Anda di halaman 1dari 49

BAB I PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Dry socket merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pasca pencabutan gigi permanen. Tingkat insidensi dry socket dilaporkan mencapai 0,5% hingga 5% pada pencabutan gigi dan dapat bervariasi dari 1% hingga 37,5% pada pencabutan gigi molar ketiga mandibula. Pencabutan gigi secara bedah juga dilaporkan dapat meningkatkan insidensi dry socket 10 kali lebih tinggi.1 Patogenesis yang tepat dari dry socket belum diketahui secara pasti.1 Namun, banyak faktor yang memiliki kontribusi pada terjadinya dry socket, seperti tingkat pengalaman operator, infeksi perioperatif, jenis kelamin, daerah pencabutan gigi, penggunaan oral kontrasepsi, merokok serta penggunaan anastesi lokal dengan vasokonstriktor.2 Berdasarkan penelitian pada 1087 pasien yang menjalani operasi

pengangkatan gigi molar ketiga mandibula pada Departemen Oral dan Maksilofasial King Hussein Medical Centre, Royal Medical Services antara bulan Januari 1999 hingga Desember 2008, diperoleh data dan dianalisis mengenai insidensi dry socket. Lima puluh empat pasien dari 208 sampel perokok kembali dengan adanya dry socket. Sampel perokok sebesar 19,1% dari total sampel keseluruhan. Perbedaan

insidensi dry socket antara sampel perokok dan non perokok secara statistik menunjukkan arti yang signifikan.3 Berdasarkan penelitian pada 838 kasus pencabutan gigi dari 469 pasien di Jordanian Dental Teaching Centre, diperoleh prevalensi dry socket secara keseluruhan yaitu 4,8%. Prevalensi dry socket sebesar 9,1% pada perokok dan perokok berat (23 insidensi dry socket dari pencabutan 263 gigi) dibandingkan dengan 3% (17 insidensi dry socket dari pencabutan 575 gigi) pada non perokok. Secara statistik menunjukkan arti yang signifikan.4 Merokok merupakan hal yang biasa ditemukan, baik pada orang dewasa maupun remaja, khususnya laki-laki. Membicarakan rokok tidak terlepas dari unsur utama rokok itu sendiri yaitu tembakau. Penggunaan tembakau terus berlanjut sebagai bahan yang menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia. Menurut WHO, ada 1,3 Milyar perokok di dunia dan sepertiganya berasal dari populasi Global yang berusia 15 tahun ke atas serta 84% diantaranya berasal dari dunia ketiga.5 Berdasarkan pengamatan peneliti di Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea, terdapat banyak pengunjung yang datang untuk melakukan pencabutan gigi permanennya. Bahkan, terkadang ada pasien yang mengabaikan instruksi dokter gigi pasca pencabutan gigi, seperti tidak diperkenankan untuk merokok. Penelitian ini dilakukan di Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea, karena penelitian ini merupakan penelitian klinis. Melalui penelitian ini diharapkan agar dapat diketahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi dry socket. Peneliti mengharapkan agar kelak hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan

pertimbangan bagi dokter gigi dalam perawatan pasca pencabutan gigi, jika terdapat arti yang signifikan terhadap terjadinya infeksi pasca pencabutan gigi.

1.2

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi terjadinya dry socket ?

1.3

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi terjadinya dry socket.

1.4

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu : 1. Dapat memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi terjadinya dry socket dan untuk mengetahui pencegahan yang dapat dilakukan untuk kasus tersebut. 2. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi dokter gigi dalam perawatan pasca pencabutan gigi sebagai bentuk upaya yang efektif untuk mencegah infeksi pasca pencabutan gigi.

1.5

HIPOTESA PENELITIAN

Terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi terjadinya dry socket.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

ALVEOLAR OSTEITIS (DRY SOCKET)

2.1.1

Definisi Dry socket Dry socket dikenal sebagai osteitis lokal atau vokal dan secara klinis

bermanifestasi berupa inflamasi yang meliputi salah satu atau seluruh bagian dari lapisan tulang padat pada soket gigi (lamina dura).6 Dry socket digambarkan sebagai komplikasi pada disintegrasi bekuan darah intra alveolar yang dimulai sejak hari kedua hingga keempat pasca pencabutan gigi.7 Dry socket adalah gangguan dalam penyembuhan yang terjadi setelah pembentukan bekuan darah yang matang, tapi sebelum bekuan darah tersebut digantikan oleh jaringan granulasi.8 Alveolar osteitis adalah sakit pasca operasi pada atau di sekitar soket gigi yang dapat meningkat tiap waktu antara hari pertama dan hari ketiga setelah pencabutan yang ditandai dengan hilangnya bekuan darah pada soket alveolar serta dengan atau tanpa halitosis.1 Terdapat banyak istilah yang sering digunakan untuk komplikasi ini di antaranya, seperti alveolar osteitis, alveolitis, alveolitis sicca

dolorosa,localized alveolar osteitis, fibrinolytic alveolitis, septic socket, necrotic socket, dan alveolalgia.1

2.1.2

Tanda dan gejala klinis Tanda dan gejala klinis dry socket antara lain : a) Dry socket muncul pada hari 1-3 setelah pencabutan gigi dengan durasi biasanya hingga 5-10 hari.1 b) Hilangnya bekuan darah pada soket bekas pencabutan dan biasanya dipenuhi oleh debris.7 c) Rasa sakit yang hebat dan berdenyut dimulai sejak 24-72 jam setelah pencabutan gigi dan dapat menjalar hingga ke arah telinga dan tulang temporal.8 d) Pada soket bekas pencabutan, tulang alveolar sekitar diselimuti oleh lapisan jaringan nekrotik berwarna kuning keabu-abuan.1 e) Inflamasi margin gingiva di sekitar soket bekas pencabutan.1 f) Mukosa sekitar biasanya berubah warna menjadi kemerahan.1

g) Ipsilateral regional lymphadenopathy1 h) Halitosis1

Gambar 2.1. Gambaran klinis dry socket pada gigi molar kedua maksila. Sumber : Fragiskos D. Oral Surgery. Berlin : Springer ; 2007. p.199.

2.1.3

Klasifikasi Hermesch et al dalam jurnal Clinical Concepts of Dry socket

mengklasifikasikan komplikasi ini ke dalam tiga tipe, yaitu : 7 a) Superficial alveolitis marginal Pada marginal alveolitis, mukosa perialveolar menjadi terinflamasi dan sebagiannya tertutupi oleh jaringan granulomatosa serta terasa sakit selama mastikasi. b) Suppurative alveolitis Pada alveolitis supuratif, bekuan darah terinfeksi dan tertutupi oleh membran berwarna hijau keabu-abuan serta dapat mengandung fragmen dental atau tulang yang sequester. Hal ini menyebabkan rasa sakit yang cukup hebat dan kadang-kadang disertai demam.

c)

Dry socket

Pada dry socket, dinding tulang alveolar terbuka, hilangnya bekuan darah secara total atau parsial, berwarna agak gelap dan bau yang busuk. Rasa sakit yang hebat dan terus-menerus yang tidak dapat reda dengan pemberian analgesik. Hyperthermia lokal dan lymphadenopathy juga dapat mumcul pada tipe alveolitis ini.

Selain itu, Oikarinen dalam jurnal Clinical Concepts of Dry socket mengklasifikasikan komplikasi ini menjadi dua, yaitu :7 a) Real alveolitis Real alveolitis menghasilkan gejala yang khas dari dry socket dan memerlukan follow up secara profesional. b) Nonspecific alveolitis Nonspecific alveolitis terjadi pada hari ketiga hingga keempat pasca pencabutan gigi. Tipe ini lebih sering ditemukan dan tidak memerlukan perawatan profesional meskipun terdapat gejala rasa sakit.

2.1.4

Etiologi Beberapa teori telah menyampaikan mengenai etiologi dry socket. Hal

tersebut mencakup infeksi, trauma dan agen biokimia.10 Etiologi yang tepat mengenai dry socket belum dapat terdefinisikan. Namun, beberapa faktor lokal dan sistemik diketahui memiliki kontribusi pada terjadinya dry socket, antara lain : 1 a) Trauma Bedah dan Kesulitan dalam Bedah

Hal ini karena lebih banyak pembebasan second direct tissue activator pada inflamasi bone marrow yang dapat terjadi jika pencabutan gigi lebih sulit dan traumatik. Pencabutan gigi secara bedah 10 kali lipat dapat meningkatkan insidensi dry socket dibandingkan dengan pencabutan gigi secara non bedah.1 b) Kurangnya Pengalaman Operator Larsen mengemukakan bahwa operator yang kurang berpengalaman dapat menyebabkan trauma yang lebih besar selama pencabutan gigi, khususnya pencabutan gigi molar ketiga mandibula secara bedah. 1 c) Molar Ketiga Mandibula Dry socket lebih banyak ditemukan pada pencabutan gigi molar ketiga mandibula. Hal ini berkaitan dengan kepadatan tulang yang meningkat, vaskularisasi menurun dan berkurangnya kapasitas produksi jaringan granulasi yang bertanggung jawab khusus pada daerah tersebut. 1 d) Penyakit Sistemik Beberapa penelitian mengemukakan bahwa terdapat asosiasi antara penyakit sistemik dengan dry socket. Pasien dengan immunocompromised atau diabetes cenderung untuk mengalami dry socket karena dapat mengubah proses penyembuhan luka. 1 e) Kontrasepsi Oral Kontrasepsi oral merupakan satu-satunya medikasi yang memiliki asosiasi dengan insidensi dry socket. Selain itu, ditemukan bahwa peningkatan insidensi dry socket memiliki korelasi dengan penggunaan

kontrasepsi oral. Estrogen dikatakan memiliki peran yang signifikan dalam proses fibrinolisis. Estrogen dipercaya mengaktifkan sistem fibrinolitik (meningkatkan faktor II, VII, VIII, X dan plasminogen) secara tidak langsung dan kemudian menyebabkan peningkatan lisis bekuan darah. 1 f) Jenis Kelamin Banyak penulis mengklaim bahwa jenis kelamin perempuan tanpa memperhatikan penggunaan kontrasepsi oral merupakan predisposisi terjadinya dry socket. Namun, dikemukakan juga bahwa tidak ada perbedaan dalam insidensi dry socket yang berasosiasi dengan jenis kelamin. 1 g) Merokok Beberapa studi mengemukakan terdapat hubungan antara merokok dengan dry socket. Mekanisme sistemik atau pengaruh lokal secara langsung (panas atau isapan rokok) pada daerah pencabutan gigi yang menyebabkan peningkatan insidensi dry socket juga belum diketahui secara pasti. Dipertimbangkan bahwa fenomena ini berkaitan dengan paparan substansi asing yang dapat bertindak sebagai kontaminan pada daerah pencabutan gigi. 1 h) Physical Dislodgement of the Clot (Tercabutnya Bekuan Darah) Dari berbagai teori, tidak ada fakta yang ditemukan pada literatur mengenai hal ini, yang disebabkan oleh manipulasi atau tekanan negatif jika mengisap melalui sedotan dapat memiliki kontribusi terjadinya dry socket. 1

10

i) Infeksi bakteri Banyak studi yang mendukung bahwa infeksi bakteri merupakan faktor utama terjadinya dry socket. Penelitian mengenai asosiasi antara Actinomyces viscosus dan Streptococcus mutans pada dry socket menunjukkan penyembuhan luka yang lambat dari daerah bekas pencabutan gigi setelah inokulasi mikroorganisme ini pada model hewan. 1 Nitzan et al dalam jurnal Review Article Alveolar Osteitis : a Comprehensive Review of Concepts and Controversies juga melakukan observasi plasmin, berupa aktivitas fibrinolitik pada kultur Treponema denticola, yaitu mikroorganisme yang terdapat pada penyakit periodontal. 1 j) Irigasi yang Berlebihan atau Kuretase Alveolus Irigasi yang berlebihan secara berulang-ulang pada alveolus dapat mengganggu pembentukan bekuan darah, sedangkan kuretase secara keras dapat melukai tulang alveolar. 1 k) Umur Semakin tua umur pasien, resiko untuk mengalami dry socket juga semakin tinggi. Dikemukakan juga bahwa pengangkatan gigi molar ketiga mandibula sebaiknya dilakukan sebelum umur 24 tahun.1 l) Anestesi Lokal dengan Vasokonstriktor Penggunaan anestesi lokal dengan vasokonstriktor dapat

meningkatkan insidensi dry socket. Dikemukakan bahwa frekuensi dry socket meningkat dengan anestesi infiltrasi. Karena, ischemia temporer dapat menyebabkan suplai darah berkurang. 1

11

m) Saliva Beberapa penulis berpendapat bahwa saliva memiliki kontribusi terhadap terjadinya dry socket. Namun, belum ditemukan bukti secara ilmiah yang mendukung hal tersebut. 1 n) Terdapat Sisa Fragmen Tulang/Akar pada Luka Fragmen sisa tulang atau akar dan debris dapat menyebabkan terganggunya penyembuhan dan memiliki kontribusi dalam insidensi dry socket. 1 o) Desain Flap/Penggunaan Jahitan pada Luka Bukti mengenai hubungan antara hal ini dengan insidensi dry socket masih belum dapat dijelaskan secara ilmiah. 1

2.1.5

Patogenesis Patogenesis yang tepat mengenai dry socket belum sepenuhnya

diketahui. Artikel Birn di antara tahun 1963 dan 1973 mengemukakan mengenai patofisologi dry socket yang lebih mudah dimengerti.1 Studi klinis dan eksperimental oleh Birn dalam jurnal Review Article Alveolar Osteitis : a Comprehensive Review of Concepts and Controversies telah menjelaskan mengenai peningkatan aktivitas lokal fibrinolitik sebagai faktor prinsipil etiologi terjadinya dry socket. Birn mengamati terjadinya peningkatan aktivitas fibrinolitik pada alveolus dengan dry socket dibandingkan dengan aveolus normal. Birn memperkuat pernyataannya bahwa lisis total atau partial dan hancurnya bekuan darah

12

disebabkan oleh pelepasan mediator selama inflamasi oleh aktivasi plasminogen direct atau indirect ke dalam darah.7 Ketika mediator dilepaskan oleh sel-sel pada tulang alveolar pasca trauma, plasminogen akan berubah menjadi plasmin yang menyebabkan pecahnya bekuan darah oleh disintegrasi fibrin. Perubahan ini terjadi oleh adanya proaktivator selular atau plasmatik dan aktivator lainnya. Aktivatoraktivator tersebut diklasifikasikan menjadi direct (fisiologik) dan indirect (nonfisiologik) aktivator dan juga telah dibagi ke dalam subklasifikasi berdasarkan sumbernya, yaitu aktivator intrinsik dan ekstrinsik. 7 Aktivator intrinsik berasal dari komponen plasma, seperti aktivator factor XII-dependent atau factor-Hageman-dependent dan urokinase. Direct aktivator intrinsik berasal dari luar plasma dan termasuk aktivator jaringan dan plasminogen endothelial. Aktivator jaringan plasminogen paling banyak ditemukan pada mamalia, termasuk pada tulang alveolar. Indirect aktivator termasuk streptokinase dan stafilokinase. Substansi-substansinya dihasilkan dari interaksi antara bakteri dengan plasminogen dan bentuk aktivator kompleks tersebut yang mengubah plasminogen menjadi plasmin. 7 Rasa sakit yang khas pada dry socket berhubungan dengan pembentukan senyawa kinin di dalam alveolus. Kinin mengaktifkan terminal nervus primer afferen yang peka terhadap mediator inflamasi dan susbtansi allogenik lainnya yang pada konsentrasi 1ng/ml dapat menyebabkan rasa sakit yang hebat. Plasmin juga menyebabkan perubahan kallikrein menjadi kinin di dalam sumsum tulang alveolar. Sehingga, adanya plasmin dapat menjelaskan

13

kemungkinan terjadinya dry socket dari berbagai aspek (seperti neuralgia dan disintegrasi bekuan darah). 7 Sedangkan, studi oleh Nitzan dalam jurnal Modern Concepts in Understanding and Management of the Dry socket Syndrome : Comprehensive Review of the Literature mengemukakan bahwa plasmin tidak diaktifkan oleh aktivator jaringan, melainkan merupakan produk independen. Menurutnya, penggunaan antibiotik lokal dapat mengurangi dry socket, sehingga tidak konsisten dengan konsep mengenai aktivator jaringan. Hal tersebut telah diketahui bahwa produk bakterial digunakan untuk mengobati penyakit thromboembolik dengan meningkatkan fibrinolisis. Oleh sebab itu, implikasi bahwa bakteri sebagai penghasil plasmin telah dibuat. 10 Treponema denticola diketahui berkembang biak dan menghancurkan bekuan darah tanpa menghasilkan gejala klinis yang khas pada infeksi, seperti kemerahan, bengkak atau terbentuknya pus dan sebelumnya telah diisolasi dari dry socket. Treponema denticola adalah bakteri anaerob yang berimplikasi pada penyakit periodontal dan dapat menghasilkan bau busuk yang khas dari dry socket. 10 Treponema denticola menunjukkan aktivitas fibrinolitik seperti plasmin, sedangkan bakteri rongga mulut lainnya pada umumnya hanya memiliki aktivitas yang minim. T. denticola merupakan koloni yang belakangan ditemukan pada rongga mulut dan berimplikasi lebih lanjut karena dry socket jarang ditemukan pada anak-anak.10

14

2.1.6

Perawatan Tujuan perawatan dry socket adalah untuk mengurangi rasa sakit yang

dirasakan oleh pasien selama proses penyembuhan yang tertunda. Hal ini biasanya diselesaikan dengan irigasi pada soket, debridemen secara mekanik dan penempatan dressing yang mengandung eugenol. Dressing perlu untuk diganti setiap hari selama beberapa hari dan kemudian berkurang frekuensinya. Rasa sakit biasanya hilang dalam 3 sampai 5 hari, meskipun dapat mencapai 10 sampai 14 hari pada beberapa pasien.8 Beberapa studi menunjukkan teknik Matthew's pada tahun 1982 dan Mitchell's tahun 1986 sangat efektif. Mereka menggunakan granula dextranomer (Debrisan) dan pasta kolagen (Formula K) tanpa mengamati terjadinya reaksi tubuh yang asing seperti pada penggunaan zinc

oksida/campuran eugenol. Dengan perawatan ini, rasa sakit berangsur-angsur reda dan pasien diinstruksikan untuk menghindari mengunyah pada sisi yang tersebut. Selain itu, menjaga oral hygiene tetap ditekankan.9

2.2

ROKOK

2.2.1

Definisi Rokok Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus yang meliputi kretek

dan rokok putih yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.11

15

2.2.2

Jenis Rokok

Berdasarkan komposisi bahan dasarnya, rokok terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : 11 a) Rokok Kretek Rokok kretek adalah rokok khas Indonesia sebagai hasil olahan tembakau rajangan dan/atau krosok dicampur cengkeh rajangan dan sacs serta bahan tambahan lainnya yang diizinkan dan dibungkus dengan menggunakan berbagai bahan pembungkus.11 Kretek dikenal juga dengan nama cigarettes cengkeh, karena mengandung 40% cengkeh dan 60% tembakau. Sediaan ini sangat terkenal di Indonesia. Bahaya yang ditimbulkan hampir sama, namun demikian ada beberapa yang khas yaitu : 5 Cengkeh menimbulkan aroma yang enak, sehingga menutup faktor bahaya tembakau. Cengkeh mengeluarkan zat eugenol yang mempengaruhi efek sensori. Suatu studi di Indonesia memperlihatkan bahwa perokok kretek mempunyai risiko 13 20 kali lebih besar untuk terjadinya kerusakan paru dibandingkan dengan bukan perokok. b) Rokok Putih Rokok putih adalah rokok dengan atau tanpa filter yang menggunakan tembakau Virginia iris dan/atau tembakau lainnya tanpa menggunakan

16

cengkeh, digulung dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan tambahan yang diizinkan.11

2.2.3

Kandungan Rokok Bahan dasar rokok adalah tembakau. Tembakau merupakan tanaman

yang dapat menimbulkan adiksi karena mengandung nikotin dan juga zat-zat karsinogen serta zat-zat beracun lainnya. Setelah diolah menjadi suatu produk apakah rokok atau produk lain , zat-zat kimia yang ditambahkan berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan tubuh serta kanker.5 Tembakau mengandung kurang lebih 4000 elemen elemen dan setidaknya 200 diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada tembakau adalah tar, nikotin, dan CO. Beberapa kandungan rokok antara lain yaitu: 5 a) Karbon Monoksida (CO) Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang/karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat mencapai 3% - 6%. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah lebih kuat

dibandingkan oksigen. Sehingga setiap ada asap tembakau, di samping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah CO dan bukan oksigen. 5

17

b)

Nikotin Nikotin yang terkandung dalam rokok adalah sebesar 0,5- 3 nanogram dan semuanya diserap sehingga di dalam cairan darah terdapat sekitar 4050 nanogram nikotin setiap 1 ml-nya. Nikotin bukan merupakan komponen karsinogenik. Hasil pembusukan panas dari nikotin seperti dibensakridin, karsinogenik. 5 dibensokarbasol, dan nitrosamine yang bersifat

c)

Tar Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paruparu. Kadar tar dalam tembakau antara 0,5-35 mg/ batang. Tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada jalan nafas dan paru-paru. 5

d)

Kadmium Kadmium adalah zat yang dapat meracuni jaringan tubuh terutama ginjal.5

e)

Amoniak Amoniak merupakan gas yang tidak berwarna terdiri dari nitrogen dan hidrogen. 5

f)

Hidrogen Sianida (HCN) HCN merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah

18

terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi pernafasan dan merusak saluran pernafasan. 5 g) Nitrogen Oksida Nitrogen oksida merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terhisap dapat menyebabkan hilangnya akal dan rasa sakit. 5 h) Formaldehida Formaldehida adalah sejenis gas dengan bau tajam. Gas ini tergolong sebagai pengawet dan pembasmi hama. Gas ini juga sangat beracun terhadap semua organisme. 5 i) Fenol Fenol adalah campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang. Zat ini beracun dan membahayakan karena fenol terikat ke protein sehingga menghalangi aktivitas enzim. 5 j) Asetol Asetol adalah hasil pemanasan aldehid dan mudah menguap dengan alkohol. 5 k) Asam Sulfida (H2S) Asam sulfida adalah sejenis gas yang beracun yang mudah terbakar dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oksidasi enzim. 5 l) Piridin

19

Piridin adalah sejenis cairan tidak berwarna dengan bau tajam. Zat ini dapat digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama. 5 m) Metil Klorida Metil Klorida adalah campuran dari zat zat bervalensi satu dengan hidrokarbon sebagai unsur utama. zat ini adalah senyawa organik yang beracun. 5 n) Metanol Metanol adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap dan mudah terbakar. Meminum atau menghisap metanol mengakibatkan kebutaan bahkan kematian. 5 o) Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) Senyawa hidrokarbon aromatik yang memiliki cincin dideskripsikan sebagai Fused Ring System atau PAH. Beberapa PAH yang terdapat dalam asap tembakau antara lain Benzo (a) Pyrene, Dibenz (a,h) anthracene, dan Benz(a)anthracene. Senyawa ini merupakan senyawa reaktif yang cenderung membentuk epoksida yang metabolitnya bersifat genotoksik. Senyawa tersebut merupakan penyebab tumor. 5 p) N- nitrosamina N - nitrosamina dibentuk oleh nirtrasasi amina. Asap tembakau mengandung 2 jenis utama N- nitrosamina, yaitu Volatile N- Nitrosamina (VNA) dan Tobacco N-Nitrosamina. Hampir semua Volatile NNitrosamina ditahan oleh sistem pernafasan pada inhalasi asap tembakau.

20

Jenis tembakau VNA diklasifikasikan sebagai karsinogen potensial.5

yang

2.2.4

Dampak rokok terhadap penyembuhan luka Penyembuhan luka merupakan proses dinamis yang terdiri dari 4 fase

yang berkelanjutan, overlap dan terprogram secara tepat. Peristiwa dalam tiap fase harus terjadi secara tepat dan dengan cara teratur. Gangguan, penyimpangan atau perpanjangan dalam proses dapat menyebabkan

terlambatnya penyembuhan luka atau luka kronis yang tidak dapat disembuhkan.12 Pada manusia dewasa, penyembuhan luka optimal meliputi : (1) Kecepatan hemostasis ; (2) Ketepatan inflamasi ; (3) Diferensiasi, proliferasi dan migrasi sel mesenkimal ke daerah yang luka ; (4) Angiogenesis yang sesuai ; (5) Re-epitelisasi secara cepat (pertumbuhan kembali jaringan epitel di atas permukaan luka) ; dan (6) Sintesis dan cross-linking kolagen untuk menyediakan kekuatan bagi jaringan penyembuhan.12 Proses penyembuhan luka terdiri dari 4 fase yang terintegrasi : hemostasis, inflamasi, proliferasi dan remodelling jaringan atau resolusi. Keempat fase ini dan fungsi biofisiologisnya dapat terjadi dalam suatu rangkaian, pada waktu yang spesifik dan berlanjut dalam durasi spesifik pada intensitas yang optimal. Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka dengan mengganggu satu atau lebih fase dalam proses ini. Hal ini menyebabkan rusaknya perbaikan jaringan.12

21

Tabel 2.1 Proses normal penyembuhan luka Fase Proses selular dan biofisologis Hemostasis Proliferasi Konstriksi vaskular Agregasi platelet, degranulasi dan pembentukan fibrin (trombin) Infiltrasi neutrofil Infiltrasi monosit dan diferensiasi menjadi makrofag Infiltrasi limfosit Re-epitelisasi Angiogenesis Sintesis kolagen Pembentukan matriks ekstraselular Remodelling kolagen Maturasi vaskular dan regresi

Inflamasi

Remodelling

Sumber :Guo S, DiPietro LA. Factors Affecting Wound Healing. J Dent Res 2010 ; 89 (3) : p. 220

Efek negatif merokok terhadap penyembuhan luka telah diketahui sejak lama. Pasca operasi, pasien yang merokok menunjukkan keterlambatan dalam penyembuhan luka dan peningkatan berbagai komplikasi, seperti infeksi, ruptur pada luka, kebocoran anastomotik, nekrose flap, epidermolisis dan menurunnya daya regang pada luka.12 Sekitar lebih dari 4000 substansi dalam rokok tembakau yang telah teridentifikasi dan beberapa menunjukkan dampak yang negatif pada penyembuhan. Banyak studi memfokuskan pada efek nikotin, karbon monoksida dan hidrogen sianida dalam rokok. Nikotin kemungkinan dapat mengganggu suplai oksigen dengan menyebabkan ischemia jaringan karena nikotin dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan melalui efek vasokonstriksi. Nikotin menstimulasi akivitas saraf simpatik dan 22

menghasilkan pelepasan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi periferal dan menurunnya perfusi darah pada jaringan. Nikotin juga dapat meningkatkan viskositas darah yang disebabkan oleh aktivitas fibrinolitik yang menurun dan augmentasi daya lekat platelet. 12 Selain nikotin, karbon monoksida dalam rokok dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Karbon monoksida secara agresif berikatan dengan hemoglobin dengan afinitas 200 kali lebih besar daripada oksigen. Hal ini menghasilkan menurunnya jumlah hemoglobin oksigenasi dalam aliran darah.12 Hidrogen sianida juga telah diketahui merupakan komponen dalam rokok yang dapat merusak metabolisme oksigen seluler dan menyebabkan konsumsi oksigen yang membahayakan bagi jaringan. 12 Merokok menunjukkan efek yang negatif terhadap penyembuhan luka dalam rongga mulut setelah scaling periodontal, bedah periodontal atau luka bekas pencabutan gigi. Telah dilaporkan bahwa meningkatnya frekuensi merokok atau merokok pada pada hari dilakukannya bedah, secara signifikan dapat meningkatkan insidensi alveolar osteitis yang disebut juga dry socket. Mekanisme penghambatan penyembuhan mungkin berhubungan dengan peningkatan level plasma pada adrenalin dan noradrenalin setelah merokok, dan menyebabkan vasokonstriksi periferal dan merusak fungsi neutrofil polimorfonuklear. 13

23

BAB III KERANGKA KONSEP

Remaja dan Dewasa

Pencabutan gigi permanen Faktor kontribusi

Kebiasaan merokok

Daerah pencabutan gigi

Infeksi pasca pencabutan gigi

Alveolar Osteitis (dry socket)

Tanda dan gejala klinis

Waktu Tidak melakukan instruksi pasca pencabutan gigi

Berdampak negatif

Penyebaran infeksi

24

Keterangan : Variabel bebas

Variabel akibat

Variabel moderator

25

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1

RANCANGAN PENELITIAN

Desain atau rancangan penelitiannya adalah observasi studi longitudinal prospektif yaitu dengan melakukan observasi mengenai insidensi alveolar osteitis (dry socket) pasca pencabutan gigi pada pasien Bagian Bedah Mulut di RSGM Kandea pada saat tertentu (selama periode penelitian). Hasilnya merupakan suatu analisis mengenai bagaimana fenomena hubungan antara kebiasaan merokok pada pasien dengan insidensi dry socket yang ditemukan.

4.2

POPULASI DAN SAMPEL

4.2.1

Populasi Populasi yang digunakan adalah pasien pada Bagian Bedah Mulut di RSGM Kandea.

4.2.2

Sampel Sampel yang digunakan adalah pasien pada Bagian Bedah Mulut di RSGM Kandea yang datang untuk mencabut gigi permanen pada saat penelitian dan sesuai kriteria inklusi. Kriteria inklusi sebagai berikut : a) Pasien yang bersedia untuk dilakukan pemeriksaan terhadap kondisi soket bekas pencabutan gigi dan mengizinkan untuk dilakukan penelitian terhadapnya. 26

b) c) d)

Pasien laki-laki yang berusia di atas 17 tahun. Pasien yang bersedia untuk dilakukan follow up. Pasien yang merokok.

4.3

DEFINISI OPERASIONAL 4.3.1 Kebiasaan merokok adalah kegiatan menghisap rokok yang dilakukan berulang kali dan teratur baik dengan menggunakan rokok kretek maupun rokok non kretek. Kebiasaan merokok dinilai dengan menggunakan Indeks Brinkman (BI) untuk mengetahui derajat berat merokok. 4.3.2 Jumlah batang rokok per hari adalah jumlah rokok tiap batang yang dikonsumsi oleh pasien rata-rata setiap harinya. 4.3.3 Durasi merokok adalah lamanya waktu pasien mengonsumsi rokok yang dimulai sejak awal hingga saat pengisian kuesioner. 4.3.4 Jenis rokok adalah jenis rokok yang dikonsumsi oleh pasien yang dibedakan menurut komposisi bahannya yaitu dengan cengkeh (kretek) dan tanpa cengkeh (non kretek). 4.3.5 Alveolar osteitis (dry socket) adalah sakit pasca operasi pada atau di sekitar soket gigi yang dapat meningkat tiap waktu antara hari pertama dan hari ketiga setelah pencabutan yang ditandai dengan adanya jaringan nekrotik berwarna kuning keabuan serta limfadenopati regional.

27

4.3.6 Intensitas rasa sakit adalah tingkatan rasa sakit yang dirasakan oleh pasien pada soket bekas pencabutan gigi ketika diaplikasikan sonde lurus ke dalam soket. 4.3.7 Jaringan nekrotik adalah lapisan berwarna kuning keabu-abuan yang terdapat dalam soket bekas pencabutan gigi. 4.3.8 Limfadenopati adalah pembengkakan pada kelenjar limfe regional pada regio gigi yang telah dilakukan pencabutan.

4.4

ALAT DAN BAHAN 4.4.1 Alat 4.4.1.1 4.4.1.2 Nier becken digunakan sebagai tempat alat dan kapas. Kaca mulut digunakan untuk melihat keadaan soket bekas pencabutan gigi dan menarik pipi. 4.4.1.3 4.4.1.4 Pinset digunakan untuk menjepit kapas. Sonde lurus digunakan untuk pemeriksaan klinis soket bekas pencabutan gigi. 4.4.1.5 Kuisioner dan Indeks Brinkman (BI).

4.4.2 Bahan 4.4.2.1 Alkohol 70% digunakan untuk disinfeksi alat-alat yang dipakai. 4.4.2.2 Betadine digunakan untuk disinfeksi daerah yang akan diperiksa. 4.4.2.3 Kapas

28

4.4.2.4 4.4.2.5

Alat tulis digunakan untuk mencatat data. Gelas dan air digunakan pasien untuk berkumur.

4.5

KRITERIA PENILAIAN

4.5.1 Kebiasaan Merokok Jumlah batang rokok per hari digolongkan menjadi(4) : perokok ringan : pasien yang merokok 20 batang per hari perokok berat : pasien yang merokok > 20 batang per hari

Durasi merokok digolongkan menjadi : perokok ringan : pasien yang merokok 20 tahun perokok berat : pasien yang merokok > 20 tahun Perokok dan non perokok ditentukan berdasarkan kuisioner yang dibagikan kepada sampel. Berdasarkan Indeks Brinkman, perokok

diklasifikasikan menjadi dua subkelompok yaitu perokok berat (Indeks Brinkman 600) dan perokok ringan (Indeks Brinkman <600).(14) Cara menghitung Indeks Brinkman yaitu : Indeks Brinkman (BI) Jumlah batang rokok per hari x durasi lama merokok (tahun) Sehingga, sampel pada penelitian ini dikelompokkan menjadi : a) Perokok ringan yaitu pasien dengan nilai Indeks Brinkman <600 b) Perokok berat yaitu pasien dengan nilai Indeks Brinkman >600

29

Berdasarkan jenis rokok yang digunakan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu(11) : c) Rokok jenis kretek adalah rokok khas Indonesia sebagai hasil olahan tembakau rajangan dan/atau krosok dicampur cengkeh rajangan dan sacs serta bahan tambahan lainnya yang diizinkan dan dibungkus dengan menggunakan berbagai bahan pembungkus. d) Rokok jenis non kretek yang dimaksud adalah rokok putih. Rokok putih adalah rokok dengan atau tanpa filter yang menggunakan tembakau Virginia Iris dan/atau tembakau lainnya tanpa menggunakan cengkeh, digulung dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan tambahan yang diizinkan.

4.5.2

Dry socket Insidensi alveolar osteitis (dry socket) diukur dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif yang digunakan adalah berupa kuisioner yang dibagikan kepada sampel. Sedangkan, metode kuantitatif berupa pengamatan klinis berdasarkan indeks yang dinilai berdasarkan tiga hal yaitu : 4.5.2.1 Intensitas Rasa Sakit Intensitas rasa sakit diukur melalui pemeriksaan secara klinis dengan menggunakan sonde lurus. Sonde lurus diaplikasikan pada soket bekas pencabutan gigi untuk melihat reaksi pasien. Sehingga penilaian digolongkan menjadi 2, yaitu :

30

a) Sakit b) Tidak sakit

4.5.2.2

Ada atau Tidaknya Jaringan Nekrotik

Ada atau tidaknya jaringan nekrotik dinilai melalui pengamatan soket bekas pencabutan gigi secara klinis. Digolongkan menjadi 2, yaitu: c) Ada jaringan nekrotik d) Tidak ada jaringan nekrotik

4.5.2.3

Ada atau Tidaknya Limfadenopati

Ada atau tidaknya limfadenopati dinilai melalui pengamatan secara klinis dengan meraba kelenjar limfe regional. Digolongkan menjadi 2, yaitu: a) Ada limfadenopati b) Tidak ditemukan adanya limfadenopati

31

Kuisioner I untuk sampel perokok dan non perokok Kuisioner Kebiasaan Merokok
Berilah tanda checklist ( ) Nama Umur : : (No. : Tanggal : )

Apakah anda merokok selama 1 bulan terakhir ? Ya, setiap hari Ya, kadang-kadang Berapa umur anda mulai merokok ? Rata-rata berapa berapa batang rokok yang anda hisap per hari? Apa jenis rokok yang anda hisap ? Kretek Non kretek Tidak, tetapi sebelumnya pernah Tidak pernah sama sekali

Sumber : Riset Kesehatan Dasar 2010. Pedoman Pengisian Kuesioner Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta : 2010. hal.71-72.

32

Kuisioner II untuk sampel dry socket


Kuisioner Dry socket Berilah tanda checklist ( ) Nama Umur : : laki-laki perempuan : : sakit soket yang kosong tulang alveolar yang kering bau mulut Waktu muncul rasa sakit sesaat setelah pencabutan 24 jam setelah pencabutan 48 jam setelah pencabutan Perawatan yang diberikan : irigasi dengan larutan saline packing dengan Alvogyl medikasi ______________ 72 jam setelah pencabutan lainnya ______________ (No. : Tanggal : )

Jenis Kelamin : Soket gigi yang dicabut Tanda dan gejala

Sumber :

Nusair YM, Abu Younis MH. Prevalence, Clinical Picture and Risk Factors of Dry socket in a Jordanian Dental Teaching Centre. J Contemp Dent Pract 2007 ; (8)3 : p.5.

33

4.6

PROSEDUR PENELITIAN

a) Penelitian dilakukan selama tiga bulan dan sampel diambil berdasarkan metode random sampling b) Pasien yang telah melakukan pencabutan gigi permanen dan sesuai dengan kriteria inklusi akan diberikan kuesioner I. c) Pasien akan di-follow up pada hari ke-3 hingga hari ke-5 setelah pencabutan gigi dan akan diberikan kuesioner II serta dilakukan pengamatan terhadap soket gigi secara klinis. d) Kemudian, setelah semua data dikumpulkan selama periode penelitian, lalu datanya diolah, disajikan serta dianalisis.

4.7

DATA

a) Jenis data b) Penyajian data

: Data primer : Dalam bentuk tabel dan diagram

c) Pengolahan data : Menggunakan program SPSS d) Analisis data : Uji Chi Square (x2)

34

4.8

ALUR PENELITIAN

Desain Penelitian : Longitudinal Desain Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea

Penentuan dan pengambilan sampel sesuai kriteria inklusi sesaat setelah pencabutan gigi Pengisian kuesioner I

Pengisian kuesioner II dan pengamatan soket gigi secara klinis

hari ke-3 pasca pencabutan gigi

Pengolahan dan penyajian data Analisis data

35

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1

DESKRIPSI DATA

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea pada tanggal 25 April 2012 sampai 29 Juni 2012 diperoleh 38 sampel secara random dari pasien pencabutan gigi permanen di Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea. Hasil penelitian yaitu mengenai tingkat derajat kebiasaan merokok berdasarkan Indeks Brinkman dan insidensi dry socket melalui pemeriksaan secara klinis maupun follow up via telepon bagi pasien yang sukar dihubungi atau mengalami kendala masalah waktu follow up. Kemudian disajikan dalam bentuk tabel sehingga dapat dilihat berapa banyak pasien perokok yang dicabut giginya dan mengalami dry socket pasca pencabutan gigi. Penelitian ini dilakukan pada 38 sampel dari pasien berjenis kelamin laki-laki berusia di atas 17 tahun dan perokok serta melakukan pencabutan gigi permanen di Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea. Penelitian yang dilakukan memperoleh 38 jenis sampel yaitu soket bekas daerah pencabutan gigi pada perokok berjenis kelamin laki-laki. Tingkat kebiasaan merokok dinilai berdasarkan Indeks Brinkman. Perokok ringan mengonsumsi rata-rata 11 batang rokok per hari dengan durasi lama

merokok rata-rata selama 20 tahun. Sedangkan perokok berat mengonsumsi 36 batang rokok per hari dengan durasi lama merokok rata-rata selama 23 tahun. Dengan demikian, perokok ringan memiliki Indeks Brinkman rata-rata 102, sedangkan perokok berat memiliki Indeks Brinkman rata-rata 895.

Tabel 5.1. Ditribusi tingkat kebiasaan merokok berdasarkan Indeks Brinkman pada laki-laki pengunjung RSGM Kandea tanggal 25 April sampai 29 Juni 2012 Nilai Indeks Brinkman Frekuensi (n) Persentase (%) <600 >600 Jumlah 20 18 38 52.63 47.37 100

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dari seluruh sampel insidensi dry socket lebih banyak ditemukan pada perokok berat daripada pada perokok ringan. Pasien pencabutan gigi permanen di-follow up oleh peneliti pada hari ketiga sampai hari kelima pasca pencabutan gigi melalui pemeriksaan secara klinis maupun non klinis. Berdasarkan pemeriksaan klinis, kondisi soket bekas pencabutan gigi dipenuhi oleh debris dan dilapisi oleh jaringan nekrotik berwarna kuning keabu-abuan, terjadi

limphadenopathy dan rasa sakit berdenyut yang dirasakan oleh pasien. Untuk lebih jelasnya mengenai data insidensi dry socket berdasarkan kebiasaan merokok dapat dilihat pada tabel 5.2.

37

Tabel 5.2. Distribusi frekuensi dry socket pada pasien laki-laki pengunjung RSGM Kandea berdasarkan tingkat kebiasaan merokok tanggal 25 April sampai 29 Juni 2012 Sampel Perokok Frekuensi* (n) Persentase (%) Ya Ringan Berat Jumlah
*insidensi dry socket

Tidak 14 6 20

Ya 15.79 31.58 47.37

Tidak 36.84 15.79 52.63

6 12 18

Melalui penelitian pada 38 sampel perokok, insidensi dry socket lebih banyak ditemukan pada pengonsumsi rokok kretek daripada rokok non kretek. Pada umumnya, rokok kretek yang digunakan berupa rokok berwarna coklat yang mengandung bahan tambahan lain selain tembakau serta diproduksi oleh pabrik rokok tertentu sedangkan rokok non kretek yang digunakan rata-rata adalah rokok putih murni tembakau yang diproduksi oleh pabrik rokok tertentu. Untuk lebih jelasnya mengenai insidensi dry socket berdasarkan jenis rokok yang dikonsumsi dapat dilihat pada tabel 5.3.

38

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi dry socket pada pasien laki-laki pengunjung RSGM Kandea berdasarkan konsumsi jenis rokok tanggal 25 April sampai 29 Juni 2012 Jenis Rokok Frekuensi* (n) Persentase (%) Ya Kretek Non Kretek Jumlah *insidensi dry socket 10 8 18 Tidak 10 10 20 Ya 26.31 21.07 47.38 Tidak 26.31 26.31 52.62

39

5.2

PENGUJIAN HIPOTESIS

Tabel 5.4 menunjukkan hubungan antara tingkat kebiasaan merokok dengan insidensi dry socket. Perokok berat berjumlah 18 sampel yang terdiri dari 12 sampel positif sebesar 31.6% (mengalami dry socket) dan 6 sampel negatif sebesar 15.8% (tidak mengalami dry socket). Sedangkan, perokok ringan berjumlah 20 sampel yang terdiri dari 6 sampel positif sebesar 15.8% (mengalami dry socket) dan 14 sampel negatif sebesar 36.8% (tidak mengalami dry socket). Dari hasil uji person chi square diperoleh nilai p = 0.024 artinya terdapat hubungan antara tingkat kebiasaan merokok dengan insidensi dry socket karena nilai p (0.024) < 0.05. Tabel 5.4 Tabel hubungan antara tingkat kebiasaan merokok dengan insidensi dry socket melalui uji chi-square Dry socket Jumlah Sampel Perokok Ringan Berat Total Ya n 6 12 18 % 15.8 31.6 47.4 n 14 6 20 Tidak % 36.8 15.8 52.6 N 20 18 38 % 52.6 47.4 100 p<0.05 p= 0.024

Tabel 5.5 menunjukkan hubungan antara konsumsi jenis rokok dengan insidensi dry socket. Pengonsumsi jenis rokok kretek berjumlah 20 sampel yang terdiri dari 10 sampel positif sebesar 26.3% (mengalami dry socket) dan 10 sampel negatif sebesar 26.3% (tidak mengalami dry socket).

40

Sedangkan, pengonsumsi rokok jenis non kretek berjumlah 18 sampel yang terdiri dari 8 sampel positif sebesar 21.1% (mengalami dry socket) dan 10 sampel negatif sebesar 26.3% (tidak mengalami dry socket). Dari hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0.732, artinya tidak ada hubungan antara jenis rokok dengan insidensi dry socket karena nilai p (0.732) > 0.05.

Tabel 5.5 Tabel hubungan antara konsumsi jenis rokok dengan insidensi dry socket melalui uji chi-square Dry socket Jumlah Jenis Perokok Kretek Non Kretek Total Ya n 10 8 18 % 26.3 21.1 47.4 n 10 10 20 Tidak % 26.3 26.3 52.6 N 20 18 38 % 52.6 47.4 100 p>0.05 p= 0.732

41

BAB VI PEMBAHASAN

Dry socket merupakan suatu infeksi pasca pencabutan gigi yang multifaktorial. Ada beberapa faktor yang memiliki kontribusi pada terjadinya dry socket, seperti tingkat pengalaman operator, infeksi perioperatif, jenis kelamin, daerah pencabutan gigi, penggunaan oral kontrasepsi, merokok serta penggunaan anastesi lokal dengan vasokonstriktor.2 Dalam penelitian yang dilakukan di Bagian Bedah Mulut RSGM Kandea pada tanggal 25 April 2012 sampai 29 Juni 2012, maka dapat diketahui seberapa banyak insidensi dry socket yang dapat terjadi pada pasien perokok. Penelitian ini memperoleh 38 sampel dari pasien perokok pasca pencabutan gigi dan sesuai dengan kriteria inklusi. Terlihat dalam tabel 5.2 insidensi dry socket lebih banyak ditemukan pada perokok berat daripada perokok ringan. Dari 18 sampel perokok berat, terdapat 12 sampel positif sebesar 31.6% yang mengalami dry socket. Sedangkan dari 20 sampel perokok ringan hanya terdapat 6 sampel positif sebesar 15.8% yang mengalami dry socket. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kebiasaan merokok dengan insidensi terjadinya dry socket. Hal ini dapat disebabkan karena rata-rata perokok berat mengonsumsi jumlah batang rokok yang lebih banyak per

42

harinya serta durasi merokok yang lebih lamadaripada perokok ringan. Sehingga, tingkat paparan rokok pada perokok berat juga akan lebih tinggi daripada perokok ringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 38 sampel perokok, sebanyak 18 sampel mengalami dry socket pasca pencabutan gigi dengan persentase sebesar 47.4%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nusair YM, et al 4, di Jordan, prevalensi dry socket sebesar 9,1% pada perokok dan perokok berat (23 insidensi dry socket dari pencabutan 263 gigi) dan menunjukkan arti signifikan. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Abu Younis MH, et al 2, di Palestina, 54 pasien dari 208 sampel perokok kembali dengan adanya dry socket. Sampel perokok sebesar 19,1% dari total sampel keseluruhan secara statistik menunjukkan arti yang signifikan. Tar, nikotin, dan karbonmonoksida merupakan tiga macam bahan kimia yang paling berbahaya dalam asap rokok. Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat asap rokok dan bersifat karsinogenik. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke rongga mulut sebagai uap padat yang setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran napas, dan paru-paru. Komponen tar mengandung radikal bebas, yang berhubungan dengan resiko timbulnya kanker.16 Nikotin merupakan bahan yang bersifat toksik dan dapat menimbulkan ketergantungan psikis. Nikotin merupakan alkaloid alam yang bersifat toksis, berbentuk cairan, tidak berwarna, dan mudah menguap. Zat ini dapat berubah warna menjadi coklat dan berbau seperti tembakau jika bersentuhan dengan udara. Nikotin

43

berperan dalam menghambat perlekatan dan pertumbuhan sel fibroblast ligamen periodontal, menurunkan isi protein fibroblast, serta dapat merusak sel membran. Gas Karbonmonoksida dalam rokok dapat meningkatkan tekanan darah yang akan berpengaruh pada sistem pertukaran haemoglobin. Karbonmonoksida memiliki afinitas dengan haemoglobin sekitar dua ratus kali lebih kuat dibandingkan afinitas oksigen terhadap haemoglobin. Timah hitam (Pb) merupakan komponen rokok yang juga sangat berbahaya. Partikel ini terkandung dalam rokok sebanyak 0,5 g. Batas ambang timah hitam di dalam tubuh adalah 20 miligram per hari. Efek merokok yang timbul dipengaruhi oleh banyaknya jumlah rokok yang dihisap, lamanya merokok, jenis rokok yang dihisap, bahkan berhubungan dengan dalamnya hisapan rokok yang dilakukan. 16 Panas yang ditimbulkan akibat pembakaran rokok, dapat mengiritasi mukosa mulut secara langsung, menyebabkan perubahan vaskularisasi dan sekresi saliva. Terdapat peningkatan laju aliran saliva dan konsentrasi ion Kalsium pada saliva, selama proses merokok. 16 Perubahan vaskularisasi gingiva akibat merokok, menyebabkan terjadinya inflamasi gingiva. Dilatasi pembuluh darah kapiler, diikuti dengan peningkatan aliran darah pada gingiva dan infiltrasi agen-agen inflamasi, menimbulkan terjadinya pembesaran gingiva. Kondisi ini diikuti dengan perubahan populasi sel, yaitu dengan bertambahnya jumlah Limfosit dan Makrofag. 16 Merokok juga menyebabkan penurunan antibodi dalam saliva, yang berguna untuk menetralisir bakteri dalam rongga mulut, sehingga terjadi gangguan fungsi selsel pertahanan tubuh. Potensial reduksi-oksidasi (Eh) pada regio gingiva dan rongga

44

mulut menurun akibat merokok. Hal tersebut berpengaruh terhadap peningkatan jumlah bakteri anaerob dalam rongga mulut. Penurunan fungsi antibodi saliva, disertai dengan meningkatnya jumlah bakteri anaerob rongga mulut, menimbulkan rongga mulut rentan terserang infeksi. 16 Hasil penelitian membuktikan bahwa merokok juga dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh derajat inhalasi asap rokok serta absorbsi nikotin kedalam jaringan. Terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah, menurunnya aktifitas PMNs, berkurangnya aliran darah dan cairan sulkus gingiva, berakibat pada menurunnya suplai oksigen dan nutrisi pada jaringan, sehingga dapat menghambat penyembuhan luka. 16 Pada penelitian ini, sebagian besar pasien yang mengalami dry socket tetap merokok pada hari pencabutan gigi, bahkan pasca dilakukannya prosedur pencabutan gigi. Nikotin dengan rumus molekul C10H14N2, merupakan komponen aktif farmakologis yang utama dari tembakau (Nikotiana tabacum). Nikotin yang dikandung oleh rokok akan merangsang reseptor di otak untuk melepaskan hormon dopamin. Adiksi nikotin terjadi karena interaksi antara nikotin dengan reseptor nikotin (nAChRs) di otak pada daerah mesolimbik dopamin system di Ventral Tegmental Area (VTA) neuron yang mengawali aktivasi Central Nervus System (CNS) termasuk system Mesoaccumbens DA. Reseptor nikotin mengatur pelepasan dopamin (DA). Nikotin merubah aktifitas VTA untuk meningkatkan pelepasan DA. DA adalah suatu senyawa katekolamin yang penting pada otak mamalia, yang mengontrol fungsi aktivitas lokomotorik, kognisi, emosi, reinforsmen positif , dan

45

regulasi endokrin. Dopamin tersebut juga diketahui dapat menimbulkan perasaan tenang dan nyaman. Oleh sebab itu, perokok akan selalu mencari efek nyaman tersebut dengan terus meningkatkan asupan rokok, apalagi ditambah dengan rasa sakit yang ditimbulkan pasca pencabutan gigi.17 Dalam artikel oleh Vellapally S, et al13 menjelaskan bahwa meningkatnya frekuensi merokok atau merokok pada pada hari dilakukannya bedah, secara signifikan dapat meningkatkan insidensi alveolar osteitis yang disebut juga dry socket. Mekanisme penghambatan penyembuhan mungkin berhubungan dengan peningkatan level plasma pada adrenalin dan noradrenalin setelah merokok, dan menyebabkan vasokonstriksi periferal dan merusak fungsi neutrofil

polimorfonuklear. 13 Terlihat pula pada tabel 5.5 bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis rokok dengan insidensi dry socket. Dari 20 sampel pengonsumsi jenis rokok kretek diperoleh 10 sampel positif sebesar 26.3% yang mengalami dry socket. Sedangkan, dari 18 sampel pengonsumsi rokok jenis non kretek diperoleh 8 sampel positif sebesar 21.1% yang mengalami dry socket. Hal tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Hal ini mungkin saja terjadi karena proporsi pengonsumsi jenis rokok kretek pada penelitian ini lebih besar daripada jenis rokok non kretek. Selain itu, dipengaruhi oleh tingkat kebiasaan merokok tiap pasien yang berbeda pula. Penelitian yang dilakukan oleh Fidrianny I, dkk, menunjukkan bahwa kadar nikotin dalam asap rokok kretek berfilter lebih kecil daripada dalam asap rokok kretek tanpa filter. Hal ini disebabkan karena dengan adanya filter sebagian nikotin

46

dalam asap rokok tertahan dalam filter yang memang dibuat untuk maksud tersebut.18 Kadar nikotin dalam asap rokok kretek berfilter ataupun rokok kretek tanpa filter lebih kecil daripada dalam asap rokok putih. Hal ini disebabkan karena dalam rokok kretek berfilter ataupun tanpa filter, sebagian jumlah tembakau digantikan dengan penambahan sejumlah komponen cengkeh, sedangkan dalam rokok putih semuanya terdiri dari komponen tembakau. Dengan demikian jumlah tembakau dalam rokok kretek berfilter ataupun tanpa filter lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah tembakau dalam rokok putih, sehingga kadar nikotin dalam rokok kretek berfilter ataupun tanpa filter lebih kecil daripada dalam rokok putih. 18 Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis rokok kretek maupun rokok non kretek sama-sama berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dipengaruhi oleh ada atau tidaknya filter tersebut maupun komposisi bahan dalam hal ini adalah kadar tembakau dalam rokok tersebut. Namun bagaimanapun, hubungan antara kebiasaan merokok dengan insidensi dry socket juga masih mengalami kontroversi di kalangan peneliti. Patogenesis dry socket juga belum diketahui secara pasti. Dalam jurnal Review Article Alveolar Osteitis : a Comprehensive Review of Concepts and Controversies disebutkan mengenai faktor kontribusi terjadinya dry socket dan literatur terkait. Terdapat empat literatur yang mendukung bahwa merokok merupakan faktor kontribusi terjadinya dry socket, walaupun ada juga dua literatur yang tidak mendukung hal tersebut.

47

BAB VII PENUTUP

7.1 SIMPULAN

Dari pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : Dry socket merupakan suatu infeksi pasca pencabutan gigi yang multifaktorial. Insidensi dry socket lebih banyak ditemukan pada perokok berat daripada perokok ringan. Terdapat hubungan antara tingkat kebiasaan merokok dengan insidensi terjadinya dry socket pada pasien laki-laki pengunjung RSGM Kandea Meningkatnya frekuensi merokok atau merokok pada pada hari dilakukannya bedah, secara signifikan dapat meningkatkan insidensi dry socket. Insidensi dry socket lebih banyak ditemukan pada pengonsumsi jenis rokok kretek daripada rokok non kretek. Tidak terdapat hubungan antara jenis rokok dengan insidensi terjadinya dry socket pada pasien laki-laki pengunjung RSGM Kandea

7.2 SARAN

Hal yang dapat penulis sarankan setelah melakukan penelitian ini yaitu :

48

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai histopatologi kondisi soket bekas pencabutan gigi setelah terpapar oleh rokok

Disarankan agar operator lebih menekankan instruksi pasca pencabutan gigi kepada pasien khususnya larangan untuk merokok.

49

Anda mungkin juga menyukai