Anda di halaman 1dari 16

" Senyum Terakhir Yang Indah "

Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku melihat dia, aku tak tau siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku singgah membeli segelas air untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.

Setelah beristirahat aku langsung menggayuh pedal sepeda untuk pulang ke rumah. Sesampai dirumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tau. Aku segera pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat. Setelah mandi aku memakai pakaian dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si dia juga sedang berada ditaman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghapirinya. Hai.., kataku

Dengan senyum aku menyapanya. Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah novel. Sekali lagi aku mengulangi sapaanku.

Hai.. boleh kenalan gak?. Iya ada apa?, katanya sambil menatap novel yang dibacanya. Aku boleh gak kenalan? Namaku Zhaky, sambil mengulurkan jemariku.

Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tah u namanya. Namaku Tamara, katanya dengan senyum. Kamu tinggal dimana?, kataku. Aku tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah kemarin. Oooo. Kamu anak baru yah?. Memang kenapa?. Tidak kenapa-kenapa kok. Ayo aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya begini-begini saja, pintaku. Ok.. baiklah, katanya dengan lembut.

Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara. Kami berjalan mengeliling taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai

pembicaran. Aku menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan kami dengan candaan yang cukup untuk mengocok perut hingga sakit. Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama karena arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks sedangkan rumahku ada di lorong kedua sebeleh kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan rumah Tamara kami berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.

Suara teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget. Tamara Tamara ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya. Ya bu.. tunggu!, Zhaky aku duluan yah?, katanya dengan senyum. Iya..., kataku sembari membalas tersenyumnya. Kamu juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu. Ok aku pulang yah.. dadah..!, sambil berjalan dan melambaikan tangan.

Di perjalanan, aku hanya bisa berkata baru kali ini aku bisa cepat berkenalan dengan seorang gadis, apalagi gadis seperti Tamara. Kini aku berjalan di antara jalan yang sepi dengan sedikit penerangan dari lampu jalan yang mulai redup dan di kerumuni serangga.

Sesampai di rumah aku di marahi oleh Ibuku. Kamu ke mana aja?, bentak Ibu. Maaf Bu, aku tadi dari keliling taman, kataku sambil menunduk. Lain kali jangan pulang telat lagi yah?. Iya Bu, sembariku meninggalkan ibu di teras rumah. ***

Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah dengan dia, kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghapirinya. Tamara Tamara. tunggu aku!, kataku sambil berlari.

Tamara berhenti dan memegang pundakku. Masih pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!, katanya sembari menyodorkan sapu tangannya. Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat . Iya maaf, kataya sambil tersenyum. Ayo buruan entar pintu gerbang di tutup.

Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas dengan aku. Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah dua hari yang lalu. Tamara naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku. Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru pindah dari Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab. Ok., Teriak semua temanku.

Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari bercerita tentang tugas sekolah.

Kamu suka pelajaran apa?, tanyaku. Aku paling suka pelajaran matematika. Kenapa kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan memusingkan. Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?. Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra. Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku. Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa cerpen, mau baca?, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku. Ini buatan kamu?, aku gak percaya. Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?. Ok, katanya sambil tersenyum. ***

Tttttttteeettt., Bunyi bel menandakan kami akan melanjutkan ke pelajaran berikutnya. Tapi, guru yang mengajar tidak datang. Jadi aku dan Tamara bersama teman-teman yang lain hanya bercerita tentang hal-hal yang dapat mengocok perut.

Tak lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku yang lain berjalan menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut ditertawai. Di perjalanan pulang Tamara berteriak, Auuuuhh sakit, Zhaky bantu aku berdiri! pintanya sambil meneteskan air matanya. kaki Tamara tersandung batu, dan kelihatannya kaki Tamara Terkilir. Sudah jangan nangis donk, pasti kamu akan sembuh kok, kataku menyemangati. Iya Zhaky, tapi kaki aku sakit banget. Bantu aku berdiri donk!, pintanya Auuuuhh. Sakit!!, katanya sambil merintih kesakitan. Sini biar aku gendong deh, gak apakan? . Betul mau gendong aku, aku berat loh!, katanya sambil tersenyum. sakit-sakit gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat. hehehe. Aku beratkan?, tanyanya, sambil tertawa.

Gak kok.., kataku sambil tersenyum.

Sesampai di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat melihat kedatanganku yang menggendong Tamara. Tamara, kamu gak apa-apakan nak?. Gak apa-apa kok Bu, kata Tamara. Kakinya terkilir tadi waktu jalan pulang tante, kataku. Terima kasih yah nak . Zhaky, tante!, ucapku dengan maksud memperkenalkan diri. Iya terima kasih yah nak Zhaky, katanya sambil tersenyum. Tamara, tante, Zhaky pulang dulu yah?, kataku. Iyaa nak Zhaky, kapan-kapan main ke rumah yah?, kata ibu Tamara. Baik tante, kataku sambil tersenyum. Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah. Sesampai dirumah aku langsung melepas pakaian dan makan siang. Sesudah itu aku langsung tidur karena aku lelah banget udah gendong Tamara. ***

Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia keluar rumah, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong melihatnya. Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?, tanyanya sambil mencubit pipiku. Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?. Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut. Baguslah, daripada berjalan dengan pincang, kataku sambil tersenyum. Sampai di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan Tamara bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu. Teman-teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?, kata Naila. Kita mau ke mana ?, tanyaku memotong pembicaraan. Kita akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?, kata Denny. Bagaimana kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!, kata Tamara. Baiklah kita akan ke pantai Bira!, kataku.

Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang pantai Bira kepada Tamara. Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami yang semakin mengasyikkan. Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Rasanya aku tidak ingin berpisah dengan Tamara walau sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman perasaanku saja. Kami berkeliling sekolah mencari hal-hal yang baru dan melupakan apa yang aku banyangkan tadi.

Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami berlari sambil tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah bagiku. Sesampai di kelas kami duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian, guru yang mengajar pun datang.

Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget. Zhaky kamu gak apa-apa, kan? tanyanya dengan khawatir. Aku gak apa-apa kok, kataku dengan nada yang pelan. Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!, katanya sambil berjalan menuju guruku. Pak, Zhaky sakit, katanya. Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya? tanya pak guru. Iya pak aku bisa kok, katanya.

Berhubung sudah hampir pulang Tamara memasukkan barang-barangku ke dalam tas lalu dia juga membereskan barang-barangnya. Ayo aku antar kamu pulang, katanya.

Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya bisa menjawabnya dengan kalimat, Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir. Sesampai di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-ngomeliku. Ini sebabnya kalau makan gak teratur, katanya. Sudah tante, Zhaky kan lagi sakit, pinta Tamara ke Ibuku. Biarlah nak, biar dia tahu rasa, kata Ibuku. Kalau begitu aku pulang dulu tante. Nak nama kamu siapa?. Nama aku Tamara, tante. Terima kasih yah nak Tamara, udah bawa pulang anak tante ini. Iya, sama-sama tante, katanya. Aku melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku. ***

Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang yang akan ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung

menuju rumah Tamara. Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di sekolah aku melihat Tamara dan langsung menghampirinya. Zhaky, kamu udah sembuh?, katanya. Iya.. aku udah sembuh kok. Betul aku udah sembuh, kataku sambil meraih tangannya dan meletakkannya di keningku.

Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke pantai Bira pun datang. Aku duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara berada di depan bersama teman wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku memiliki pirasat buruk dan naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.

Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang banyak. Tapi, yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku langsung berteriak dengan nada yang lemah. Tamara.. kamu gak apa -apa, kan?. Aku tak mendengar suaranya. Aku melihat teman-temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat aku ke tempat duduk Tamara, aku melihat kepala Tamara mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa membuat aku pingsan. Zhaky, Zhaky, bangun nak, ibu di sini, kata ibuku sambil menangis.

Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan berteriak. Dimana Tamara Bu? Tamara baik-baik sajakan Bu ?.

Ibu hanya terdiam sambil menatap ayah. Ibu apa yang terjadi?, aku mulai meneteskan air mata. Maaf nak, kini Tamara sudah berada di tempat lain, dengan nada yang pelan ibu memberitahuku. Jadi maksud ibu?. Iya Nak, Tamara telah meninggal akibat kecelakaan itu, kata ibu sembari memelukku.

Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata kenapa dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu ?. Aku terdiam dan mengingat saat aku sakit, dia memberiku senyuman yang kuanggap indah itu dan menjadi senyuman terakhir darinya. (SELESAI)

Nah, itu tadi adalah sebuah cerpen yang didapat dari kisah nyata seseorang.Lalu dikembangkan menjadi cerita pendek.Ok, sekian dulu artikel saya tentang " Contoh Cerpen Tentang Persahabatan Sejati " Semoga bermanfaat.Terima kasih.

RINDUKU KENANGANKU

Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan sebuah kuas yang terukir namaku Diana. Yah, boleh dikatakan aku gemar melukis di tempat-tempat yang menurutku indah dan tenang. Apalagi dengan seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti. Dari kejauhan terdengar alunan biola nan merdu semakin mendekati gendang telingaku. Alunan merdu itu membuatku semakin penasaran. Ya sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja Dengan rasa penasaran, aku sambil mengemas peralatan lukisku dan mengendarau sepeda menyusuri jalan komplek rumahku yang berbukit dan rindangnya pepohonan sepanjang jalan di bawah cahaya mentari yang mulai redup. *** Pulang petang menjadi hal yang biasa bagi Lintang. Seorang gadis tomboy berambut hitam panjang yang selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain basket di bawah rumah pohonnya, letaknya di samping danau yang airnya tenang, setelah pulang dari les. Dengan mengusap keringat di pipinya dia bergegas menyusuri komplek rumahnya dengan perasaantakut karena selalu pulang telat. Pada waktu yang bersamaan, Diana meletakkan sepedanya ke garasi dan melihat Lintang. Lintang,, Lintang,, dari mana saja kamu? Aku mencarimu! Kata Diana Aku main basket di tempat biasa, di bawah rumah pohon. Maaf, udah buatmu khawatir.

Entahlah. Sudah dulu ya, bau banget nih. Huuhh,, dasar cewek gadungan, aku dicuekin lagi! Kesal Diana Dengan rasa kesal, gadis itu pun masuk ke kamar khayalannya. Meletakkan peralatan lukisnya di sudut ruangan dekat lemari kaca yang penuh dengan boneka kucing dan patung kecil yang terbuat dari tanah liat. Ia selalu menatap lukisan sunset yang di belakang pintu kamarnya. Ketika melihat itu, ia merasakan tenangnya dunia di laut lepas. *** Lintang segera membersihkan dirinya karena takut ibunya marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu. Sifat keras kepala Lintang yang biasanya tampak, namun kala itu hati tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas kursi yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia merasakan sakit pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak. Lintang bingung dengan apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh dari kursi tingginya, mencoba mengendalikan diri untuk bangkit ke tempat tidur dan beristirahat. *** Teriknya mentari dan angin sepoi-sepoi yang dirasakan di bawah pohon nan rindang, membuat siswi SMA ini hanyut dalam omajinasi. Khayalan yang sungguh nyata membawa ia larut dalam impian. Hai Diana, asyik bener nih melukisnya, lihat dong. Pasti lagi gambar aku kan? Kejut Lintang Hmm,, ngapain juga aku gambar kamu. Seperti gak ada objek lain aja yang lebih bagus.. hahahha.. Mereka begitu asyik bercanda tanpa menghiraukan teman yang lain di sekitarnya yang merasa kebisingan karena tingkah mereka yang sungguh beda dengan siswi lainnya. Dan anak-anak yang lain sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap mereka itu. Aku mau cerita..tapi.(serius Lintang_ Cerita ajaada apa? ( menatap Lintang kebingungan) Tiba-tiba, Lintang terjatuh. Kata-kata yang ingin ia bicarakan tidak mampu terucap. Kepanikan gadis seni ini sungguh luar biasa. Ketika di ruang UKS, Lintang terbaring tak berdaya. Diana berlari menyusuri kelas dan mencari telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar pada orang tua Lintang dan membawanya ke rumah sakit.. Aku ada di mana? Ada apa denganku? ( sadar Lintang) Kamu ada di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu nggak apa-apa kan? (khawatir Diana) Aku sakit apa? Mana ayah? Dokter masih belum memberitahukan pasti penyakitmu. Ayahmu masih dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar. Cepat sembuh ya,, biar sore ini kita bisa belajar bareng, kan kamu udah janji kemaren. Mungkinkah penyakitku itu serius?ahh, jangan berpiir gitu, kamu pasti sembuh. Semangatlah, aku akan ada di sampingmu.. Sudah, sekolah sana. Biar pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini diejekin. Pasti dong aku bisa. Hhehe

Ya deh,, buktikan ke aku ya nanti. Iya, pasti. Suatu saat kita akn merayakan keberhasilan kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu juga akan ke sini. Bye !! Bye.. Hati-hati ya Diana. Thanks!" *** Jalan lorong sekolah tampak sepi, hanya ada seorang gadis berambut hitam pendek duduk di depan kelas musik sambil membawa biola dengan wajah yang tampak murung, Diana segera menghampirinya. Hai, kenapa kamu sendiri? Nggak masuk kelas? Tanya Diana heran Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di sini aja. Jangan seperti anak kecil, ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih? penuh heran Tadi, ketika ada pemilihan bakat pemain biola, aku ada kesalahan memainkan nada, sampai-sampai alunannya nggak enak didengar. Mereka menertawakanku, padahal aku baru saja pindah ke sekolah ini jadi aku masih belum pandai memainkan alat musik seperti biola ini.. Kamu sudah hebat kok, kamu bisa memainkan alat musik kesukaanku, dan aku aku hanya bisa menggambarnya. Yang penting, tetap berjuang!! Daah..aku ke kelas dulu ya.. Thengs.. siapa namamu? Diana!" Teriaknya.. (sambil berlari) Nafas yang terengah-engah membasahi wajah gadis lembut nan periang itu. Diana segera masuk ke kelas lukisnya yang sudah mulai belajar. Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang terbaring lemah. (Mungkinkah kami akan terus bersama?) dalam hatinya berkata. Ibu Tari masuk ke kelas tiba-tiba. Meihat Diana yang sedang melamun segera menghampirinya. Diana, kenapa kamu? Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu. Kamu bohong, da masalah ya? Tidak biasanya kamu seperti ini! Ii..ia bu. Memangnya ada apa, sampai-sampai mengganggu pikiranmu seperti ini? Sahabatku, Lintang. Dia masuk rumah sakit dan sepertinya penyakitnya parah. Ohh,, Lintang ya. Gimana kalau sepulang sekolah kita menjenguknya ajak bu Tari Ibu mau menjenguknya? Iya,, nggak apa-apa kan? I..ya. nggak masalah. Semangat Diana Ibu Tari adalah guru yang paling disukai banyak siswa. Tak kadang banyak siswa yang curhat. Beliau memiliki jiwa keibuan, walaupun beliau belum menikah. Beliau sangat perhatian dan mengerti perasaan orang lain. Ibu Tari memberi semangat Diana, membuat ia semangat pula bertemu Lintang. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan dengan kuas kesayangannya. Kali ini, ia mendapat pujian dari teman-teman dan bu Tari. Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam pameran lukisan. Lukisannya menggambarkan eorang gadis berkerudung duduk di atas

tebing tinggi yang dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi pantulan sinar matahari di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan membawa dalam khayalan. Diana dan bu Tari pun berangkat menjenguk Lintang. Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Tak heran, suara mereka menggema ketika lewat lorong sekolah. Diana melepas pandangannya ke arah taman di samping lapangan basket. Ia sempat kaget ada seorang gadis duduk di atas potongan pohon. Ketika ia hampiri, ternyata gadis biola itu. Hai, belum pulang?" Sapa Diana Hmmn. Belum Diana Ngapain kamu sendiri di sini, Zy? Sahut bu Tari Lho, ibu kenal dia? sahut Diana Uta, ibu kan juga mengajar kelas musik. JadI ibu kenal Lizy Ohh, namamu Lizy ya? Iya,, ibu mau ke mana, kok sama Diana? Ibu sama Diana mau ke rumah sakit, jenguk sahabatnya Diana. Kamu mau ikut? Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik matahari sudah mulai membakar kulit nih.. ajak Lizy Hhhhaha. Sambung Diana *** Diana meletakkan sekeranjang buah yang di bawanya. Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk Lintang. Rasa tak percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan yang tak mudah untuk mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada kumpul. Bagaimana keadaanmu? kejut Lizy Ya, lumayan lah, agak mendingan. Dengan suara datar sambil menunduk. Lintang mengangkat kepalanya, dan. Haahh,, Lizy! teriaknya Bagaimana bisa kamu di sini Zy? Syukurlah. Tadi aku diajak bu Tari dan Diana. Dan ternyata, yang terbaring saat ini adalah sahabatku. Sebenarnya, kamu sakit apa sih? sambung Diana a..ku, sakit Leukimia.. Semuanya tercengang, tak ada seorang pun yang berani memulai pembicaraan. Termasuk kapten basket Deva yang langsung terdiam ketika ia memainkan dasinya.. Kalian tak usah khawatir, di sisa umurku ini aku tak akan membuat kalian kecewa Jangan bilang begitu, yakinlah kamu masih bisa bermain basket lagi.. sahut Deva Yaa, teruslah bersemangat. Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kamu cepat sembuh. Sambung bu Tari ( Lintang terharu mengingat dan menyimpan momen ini. Ia memejamkan matanya hingga butiran air menetes di pipinya). Semuanya merasa iba padanya, khususnya Deva teman basketnya yang justru tidak mau kehilangan main lawannya walaupun Diana dan Lizy merasakan halyang sama dengannya. Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku. Hari mulai sore nih, kalian semua masih belum ada yang mau pulang? Belum bu, sebentar lagi. Jawab mereka serempak.

Ya sudah, ibu pulang duluan. Cepat sembuh, ya Lintang. Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim basketmu, pasti mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum kata bu Tari walaikumsallam.. Iya bu, makasih. Hati-hati ya bu.. Suasana berubah menjadi hening kembali.. Aku tak ingin kehilanganmu, Lintang. Selalu ingat kata-kataku" (bisik Diana) Kamu-Sahabat_Terbaikku mereka serempak. Hari ini terasa cukup singkat. Membawa mereka dalam canda tawa dan kerinduan. Diana dan Lizy segera pulang membawakabar perih dan memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan lukisannya. Di dalam hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Lintang. Ia merasa iba melihat orang tua Lintang pergi bolak balik mencari uang. Diana, ada apa denganmu? kejut Lintang Tidak, kami harus pulang. Hari sudah mulai gelap nih ohh, ya. Besok mungkin aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku stabil Cepat sembuh, ya *** Di depan lukisannya, Diana duduk termenung sambil menulis di buku diarynya. Malam ku sepi.. Tak sanggup ku mengungkapkan Air mata membendung di kelopak mataku.. Walaupun aku tertawa, tapi aku tetap merasakan bila hati ini menangis melihat nya tersenyum. Jika Engkau mengizinkan. Takkan ku biarkan ia terbelenggu Kamu_sahabat_Terbaikku Ia simpan buku diarynya di tumpukkan buku pelajarannya. Diana memikirkan solusi untuk membantu Lintang. Iameluangkan waktu untuk melukis sebanyak-banyaknya untuk di jual tanpa sepengetahuan Lintang. Lizy yang baru dikenalnya juga turut membantu. Tak heran, ibunya Diana tiap hari selalu menyiapkan keperluanlukisnya. Malam semakin larut, Lizy yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap. Mereka terbaring di tempat tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu. 3 hari kemudian Pohon-pohon yang menjulang tinggi disinari matahari yang masuk dicelah-celah dedaunan yang rindang. Diana dan Lizy sengaja membawa Lintang ke danau. Diana menggelar tikar, menyusun makanan, peralatan lukis, dan tempat mereka duduk. Sedangkan Lizy bersiap-siap di atas rumah pohon sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan Lintang, ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil mengikik heran melihatnya. Diana memulai dengan memukul kedua kuasnya menandakan Lizy yang

memainkan alunan biola yang merdu dengan lagu berjudul semua tentang kita sambil bernyanyi. Waktu terasa semakin berlalu Tinggalkan cerita tentang kita Akan tiada lagi kini tawamu Tuk hapuskan semua sepi di hati Teringat di saat kita tertawa bersama Ceritakan semua tentang kita Ada cerita tentang aku dan dia Dan kita bersama saat duu kala Ada cerita tentang masa yang indah Saat kitaberduka saat kita tertawa Ketika lagunya selesai, tiba-tiba mereka semua terdiam sejenak. Suasana seperti di pemakaman, sepi, sunyi, hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Diana membuka pembicaraan. Dan aku baru ingat. Dulu ketika aku melukis sendiri di sini aku kagum dan penasaran siapa yang memainkan biola ternyata itu kamu, Lizy! Iya,, tengs. Aku sengaja memainkannya karena semenjak aku tinggal di sini aku sangat kesepian. Dan ketika aku menemukan tempat indah ini, setiap sore di waktu luangku, aku bermain biola. Kebetulan, aku melihat seorang gadis sedang melukis. waah.. kalian sungguh hebat! Aku juga kagum pada kalian, kalian sendiri yang membuat acara ini dan kalian juga yang mendapatkan kejutan. Ketika pertama kali bertemu Diana, aku juga kagum atas sikapmu yang selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika aku pergi nanti jangan lupakan persahabatan kita ini ya.. Ah, kalian ini selalu membuatku GR. Tapi makasih ya atas pujiannya.ku yakin, kalian juga mempunyai keistimewaan masing-masing. Dan kamu Lintang, si cewek gadungan. Masa jiwa tomboymu yang tegar dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru dengan ini kamu bisa bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha. Emang aku bola, tahan bantingan. Hahaha! Ketus Lintang Diana tak ingin membuat hati teman-temannya terluka, ia selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya sangat mengganjal. Tak lupa, Diana melukis simbol persahabatan mereka LiDiZy. Dari kejauhan Deva sedang bersepeda mengitari danau, melihat tingkah mereka yang terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa berpikir panjang, ia menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan langsung duduk di tikar. Eh, kamu. Udah minta izin dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk. Judes Diana Kok gitu, sih Diana. Nggak apa-apa kok. Bela Lintang Coba deh kalian lihat, dia mau ngehancurin acara kita. Sebel Diana Eh kamu, bagai ratu aja. Lintang aja nggak keganggu. Sekali-sekali dong aku ikut gabung. Kan jarang-jarang bisa dekat sama cowok popular di sekolah. hitung-hitung kesempatan buat kalian.

Ya sudah, cukup. Kita nyanyi bareng lagi yuk. Lerai Lizy Eh, ganti dong simbolnya jadi(berpikir sejenak) LiDiZyVa kan lebih keren! sahut Deva Ah, kamu ini ada-ada saja. Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya.. hahaha hhuuhh Seharian mereka jalani untuk menghibur Lintang. Walaupun diantara mereka baru saling mengenal, tapi mereka seperti mempunyai kekuatan magnet. Hari-hari mereka selalu bersama. *** Waktu yang tepat ditemukan Diana dan Lizy untuk menjalani rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur strategi agar lukisan Diana laku terjual. Hampir 2 minggu penuh mereka meluangkan waktu untuk menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka berikan pada orang tua Lintang tanpa sepengetahuan Lintang. Deva yang biasanya sibuk dengan tim basketnya, akhirnya ikut membantu juga. Di waktu yang bersamaan mereka datang ke rumah Lintang secara tersembunyi, mereka melihat Lintang kesakitan sambil memegang perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung. Mereka segera membawa Lintang ke rumah sakit dan memberitahukan orang tuanya. Mengingat Lintang adalah anak semata wayang orang tuanya. Ternyata, penyakitnya bertambah parah. Sebenarnya, Lintang pulang dari rumah sakit karena keterbatasan biaya. Uang yang mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Lintang. Di tambah lagi ayah Lintang yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun telah habis digunakan. Terpaksa, Lintang hanya bisa di opname tanpa harus membeli semua obat yang diperlukan. *** Setiap lorong sekolah kelas X ramai dipenuhi siswi yang mendengar kabar mengenai Lintang. Anak yang tomboy dan disenangi banyak orang. Hai, Diana, Lizy. Gimana keadaan Lintang? Apa dia membaik? Kapan kalian mau menjenguknya lagi? (pertanyaan runtun dari Deva) Hello Deva, kalau nanya satu-satu dong. Kamu bukan mau wawancara kan? jawab Diana Emang, kami orang tuanya? Kami juga belum tahu keadaannya. Ayo kita jenguk aja sama-sama pulang sekolah tegas Lizy Bunyi bel panjang bertanda telah berakhir jam pelajaran. Hujan yang tampak lebat, membuat para siswa harus menunggu sampai hujan reda. Tiba-tiba handphone Deva berbunyi, padahal peraturan sekolah dilarang membawa handphone, suara di seberang membawa berita buruk. Hujan yang lebat tak mereka perdulikan. Mereka lari basah-basahan menuju rumah sakit sambil menangis terisak-isak. Mereka sangat khawatir dan tak percaya bahwa kabar itu memang benar nyata. Sahabat mereka Lintang meninggal dunia. Nyawanya tak dapat tertolong lagi karena penyakitnya semakin hari semakin parah. Orang tua Lintang merasa kehilangan dan terpukul, namun semua adalah kehendak-Nya. Orang tua Lintang juga sangat

berterima kasih pada Lizy, Diana, dan Deva. Menganggap mereka sebagai anaknya. *** Tak sempat ku berikan Tak sempat ku sampaikan _LiDiZyVa_ Kalimat itu selalu melintas dipikiran Diana. Begitu pula Lizy dan Deva. Kerasa tak percaya, kehilangan, kerinduan, tersirat dibenak mereka. Mereka termenung di tepi danau sambil menyanyikan lagu Semua Tentang Kita yang biasa mereka nyanyikan. Waktu terasa semakin berlalu Tinggalkan cerita tentang kita Akan tiada lagi kini tawamu Tuk hapuskan semua sepi di hati Belum sempat lagu itu dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi ketiganya. Orang tua Lintang tiba-tiba dating dan ikut duduk di antara mereka. Memberikan semangat pada Lizy, Diana dan Deva bahwa masa depan mereka juga menjadi kebanggaan orang tua angkat mereka. Ibu Lintang tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang bergambar bunga. Tangan Deva bergetar ketika memegang kertas itu. Rasa penasaran membuat ia segera membuka dan membacanya seperti sedang lomba baca puisi. Sahabatku impianku Cita-citaku imajinasiku Bukan hal yang salah memiliki mimpi Bukan hal yang salah mempunyai tujuan Tujuan seperti sinar Kesana lah kita berlari Dan untuk itulsh kita hidup Tapi, terkadang sinarnya terlalu menyilaukan Membuat kita sulit melihat Sehingga tiba suatu saat kita harus sejenak berhenti Untuk menghindari sinar yang ada pada kita sendiri Waahh, sungguh bersemangatnya dia. Aku piker karena fisiknya lemah, jiwanya akan goyah. Tapi aku salah. Hebat!! Puji Diana. Sambil melanjutkan lukisannya. Iya..sambung Lizy sambil meneteskan air mata. Suasana menjadi hening kembali. Kemudian Diana berteriak girang sambil meneteskan butiran air mata yang melintas di pipinya. Lukisan dengan simbol LiDiZyVa akhirnya selesai Waahh..keren.! Mereka menatap terpesona lukisan yang melambangkan persahabatan ini yang

terlihat indah karena di sekitar tulisan itu ada gambar wajah mereka masing-masing. Di danau inilah sejarah persahabatanku. Dan tempat inilah aku dan sahabatku berbagi walau hanya sekedar untuk mengenang Lintang. SELESAI

Anda mungkin juga menyukai