.

c. Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan yang dimaksud adalah sistem kekeluargaan mereka yang masih
terikat kuat dalam himpunan keluarga-keluarga besar. Kebanyakan dari mereka masih
hidup secara berkelompok dalam satu lingkungan rumah tangga. Banyak ditemukan dari
beberapa deret rumah dihuni oleh satu ikatan keluarga sedarah ditambah oleh orang luar
yang terikat dalam perkawinan. Hal ini memunculkan suatu kebiasaan saling bergotong-
royong antara mereka dalam kegiatan sehari-hari maupun dalam hajatan yang lebih besar.
Terdapat pula kebiasaan mengambil anak angkat, baik dari kerabatnya maupun dari
orang lain dengan sistem pembagian satu hasil tangkapan untuk si pengasuh. Biasanya si
anak angkat terus menerus hidup bersama orangtua angkatnya meskipun orang tua
kandungnya tinggal tidak jauh dari mereka. Kebiasaan unik tersebut dilakukan oleh
seluruh kalangan masyarakat tanpa membedakan status sosial.

Pola Prilaku Negatif


a. Minim kebersihan
Masalah ini menjadi sangat krusial ketika sudah menyangkut kepentingan
kesehatan, suka atau tidak penyebab dari buruknya kondisi kesehatan masyarakat
disebabkan oleh buruknya kesadaran terhadap pentingnya kesehatan. Hal ini penting,
mengingat ekonomi masyarakat Pulau Mandangin rata-rata sudah jauh lebih baik dan
sejatera. Tidak ada alasan bahwa buruknya prilaku hidup sehat masyarakat disebabkan
oleh keadaan ekonomi mereka.
Artinya prilaku buruk tersebut lebih disebabkan oleh tingkat kesadaran yang
rendah terhadap pentingnya kesehatan. Kebiasaan menyimpang yang menyebabkan
munculnya bibit penyakit dianggap sesuatu yang wajar. Tidak ada yang melarang atau
menganggap salah ketika ada orang yang membuang sampah ke laut dan bahkan buang
“hajat” di tepian pantai sudah menjadi pemandangan yang biasa dan dilakukan oleh semua
kalangan, tua-muda, laki-laki dan perempuan. Tentu saja pemandangan itu tidak sedap dan
bahkan menjijikan, apalagi tempat tinggal mereka berderet di sepanjang bibir pantai.
Masalah MCK (mandi, cuci dan kakus) merupakan faktor utama dan mendesak
untuk segera diselesaikan. Sudah saatnya masyarakat Pulau Mandangin sadar bahwa di
samping membuat rumah yang layak huni juga tidak kalah pentingnya memperhatikan
MCK demi menjaga kesehatan bersama. Seharusnya tidak perlu terjadi ironisasi di mana
sebuah rumah besar dan tergolong cukup bagus tidak memiliki fasilitas yang sangat fital
tersebut.

b. Minim kesadaran hukum


Penting untuk diketahui oleh seluruh masyarakat bahwa mereka hidup dalam
negara hukum sehingga apapun yang dilakukan dalam kontek bernegara dan bermsyarakat
tidak bisa lepas dari peraturan hukum yang bersifat mengikat. Fakta yang terjadi dan
dianggap sesuatu yang wajar adalah beredarnya barang-barang ilegal di tengah-tengah
masyarakat, bahkan memiliki nilai bisnis yang tidak kecil. Bagaimana tidak prihatin jika
kenyataan Pulau yang hanya berjarak sepenggal dari kota Sampang itu menjadi sarang
penggelapan barang-barang haram?
Kadangkala minimnya kesadaran hukum masyarakat tersebut juga dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Tidak jarang transaksi ilegal
sering terjadi terang-terangan di dalam kota untuk selanjutnya dibawa ke Pulau
Mandangin. Memang, masalah ini tidak bisa dipandang sepihak, tetapi bagaimanapun
tingkat kesaadaran masyarakatlah yang menentukan apakah mereka mau atau tidak
menaati hukum.
c. Praktek klenik dan perdukunan
Salah satu ciri dari masyarakat terbelakang adalah percaya terhadap mitos dan
tahayul. Mereka lebih mengedepankan kepercayaan terhadap klenik dan perdukunan
daripada logika dan nalar sehat. Sebenarnya keadaan semacam itu merupakan manifestasi
dari ketidak berdayaan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan hidup yang rumit.
Mereka lebih memilih jalan pintas dan percaya terhadap kabar angin tanpa pertimbangan
logika yang sehat.
Praktek klenik dan perdukunan di Pulau Mandangin tidak sekedar upaya alternatif
ketika menemui jalan buntu tetapi menjadi pilihan utama dan sekaligus menjadi
stigmatisasi yang semakin memperburuk keadaan. Pulau Mandangin selalu identik dengan
sihir, santet, teluh dan sejenisnya. Padahal kenyataan yang terjadi hanya sekedar kabar
burung, hanya desas-desus yang kemudian berkembang luas di tengah-tengah masyarakat
bahkan meluas ke luar wilayah. Tidak jarang keadaan ini berakibat fatal ketika masyarakat
terprovokasi oleh isu, kemudian main hakim sendiri. Banyak kasus penyerangan dan
pembantaian oleh massa yang dilatarbelakangi oleh isu yang tidak jelas sumbernya.

d. Minim pendidikan
Pendidikan merupakan kunci dari segala permasalahan. Dapat dipastikan jika
tingkat pendidikan suatu masyarakat tinggi, maka tingkat kesadaran mereka terhadap
tatanan normatif kehidupan juga menjadi tinggi dan sebaliknya. Pemerintah sudah
berupaya keras untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan di Pulau
Mandangin. Terhitung sembilan sekolah dasar negeri, satu sekolah menengah negeri dan
satu SLTA swasta serta program-program informal terus diberdayakan. Belum lagi
pendirian yayasan-yayasan pendidikan yang juga didanai oleh pemerintah serta yayasan
pendidikan informal yang juga mendapatkan bantuan yang tidak sedikit, begitupula
pemberanasan buta huruf dan kejar paket terus digalakkan. Tetapi sampai saat ini segala
upaya tersebut belum mampu mendongkrak kesadaran masyarakat terhadap tuntutan
jaman yang makin terbuka.
Kenyataan ini memang terasa pahit, terutama bagi para guru yang mengabdi di
Pulau Mandangin. Meskipun bukan berarti upaya mereka sia-sia, tetapi fakta berbicara
bahwa keadaan masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Kesadaraan masyarakat
terhadap pentingnya pendidikan masih belum terbentuk. Dikotomi sekolah agama
(pesantren) dan sekolah umum masih menjadi pemehaman yang perlu diluruskan. Lebih
dari 70 % lulusan SD melanjutkan ke pesantren, menikah atau berhenti samasekali,
sisanya melanjutkan ke SMP. Artinya perlu ditingkatkan lagi upaya-upaya yang mengarah
kepada hal-hal yang bersifat praktis daripada teoritis. Hal-hal yang lebih memiliki nilai
manfaat dan langsung dirasakan oleh masyarakat bahwa pendidikan itu penting dalam
kehidupan sehari-hari dan bukan alat untuk mencari kerja.

UPAYA MENGANGKAT CITRA DAN MARTABAT


Masalah ini adalah masalah bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam
hal ini tidak mungkin terjadi perbaikan jika tidak terjadi sinergi antara keduanya.
Pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pendidikan dan masyarkat awam harus
bekerjasama. Perlu diperhatikan bahwa pondasi menuju masyarakat yang bermartabat
sekarang sudah terbentuk. Jumlah anak masuk sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi tiap tahun semakin bertambah. Terlepas apakah latar belakang motifasi
mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, yang penting kwantitas lulusan SMA dan
yang sederajat semakin bertambah, tinggal bagaimana memoles kwalitasnya. Hal tersebut
merupakan modal dasar yang sangat baik dan cukup untuk membangun sebuah tatanan
masyarakat yang berbudaya dan berwawasan nasional, tinggal bagaimana pendidikan
dijadikan sebagai pola hidup masyarakat secara lebih luas tanpa meninggalkan prilaku
yang agamis.
Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam pasal 3 UU No. 20
tahun 2003, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

*Penulis adalah guru SDN P. Mandangin


Sedang menyelesaikan Program Masteral
di Ateneo deNaga University The Philippines

Anda mungkin juga menyukai