Anda di halaman 1dari 12

Panduan Penulisan Esai

Kompetisi Esai Mahasiswa Menjadi Indonesia 2013


Esai adalah karya yang bersudut pandang personal subyektif si penulis, bukan sekadar makalah ilmiah yang penuh dengan catatan kaki dan taburan kutipan teori. Esai berisi pemikiran yang dipadu dengan pengalaman, observasi lapangan, anekdot, dan pergulatan batin si penulis tentang subyek yang ditulisnya. Jenis tulisan ini sangat tepat untuk menggambarkan gagasan seseorang. Indonesia akan sangat membutuhkan banyak pemimpin dan pemikir muda masa depan yang punya gagasan orisinil untuk kemajuan negeri ini. Seorang pemimpin harus mampu menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. 1. Naskah ditulis menggunakan MS Word, disimpan menjadi file *.doc atau *.docx. Bukan dalam bentuk Adobe PDF.

2. Cara Penamaan file: Nama depan penulis-Judul Esai, contoh: Galih-Industri Budaya dan Pencitraan Indonesia.doc

3. Format Dokumen Naskah Esai: a. Ukuran Kertas: A4 b. Margin Atas: 2 cm c. Margin Bawah: 2,5 cm d. Margin Kiri: 3 cm e. Margin Kanan: 2 cm

4. Naskah esai terbagi menjadi 3 bagian (dalam satu bundel) dengan urutan halaman sebagai berikut: Lembar Judul dan Ringkasan Esai (maksimal 1 halaman), Isi Esai (maksimal 5 halaman), dan Lembar Lampiran Biodata (maksimal 1 halaman).

3 Bagian Naskah dalam 1 Bundel Lembar Judul dan Ringkasan Lembar (Lampiran) Biodata

5. Lembar Judul dan Ringkasan Esai (maksimal 1 halaman). Memuat: a. Judul Esai Posisi tulisan: Beberapa spasi di bawah Topik Esai. Huruf (font): Times New Roman; ukuran 16 poin; bold; posisi di tengah halaman (align center). b. Ringkasan Esai, 1 hingga 3 paragraf rangkuman tulisan, memaparkan persoalan yang dibahas penulis dan gagasan yang ditawarkannya.

Posisi ringkasan: beberapa spasi di bawah Judul Esai. Huruf (font): Times New Roman; ukuran 12 poin; regular; spasi 1,5; rata kiri-kanan (justify). 6. Isi Esai (maksimal 5 halaman). Memuat: Keseluruhan naskah esai, minimal 2 (dua) halaman dan maksimal 5 (lima) halaman. Jumlah halaman sudah termasuk (jika ada): gambar penjelas dan catatan kaki atau catatan akhir (end note), atau daftar pustaka. Huruf (font): Times New Roman; ukuran 12 poin; regular; spasi 1,5; rata kiri-kanan (justify). 7. Lembar Lampiran Biodata (maksimal 1 halaman). Memuat: a. Judul Naskah Esai b. Nama Penulis c. Tempat & Tanggal Lahir d. Nama Perguruan Tinggi e. Nama Fakultas & Jurusan f. Domisili (Alamat Surat) g. Alamat Email h. Telepon/Ponsel i. Pindaian (scan) kartu tanda mahasiswa (KTM) yang masih berlaku.
Tema: 1. Indonesia bebas korupsi 2. Indonesia yang Bhinneka 3. Kewirausahaan, Indonesia yang mandiri 4. Kepemimpinan, Indonesia yang kuat 5. Indonesia yang hijau 6. Indonesia yang berbudaya 7. Indonesia dan pendidikan 8. Indonesia yang demokratis 9. Indonesia yang cinta HAM

Contoh Tulisan Esai : Ini Indonesia Ku Bukan Negerinya Bangsa Asing


Maret 4, 2013bidangkeilmuanfisika Tinggalkan Komentar INI INDONESIA KU BUKAN NEGERINYA BANGSA ASING Ditulis oleh : Adi Sutrisno Indonesia mempunyai berbagai macam suku dan budaya dengan ragam bahasa dan kekayaan alam yang sangat melimpah. Beragamnya suku dan budaya menjadikan bangsa Indonesia terkenal dengan tempat pariwisatanya baik dalam bidang budaya maupun panorama keindahan alam sehingga membuat negara Indonesia seakan-akan menjadi sebuah surga yang banyak diincar oleh parawisatawan baik dalam negeri, mancanegara, maupun internasional. Seiring dengan derasnya arus globalisasi, bangsa Indonesia seakan menjadi terlelap dengan perubahan zaman sebab banyak sekali kekayaan alam dari tanah surga yang rampas oleh bangsa asing seperti pertambangan PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) di Irian Jaya, perkebunan sawit di pulau Kalimanan, Sumatra dan Sulawesi yang sebagian besar merupakan milik perusahanan asing sedangkan bangsa Indonesia hanya bisa terdiam dan asyik menyaksikan kekayaan alam yang mereka punya dikuras oleh bangsa lain. Alam seakan-akan menjadi murka dengan ketidakpedulian bangsa ini sebab banyak bencana dan kekacauan yang terjadi diseluruh negeri seperti banjir, kemarau dan kekeringan yang berkepanjangan yang disebabkan karena ketidakseimbang alam dan lingkungan yang rusak akibat dari pengexploitasian sehingga membuat bumi Indonesia yang dulunya merupakan tanah surga menjadi sebuah neraka yang penuh dengan bencana dan kekacauan sosial seperti meningkatnya kasus korupsi dan tindakan kriminal lainnya. Kekayaan bangsa Indonesia sangat beragam, dari salah satu yang telah dipaparkan sebelumnya, bahasa daerah merupakan salah satu dari kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Indonesia memliki berbagai macam bahasa daerah yakni 748 bahasa daerah yang merupakan sebagai bahasa ibu. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya, ini dapat dilihat dari peresentase penggunaan bahasa keseharian dalam berkomunikasi dan bersosialisai yaitu lebih dari 90% warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa daerah sebagai bahasa kesaharian mereka. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia yang saat ini mulai meluntur dan kurang diminati dari banyak kalangan baik pelajar maupun masyarakat umum, ini disebabkan mulai dari kebiasaan menggunakan bahasa daerah dibandingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan yang menjadi faktor besarnya yaitu sebagian besar dari persyaratan lapangan kerja yang tersedia dan program beasiswa yang ditawarkan oleh pemerintah dan perguruan tinggi yang harus mewajibkan mempunyai penguasaan dalam berbahasa asing seperti Bahasa Inggris, sehingga menyebabkan kecerdasan anak bangsa dinilai dari kemampuan bisa atau tidaknya

dalam penguasaan bahasa asing tanpa melihat dari skill dan prestasi akademis yang mereka miliki. Fakta yang menjadi sebuah bukti nyata bahwa kurangnya minat dan kemapuan berbahsa indonesia dibandingkan bahasa asing dikalangan pelajar yaitu dapat dilihat dari hasil belajar siswa melalui Nilai Ujian (UN). Dalam http://www.bisnis.com/ diberitakan, Tahun 2012 tercatat bahwa siswa SMA yang tidak lulus UN mencapai 7.579 siswa, dari 1.524.704 peserta UN. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, kebanyakan siswa jatuh di nilai Bahasa Indonesia dan Matematika. Meskipun Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu, namun kesadaran akan pentingnnya menjaga, dan memperdalami pelajaran Bahasa Indonesia perlu tetap ditingkatkan demi mempertahankan keutuhan dan kelestarian Bahasa Indonesia di negeri sejuta pahlawan ini. Tindakan yang dapat diterapkan yaitu menumbuhkan rasa Nasionalisme dan kesadaran diri masing-masing individu akan pentingnnya belajar dan menggunakan Bahasa Indonesia, baik dalam lingkungan berkomunikasi antarsesama maupun dilingkungan skala nasional. Jika hal tersebut tidak segera dilakukkan maka lambat laun Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional akan segera tersingkirkan oleh bahasa asing. Ada sebuah pertanyaan besar untuk bangsa ini, Ini Indonesia ku atau Negerinya bangsa asing ? itulah yang harus kita jawab sekarang, sebab seiring dengan berkembangnya zaman dieraglobalisasi banyak sekali keadaan yang telah berubah dari negeri tanah surga (Indonesia). Negeri Indonesia soalah berubah menjadi negerinya bangsa asing sebab banyak sekali jati diri dari bangsa Indonesia yang telah hilang, mulai dari bergesernya secara perlahan-lahan Nasionalisme bangsa Indonesia terhadap Bahasa Indonesia ke bahasa asing ( Bahasa Inggris), pengexploitasian sumber daya alam dibumi Indonesia secara besar-besaran oleh perusahaan asing dan budaya barat yang menggantikan budaya timur sehingga sekarang ini banyak sekali masyarakat Indonesia terutama pemuda-pemudi yang bergaya dan berpenampilan ala budaya barat dari sisi negatifnya membawa dampak buruk seperti meningkatnya kasus-kasus kriminal, mengundang maksiat, tindakan asusila dan lainnya. Saat ini banyak sekali negara-negara luar yang berusaha mempelajari bahasa Indonesia, dengan tujuan supaya dapat berbahasa Indonesia dengan baik sehingga dapat berkomunikasi dengan penduduk Indonesia. Banyak sekali penawaran kepada guru-guru dan dosen pengajar Bahasa Indonesia untuk dapat menjadi tenaga pengajar dinegeri mereka, ini menunjukan ada sesuatu yang menjadi daya tarik bangsa asing terhadap negara Indonesia. Mungkin hal tersebut merupakan sebuah informasi yang sangat membanggakan bagi bangsa Indonesia tetapi kita sebagai bangsa Indonesia jangan segera berpuas diri dan terlarut dalam kegembiraan karena kita harus tetap memfilter Negeri Indonesia dari segala aspek, jangan sampai bangsa Indonesia ini dijajah lagi oleh bangsa asing meskipun bentuk penjajahnya secara tidak langsung dapat berupa pegexploitasian kekayaan alam, asimilasi budaya timur kebudaya barat dan sumber daya manusia di Negeri Indonesia. Segala bentuk kecemasan akan pergeseran budaya dan perubahan jati diri bangsa Indonesia serta pengexploitasian kekayaan yang ada dibumi Indonesia setidaknya membuat kita segera menyadari bahwa negeri ini harus segera bangkit jangan biarkan kekayan di tanah surga diexplotasi dan oleh bangsa asing. Ini Indonesia ku, ini Indonesia kita, ini indonesia milik seluruh bangsa Indonesia bukan negerinya bangsa asing yang sekehendak kemauan mereka

menguasainya. Apakah kita sebagai bangsa Indonesia tetap tinggal diam dengan segala bentuk penjajahan terhadap negara Indonesia ?. Segera lakukanlah perubahan dan rebut kembali kekayaan alam yang menjadi hak milik bangsa ini sehingga anak bangsa sendiri yang nantinya mengolah hasil alam yang ada di Indonesia demi kemajuan dan kemakmuran negara tanah air Indonesia.

Contoh Esai Pemenang Kompetisi KEM AMI Nasional


Tempo Istitute Kompetisi Esai Contoh Esai Pemenang Kompetisi KEM AMI Nasional Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Oleh: AGUSTINUS LONIS - Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Ringkasan Berbagai macam persoalan mengenai lingkungan hidup merupakan suatu masalah bersama yang dihadapi oleh manusia. Manusia perlu menanggapinya dengan serius sambil mengusahakan suatu solusi yang terbaik. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dilakukan sebagai usaha melestarikan lingkungan hidup antara lain; upaya rekonsiliasi, perubahan konsep tentang alam dan penanaman budaya pelestari. Permasalahan seputar lingkungan hidup selalu terdengar. Segala macam pemberitaan tentang kerusakan lingkungan hidup tidak lagi asing di pengamatan dan pendengaran kita. Peristiwa demi peristiwa terjadi tanpa kompromi. Kapan dan dimana akan terjadi, manusia hanya bisa mereka-reka. Dan melalui pemanfaatan kecanggihan teknologi yang ada, manusia hanya bisa menghindar dan menyelamatkan diri. Oleh karena itu, tak jarang keresahan dan kecemasan manusia akan suatu efek yang lebih besar, terus menerus membayangi hidup manusia. Dengan demikian, timbullah persepsi bahwa alam adalah musuh bagi manusia, sehingga tingkat kewaspadaan manusia pun semakin meningkat. Kejadian demi kejadian yang dialami di dalam negeri ini telah memberi dampak yang sangat besar. Tidak sedikit kerugian yang dialami, termasuk nyawa manusia juga. Namun hal yang perlu dipertanyakan, apakah pengalaman tersebut sudah cukup menyadarkan manusia untuk melihat kesalahan dalam dirinya? Ataukah manusia justru merasa lebih nyaman dengan sikap menghindar dan menyelamatkan diri tanpa suatu pencarian solusi yang lebih baik dan lebih tepat lagi? Menurut saya, ada beberapa usaha yang mestinya dilakukan oleh manusia dalam upaya pelestarian lingkungan hidup, yaitu upaya rekonsiliasi, perubahan konsep atau pemahaman tentang alam dan menanamkan budaya pelestari. Upaya Rekonsiliasi Kenyataan kerusakan lingkungan hidup dan efeknya terus berlangsung dan terjadi. Manusia

cenderung untuk menangisi nasibnya. Lama-kelamaan tangisan terhadap nasib itu terlupakan dan dianggap sebagai hembusan angin yang berlalu. Bekas tangisan karena efek dari kerusakan lingkungan yang dialaminya hanya tinggal menjadi suatu memori untuk dikisahkan. Tapi perlu diingat bahwa tidaklah cukup jika manusia hanya sebatas menangisi nasibnya, tetapi pada kenyataannya tidak pernah sadar bahwa semua kejadian tersebut adalah hasil dari suatu perilaku dan tindakan yang patut diperbaiki dan diubah. Setiap peristiwa dan kejadian alam sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup merupakan suatu pertanda bahwa manusia mesti sadar dan berubah. Upaya rekonsiliasi menjadi suatu sumbangan positif yang perlu disadari. Tanpa sikap rekonsiliasi, maka kejadian-kejadian alam sebagai akibat kerusakan lingkungan hidup hanya akan menjadi langganan yang terus-menerus dituai. Lalu, usaha manusia untuk selalu menghindarkan diri dari akibat kerusakan lingkungan hidup tersebut hendaknya bukan dipahami sebagai suatu kenyamanan saja. Tetapi justru kesempatan itu menjadi titik tolak untuk memulai suatu perubahan. Perubahan untuk dapat mencegah dan meminimalisir efek yang lebih besar. Jadi, sikap rekonsiliasi dari pihak manusia dapat memungkinkannya melakukan perubahan demi kenyamanan di tengah-tengah lingkungan hidupnya. Perubahan Konsep Manusia Tentang Alam Salah satu paham yang mungkin menjadi akar permasalahan seputar kerusakan lingkungan hidup adalah terjadinya pergeseran konsep manusia tentang alam. Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di dalam tanah air kita tidak lain adalah hasil dari suatu pergeseran pemahaman manusia tentang alam. Cara pandang tersebut melahirkan tindakan yang salah dan membahayakan. Misalnya, konsep tentang alam sebagai obyek. Konsep ini seolah-olah bahkan secara terang-terangan memberi indikasi bahwa manusia cenderung untuk mempergunakan alam semau gue. Dan tindakan dan perilaku manusia dalam mengeksplorasi alam terus terjadi, tanpa disertai suatu pertanggung jawaban bahwa alam perlu dijaga keutuhan dan kelestariannya. Oleh karena itu, tak jarang pula binatang-binatang yang seharusnya dilindungi pada akhirnya menjadi korban perburuan manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab. Pemabalakan liar yang terjadi pun tak dapat dibendung lagi. Pencemaran tanah dan air sudah menjadi lagu lama yang terus dinikmati. Dan permasalahan seputar polusi telah menjadi semacam udara segar yang terus dihirup manusia tanpa menyadari bahwa terdapat kandungan toksin yang membahayakan. Jadi, di sini alam merupakan obyek yang terus menerus dieksplorasi dan dipergunakan sejauh manusia membutuhkannya. Berhadapan dengan kenyatan demikian, maka menurut saya perlu suatu perubahan konsep yang baru. Konsep yang dimaksud adalah melihat alam sebagai subyek. Konsep alam sebagai subyek berarti manusia dalam mempergunakan alam membutuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab. Di sini tampak bahwa manusia dalam kesaksian hidupnya dapat menghargai dan mempergunakan alam secara efektif dan bijaksana. Misalnya, orang Papua memahami alam sebagai ibu yang memberi kehidupan. Artinya alam dilihat sebagai ibu yang daripadanya manusia dapat memperoleh kehidupan. Oleh karena itu, tindakan yang merusak lingkungan secara tidak langsung telah merusak kehidupan itu sendiri. Membangun Budaya Pelestari Kedua upaya melestarikan lingkungan hidup sebagaimana yang telah saya uraikan diatas akan dapat tercapai, jika manusia sungguh-sungguh berusaha membangun dan menanamkan suatu budaya pelestari. Dengan semangat budaya pelestari, manusia senantiasa mempertimbangan segi baik dan buruknya dalam mempergunakan hasil alam. Segi yang baik bahwa manusia bertindak

selektif dan mengambil apa yang memang dibutuhkan tanpa bersikap boros. Dengan demikian, manusia telah dengan sendirinya merasa sebagai bagian dari alam yang mesti dijaga kelestariannya. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah menanamkan budaya pelestari tersebut kepada anakanak sejak berada di bangku pendidikan. Misalnya pemberian porsi yang lebih kurang banyak tentang persoalan lingkungan hidup agar terbangunlah semangat kesadaran untuk menghargai dan menghormati lingkungan tempat tinggalnya. Tidak sebatas itu saja, tetapi perlu juga membiasakan anak-anak untuk terlibat dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup. Jadi, adanya perpaduan antara teori dan praktek. Penanaman budaya pelestari yang dilakukan sejak dini merupakan suatu upaya yang sangat efektif dalam mengatasi persoalan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Tentunya di sini membutuhkan partisipasi dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga dan juga dalam seluruh proses pendidikannya di bangku sekolah. Dengan demikian, melalui pembiasaan yang dilakukan secara kontinyu tersebut generasi yang akan datang semakin menyadari akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya, proses penyadaran tersebut juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan yang turut membentuk rasa tanggung jawab manusia dalam mempergunakan lingkungan hidup.

KEM AMI Kompetisi Esai 2011 Ekspansi Budaya: Lepas Landas Kebudayaan Indonesia 18-Aug-2011 oleh webmaster Tidak ada Komentar Posting didalam : Naskah, Tahun 2009 Oleh: Sidiq Maulana Muda, Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Annyong haseyo! Beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab dengan kata sapaan itu, yang kurang lebih berarti Hai, apa kabar! dalam bahasa Korea. Banyak teman saya yang menggunakan kata itu sejak mereka menonton film-film drama Korea yang diputar di televisi. Selain itu banyak juga tambahan kosakata baru seperti Kamsahamnida, (terima kasih), Sarang haeyo, (I love you) dan sebagainya. Teman-teman saya (terutama yang perempuan) kerap sibuk membahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal lagulagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa, dan sebagainya. Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok produk-produk budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di televisi nasional dan mendapat sambutan hangat dari para pemirsa. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun bermunculan menanggapi terjangan budaya asing di negeri kita. Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. Hati-hati terhadap bahaya westernisasi!, Lindungi

generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah, karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas kita. Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-katung dalam peta kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri. Merancang Gelombang Budaya Indonesia Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia. Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan persinggungan antar budaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat beragam. Saya memakai baju koko dan celana jeans, duduk di kantin memesan sepiring nasi Hainan, sambil membaca komik Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta mendengarkan lagu ST12 yang disetel ibu kantin. Terus terang saat ini saya tak mampu berbuat banyak selain berusaha menikmatinya. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia. Yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong, paguyuban, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya kongkrit maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku memiliki sekaligus menyebarkan. Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India mendemo kita karena memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi dan akulturasi. Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.

Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan kemampuan survivalnya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah melakukan ekspansi budaya. Ada pun ekspansi budaya membutuhkan produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi ekspor yang mampu membawa nama Indonesia ke seluruh dunia. Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang tepat. Meski pun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di luar negeri tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan produk batik. Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit. Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan cara mengekspos budayabudaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih dahulu produkproduk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film yang saya maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda. Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya lain seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Misalnya suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia, memamerkan alam dan budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negara-negara yang sama sekali asing dengan Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan sekaligus promosi budaya. Sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan, karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat setia yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, mereka lah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya kita di samping media massa seperti televisi, majalah, dan internet. Saya ingin mengambil contoh, di kampus saya terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang. Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik, anime, dan J-dorama. Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu dari budaya Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya. Dan tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Maka potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain. Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Industri perfilman

Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan, maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk budaya lainnya. Pemerintah dituntut aktif untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lobinya untuk memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga dunia Barat. Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya Indonesia di manca negara, maka tugas berikutnya adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih kokoh lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana. Sejumlah PR Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang dilematis. Sifat industri yang cenderung berorientasi pasar dikhawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya, karena menyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu. Hal ini bisa kita saksikan misalnya pada dunia sinetron kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang sifatnya membodohi bahkan merusak seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk budaya sebagai bentuk tanggung jawab sosial budaya sekaligus strategi pencitraan Indonesia di mata dunia. Produk-produk budaya yang berorientasi ekspor akan membawa misi budaya kita ke seluruh dunia, sehingga patut diberi perhatian. Jangan sampai sinetron dan film-film sampah bisa lolos ekspor. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas produk, maka pemerintah pun wajib mengeluarkan kebijakan yang memudahkan sektor industri budaya kita. Beban pajak yang tinggi yang selama ini dikenakan kepada produk dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi, atau pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi perkembangan budaya itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga dapat memberlakukan subsidi silang dengan menggunakan pajak-pajak dari sektor budaya pop untuk membiayai keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat menanti dukungan dan peran aktif pemerintah. Kemudian ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya mengenai kebudayaan kita ini. Sementara kita membicarakan ekspansi budaya, ada ketimpangan yang sangat nyata dalam perkembangan kebudayaan kita selama beberapa dekade terakhir. Kebijakan sentralisasi yang dulu diterapkan telah menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan di Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke seluruh negeri. Katakan, apa itu film nasional? Apa itu artis nasional? Apa itu koran nasional? Apa itu televisi nasional? Bohong, yang ada hanya lah film-film dan artis-artis Jakarta. Koran-koran dan televisi-televisi Jakarta. Apa itu Monas? Monumen nasional? Bohong, itu monumen yang ada di emblem Pemda DKI Jakarta. Mungkin kita perlu mengingat kembali apa itu kebudayaan nasional. Dalam penjelasan pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 diterangkan bahwa, Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Para penyusun undang-undang ini sadar bahwa masyarakat kita sejak dulu telah memiliki banyak puncak kebudayaan, bukan hanya satu. Konsep kebangsaan kita unik karena memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda ke dalam satu identitas baru yaitu Indonesia. Harus diakui, konsep kebangsaan kita memang didefinisikan oleh penjajah. Itu menjelaskan mengapa masyarakat Riau harus berbeda bangsa dengan masyarakat Johor meski mereka berbagi budaya yang sama di masa lalu. Juga mengapa masyarakat Timor Timur dan Timor Barat harus berbeda bangsa meski sesama anak Timor. Juga putra-putri Dayak, Papua, dan lainnya yang terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu dibuat para penjajah dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation-states) modern seperti yang kita kenal saat ini. Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipahami secara bijak. Bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda, yang dulu memutuskan untuk bersatu karena kesamaan nasib di bawah penjajah yang sama. Dan karena nasionalisme kita bertujuan memerdekakan seluruh negeri dari penjajahan, maka sangat tidak pantas jika Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan baru. Bentuk negara kesatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan keragaman identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung dalam rumah Indonesia. Era reformasi saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk mematahkan dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional. Dalam semangat desentralisasi saat ini, saya sangat berhadap di masa depan nanti perkembangan kebudayaan nasional kita akan berlangsung lebih adil. Kita butuh lebih banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di seluruh Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya mendengar berita tentang peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari sejumlah kritik mengenai efek-efek negatif yang ditimbulkannya, saya cukup salut karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu merupakan suatu bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta. Perkembangan kebudayaan nasional secara dinamis yang didorong oleh desentralisasi akan menghadirkan wajah kebudayaan Indonesia yang lebih integratif dan representatif. Dan apabila putra-putri Indonesia telah mampu untuk berdiri lebih setara dari Sabang sampai Merauke, maka kita akan lebih mudah bersatu untuk melebarkan sayap kebudayaan kita ke manca negara. Referensi Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To History, Princeton University Press http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e Turner, Kathleen J (1984) Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research Associates BIODATA Nama: Sidiq Maulana Muda TTL: Jakarta, 12 Januari 1989 Pendidikan: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Alamat: Komplek POLRI Munjul no. 258 Cipayung Jakarta Timur No. Telp: 021-8445916 Email: laripagi@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai