Anda di halaman 1dari 37

PRESUS

LMA PADA PASIEN DENGAN OPERASI APPENDISITIS


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anastesiologi dan Terapi Intensif RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :
Windi Pertiwi, S. Ked (20070310128)

Dokter Penguji : dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp. An. M.Kes

SMF ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL 2012

HALAMAN PENGESAHAN
LMA PADA PASIEN DENGAN OPERASI APPENDISITIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anastesiologi dan Terapi Intensif RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh: Windi Pertiwi, S. Ked 20070310128

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal Oleh : Dokter Penguji

Desember 2012

dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp. An. M.Kes

BAB I STATUS PASIEN A. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Tanggal diperiksa Pekerjaan Berat Badan Diagnosis : Bp. H : 33 tahun : laki-laki : Bantul : 20 Desember 2012 : Buruh : 63 kg : appendicitis akut

B. ANAMNESIS Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 21 Desember 2012 di bangsal Bedah. 1. Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah, yang dimulai sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Awal nya nyeri dirasakan di sekitar pusar, namun kemudian berpindah di bagian kanan bawah. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sejak sejak kemarin, namun saat ini sudah membaik. Os juga mengatakan adanya panas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, namun panas tidak tinggi. Bab (+) 1 kali, bak lancar dan tidak nyeri.

3. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien pernah menjalani operasi sebelumnya yaitu operasi patah tulang paha, tahun 2008, dan dipasang pen, namun pen sudah diambil pada operasi pada tahun 2010. 4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign A B C D : Clear, TMD > 6,5 cm, MI : Spontan, RR : 16x/menit, vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/: TD : 120/80 mmHg, HR : 72x/menit, S1-S2 reguler : E4 V5 M6, t : 37,3o C. : Baik : Compos Mentis

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Thorax Foto 2. EKG 3. EEG 4. Laboratorium Hb Al : 13,7 : 10,8 : Cor dan Pulmo dalam batas normal : Normal Sinus Rythm, HR : 67 x/m. : tidak dilakukan :

AE AT HMT

: 4,51 : 342 : 38,9

Eosinophil: 0 Basophil : 0 Batang Segmen :2 : 75

Limposit : 22 Monosit PPT APTT :4 : 12,2 : 28,1

Control PPT : 13,2 Control APTT : 29,8 GDS Ureum : 101 : 14

Kreatinin : 0,67 Natrium Kalium Klorida HbsAg : 136,4 : 4,11 : 111,1 : negatif

E. DIAGNOSIS KERJA Pre Op Appendictomi a.i. Appendicitis, dengan status fisik ASA I.

Rencana General Anestesi

F. PENATALAKSANAAN 1. Persiapan Operasi Lengkapi Informed Consent Anestesi Puasa 8 jam sebelum operasi Memakai baju khusus kamar bedah : Midazolam 3 mg IV; Fentanyl 50 g IV : Appendicitis : Post op appendictomi a.i. appendicitis. : General Anestesi : Laryngeal Mask Airway : Profofol 100 mg iv : 02 2L/menit , N2O. : Ondansentron 4 mg IV, Ketorolac 30 mg : Ringer laktat : 120 cc : 960 cc : 360 cc : 960 cc : 4200 cc

2. Premedikasi 3. Diagnosis Pra Bedah 4. Diagnosis pasca Bedah 5. Jenis Anestesi 6. Teknik 7. Induksi 8. Pemeliharaan 9. Obat-obat IV 10. Jenis Cairan MO PP SO Keb. Cairan jam I EBV

11. Kebutuhan cairan selama Operasi

Keb. Cairan jam II/III : 720 cc

12. Instruksi Pasca Bedah Posisi Infus Antibiotik Analgetik Anti muntah Lain-lain : Supine : Ringer laktat 20 tpm : Sesuai dr. Operator : Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV mulai jam 18.00 : Inj. Ondansentron 4 mg/8 jam/IV K/P mulai jam 17.40 : - Awasi Vital sign dan KU

- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-), coba minum makan perlahan. - Bed rest 24 jam post op. 13. Lama Operasi : 30 menit 14. Maintanence anastesi B1 (Breathing) B2 (Bleeding) B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone) : Suara nafas vesikuler, nafas terkontrol, :Perdarahan 20 cc : Pupil Isokor : tidak terpasang kateter : BU (-) : Intak

15. Monitoring pasca Operasi Skor Lockharte/Aldrete Pasien Jam I (per 15) Aktivitas 1 2 Respirasi 2 2 Sirkulasi 2 2 Kesadaran 1 2 Warna kulit 2 2 Skor total 9 10 Jam II Jam III Jam IV

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. APPENDICITIS 1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks adalah suatu organ yang terdapat pada sekum yang terletak pada proximal kolon, yang hingga sekarang belum diketahui fungsinya. Pada neonatus, apendiks vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex sekum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi sekum, apendiks berkembang di sebelah kiri dan belakang kira-kira 2,5 cm di bawah valva ileocaecal. Selama anak-anak, pertumbuhan biasanya berotasi ke dalam retrocaecal namun masih di dalam intraperitoneal. Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awan adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya sekitar 10 cm (315 cm). Lumennya sempit di bagian proximal dan melebar di bagian distal. Namun, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar di pangkal, dan sempit di ujung. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab rendahnya insiden apendisitis pada usia tersebut. Ontogenitas berasal dari mesogastrium dorsale. Kebanyakan terletak intraperitoneal dan dapat digerakkan. Pada apendiks terdapat 3 tanea coli uang menyatu dipersambungkan sekum dan bisa berguna sebagai penanda tenpat untuk mendeteksi apendiks. Macam-macam letak apendiks : retrocaecalis (74%), pelvic (21%), patileal (5%), paracaecal (2%), subcaecal (1,5%), dan preleal (1%). Kebanyakan kasus, apendiks terletak intra abdominal. Posisi ini memungkinkan apendiks bergerak bebas dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks di penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asenden, atau di tepi lateral kolon asenden. Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.

Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendik merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil. Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Pangkal apendiks dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis MonroePichter. Garis diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal apendiks terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc Burney. Ujung apendiks juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari SIAS dextra ke SIAS sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung apendiks terletak pada 1/6 lateral dexter garis tersebut.

Gambar 1. Letak titik McBurneys Apendiks diperdarahi oleh arteri apendikular yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri pada apendiks termasuk end arteri yang merupakan arteri tanpa kolateral. Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe elintangi mesoapendiks menuju nodus limfe ileocaecal. Bila arteri ini tersumbat, misal karena adanya trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren. Gejala klinis apendisitis ditentukan berdasar letak apendiks. Persarafan apendiks meliputi simpatis dan parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari

cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.

Gambar 2. Letak anatomi apendiks Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir tersebut secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks sepertinya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Walau begitu, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali bila dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh. 2. Definisi Apendisitis adalah peradangan dari apendiks versiformis dan merupakan kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Apendisitis disebut juga umbai cacing. Apendisitis akut merupakan peradangan pada apendiks yang timbul mendadak dan dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris yang dapat menimbulkan penyumbatan. Dapat terjadi pada semua umur, namun jarang dilaporkan terjadi pada anak berusia kurang dari 1 tahun. Apendisitis akut memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang secara

umum berbahaya. Jika diagnosis terlambat ditegakkan, dapat terjadi ruptur pada apendiks sehingga mengakibatkan terjadinya peritonitis atau terbentuknya abses di sekitar apendiks. 3. Epidemiologi Insiden appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, namun dalam dekade tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Pria lebih banyak daripada wanita, sedang bayi dan anak sampai berumur 2 tahun terdapat 1% atau kurang. Anak berumur 2 sampai 3 tahun terdapat 15%. Frekuensi mulai menanjak setelah usia 5 tahun dan mencapai puncaknya berkisar pada umur 9 hingga 11 tahun. Di AS, insiden appendisitis berkisar 4 tiap 1000 anak dibawah 14 tahun. Walaupun appendisitis dapat terjadi pada setiap umur, namun puncak insiden terjadi pada umur belasan tahun dan dewasa muda. 4. Etiologi Appendisitis umumnya terjadi karena adanya proses radang bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya:
1. Faktor sumbatan (Obstruksi)

Obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Obstruksi terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hyperplasia jaringan limfoid (60%), 35% karena statis fekal, tumor apendiks, benda asing dalam tubuh (4%) dan cacing askaris serta parasit dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hyperplasia jaringan limfoid merupakan

penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan ruptur.
2. Faktor bakteri

Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. Histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan semakin meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada dinding apendiks. Infeksi enterogen merupakan faktor primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk dan meperberat infeksi karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur dapat ditemukan kombinasi antara Bacteriodes splanicus dan E.coli, kemudian Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%. 3. Kecenderungan familiar Hal ini dihubungkan dengan terjadinya malformasi yang herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik, dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Kejadian ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makan dalam keluarga terutama diet rendah serat yang dapat mempermudah terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen. 4. Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun, sekarang terjadinya sebaliknya. Bangsa kulit putih justru merubah kebiasaan makannya ke pola makan tinggi serat. Negara berkembang yang dulu mempunyai kebiasaan makan tinggi

serat, kini beralih ke pola makan rendah serat, sehingga memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi. Selain infeksi, appendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks. 5. Patofisiologi Patofisiologi appendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut. Jika kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan appendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti appendisitis berada dalam keadaan perforasi. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali

menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi. 6. Stadium pada Apendisitis o Stadium awal appendisitis: Obstruksi lurnen apendiks mengarah pada edema mukosa, ulserasi mukosa dengan akumulasi cairan dan peningkatan tekanan intraluminer. Pasien menampakkan gejala nyeri periumbilikal atau epigastrik. o Appendisitis supuratif : Peningkatan tekanan intraluminer mengakibatkan peningkatan tekanan perfusi kapiler, yang bersamaan dengan obstruksi limfatik dan drainase vena, diikuti invasi cairan inflamasi dan bakterial pada dinding appendisitis. Penyebaran transmural bakterial menyebabkan appendisitis supuratif akut. Ketika inflamasi serosa apendiks bersentuhan dengan peritoeum parietal secara klinis nyeri pasien berpindah dari periumbilikus ke kuadran perut kanan bawah, selanjutnya menjadi lebih berat. o Appendisitis gangrenosa : Vena intramural dan thrombosis arteri, menghasilkan appendisitis gangrenosa. o Appendisitis perforasi. Hasil dari iskemia jaringan adalah infark appendisitis dan perforasi. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis terlokalisasi atau generalisata. o Phlegrnon appendisitis atau abses: Inflamasi atau perforasi apendiks dapat dilingkupi dengan omentum majus yang berdekatan atau loop usus halus menghasilkan appendisitis phlegmon atau abses fokal. 7. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Anamnesis Nyeri / Sakit perut

Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Terjadi karena peristaltik untuk mengatasi obstruksi yang terjadi pada seluruh saluran cerna,

sehingga nyeri visceral dirasakan pada seluruh perut. Mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apabila telah terjadi inflamasi (> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus

Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria. Obstipasi karena penderita takut mengejan

Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum. Panas (infeksi akut) bila timbul komplikasi

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi : pada appendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.

Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari appendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan

dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada appendisitis pelvika.

Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada appendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada appendisitis pelvika.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 20.000/ml ( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CTscan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Rontgen foto polos, tidak spesifik, secara umum tidak cost effective. Kurang dari 5% pasien akan terlihat adanya gambaran opak fekalith yang nampak di kuadran kanan bawah abdomen. USG : pada kasus appendisitis akut akan nampak adanya : adanya struktur yang aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar caecum. Dinding apendiks nampak jelas, dapat dibedakan, diameter luar lebih dari 6mm, adanya

gambaran target, adanya appendicolith, adanya timbunan cairan periappendicular, nampak lemak pericecal echogenic prominent. CT scan : diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran dinding appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding, phlegmon, free fluid, free air bubbles, abscess, dan adenopathy. 8. Manifestasi Klinis Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat pula keluhan lain seperti anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya pula terdapat keluhan konstipasi, tak jarang pula terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan, timbulnya penyakit ini belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan yang seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri yang maksimal. Perkusi ringan di kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya akan muncul. Bila ada tanda Rovsing, psoas, dan obturator positif, akan semakin menyakinkan diagnosis klinis apendisitis. 9. Diagnosis Banding Gastroenteritis akut merupakan kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada kelainan ini terdapat keluhan muntah dan diare yang lebih sering. Demam dan leukosit meningkat dengan jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri yang dirasakan tidak jelas dan dapat berpindahpindah. Gejala yang khas adalah dijumpainya hiperperistaltik. Kelainan ini

biasanya berlangsung akut dan perlu adanya observasi berkala untuk menegakkan diagnosis gastroenteritis. Adenitis mesenterikum juga menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan apendisitis. Penyakit ini lebih sering menyerang anak-anak dengan biasanya diawali infeksi saluran napas. Lokasi nyeri perut di bawah kanan tidak konstan dan menetap, dan jarang terjadi true muscle guarding. Divertikulitis Meckeli juga menujukkan gejala yang hampir sama. Lokasi nyeri mungkin lebih ke arah medial, namun kriteria ini bukan kriteria diagnosis yang dapat digunakan sebagai penegakan diagnosis penyakit ini. Kelainan baik divertikulitis meckeli dan apendisitis membutuhkan tindakan operatif. Enteritis regional, amubiasis, ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter, salpingitis akut, kehamilan ektopik terganggu, dan kista ovarium terpuntir juga sering dikacaukan dengan apendisitis. Pneumonia lobus kanan bawah kadang-kadang juga berhubungan dengan nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah. 10. Penatalaksanaan Jika diketahui hasil diagnosis positif appendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan apendektomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila appendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.

11. Komplikasi Apendisitis merupakan penyakit yang jarang mereda dengan spontan, namun penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan terjadi perforasi. Perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, oleh karen itu observasi untuk penegakan diagnosis ini aman dilakukan dalam waktu tersebut. Tanda terjadinya perforasi antara lain adalah peningkatan nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan makin jelasnya leukositosis. Bila perforasi disertai peritonitis umum atau pembentukan abses terjadi sejak pasien datang pertama kali, diagnosis dapat dengan pasti ditegakkan. Bila terjadi peritonitis umum, terapi spesifik yang dilakukan adalah tindakan operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang adalah pasien diharapkan untuk tirah baring dalam posisi Fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik sesuai hasil kultur, transfusi untuk menangani anemia, dan bila terdapat syok septik dapat dilakukan penanganan secara intensif. Jika telah terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum dan vagina. Terapi awal diberikan kombinasi antibiotik, misal ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin. Adanya sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase. Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Keadaan ini merupakan indikasi pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. 12. Prognosis

Bila diagnosis yang akurat disertai dengan penanganan pembedahan yang tepat, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas bila timbulnya adanya komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. B. Tata Laksana Anestesi dan Terapi Intensif pada Tindakan Operasi Appendicitis 1. Batasan Tindakan anestesi yang dilakukan pada operasi appendicitis. 2. Masalah anestesi dan terapi intensif Perdarahan luka operasi Penilaian status pasien Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang lain sesuai dengan indikasi 3. Penatalaksanaan Anestesi dan terapi intensif

4. Persiapan Pra Operatif Persiapan rutin 5. Premedikasi Diberikan secara intravena 30 45 menit pra induksi dengan obat-obat sebagai berikut: Midazolam Fentanyl 6. Pilihan Anestesi Anestesi umum total intravena anestesia dengan profofol 2-2,5 mg/kgBB 7. Terapi Cairan dan Tranfusi Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahan yang terjadi < 20 % dari perkiraan volume darah dan apabila > 20%, berikan tranfusi darah. 8. Pemulihan Anestesi Segera setelah operasi, hentikan aliran obat anesthesia, berikan oksigen 100% : 0,05 0,10 mg/kgBB : 1-3 g/kgBB

Bersihkan jalan nafas Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan adekuat serta jalan nafas sudah bersih 9. Pasca bedah/anestesi Dirawat diruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca anestesi Perhatian khusus pada periode ini adalah ancaman depresi nafas akibat nyeri dan kompresi luka operasi Pasien dikirim kembali keruangan setelah memenuhi kriteria penegeluaran

C. LMA Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. Tanggung jawab dokter anestesi adalah untuk menyediakan respirasi dan managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien. LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk laring. 3.1. Desain dan Fungsi Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar. Gambar 1. Berbagai macam ukuran LMA

Dibawah ini tabel dengan berbagai ukuran LMA dengan volume cuff yang berbeda yang tersedia untuk pasien-pasien ukuran berbeda

Tabel 3. Berbagai ukuran LMA

3.2. Macam-macam LMA 3.2.1. Clasic LMA Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management

yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk ventilasi facemask maupun intubasi ET. LMA juga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan difficult airway. Jika LMA dimasukkan dengan tepat maka tip LMA berada diatas sfingter esofagus, cuff samping berada di fossa pyriformis, dan cuff bagian Dengan posisi seperti inflasi yang minimal dari lambung. 3.2.2. LMA Fastrach ( Intubating LMA ) atas berlawanan dengan dasar lidah. ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif dengan

LMA

Fastrach

terdiri

dari

sutu

tube

stainless

steel

yang

melengkung ( diameter internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm, handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara LMA clasic dan LMA Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang pengangkat epiglottic. Nama lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang dirancang khusus untuk dapat pula melakukan intubasi tracheal. Sifat ILMA : airway tube-nya kaku, lebih pendek dan diameternya lebih lebar dibandingkan cLMA. Ujung proximal ILMA terdapat metal handle yang berfungsi membantu insersi dan membantu intubasi, yang memungkinkan insersi dan manipulasi alat ini. Di ujung mask terdapat pengangkat epiglotis, yang merupakan batang semi rigid yang menempel

pada mask. ILMA didesign untuk insersi dengan posisi kepala dan leher yang netral. Ukuran ILMA : 3 5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone yang dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 8,0 mm internal diameter. ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi esofagus bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus. Intubasi pada ILMA bersifat blind intubation technique. Setelah intubasi direkomendasikan untuk memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam managemen kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan cedera tulang belakang bagian cervical. Dan dapat cardiopulmonal. Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip dengan intubasi konvensional dengan menggunakan laryngoscope. Kemampuan untuk insersi ILMA dari belakang, depan atau dari samping pasien dan dengan posisi pasien supine, lateral atau bahkan prone, yang berarti bahwa yang terjebak. ILMA merupakan alat yang mahal dengan harga kira-kira 500 dollar America dan dapat digunakan sampai 40 kali. ILMA merupakan jalan nafas yang cocok untuk insersi selama mengeluarkan pasien dipakai selama resusitasi

3.2.3. LMA Proseal LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi

tekanan positif. Pertama, tekanan seal jalan nafas yang lebih baik yang berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA Proseal terdapat pemisahan antara saluran pernafasan dengan saluran gastrointestinal, dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk dekompresi lambung. PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA mempunyai mangkuk yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam dibandingkan cLMA. Terdapat drainage tube yang melintas dari ujung mask, melewati mangkuk untuk berjalan paralel dengan airway tube. Ketika posisinya tepat, drain tube terletak dipuncak esofagus yang mengelilingi cricopharyngeal, dan mangkuk berada diatas jalan nafas. Lebih jauh lagi, traktus GI dan traktus respirasi secara fungsi terpisah. PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat insersi sulit dapat dimasukkan melalui suatu jalur rel melalui suatu bougie yang kedalam esofagus. Tehnik ini paling invasif tetapi paling suatu teori yang baik dan bukti cLMA inflasi performa dengan lambung, untuk PLMA, dan

berhasil dengan misplacement yang kecil. Terdapat mendukung gambaran perbandingan antara

berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya

meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut. Pada pasien dengan keterbatasan komplian paru atau peningkatan tahanan jalan nafas, ventilasi yang adekuat tidak mungkin karenadibutuhkan tekanan inflasi yang tinggi dan mengakibatkan kebocoran. Modifikasi baru, Proseal LMA telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan ini dengan cuf yang lebih besar dan tube drain yang memungkinkan insersi gastric tube. Versi ini sering lebih sulit untuk insersinya dan pabrik merekomendasikan dengan bantuan introduser kaku. 3.2.4. Flexible LMA Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya

meningkat

yang memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang

bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan yang baik terhadap laryng dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA. Populer digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral, termasuk tonsilektomy. Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit, yang akan menaikkan resistensi tube dan work of breathing. Ukuran fLMA : 2 5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway tube. Mask dapat ber rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga masknya mengarah ke belakang.

4. TEHNIK ANESTESI LMA

4.1. Indikasi : a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET menjadi suatu indikasi. b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak diperkirakan. c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri. 4.2. Kontraindikasi : a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency adalah pengecualian ). b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan lambung.

c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama. d. pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu terjadinya laryngospasme. 4.3. Efek Samping : Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, dengan insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA. Efek samping yang utama adalah aspirasi. 4.4. Tehnik Induksi dan Insersi Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting untuk keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang dalam sering membuat posisi mask yang tidak sempurna ( 5 ) Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak ber respon dengan mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan jaw thrust. Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot. Hal lain yang dapat mengurangi otot akan tahanan yaitu pemakaian oleh pelumpuh otot. Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di klinik, dan pemakaian pelumpuh meningkatkan trauma yang mengurangi trauma karena reflex proteksi yang di tumpulkan, atau mungkin malah akan berhubungan dengan jalan nafas yang relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan. Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol dapat menekan refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA tanpa batuk atau terjadinya gerakan. Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi dinding pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan

dengan menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus simpatis jantung. Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian induksi thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan anestesi atau dengan penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke oropharing. Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid beronset cepat ( seperti fentanyl atau alfentanyl ). Jika diperlukan, cLMA dapat di insersi dibawah anestesi topikal. Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy ( Sniffing Position ) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air sebelum dilakukan insersi. Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih menyukai Tehnik ini insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. akan menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan

perdarahan mukosa pharing. Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu tangan men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain memegang cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada tulang belakang leher bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil pada perbatasan mask dan tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan. Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posteriorsuperior dari jalan nafas. Saat cLMA berhenti selama insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus ( sfingter esofagus bagian atas ) dan harusnya sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut untuk meyakinkan titik akhir ter-identifikasi. Gambar Insersi LMA

Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan. Lima tes sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA: 1. End point yang jelas dirasakan selama insersi. 2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi. 3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi. 4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah. 5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut. Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting

untuk dicatat bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang maksimum.Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini yang dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan rendah dengan jalan nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi termasuk pharyngolaryngeal, lingual dan cedera syaraf (glossopharyngeal, hypoglossal,

laryngeal recuren ) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas. Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan akan berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat dihindari dengan mem-palpasi secara intermiten pada pilot ballon. Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara membagging dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara ribut pada jalan nafas atau kebocoran udara yang dapat adanya kebocoran terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan terjadi maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang. cLMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah terjadinya migrasi keluar. Saat dihubungkan dengan sirkuit anestesi, yakinkan berat sirkuit tadi tidak menarik cLMA yang dapat menyebabkan pergeseran. Sebelum LMA difiksasi dengan plaster, sangat penting mengecek dengan capnograf, auskultasi, dan melihat gerakan udara bahwa cuf telah pada posisi yang tepat dan tidak menimbulkan obstruksi dari kesalahan tempat yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi

menurun pada epiglotis. Karena keterbatasan kemampuan LMA untuk menutupi laring dan penggunaan elektif alat ini di kontraindikasikan dengan beberapa kondisi dengan peningkatan resiko aspirasi. Pada pasien tanpa faktor predisposisi, resiko regurgitasi faring rendah. 4.5. Maintenance ( Pemeliharaan ) Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode yang lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi jalan nafas dan akses ke jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak sebaik lewat tube trakea. Untungnya ventilasi kendali pada grup ini sering lebih mudah sebagaimana anak-anak secara umum mempunyai paru-paru dengan compliance yang tinggi dan sekat jalan nafas dengan cLMA secara umum sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan nafas yang bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran dapat terjadi jika anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung reservoir sirkuit anestesi harus tampak dan di monitoring dengan alarm yang tepat harus digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadiankejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan bijaksana untuk melepas jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian posisi telah dilakukan, sambungkan kembali kea sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan nafas.

4.6. Tehnik Extubasi Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex proteksi jalan nafas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada pahryng secara umum tidak diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik dalam. Jika cLMA ditarik dalam kondisi masih dalam, perhatikan mengenai obstruksi jalan nafas dan hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan sadar, bersiap untuk batuk dan terjadinya laryngospasme ( 5 )

4.7. Komplikasi Pemakaian LMA cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti : pasien yang tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese. Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar 28 %. Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan nafas yang lebih kecil dibandingkan dengan ET ( 10). Namun clasic

LMA mempunyai kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan rendah ( rata-rata 18 20 cmH2O ) ( tekanan pada jalan nafas akan 11,12 ), sehingga jika dilakukan

ventilasi kendali pada paru, akan menimbulkan masalah. Peningkatan berhubungan dengan meningkatnya

kebocoran gas dan inflasi lambung ( 11 ). Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan pada kasus regurgitasi isi lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya stimulasi respirasi dibandingkan ET selama situasi emergensi pembiusan ( 12,13 ) ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA selama ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50 % dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi kebocoran dari jalan nafas ( 10 ). Sebagai tambahan drain tube pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.

BAB III PEMBAHASAN Pasien ini didiagnosis sebagai appendisitis, ini dapat dilihat dari gejala yang menyertai, yaitu demam, nyeri abdomen kanan bawah. Kemudian dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri titik mc burney yang positif. Dari pemeriksaan penunjang, didapatkan adanya leukositosis dan peningktan segmen,Sehingga operasi apendiktomi adalah operasi yang tepat sebagai penatalaksanaan. Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA I (pasien keadaan sehat normal). Teknik general anestesi dengan laryngeal mask airway pada pasien ini dilakukan atas pertimbangan lama waktu operasi yang relatif singkat, yaitu sekitar 30 menit. Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa dengan ondansetron 4 mg, Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa midazolam 3 mg (0,05-0,1 mg/kgBB) intravena. Selanjutnya diberikan fentanyl 50 meq. Induksi anestesia dilakukan dengan pemberian profofol 100mg (intravena). Pada pasien ini diberikan maintenance oksigen, N2O dan sevoflurane. Oksigen diberikan untuk mencukupi oksigenasi jaringan. N2O sebagai analgetik dan isoflurane untuk efek hipnotik. Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena RL. Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat

dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu kesadaran 1 (merespon bila nama dipanggil), aktivitas motorik 1 (dua ekstremitas dapat digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan), sirkulasi 2 (tekanan darah dalam kisaran <20% sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi Aldrete Score pada pasien ini adalah 8 sehingga layak untuk pindah ke bangsal.

BAB IV KESIMPULAN Seorang perempuan 33 tahun dengan appendicitis direncanakan operasi appendictomi dengan general anestesi laryngeal mask airway, dan pemeriksaan status preoperatif pasien ASA I.

36

DAFTAR PUSTAKA

Dachlan, R., Suryadi, KA., Latief Said. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI. Muhiman, M., Thaib, R., Sunatrio, Dachlan, R. Anestesiologi. Jakarta:Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill. New York. 2006.

37

Anda mungkin juga menyukai