Anda di halaman 1dari 3

Pekerja Butuh THR, Bukan Surat Edaran

Menakertrans Muhaimin Iskandar menerbitkan surat edaran bernomor SE.03/MEN/VII/2013 tentang Pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan dan Himbauan Mudik Lebaran Bersama. Peraturan yang sudah ditandatangani Muhaimin pada 4 Juli 2013 itu ditujukan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh daerah di Indonesia. Dengan surat edaran ini, kita ingatkan dan tegaskan kembali bahwa pembayaran THR merupakan kewajiban pengusaha kepada pekerja/buruh. Pembayaran THR ini wajib dilaksanakan secara konsisten sesuai peraturan agar tercipta suasana hubungan kerja yang harmonis dan kondusif di tempat kerja, kata Muhaimin di Jakarta, Senin (8/7). Muhaimin menyebut THR merupakan tradisi sebagai salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dalam merayakan hari raya keagamaan. Oleh karenanya, pembayaran THR untuk pekerja yang diberikan setahun sekali itu dibayarkan selambatlambatnya tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Selaras dengan itu pembayaran THR harus dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Permenakertrans No. PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Dalam surat edaran itu, Muhaimin menjelaskan, mengacu Permenakertrans tersebut setiap perusahaan wajib memberikan THR kepada pekerja yang masa kerjanya minimal 3 bulan atau lebih. Untuk pekerja yang masa kerjanya lebih dari 3 bulan tapi kurang dari 12 bulan, besaran THR dihitung secara proporsional. Yaitu jumlah bulan kerja dibagi 12 dikali satu bulan upah. Sedangkan untuk pekerja dengan masa kerja 12 bulan atau lebih mendapat THR sebesar satu bulan upah. Jika dalam peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB) mekanisme pembayaran THR itu lebih baik ketimbang regulasi yang ada, maka pemberian THR mengacu ketentuan yang berlaku di tingkat perusahaan itu. Oleh karenanya, lewat surat edaran itu Muhaimin menginstruksikan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota untuk menegaskan kepada para pengusaha di daerahnya untuk membayar THR tepat waktu. Terkait mudik lebaran bersama, Muhaimin menyebut surat edaran itu ditujukan untuk meringankan dan mempermudah pekerja serta keluarganya yang mudik ke kampung halaman. Tak ketinggalan surat edaran itu ditembuskan kepada Presiden dan Wakil Presiden, jajaran menteri di kabinet, APINDO, serikat pekerja dan instansi bidang ketenagakerjaan di seluruh provinsi di Indonesia. Para Gubernur dan Bupati/Walikota diimbau dapat mendorong perusahaan di wilayahnya untuk menyelenggarkan mudik lebaran bersama dan segera berkoordinasi serta membentuk Pos Komando Satuan Tugas (Posko Satgas) Ketenagakerjaan Peduli Lebaran tahun 2013, kata Muhaimin. Terpisah, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan penerbitan surat edaran itu seolah menjadi tradisi bagi Menakertrans menjelang hari raya lebaran. Sebagaimana Muhaimin, Timboel menilai THR adalah hak normatif bagi pekerja dan kewajiban pengusaha untuk membayar. Ketentuan itu termaktub dalam Permenakertrans bernomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.

Penerbitan surat edaran itu menurut Timboel cukup bagus karena mengingatkan para pengusaha untuk membayar THR kepada pekerjanya sesuai ketentuan yang ada atau lebih baik. Tapi, pelaksanaan surat edaran itu akan terjamin jika dibarengi dengan penegakan hukum ketenagakerjaan yang tegas. Kalau hanya sekadar mengeluarkan surat edaran tetapi tidak diikuti oleh penegakan hukum maka surat edaran tahunan tersebut akan menjadi percuma dan hanya menjadi tradisi pencitraan semata, urai Timboel kepada hukumonline lewat surat elektronik, Selasa (9/7). Mengacu persoalan pembayaran THR, Timboel mencatat setiap tahun tak sedikit pengaduan yang disampaikan para pekerja ke dinas ketenagakerjaan, baik di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. Ironisnya, perselisihan hak normatif itu kerap berlabuh di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Padahal, untuk hak normatif, Timboel berpendapat mestinya tidak perlu sampai ke PHI karena prosesnya sangat panjang. Oleh karenanya, peran pengawas ketenagakerjaan sangat penting untuk menjamin pekerja mendapat hak normatifnya itu. Bahkan, Timboel mengaku kerap melihat modus yang dilakukan pengusaha malah memberikan THR kepada pengawas ketenagakerjaan yang menyambangi perusahaan. Padahal, pengawas ketenagakerjaan itu harusnya meneliti apakah perusahaan tersebut sudah menunaikan kewajibannya membayar THR kepada para pekerja atau belum. Timboel menyatakan hal tersebut bukan tanpa alasan karena sejak 2011-2012 OPSI melaporkan empat kasus pembayaran THR. Namun, selalu gagal penyelesaiannya di tangan pengawas ketenagakerjaan dan berujung ke PHI. Menurutnya, hal tersebut sering menjadi dalih pengawas ketenagakerjaan untuk tidak menindaklanjuti pengaduan atas pelanggaran pembayaran THR itu. Dari berbagai persoalan terkait pembayaran THR, Timboel menemukan beberapa modus. Pertama, perusahaan membayar THR tidak sebesar satu kali upah, tapi sekedarnya saja. Kedua, perusahaan membayar THR hanya sebatas gaji pokok saja, tidak mengikutsertakan tunjangan tetap. Padahal mengacu Permenakertrans THR, yang menjadi komponen THR adalah upah pokok ditambah tunjangan tetap. Ketiga, perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau memutus kontrak kerja kepada pekerjanya menjelang masuk bulan puasa. Biasanya hal tersebut kerap dialami pekerja berstatus outsourcing atau kontrak. Keempat, perusahaan membayar THR satu atau dua hari menjelang hari raya Idul Fitri agar pekerja tetap masuk kerja dan tidak mengambil cuti terlebih dahulu. Kelima, THR dibayar dengan cara mencicil. Keenam, perusahaan tidak membayar THR dengan alasan tidak punya uang. Mengingat masih banyak pelanggaran pembayaran THR itu maka sudah seharusnya Surat Edaran Menakertrans diikuti oleh tindakan nyata pihak pengawas ketenagakerjaan untuk menegakkan hukum, tegas Timboel. Untuk mengatasi persoalan, Timboel mendesak Menakertrans mengambil sejumlah langkah. Pertama, Menakertrans melayangkan surat kepada berbagai perusahaan yang tahun-tahun lalu masih menunggak membayar THR kepada pekerjanya. Dengan begitu diharapkan dapat memastikan pelanggaran itu tidak terjadi lagi. Apalagi, Timboel yakin Kemenakertrans punya data tentang laporan pelanggaran THR dari berbagai Kabupaten/Kota. Dalam melayangkan surat itu, menurut Timboel perlu ditembuskan kepada Bupati/Walikota dan meminta laporan atas tindakan pengawasan di tingkat Kabupaten/Kota yang sudah dilakukan.

Menakertrans harus mempublikasikan melalui media massa, nama-nama perusahaan yang dua tahun berturut-turut melakukan pelanggaran pembayaran THR, usul Timboel. Selain itu Timboel mendorong Kemenakertrans dan dinas ketenagakerjaan untuk aktif bekerjasama dengan serikat pekerja dan lembaga bantuan hukum di seluruh Indonesia yang membentuk posko pengaduan pembayaran THR. Begitu juga pengawas ketenagakerjaan yang dirasa perlu melibatkan serikat pekerja dalam melakukan pengawasan lapangan. Tak ketinggalan Timboel menuntut pengawas ketenagakerjaan harus berani membuat nota pemeriksaan dan tidak segan-segan melimpahkan masalah tersebut ke kepolisian bila perusahaan tetap tidak mau membayar hak pekerja atas THR.
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51dbb09fb7114/pekerja-butuh-thr--bukansurat-edaran

Anda mungkin juga menyukai