Anda di halaman 1dari 10

CIVIC EDUCATION

TATA KELOLA KEPEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BAIK (CLEAN AND GOOD GOVERNANCE)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


OLEH: Uning Sartika Dewi Farhani Shaliha Isni Karimah Khoiril Anwar

Dosen Pembimbing: Drs. Studi Rizal Lolombuan Kontu, M.Ag.

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB 2010
A. PENDAHULUAN Istilah clean and good governance merupakan bagian dari wacana baru dalam kosakata ilmu politik, yaitu pengelolaan atau tata pemerintahan yang bersih dan baik. Wacana tersebut seringkali dikaitkan dengan tuntutan akan pengelolaan pemerintah yang profesional, akuntabel dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Isu dan perdebatan clean and good governance merupakan bagian yang penting dalam wacana umum demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani yang diusung oleh gerakan reformasi yang dalam pemaknaannya merupakan pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga negara kepada masyarakat dan pemerintahan yang beradab melalui wujud pemeintahan yang suci dan damai. B. PEMBAHASAN Secara umum istilah clean and good governance berarti segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai yang baik dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lembaga kepemerintahan maupun diluar kepemerintahan (good corporate). Sebagai paradigma dalam pengelolaan lembaga negara, clean and good governance dapat terwujud secara maksimal jika ditopang oleh dua unsur yang saling terkait, yaitu negara dan masyarakat madani yang didalamnya terdapat sektor swasta. Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan publik dari perspektif birokrasi elitis menjadi birokrasi populis yang berorientasi melayani dan berpihak pada kepentingan masyarakat, begitu pula dengan masyarakatnya yang ikut serta dalam membangun,menanggapi, dan mengontrol kinerja pemerintah dibantu sektor swasta yang berperan aktif dalam proses pengelolaan sumber daya dan perumusan kebijakan publik. 1. Prinsip-prinsip pokok good governance

Untuk menghasilkan pemerintahan yang profesional dan akuntable yang bersandar pada prinsip-prinsip good governance, Lembaga Administrasi Negara merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Partisipasi Aktif Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun tidak secara langsung melalui lembaga perwakilan yang sah yang mewakili mereka, dengan dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Partisipasi masyarakat terutama dalam perihal pembangunan, kehidupan sosial dan politik, ditunjang dengan regulasi birokrasi yang diminimalisasi dari segi aturan dan hal lainnya sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. 2) Penegakan Hukum Partisipasi masyarakat dalam pembangunan mesti ditunjang oleh aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen demi menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia (HAM) sebagai hak universal yang dimiliki oleh setiap orang. Dengan sistem dan aturan hukum yang kuat dan pasti, maka proses politik akan tertata dengan baik, begitu juga sebaliknya. Sehubungan dengan hal tersebut, pakar politik Santosa menegaskan dalam proses mewujudkan cita-cita pemerintahan yang baik itu harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakan rule of law dengan karakter-karakter diantaraanya: a. supremasi hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar dan independen, dengan terbebas dari tindakan penguasa atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kekuatan yang dimilikinya), b. kepastian hukum, yakni hukum yang dijalankan jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan satu dengan yang lainnya, c. hukum yang responsif, yakni aturan hukum iu disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik sehingga tidak hanya mewakili kepentingan kalangan elite atau segolongan tertentu saja, d. hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, yakni berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Sehingga diperlukan para penegak hukum yang memiliki integritas dan bertanggung jawab tehadap kebenaran hukum,

e. independensi peradilan, yakni peradilan harus merdeka, berdiri sendiri diatas semua golongan tanpa dipengaruhi oleh pihak penguasa atau pihak lainnya. 3) Transparansi Transparansi atau keterbukaan untuk umum adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance, karena jika tidak adanya unsur ini Indonesia akan terjelembab dalam kubangan korupsi yang parah dan berkepanjangan. Prinsip ini diterapkan oleh pemerintah khususnya dalam sektor ekonomi. Dalam proses kebijakan publik, hal ini mutlak dilakukan dalam rangka membendung budaya korupsi dikalangan pelaksana pemerintahan, baik pusat maupun di bawahnya. Terdapat tujuh macam korupsi yang biasa dikembangkan dan dilakukan kalangan birokrasi, yaitu: 1. Transactive coruption, yakni korupsi yang dilakukan saat bertransaksi. 2. Extortive corruption (korupsi pemasaran), yakni pihak tertentu memeras pelaksana pekerjaan sehingga hasilnya tidak optimal. 3. Insetive corruption, yakni tindakan korupsi dimana terjadi kesalahan dan kebijakan, investasi yang belum memiliki kepastian dalam perolehan keuntungannya. 4. Nepotistive corruption (korupsi nepotisme), yakni pemberian pekerjaan pada lingkaran keluarga sehingga mengurang efektivitas kontrol. 5. Defensive corruption (korupsi untuk mempertahankan diri), yakni dengan jalan pihak korban memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mempertahankan diri dan perilaku pemberiannya itu merugikan negara. 6. Autogenic corruption (korupsi otogenik), yakni korupsi yang dilakukan seseorang dengan tidak melibatkan orang lain. 7. Supportive corruption, yakni korupsi untuk melindungi kegiatan korupsi lain yang telah dilaksanakannya. Oleh karena itu, demi mewujudkan pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawa sesuai dengan cita good governance maka seluruh mekanisme pengelolaan negara harus dilakukan secara terbuka. Menurut Affan Gaffar terdapat delapan aspek mekanisme yang harus dilakukan secara transparan, yaitu: penetapan posisi, jabatan atau kedudukan, kekayaan pejabat publik, pemberian penghargaan, penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan, kesehatan,

moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik, keamanan dan ketertiban, kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat. Diantara kebijakan pemerintah yang dijadikan agenda bersama warga Indonesia adalah kampanye nasional dan pembentukan gerakan masyarakat anti korupsi dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat madani. 4) Responsif Pemerintah disini harus responsif terhadap persoalan masyarakat, dengan memahami kebutuhaan mereka tanpa menunggu mereka menyampaikan keinginannya, melainkan proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk kemudian menghasilkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum. Dalam hal ini pemerintah harus memiliki dua etika, yaitu etika individual dan etika sosial. Etika individual menuntut pelaksana pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Sedangkan etika sosial menuntut agar memiliki sensitifitas tehadap kebutuhan publik yang diantaranya harus terus merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok sosial sesuai dengan karakteristik budayanya. Oleh karenanya, dalam hal ini pemerintah dapat melakukan generalisasi terhadap kebutuhan masyarakat yang universal, diantaranya: a. kebahagian terbesar dalam jumlah yang besar, b. mengangkat kondisi dasar kemasyarakatan terutama bagi mereka yang paling tidak beruntung, c. melakukan sesuatu yang membuat semua orang menjadi lebih baik, atau setidaknya tidak menjadikan lebih buruk. Pemerintahan itu bisa dikatakan baik jika telah menghasilkan berbagai kebijakan yang berdampak terhadap sebagian besar warganya, telah mampu mengangkat harkat dan derajat kualitas kehidupan warganya dari posisi buruk dibawah kelayakan menjadi lebih baik lagi, begitu pula dengan sebaliknya. 5) Consesus (Persetujuaan Mufakat) Asas ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui persetujuan bersama, yang dengan hal ini pengambilan keputusan dapat memuaskan semua pihak, menjadi keputusan yang mengikat dan bersama, sehingga mempunyai kekuatan memaksa bagi semua komponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusannya.

Untuk meningkatkan dinamika dan menjaga akuntabilitas dari proses pengelolaan pemerintahan, dalam pengambilan berbagai kebijakannya maka haruslah mengembangkan beberapa sikap, antara lain: a. optimistik, yakni sikap yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan benar, b. keberanian, yakni keberanian dalam mengambil keputusan dan kebijakan dengan penuh integritas dan kejujuran sesuai dengan prosedur yang benar, tetap tabah dan ulet dalam pelaksanaan kebijakannya, tanpa takut akan intimidasi, tekanan atau desakan kalangan elit politik, penguasa, kelompok atau organisasi sosial tertentu, c. keadilan yang bewatak kemurahan hati, yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik. Karena jika tanpa adanya hal ini, dapat menimbulkan kecemburuan dan keretakan sosial, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakstabilan dalam kehidupan politik. 6) Equity (Persamaan) Maksud dari equity dalam hal ini adalah persamaan keadilan dalam hal perlakuan dan pelayanan, walaupun keberadaan masyarakat terdiri dari berbagai macam etnis, suku, agama maupun budaya. 7) Effectiveness and Efficiency (Efektivitas dan Efisiensi) Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Begitu pula asas efisiensi yang umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Konsep dari efektivitas dalam sektor kegiatan publik memiliki makna yang ganda, yaitu efektivitas dalam pelaksanaan proses pekerjaan, baik oleh pejabat maupun partisipasi dari masyarakat, dan yang selanjutnya adalah efektivitas dalam konteks hasil, berupa kemampuan memberikan kesejahteraan pada sebesar-sebesarnya kelompok dan sosial. 8) Accountability (Pertanggungjawaban) Maksudnya adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Baik dalam segi pertanggungjawaban kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya kepada masyarakat. Pengembangan asas ini tiada lain agar para pejabat aatau unsur-unsur yang diberi kewenangan mengelola urusan publik senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang

melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kalangan terdekat, sehingga kepentingan publik dapat tercapai dalam keadaan optimal. Secara teoritik, akuntabilitas terdiri atas dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal yang menyangkut hubungan antara pemerintah dan warganya melalui partai politik, LSM dan institusi lainnya, kemudian akuntabilitas horizontal yang menyangkut hubungan pemegang jabatan publik dengan lembaga yang setara dengannya, seperti presiden dengan DPR pusat dan sebagainya. 9) Strategic Vision (Visi Strategis) Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan good govenance karena perkembangan dunia dalam hal pengetahuan dan teknologi, sehingga hal tersebut harus dirumuskan dan disusun dalam rencana-rencana strategis. Dengan kata lain kebijakan apapun yang diambil saat ini harus diperhitungkan akibatnya dimasa yang akan datang. 2. Clean and good governance dan kontrol sosial Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan lembaga melahirkan kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga atau pemerintahan. Untuk mewujudkan yang bersih berdasarkan prinsip good governance setidaknya harus dilakukan lima aspek prioritas, yaitu: 1. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan. 2. Kemandirian lembaga peradilan. 3. Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah. 4. Penguatan partisipasi masyarakat madani. 5. Peningkatan program otonomi daerah. 3. Tata Kelola Kepemerintahan Yang Bersih dan Gerakan Anti KKN Korupsi merupakan tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Beberapa hal yang menjadi akar permasalahan terjadinya korupsi diantaranya adalah: kemiskinan, kekuasaan, budaya,

ketidaktahuan, rendahnya kualitas moral suatu masyarakat, lemahnya kelembagaan politik dari suatu negara, adanya penyakit bersama. Dari akar permasalahan korupsi yang terjadi, maka akan terjadi berbagai macam dampak diakibatkan dari perilaku korupsi itu sendiri, yaitu: Cerminan atas kegagalan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Cerminan dari kenaikan harga administrasi. Menularnya korupsi ke sektor swasta dalam bentuk upaya mengejar laba dengan cepat dan berlebihan dalam situasi yang sulit diramalkan, dan melemahkan investasi dalam negeri sehingga mengurangi partisipasi dan pertumbuhan sektor swasta. Mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik. Merusak mental aparat pemerintah, melunturkan keberanian dalam mematuhi standar etika yang tinggi. Menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan, yang akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah. Rakyat beranggapan bahwa melakukan tindakan korup adalah hal yang wajar dikarenakan para petinggi mereka melakukan hal tersebut. Banyaknya para pejabat korup yang tidak memperhatikan rakyatnya karena hanya memikirkan diri sendiri. Menyebabkan ketidakadilan dan kerugian yang besar dalam sektor produktivitas. Segala keputusan yang ada dinilai berdasarkan materi dan maraknya tindak pemerasan. Gerakan Anti Korupsi Dua unsur yang paling berperan dalam tindak korupsi, yaitu peluang korupsi dan keinginan korupsi yang ada dalam waktu bersamaan. Oleh karena itu, kedua hal tersebut harus dikontrol dan diminimalisir dengan cara mengadakan perubahan secara sistematis, menegakan hukum serta menakutinya secara nyata dan efektif, menegakan mekanisme akuntabilitas, kemudian mencegah dan mendidik masyarakat agar menolak kepada korupsi. Adapun mekanisme penanggulangan korupsi dapat dijalankan dalam beberapa cara, antara lain:

1. Politis. 2. Penegakan hukum secara adil. 3. Membangun mekanisme penyelenggara pemerintahan yang menjamin terlaksananya good and clean governance. 4. Pendidikan anti korupsi. 5. Membangun lembaga-lembaga pendukung upaya pencegahan korupsi. 6. Gerakan membangun kesadaran religiusitas anti korupsi. 4. Tata Kelola Kepemerintahan Yang Baik dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik Tujuan akan pembentukan organisasi publik yakni untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik, maka kinerja birokrasi dapat dikatakan berhasil apabila mampu mewujudkan tujuannya. Indikator kinerja birokrasi yang merupakan ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen berikut: Indikator masukan (input), segala sesuatu yang dibutuhkan agar birokrasi mampu menghasilkan produknya, meliputi Sumber Daya Manusia, informasi, dan sebagainya. Indikator keluaran (output), sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan baik fisik maupun non fisik. Indikator hasil (outcome), sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Indikator manfaat (benefit), sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir pelaksanaan kegiatan. Indikator dampak (impact), pengaruh yaang ditimbulkan, baik positif maupun negatif berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. Dari beberapa indikator yang ada, pada umumnya ada tiga indikator yang biasa digunakan sebagai ukuran sejauh mana kinerja birokrasi yang berorientasi kepada keuntungan, antara lain: a. efisiensi, hubungan antar output dan input dimana penggunaan barang dan jasa untuk mencapai output tertentu, b. efektivitas, hubungan antara output dan tujuan dimana efektivitas diukur berdasarkan tingkatan output, kebijakan, dan prosedur untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan,

c. ekonomis, hubungan antara pasar dan input dimana pembelian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan pada harga terbaik yang dimungkinkan. Kinerja birokrasi di masa depan dipengaruhi oleh beberapa faktor: Struktur birokrasi. Kebijakan pengelolaan, berupa visi dan misi birokrasi. Sumber Daya Manusia. Sistem informasi manajemen. Sarana dan prasarana yang dimiliki. Keberadaan suatu pemerintahan dapat dikatakan baik, jika telah menghasilkan berbagai kebijakan yang berdampak terhadap sebagian besar warganya yang disertai dukungan, respon dan tanggapan secara positif. Sebaliknya, pemerintahan itu menjadi buruk, manakala telah membuat sebagian besar warganya hidup tidak selayaknya dibarengi dengan sikap acuh dan tanggapan secara pasif. Untuk itu, perlu adanya keseimbangan dan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat dalam proses pembangunan negara yang demokratis yang sejalan dengan landasan dan tujuan negara guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good goverment). D. DAFTAR PUSTAKA Ubaedillah,A, Rojak, Abdul, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media. Jakarta: 2003. www. wikipedia. com.

C. PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai