Anda di halaman 1dari 15

Refarat Dermatitis Herpetiformis (versi lain)

DERMATITIS HERPETIFORMIS

I.

PENDAHULUAN

Dermatitis herpetiformis (DH) atau dikenal juga sebagai Morbus Duhring merupakan suatu penyakit vesikobulosa autoimun yang berhubungan dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr. Louis Duhring pada tahun 1884, yang ditandai dengan papul dan vesikel, plak, urtikaria, eritematous dan kelompok ekskoriasi pada daerah ekstensor, siku, lutut, bokong dan punggung yang terdistribusi secara simetris. Pada pemeriksaan fisis sering didapatkan bentuk ekskoriasi dan erosi. Untuk menegakkan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan biopsi kulit dan immunoflurosensi langsung dimana menunjukkan deposit IgA granular pada lapisan papilar dermis. Penyakit ini bisa dibedakan dengan penyakit erupsi vesikel lainnya dengan pemeriksaan histologik, immunologik dan kriteria gastrointestinal.(1,2,3,4,5,6,7)

Penyakit ini berlangsung secara kronis dan rekuren, juga berespon cepat jika diterapi dengan Dapson, dan pada sebagian besar pasien berhasil dengan diet bebas gluten. (3,4)

II.

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi Dermatitis Herpetiformis pada ras Kaukasian antara 10 sampai 39 per 100.000 populasi penduduk.

Dermatitis Herpetiformis (Penyakit Duhring) ini bisa terjadi pada semua umur, termasuk anak-anak. Namun paling sering dijumpai pada dekade 2 4 yaitu usia 20 tahun hingga 40 tahun. (2,3)

Menurut data penelitian di United States, didapatkan bahwa laki-laki lebih sering menderita dermatitis herpetiformis dibandingkan wanita, dengan perbandingan 2 : 1 bagi internasional dan 1,44:1 di Amerika. (2,3)

III.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Gluten adalah sejenis protein yang terdapat pada gandum, barli dan gandum hitam, yang berperan pada patogenesis penyakit dermatitis herpetiformis (DH). Pada tahun 1996, Marks et al* menemukan adanya kelainan gastrointestinal pada pasien DH. Setelah itu, dibuktikan bahwa kelainan itu bersifat reversibel yaitu dengan menghilangkan gluten dari diet pasien, gejalanya juga akan hilang. Gluten mengandung gliadin yaitu suatu fraksi alkohol-solubel yang dipercaya sebagai komponen antigen yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Pada umumnya alergi pada tubuh diperankan oleh IgE namun berbeda dengan

yang lainnya , DH merupakan reaksi alergi yang melibatkan IgA dimana IgA adalah antibodi yang diproduksi oleh lapisan intestinal. Oleh sebab itu pengobatan alergi yang umum dipakai tidak berespon terhadap DH. (4,5,7)

Pada pasien dermatitis herpetiformis, 10-15% dari keluarganya turut menderita DH atau celiac disease. Penelitian HLA menunjukkan adanya predisposisi genetik pada DH. Pasien dengan DH menunjukkan peningkatan ekspresi dari HLA-AI, HLA-B8, HLA-DR3 dan HLA-DQ2. (5,7)

Dermatitis herpetiformis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh deposit IgA pada papilla dermis yang dicetuskan melalui proses imunologis, melibatkan infiltrasi neutrofil dan aktivasi komplemen. Teori menyebutkan bahwa dermatitis herpetiformis adalah hasil respon imunologik dari paparan kronik pada sel mukosa gastrointestinal oleh bahan gluten dengan aktivasi bertahap pada sel endotel pembuluh darah kulit dan sel-sel inflamasi, termasuk neutrofil. (6,7)

Adanya autoantibodi terhadap epidermal transglutaminase (TGase), memegang peranan penting pada patogenesis pasien dermatitis herpetiformis. TGase adalah suatu enzim yang dihasilkan pada dinding sel selama diferensiasi keratinosit. Selain pada epidermis, enzim transglutaminase juga dihasilkan pada berbagai jaringan tubuh lainnya, termasuk pada saluran pencernaan. (6,7)

Secara teori, perjalanan dari paparan awal hingga menimbulkan manifestasi kulit dapat dijelaskan sebagai berikut :

Gambar 1 :

Patogenesis paparan gluten pada usus dengan pengenalan kompleks gliadin-TGase melalui perantara HLA-DQ2 oleh APC kepala T helper untuk kemudian membentuk auto-antibodi terhadap kompleks tersebut.*

Gliadin yang diabsorbsi ke dalam lamina propria usus halus, dipresentasikan oleh antigen presenting cell (APC) dengan perantara HLA-DQ2 atau DQ8 untuk mengaktivasi sel T, dan menimbulkan reaksi inflamasi. Adanya protein gluten, mengaktivasi enzim transglutaminase (TGase) untuk deaminasi protein dengan membentuk kompleks glutenTGase yang kemudian masuk sirkulasi sistemik dan mengadakan cross reaction (reaksi silang) dengan epidermal transglutaminase (TGase) membentuk kompleks IgA-TGase yang terdeposit pada puncak papilla dermis. (7,8)

Adanya deposit IgA-TGase kemudian menyebabkan infiltrasi neutrofil yang terakumulasi pada dermo-epidermal junction, menimbulkan reaksi inflamasi dengan merusak membrana basalis. Neutrofil yang teraktivasi kemudian melepaskan berbagai sitokin, dintaranya menginduksi collagenase dan stromelysin dan keratosit. Stromysin 1 berperan dalam pembentukan vesikel. Selain netrofil, deposit kompleks IgA-TGase juga mengaktivasi sistem komplemen. (7,8)

IV. GEJALA KLINIS

Distribusi penyakit dermatitis herpetiformis umumnya simetris dan lokasinya lebih sering di siku, lengan, punggung, bokong dan lutut dan kadang-kadang bisa juga pada kulit kepala. Daerah yang biasa juga dijumpai adalah lesi primer pleormorfik, dengan plak urtikaria, papul, dan vesikel. Papulovesikel herpetiformis dengan dasar yang eritematous merupakan karekteristik dari penyakit ini. (11,12,13)

Gambar 2. Menunjukkan tempat predileksi lesi pada pasien Dermatitis Herpetiformis.*

Lesi awal dari DH adalah papul eritematous, plak urtikaria atau lebih sering dengan bentuk vesikel yang berkelompok yang muncul pada beberapa tempat, bisa juga lesinya muncul tidak berkelompok. Bentuk vesikel lebih sering ditemukan pada telapak tangan, bisa disertai dengan perdarahan. Jika berlangsung lama akan disertai hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Pasien bisa datang hanya dengan lesi krusta, jika lesi-lesi primer sudah tidak muncul lagi atau hilang. Gejala klinis DH sangat bervariasi mulai dari rasa sensasi terbakar yang berat dan gatal yang sangat hebat. (11,12,13,14)

Manifestasi gastrointestinal

Walaupun tidak ditemukan pada semua pasien DH, namun dikaitkan dengan abnormalitas gastrointestinal yang disebabkan oleh sensitivitas terhadap gluten. Dari penelitian ditemukan gejala steatorrhea (20-30% pasien) .(1,11)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Histopatologi

Pada pemeriksaan biopsi kulit ditemukan adanya kumpulan neutrofil di papil dermis (mikroabses), fragmen neutrofil, infiltrasi eosinofil, fibrin dan pemeriksaan puncak papila dermis dari lapisan epidermis. Gambaran lesi awal ini susah dibedakan dengan penyakit Ig A linear, erupsi pemfigoid bullosa dan Epidermolisis Bullosa Aquisita (EBA). Diagnosis banding histologi dari lesi pada stadium lanjut sukar dibedakan dengan pemfigoid gestasionis, eritema multiformis dan erupsi obat tipe bullosa. (7,10,11,12,13)

Gambar 3: Biopsi kulit pada lesi awal menunjukkan deposit neutrofil dalam papilla dermal dengan penimbunan fibrin dan fragmen neutrofil. *

Pemeriksaan

serologi

Pemeriksaan serologik spesifik yaitu tampak antibodi Ig-A antiendomisium (EMA), yang mengikat substansi otot polos (endomisium). Surdy et al menunjukkan bahwa IgA autoantibodi memiliki spesifilitas terhadap TGase.(11,12)

Gambar 4: Immunofluoresensi menunjukkan immunoglobulin A di dermoepidermal junction (pewarnaan immunofluorescence langsung). **

Immunofluoresensi Pada pemeriksaan imunofluorosensi secara in vivo ditemukan deposit Ig-A dalam bentuk granuler pada papilla dermis dan ditemukan juga komplemen C3 pada daerah lesi.(11,12) Gambar 5: Gambaran imunofluoresensi adanya IgA yang terdeposit pada papilla dermis*

Pemeriksaan

genetik

Sebuah studi mengindikasikan adanya MHC tertentu pada antigen pasien dermatitis herpetiformis yang dikaitkan dengan HLA-B8, HLA-DR dan HLA-DQw2. sesungguhnya semua pasien dermatitis herpetiformis memliki gen yang mengkode HLA-DQw2. (11,12,13,14)

VI.

DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis dermatitis herpetiformis berdasarkan gejala klinis dermatitis herpetiformis dan disertai pemeriksaan penunjang lainnya sperti biopsi kulit dan pemeriksaan imunofluoresensi mengingat ada beberapa penyakit yang memiliki gambaran lesi yang hampir sama.(1,11,12,13)

VII.

DIFFERENTIAL

DIAGNOSIS

Chronic

Bulous

Disease

of

Childhood

(CBDC)/

Dermatosis

Linear

Ig

CBDC ialah dermatosis autoimun yang biasanya mengenai anak kurang dari 5 tahun ditandai dengan adanya bula dan terdapatnya deposit IgA linear yang homogen pada epidermal basement membrane. Etiologinya belum diketahui pasti namun sebagai faktor pencetus ialah infeksi dan antibiotik dan yang paling sering yaitu penisilin. Perbedaannya dengan DH ialah pada DH, penyakit berlangsung sehingga dewasa, jarang pada umur sebelum 10 tahun. Lesi yang utama pada DH adalah vesikel, berkelompok selalu ada eritem, sangat gatal dan didapati IgA yang berbentuk granular serta biasanya didapati enteropati. Mulainya penyakit CBDC lebih mendadak daripada DH, penyakit mulai usia sebelum sekolah, kelainan kulit berupa vesikel atau bula, terutama bula, eritem tidak selalu ada dan dapat berkelompok atau tidak, tidak terlalu gatal dan didapatkan IgA berbentuk linear dan C3 sepanjang membrana basalis. Dan tidak didapati enteropati. Mengenai pengobatan, pada DH memberi respon dengan sulfon, sedangkan CBDC dapat memberi respon atau tidak sama sekali.(12,13)

Pemfigus

vulgaris

Pemfigus vulgaris ialah penyakit autoimun karena pada serum penderita ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat misalnya D-penisilamin dan kaptopril. Berbeda deengan DH di mana keadaan umum penderita biasanya baik, keadaan umum penderita PV biasanya buruk. Penyakit dapat dimulai sebagai lesi di mukosa mulut kemudian di kulit kepala yang berambut. Bula yang timbul pada PV berdinding kendur, mudah pecah dengan pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak normal pada tepian atau yang eritematosa.(12,13)

Tanda Nikolski positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit di antara dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula maka bula akan meluas karena cairan di dalamnya mengalami tekanan. Pruritus tidaklah lazim pada PV namun penderita sering mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas. Perbedaan utama antara PV dengan DH adalah, DH dapat mengenai anak dan keluhannya sangat gatal dengan ruam utama yaitu vesikel berdinding tegang dan berkelompok. Sebaliknya PV dewasa, keadaan umumnya baik, terutama terdapat pada orang dewasa, keadaan umumnya buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur dan biasanya generalisata. Pada gambaran histopatologik pada PV, terdapat akantolisis, letak vesikel intraepidermal dan terdapat IgG di stratum spinosum.(12,13)

Pemfigus

bulosa

Pemfigus bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya bula subepidermal yang besar berdinding tegang. Sering disertai eritema. Tempat predileksi ialah ekstremitas terutama lengan bagian fleksor dan lipat paha. Jika bula-bula pecah terdapat daerah erosif yang luas. Mulut dapat terkena pada pada kira-kira 20% kasus. PB berbeda

dengan DH karena ruam yang utamanya adalah bula berdinding tegang, tidak begitu gatal dan pada pemeriksaan effloresensi terdapat IgG tersusun seperti pita di subepidermal sebaliknya pada DH, ruam utamanya adalah vesikel berkelompok, sangat gatal dan terdapat IgA tersusun granular di papilla dermis.(12,13)

Pemphigus

Gestasionis

Gambar10. Menunjukkan gambaran beberapa bula yang tegang pada pemphigus gestasionis(kiri) dan gambaran bula yang pecah pada dermatitis herpetiformis (kanan)*

Pemphigus gestasionis merupakan suatu penyakit dermatitis bullosa yang terjadi saat kehamilan. Penyakit ini adalah penyakit autoimun yang sangat jarang. Penyakit ini dijadikan sebagai salah satu diagnosa banding karena gejala klinisnya yang ditandai dengan keluhan sangat gatal seperti terbakar. Effloresensi dari penyakit ini berupa papulo-vesikel yang berkelompok dan bersifat polimorfik. Bedanya dengan dermatitis herpetiformis adalah tempat predileksi daripada penyakit ini yaitu bisa terkena pada abdomen dan ekstremitas termasuk telapak tangan dan telapak kaki. Malah kelainannya juga tidak simetris. Pada histopatologi akan ditemukan bula yang berisi eosinofil yang terdapat pada lapisan subepidermal. Imunofloresensi akan ditemukan IgG pada subepidermal.

VIII.

PENATALAKSANAAN

Non

Medikamentosa

Diet

Bebas

Gluten

Umumnya pasien (sebanyak 80%) berespon terhadap diet bebas gluten untuk

mengontrol penyakit kulitnya. Beberapa pasien juga mampu untuk tidak lagi melanjutkan terapi dapson.

Diet bebas gluten meredakan kulit yang melepuh, menormalkan gejala dan gambaran histiologis saluran pencernaan.

menormalkan

bulan

Dari suatu penelitian dikatakan bahwa dengan diet ketat sayuran dibutuhkan selama 5 samapi 1 tahun sebelum dosis dapson dapat diturunkan.

Diet elemen yang mengandung asam lemak bebas, polisakarida, dan trigliserida dalam

jumlah kecil sangat bermanfaat untuk mengurangi penyakit ini pada minggu pertama, tetapi sayangnya diet elemen ini susah ditoleransi tubuh pada periode jangka panjang dan pernah dilaporkan bahwa lesi kulit pada DH pernah ada yang menghilang dengan menkonsumsi diet tinggi protein, rendah lemak, rendah karbohidrat yang dikenal Atkins diet. Namun masih dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk membuktikan laporan ini.

Medikamentosa

Sistemik

Obat

yang

digunakan

untuk

Dermatitis

herpetiformis

yaitu

1.

Dapson

Dapson merupakan obat pilihan untuk dermatitis herpetiformis. Dosis dimulai 100150mg/hari, tetapi beberapa penderita mungkin memerlukan 300-400mg/hari, biasanya satu kali sehari. Peningkatan dosis dilakukan secara bertahap hingga dapat menekan gejalanya dan menimbulkan efek samping yang berarti dan gejalanya menghilang dalam waktu 3 jam atau beberapa hari (24-48 jam) setelah tablet pertama ditelan. Kemudian dosis diturunkan hingga mencapai dosis pemeliharaan 25-50mg/hari yang dapat diberikan selama beberapa tahun. Dapson tersedia dalam sediaan 25mg dan 100m, waktu paruh 10-50 jam. Dapson aman dalam dosis berapapun. Efek samping berupa nefrolithiasis. Intake cairan dan alkalinisasi urin dapat meminimalkan resiko nefrolithiasis.

IX.

PROGNOSIS

Penyakit ini dapat berlangsung lama dengan proses eksaserbasi dan remisi. 10% penderita akan mengalami remisi.

X.

KESIMPULAN

Dermatitis herpetiformis merupakan kelainan kuli autoimun yang merupakan suatu manifestasi kulit yang berhubungan dengan penyakit enteropati sensitif terhadap gluten. Dermatitis herpetiformis disebabkan oleh deposit IgA pada papilla dermis, yang kemudian

mencetuskan cascade imunologis, menyebabkan infiltrasi neutrofil dan aktivasi komplemen. Beberapa teori menyebutkan dermatitis herpetiformis timbul sebagai respon imun atas paparan kronik pada mukosa gastrointestinal oleh bahan gluten dengan aktivasi secara bertahap pada sel endotel pembuluh darah kulit dan sel-sel inflamasi, termasuk neutrofil. Lesi terutama berbentuk papul dan vesikel berkelompok yang simetris, sangat gatal dengan predileksi terutama pada daerah ekstensor daerah siku, lutut, bokong, dan punggung. Biasanya sangat gatal sehingga dengan garukan timbul erosi hingga ekskoriasi

Daftar

Pustaka

Wiryadi BE. Dermatitis Herptiformis (Morbus Duhring). Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, ditors. Ilmu Penyakit Kulit. Edisi III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999.p.192-5.

Amiruddin DM. Dermatitis Herpetiformis. Dalam :Amiruddin DM, editor. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUH; 2003.p.337-43.

Kariosntono H. Dermatitis Herpetiformis (Penyakit Duhring). Dalam: Harahap M, editor. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000.p.139-41.

Heron, Zone JJ. Dermatitis Herpetiformis and Linar IgA.1st edition in: Bolognia JL, Lorizzo JJ, Rapini RR, editors. Dermatology. USA: Mosby; 1985.p.479-89

Dermatitis herptiformis. American Osteopathic College of Dermatology. [citied September 20]. Available from URL: http://www.AOCD.com

Dermatitis herpetiformis. Celiac Sprue Association. [serial online] 2004 Januari. [citied September 20]. Available from URL: http://www.CPA.com

Miller, Jami. Dermatitis herpetiformis. eMedicine. [serial online] 2007 mei. [citied September 20]. Available from URL: http://www.eMedicine.com

Fine Jo-David, editor. Management of Acquired BBullous Skin Disease. The New England Journal of Medicine. [serial online] 1995 November [citied 2007 September 24]. Volume 333. 1475-84. Available from URL: http://www.NEJM.org./content/full/333.com

Reynaert S, Black MM. Treating Immunobullous Diseases. MedGenMed eJournal. [serial online] 2004 Maret. [citied 2007 September 24]. Available from URL:

http://www.medscape.com

Moschella SL, Hurley HJ, editors. Dermatology. 2nd Edition. Philadelphia: W.B. Saunders; 1985.p.579-86

Katz SI, Dermatitis Herpetiformis. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fritzpatricks Dermatology In General Medicine. 6th Edition. New York: Mcgraw-Hill; 2003.p.73

Habif TP. Clinical Dermatology. 4th Edition. Edinburgh: Mosby; 2004.p.554-67

Champion RH, Burton DA, Breathnach SM, editors. Textbook of Dermatology Volume 4. Blackwell Science.1998.p.1888-92

Siregar RS. Dermatitis Herpetiformis. Dalam : Hartono H, editor. Saripati Pennyakit Kulit Jakarta: EGC;2004.p.196-7

Efendi H, Hartanto H, editors. Buku Ajar Diagnostik Fisik (Textbook of Physical Diagnostic)/ Mark h. Swatz. Jakarta : EGC; 1995.p.76.

Baca Pula Artikel Terkait:

refarat

Anda mungkin juga menyukai