Anda di halaman 1dari 9

Konsep keadilan versi said an-Nursi dan relevansinya dengan kehidupan modern

Prolog
Apabila kita merujuk pada perkembangan pertama dimana ide keadilan ini disajikan
dia tas 'meja makan' kajian filsafat dan renungan akal, maka kita akan menemukan bahwa
bingaki umum yang menyatukan beberapa aliran dan pendapat filosof Grik adalah
banhwasanya keadilan itu menpunyai dua sisi yang saling terikat tidak bisa dipisahkan. Sisi
pertama adalah sisi moral, sisi ini memandang bahwasanya keadilan merupakan salah satu
perhiasan jiwa manusia. Sisi kedua adalah sisi hukum, sisi ini timbul dari adaya individu
sebagai anggota dari sebuah masyarakat yang setiap individunya terikat seoleh hubungan,
pertalian dan pola interaksi yang bervariasi1. Jadi si damping sebagai salah satu keutamaan
moral, keadilan juga merpaukan sebuah tuntutan hukum (perundang-undangan) yang harus
dipenuhi oleh setiap masyarakat. Karena keadilan merupakan jaminan yang paling
meyakinkan untuk kelangsungan hidup dalam sebuah masyarakat, yang mana di atas
pondasi keadilan tersebut hubungan dan interaksi antar indivisu dan golongan itu dibangun.2
Di dalam agama Islam, keadilan merupakan intisari dan tujuan pokok dari syariah dan
ia merupakan sebuah keharusan yang pasti, oleh karena itu, sifat adil dituntut adanya di
dalam jiwa, keluarga, dan mayarakat, baik bersama kawan maupun lawan. Karena sifat adil
tersebut merupakan pondasi dasar dari keadilan.3 Jadi sifat adil itu merupakan salah satu
nilai teladan dalam kehidupan dan ia merupakan sebuah ketetapan yang dituntut akal
dalam stiap perilaku, tindakan dan interaksi. Oleh karena itu agama menganjurkan untuk
mengikutinya dan menganggapnya sebagai sebuah tujuan.4 Tanpa keadilan masyarakat akan
berubah menjadi hampa dan goyah serta dipenuhi penganiayaan dan penyimpangan.5
Melihat urgensitas keadilan tersebut dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat
maupun Negara, maka di dalam makalah ini penulis ingin mencoba untuk mengkaji konsep
keadilan dan penerapannya perspektif pemikir Islam Turkey, Said an-Nursî, kemudian
mengkomparasikannya dengan pendapat para pilosof barat maupun Muslim dan mengujinya
apakah konsep keadilan perspektif beliau ini relevan bagi kehidupan di era modern ini.
Makalah ini juga akan menganalilsa metodologi yang beliau terapkan dalam menafsirkan
ayat-ayat tentang keadilan serta sedikit mengupas situasi social, politik dan ekonomi di era
beliau yang melatar belakangi penafsiran beliau akan ayat-ayat tersebut.

Latar belakang social politik ekonomi budaya yang mendasari penafsiran an-nursi

Metode an-nursi dalam menafsirkan ayat-ayat keadilan

1
Dr. Mushthafâ Sayyid Ahmad Shaqar, Falsafat al-'Adâlah 'Inda al-Ighrîq Wa Atsaruha 'Inda Fuqahâ`i ar-Rûmân
Wa Falâsifati al-Islâm, Maktabah al-Jalâ` al-Jadîdah, Manshoura, 1989, hal. 11.
2
Ibid., hal. 42.
3
Abdu as-Salâm at-Tuwayjî, Muassasat al-'Adâlah fi as-Syarî'ah al-Islâmiyyah, Kulliayat ad-Da'wah al-
Islâmiyyah, Tharablis, cet. I, 1993, hal. 25.
4
Ibid., hal. 21.
5
Dr. Mushthafâ Sayyid Ahmad Shaqar, op. cit., hal. 42.
1
Keadilan dalam konsep filosof barat dan perspektif an-Nursi
Di dunia filsafat, di Eropa khususnya, Plato dianggap sebagai orang pertama yang
mengkonsep tentang keadilan secara apik dan menyeluruh di dalam bukunya "Jumhuriyyah"
dimana dia tidak hanya membicarakan masalah keadilan dari sisi moral (individu) saja akan
tetapi ia telah melangkah pada pembahasan keadilan dalam lingkup yang lebih luas yaitu
bernegara atau sebagaimana yang ia istilahkan dengan 'pandangan keadilan dengan huruf
besar'6. Walaupun sebelum Plato sudah banyak para filosof yang membahas tentang keadilan
seperti Socrates, Phytagoras, Glokon, Olymarchus, akan tetapi pembahasan mereka tidak
seapik yang disodorkan oleh Plato.
Timbulnya teori keadilan versi Plato ini bertolak dari pandangannya terhadap
kerusakan pemikiran, plolitik, moral dan sosial pada masa itu7 dan juga bertolak dari
pertanyaan sederhana yang terlontar dari Socrates tentang esensi keadilan.8 Jadi filsafat
keadilan Plato bukanlah filsafat teori dan ilusi belaka, akan tetapi filsafat tersebut lahir
dari kerusakan dan kesewenamg-wenangan yang ia saksikan di dunia nyata. Di sana ada dua
aliran politik yang selalu bersinggungan, yaitu ariktokrasi9 dan demokrasi yang kedua-
duanya tidak ada yang ia percaya10.
Plato menolak untuk mengambil keadilan natural yang menunjukkan pada
kecenderungan manusia kepada kekuatan (baca: potensi) dan keunggulan (prestsi), karena
prestasi dan potensi tersebut akan dimenangkan oleh para penipu dan ahli makar, walaupun
standartnya adalah kecerdasan, sebab kecerdasan itu hanya mendorong manusia untuk
memimpin orang lain dan menjauhkannya. Begitu juga ia menolak sistem keadilan yang
dibangun atas dasar kemaslahatan yang kuat dan menghalangi yang lemah untuk
mendapatkan haknya 11. Akan tetapi keadilan hakiki menurutnya adalah fenomena
kemanusiaan yang alami yang muncul dari lubuk esensitas manusia tersebut sebagai media
urgen untuk merealisasikan esensitas manusia baik secara individu maupun social12.
Plato membatasi perkembangan keadilan itu berdasarkan perkembangan masyarakat.
Di zaman Purba (kuno) ketaka jumlah manusia masih sedikit dan kehidupannya masih sangat
sederhana, mereka hidup secara berkelompok karena setiap individu tidak akan mampu
untuk memenuhi segala kebutuhannya, oelh karena itu mereka bekerja sama hidup secara
gotong royong dalam keadaan tenang dan tenteram tanpa ada persengketaan. Akan tetapi
seiring pesatnya petumbuhan jumlah masyarakat, muncullah tuntutan-tuntutan baru dan
ketika pendapatan suatu masyarakat tidak mampu memenuhi tuntutan hidupnya, mereka
mulai berani untuk menindas masyarakat lain. lalu masyarakat yang teraniaya merasa butuh
untuk membela dirinya dan meraka menunjuk beberapa anggotanya untuk melindunginya,
dari situ timbullah dua tingkatan (strata) sosial dalam mayarakat tersebut; strata
pengrajin/produsen, petani dan nelayan dan strata pelindung (tentara). Ketika kepentingan
dua strata ini berbenturan, maka secara pasti mereka butuh orang yang mampu
6
Jamâl al-Bannâ, Nazhariyyat al-'Adl fi al-Fikr al-Ûrubî wa al-Fikr al-Islâmî, Dâr al-Fikr al-Islâmî, Cairo, 1995,
hal. 12.
7
Dr. Ridhâ Sa'âdah, al-Falsafah wa Musykilât al-Insân, Dâr al-Fikr al-Lubnânî, Beirut, cet. I, 1990, hal. 102.
8
Dr. Mushthafâ Sayyid Ahmad Shaqar, op. cit., hal. 64 dan Dr. Ridhâ Sa'âdah, op. cit., hal. 105.
9
Aristokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan ada di tangan para bangsawan. Sedangkan
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana kekuasaan ada di tangan rakyat. (Daryanto S. S., Kamus
Bahasa Indonesia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997, hal. 56 dan 161).
10
Dr. Ridhâ Sa'âdah, op. cit., hal. 102.
11
Ibid., hal. 106.
12
Ibid., hal. 106.
2
menyelesaikan persengketaan mereka dan mampu menyatukan visi, dari sinilah timbul
strata masyarakat ketiga yaitu hakim (para filosof).13 Oleh karena itu, meurut Plato perlu
adanya pembagian bidang kerja untuk memenuhi segala kebutuhan primer masyarakat
tersebut14.
Keadilan social perspektif Plato ialah spesialisasi bidang kerja setiap individu sesuai
dengan keahliannya yang alami15. Yakni setiap kelompok masyarakat harus menunaikan
tugasnya sesuai dengan spesialisasinya, dia hanya berhak untuk melakukan satu jenis
pekerjaan saja, ia tidak boleh melakukan intervensi terhadap keahlian strata yang lain16.
Jadi, Keadilan ini terpusat pada tiga asas; persamaan, perserikatan (isytirâkî/ sosiali-
komun) dan kelayakan, tiga asas ini tidak dapat dipisah satu sama lainnya.
Persamaan, pesamaan menurut Plato bentuknya seperti bentuk persamaan pada
masyarakat demokrasi modern. Persamaan ini mengabaikan perbedaan strata, jenis,
keturunan dan memberikan setiap penduduk kecakapan untuk mengembangkan skill dan
profesionalitas mereka serta memberikan hak untuk bisa mencapai status social, budaya
dan politk yang mereka pantas mendapatkannya. Jadi, fungsi dari pembagian masyarakat
pada tiga kelompok tersebut hanyalah untuk membedakan keahlian mereka.
Perserikatan, perseriaktan merupakan syarat yang paling urgen untuk merealisasikan
keadilan dan persamaan. Perserrikatan ini tidak mutlak akan tetapi bersifat relative sesuai
dengan tingkatan- tingkatan tadi. Plato tidak mengharuskan pada para pengrajin (produsen,
petani) untuk melakukan perserikatan secara penuh, karena kepemilikan mereka tidak
membuat perbedaan yang terlalu mencolok dalam hal kekayaan. Sedangkan para tentara
dan hakim itu diharuskan untuk melakukan perrserikatan secara penuh17. Adapun cara untuk
mencapai perserikatan ini yaitu dengan pembagian tanah, pembebasan hutang dan
menciptakan persamaan.18
Kelayakan, selayaknya yang dicalonkan untuk menjadi hakim ialah orang yang
pantas (Capable) untuk itu. Yang layak untuk jabatan itu —menurut Plato— hanyalah para
filosof, karena pada diri mereka terdapat dua potensi: potensi filsafat dan politik19.
Komentar, jika kita perhatikan konsep keadilan perspektif Plato ini, maka kita akan
mendapati bahwa keonsep ini tidak menyentuh esensi keadilan secara umum sebagaimana
yang difahami oleh masyarakat, konsep ini tidak mencakup problem perbenturan antar
keinginan dan juga tidak meletakkan benag pemisah atau standar jelas yang bisa dijadxikan
pegangan untuk menetapkan hak dan kewajiban secara hokum dan melindungi setipa hak
dan kewajiban tersebut dalam naungan hokum. Dengan tidak adanya ide ini, maka kita bisa
mengatakan bahwa keadilan yang dibicarakan oleh Plato ini secara hakikatnya adalah
sebuah ungkapan tentang keutamaan social (fadhîlah ijtimâiyyah). Juga definisi keadilan
Vesi Plato ini bertentangan dengan mayoritas definisi keadilan di era klasik maupun
13
Strata pengrajin dilambangkan sebagai besi sebagai wujud dari nafsu syahwat manusia karena tugas mereka untuk
memenuhi kebutuhan materi, sedangkan strata pelindung dilambagkan sebagai perak sebagai wujud dari nafsu angkara
manusia karena mereka mempunyai sifat pemberani dan siap menjadi pelindung, adapun strata hakim dilambangkan sebagai
emas sebagai wujud dari nafsu rasio manusia karena hanya merekalah yang mempunyai hikmah dan pengetahuan. (lihat. Dr.
Mushthafâ Sayyid Ahmad Shaqar, op. cit., hal. 66-73 dan Dr. Ridhâ Sa'âdah, op. cit., hal. 106-107)
14
Dr. Amîrah Hilmî Mathar, Jumhuriyyah Aflâthûn, Maktabah al-Usrah, Cairo, 1994, hal. 21-22.
15
Ridhâ Sa'âdah, op. cit., hal. 107.
16
Dr. Mushthafâ Sayyid Ahmad Shaqar, op. cit., hal. 76 dan Dr. Amîrah Hilmî Mathar, op. cit., hal. 24-25.
17
Lihat, Ridhâ Sa'âdah, op. cit., hal. 107-108.
18
Ibid., hal. 109-110.
19
Lihat Ibid., hal. 107-109.
3
modern. Karena definisi keadilan itu sangat berhubungan erat dengan persamaan,
sedangkan Keadilan Plato ini mengacu pada ketidaksamaan denggan memunculkan
perbedaan strata social sesuai dengan keahlian masing-masing. Sebagaimana pembagian
tingkatan masyarakat menjadi tiga kelompok dan masing-kelompok tidak boleh melampaui
keahliannya itu patut kita ragukan sebab pembagian ini sangatlah rancu. Sebab unsur
syahwat, marah dan rasio itu sudah menjadi firah setiap manusia dan sangatlah tidak
mungkin untuk membatasi manusia yang terdiri dari tiga unsure tersebut untuk hanya
memanfaatkan satu unsure saja20. Juga konsep perserikatan yang menurut plato bisa diraih
dengan pembagian tanah, pembebasan hutang dan penyamaan kekayaan itu bisa dipastikan
gagal jika si pemilik harta dan hutang tersebut menolak untuk menyerahkan hartanya dan
menolak untuk membebaskan hutang, apakh plato akan melegalkan pengambilan harta
secara paksa denga cara revolusi?21
Keadilan menurut an-Nursi merupakan salah satu dari empat tujuan diturunkannya
al-Quran selain tauhid, kenabian dan hasyr (hari kebangkitan)22. An-Nursi mendefinisikan
keadilan sebagai bentuk penampakan dari nama agung Allah , beliau berkata: “keadilan
umum yang berlaku di semesta yang bersumber dari penampakan (tajallî) dari nama Allah
al-‘Adl adalah mengatur stabilitas setiap benda secara umum dan menyuruh manusian
untuk menegakkan keadilan”23. Jadi menurut beliau keadilan merupakan aturan (system
tatanan, nizhâm) alam semesta24. Dan oleh karena hakikat islam —mengatur selurh tabiat
manusia hingga hari kiamat dan merupakan reflektivitas dari kemanusiaan yang agung—
adalah penjelmaan dari keadilan azali di dunia ini25, maka ia juga merupakan asas
kemajuan hakiki dan keadilan sejati.26 Dan fungsi dari Rasâil an-Nûr adalah mengupas
tuntas hakikat keadilan ini27. Jika demikian halnya, maka keadilan itu merupakan harga
mati (standart absolut), tidak akan berubah mengikuti perubahan waktu dan tempat, dan
tidak terpolusi oleh watak, kemaslatan dan kepentingan, keadilan itu merupakan puncak
dari tujuan syariat dan al-quran, dari sini keadilan itu langgeng selanggeng al-quran. Dalam
pandangan Islam keadilan itu muncul dari kebenaran, dan salah satu bentuk kebenaran itu
adalah keadilan dan keseimbangan, dari sini tercipta kedamaian dan terbebas dari
kesengsaraan.28
Dan bentuk keadilan yang paling nyata —menurut an-Nursî— adalah persamaan,
sebab keadilan yang tidak mengandung persamaan secara hakikatnya bukanlah keadilan29.
Inti dari keadilan persepektif an-Nursi adalah mengikuti petunjuk dan aturan al-Quran.
An-Nursi memabgi keadilan menjadi dua bagian; keadilan ‘positif’ dan ‘negatif’.
Keadilan ppositif adalah memberikan hak kepada yang yang berhak, bagian ini meliputi
mncakup setiap sesuatu di dunia ini secara pasti. Keadilan jenis kedua, negative, adalah
mendidik orang yang tidak benar dengan cara memberikan pahala dan siksaan-hukuman30.
20
Dr. Mushthafâ Sayyid Ahmad Shaqar, op. cit., hal. 78-79.
21
Ridhâ Sa'âdah, op. cit., hal. 110.
22
Isyrat al-I’jaz, 23.
23
Al-Luma’ât, 526.
24
Prof. Dr. Ziyâd Khalîl ad-Daghâmîn, Min Qadhâyâ al-Quran wa al-Insân fi Fikr an-Nursî, Sözler Publication,
Cairo, cet, I, 2009, hal. 199.
25
Shayqal al-Islam, 51.
26
Al-Malahiq, 373.
27
Ibid., 377.
28
Al-kaliamt, 855.
29
Al-Kalimat, 873.
30
Al-kalimat, 91, Prof. Dr. Ziyâd Khalîl ad-Daghâmîn, op. cit., hal. 200-201.
4
An-Nursi juga menjadikan keadilan menjadi dua jenis; keadilan pokok (primer) dan keadilan
relative (sekunder). Keadilan primer adalah peraturan agung yang memandang individu,
kelompok, person dan jenis sekaligus. Mereka sama dalam pandangan keadilan tuhan
sebagaimana mereka sama dalam pandangan kekuasaan tuhan dan inilah sunnah (aturan)
yang kekal. Hanya saja seseorang —dengan keinginannya— itu berhak untuk mengorbankan
dirinya, namun ia tidak boleh dipaksa untuk dikorbankan walaupun itu untuk seluruh
manusia, karena menghabisi nyawanya dan merusak ishmah-nya serta menumpahkan
darahnya sama saja dengan merusak ishmah dan menumpahkan darah mereka semua31. Dan
an-Nursi menjelaskan bahwa keadilan primer ini menuntut pemeliharaan hak seluruh
rakyat32. Adapun keadilan sekunder itu adalah bagian masyarakat dikorbankan untuk
keselamatan seluruh masyarakat, keadilan ini tidak lah merampas hak indiviu untuk sebuah
kelompok, akan tetapi ini hanyalah sebuah usaha untuk melaksanakn keadilan sekunder dari
sisi bahya yang lebih ringan. Akan tetapi selama keadilan primer itu masih relevan untuk
dilaksanakan maka tidak boleh lari pada keadilan sekunder, sebab ini merupakan sebuah
kezhaliman33. Karena didalamnya terdapat ketidaksamaan antara hak individu dangan hak
kelompok sedangkan kedua-duanya masih bisa direalisasikan bersama-sama34.

Beliau menolak system kemasyarakatan modern (modern civility-al-madaniyyah al-


haditsah) yang menurut beliau menyesatkan makna keadilan untuk meloloskan kezindikan
dan atheisme35, yang mana keadilan menurut mereka (para pakar sipil modern) terbatas
pada ‘menyampaikan hak kepada orangyang berhak sesuai dengan isi undang-undang yang
hanya berpatok pada tanda-tanda lahiriyah belaka, dan undang-undang ini merupakan
hokum positif yang dihasilkan dari akal fikiran manusia yang terbatas36 yang oleh an-Nursi
diistilahkan dengan ‘kesewenang-wenangan kekafiran yang serampangan’37. Beliau berkata:
“Republik —yang menjadi salah satu bentuk Negara— adalah interpretasi keadilan,
musyawarah dan pembatasan kekuatan pada undang-undang, bukankah sebuah bentuk
pidana terhadap islam jika kita menguimpor hokum dari Eropa sedangkan kita memiliki
Syariat suci yang sudah tertata rapi sejak tiga belas abad yang lalu, pengimporan hokum ini
sama saja degan salat menghadap pada selain Kiblat38.
Beliau menolak dengan keras sendi-sendi sekulerisme dalam politik republic, karena
sekuerisme itu memisahkan agama dari Negara, beliau berkata: “Kita tahu bahwa negara
republic sekuler itu adalah memisahkan agama dari kehidupan
Relevansi konsep keadilan perspektif an-nursi bagi kehidupan masa kini
Apabila kita berbicara tentang relevansi sebuah konsep, maka kita harus menguji
konsep tersebut, apakah ia mampu memberikan solusi jitu terhadap sebuah problem atau
tidak? Jika konsep tersebut mampu memberikan solusi jitu, maka ia layak disebut relevan,
begitu juga sebaliknya. Marilah kita bersama-sama menguji teori keadilan an-Nursi yang
meniuikberatkan pada formalisasi syariat,

31
Al-kalimat, 862.
32
Ibid., 50.
33
Al-Maktubat, 67., shayqal al-ialam, 337.
34
Prof. Dr. Ziyâd Khalîl ad-Daghâmîn, op. cit., hal. 202.
35
As-syuaat, 461-165.
36
Prof. Dr. Ziyâd Khalîl ad-Daghâmîn, op. cit., hal. 200.
37
As-syu’a’at, 488.
38
Shayqal al-islam, 527.
5
Warisan
Salah satu hokum islam yang sering mendapat kritikan pedas dari kalangan sekularis
adalah hukuman pembagian harta pusaka (warisan). Mereka menkritik Islam yang
memberikan hak laki-laki dua kali lipat hak perempuan.
Sesungguhnya laki-laki tidak selalu mendapatkan lebih banyak dari perempuan, di
dlaam beberapa kasus pembagian harta warisan kadangkala apa yang didapatkan laki-laki
sama dengan yang didapatkan perempuan, bahkan kadang juga perempuan mendapatkan
lebih banyak dari laki-laki. Untuk lebih jelasnya akan kami berikan beberapa contoh yang
menunjukkan hal ini. Contoh kasus dimana bagian perempuan sama dengan bagian laki-laki
adalah bagian saudara seibu, dalam bagian saudara seibu tidak dibedakan antara laki-laki
dan perempuan, hasil warisan yang mereka dapatkan dibagi rata sesuai banyaknya saudara
seibu. Contoh kasus dimana perempuan mendapatkan lebih banyak dari laki-laki adalah
ketika sang mayat meninggalakan ahli waris seorang isteri, seorang anak perempuan dan
seorang paman. Dalam kasus ini sang isteri mendapatkan 1/8 dari harta warisan, sang anak
perempuan mendapatkan ½ (4/8) dari harta dan paman mendapatkan sisa (3/8), di sini
jelas bahwa bagian anak perempuan lebih banyak daripada paman. Jadi tidak mutlak bahwa
laki-laki harus mendapatkan lebih banyak dari perempuan39.
Tapi mengapa jika sang mayat meninggalkan anak laki-laki dan perempuan atau
meninggalkan saudara (kandung atau seayah) laki-laki dan perempuan bagian laki-laki dua
kali lipat dari bagian perempuan? Ini bukan berarti islam berlaku zhalim dan tidak adil serta
mengintimidasi satu jenis dari jenis yang lain. Akan tetapi itu merupakan kestabilan dan
keseimbangan antara tanggungan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga dan
social. Islam menggugurkan banyak beban materi dan kewajiban social dari perempuan, di
waktu laki-laki harus menanggung beban dan kewajian ini. Laki-laki dituntut untuk
membayar mahar, menyediakan kebutuhan rumah tangga dan memberikan nafkah kepada
isteri, anak dan keluarga. Ketika islam membuat aturan ini, sesungguhnya islam
memperhatikan status (zhurûf) laki-laki dan menjaga hak perempuan atas dasar keadilan,
kejujuran dan keseimbangan. Islam memandang hak perempuan dan kewajiban laki-laki lalu
mengkomparasikan antara keduanya, kemudian memberikan bagian-bagian untuk keduanya
sesuai dengan hasil komparasi tadi. Jadi, sangatlah adil jika laki-laki mendapatkan dua kali
lipat perempuan agar dia mampu melaksanakan beban hidupnya dan keluarganya40. Jika
kita lihat perempuan di Barat, sering muwarrits (orang yang meninggal)-nya itu
mewasiatkan seluruh hartanya untuk seekor anjing kesayangan sedang sang perempuan
yang ditinggalkan itu tidak mendapatkan apa-apa, lebih beruntung mana antara dua wanita
tersebut (wanita islam dengan barat) dan mana yang lebih merasa terhormat 41. Said an-
nursi berkata: “ madaniyah (sipil) yang tidak berlandaskan pada logika akal, mereka
menkritik ayat allah, ‘dan bagi laki-laki dua kali lipat bagian perempuan’ (an-Nisâ`, 11)
yang memberikan perempuan sepertiga dari harta warisan, yakni separuh dari jatah laki-
laki42, sesungguhnya hokum al-quran ini adalah bentuk keadilan yang sebenarnya yang
sekaligus bentuk kasih saying, karena laki-laki ynag menikahi perempuan harus menanggung

39
‘Abd al-Majîd Shubh, ar-Radd al-Jamîl ‘ala al-Musyakkikîn fi al-Islâm, Dâr al-Manârah, Mansoura, cet. III, 2003, hal.
196.
40
Mushtafâ ‘Asyûr, ‘Ilm al-Mîrâts Asrâruhû wa Alghâzuhû, Maktabah al-Quran, Cairo, 1988, hal. 9.
41
‘Abd al-Majîd Shubh, op.cit., hal. 197.
42
Al-kalimat, 475.
6
nafkahnya sebagaimana dalam kehidupan mayoritas mutlak, sedangkan perempuan jika ia
menikah, ia ikut sang suami dan nafkahnya ditanggung, maka itu bisa menutupi bagiannya
yang kurang dalam hal warisan43.
Sanksi dan hukuman
Yang juga sering mendapatkan kritikan tajam terhadap formalisasi syariat islam
adalah tentang ‘iqâb (hukuman) dalam islam, para pejuang ‘kemerdekaan dan keadilan’
selalu mendengung-dengungkan bahwa hukuman di dalam islam terlalu sadis dan tidak
berperikemanusiaan. Islam dianggap sebaga agama kekerasan yang selalu menyelesaikan
masalah dengan pedang atau darah.
Di dalam menetapkan sanksi atau hukuman, islam selalu bertolak dari segi bahayanya
jarîmah (dosa/criminal) tersebut. Apabila dampak dan bahayanya semakin parah, maka
semakin keraslah hukumannya44. Kemudian perlu diketahui bahwa hukuman di dalam Islam
terbagi menjadi dua; hukuman yang sudah ditetapkan oleh teks al-Kitab atau as-Sunnah
tidak boleh dirubah walaupun zaman sudah maju dan tempatnya berbeda dan hukuman
yang Allah serahkan penetapannya kepada pada pandangan Hakim (pemerintah) muslim
selama tidak melampaui batas-batas tertentu.
Adapun jenis yang pertama itu berhubungan dengan criminal-kriminal pokok yang
dalam realitanya merupkan induk dari segala criminal dan penyimpangan yang tersebar di
masyarakat, criminal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak Allah yang kullî
(umum), atau hak manusia yang kullî atau pelangaran terhadap sendi-sendi moral yang
berbahaya terhadap social dan mempunyai dampak yang besar atau dengan kata lain
criminal yang dianggap secara langsung melanggar terhadap hal-hal dharûrât (primer) yang
berhubungan dengan mashâlih al-Khams (lima macam mashlahat yang urgen) yang oleh
Islam selalu dijaga dan direlisasikan. Oleh karena jenis criminal ini sangat berbahaya, maka
syâri’ (Allah atau Rasul) menetapkan sanksi terrtentu dengan teks yang jelas dan tidak
menyerahkan sanksi kepada ijtihad ulama’ untuk menghidari kesalahan ijtihad dan menutup
jalan untuk meremehkan urusan ini. Hukuman-hukuman ini adalah membunh orang murtad
untuk melindungi agama, qishâs untuk melindungi kehidupan, hadd as-Syârib (sanksi minum
minuman keras) untuk melindungi akal, sanksi zina dan menuduh zina untuk melindungi
keturunan danharga diri, sanksi pencurian dan menyamun untuk melindungi harta . ini
semua di dalam islam disebut Hudûd.
Sedangkan jenis kedua, itu berhubungan dengan pelanggaran parsial yang dampaknya
tidak separah jenis pertama. Jika pelangaran jenis pertama merupakan pelanggaran
terhadap hal-hal yang primer, maka pelanggaran jenis kedua ini tidak lain adalah
pelanggaran terhadap hal-hal hajî (sekunder) atau tahsînî (pelengkap). Oleh karena itu
Allah menyerah kan hal ini kepada pemerintah untuk memberikan sanksi yang sesuai dengan
tingkat pelangarannya. Inilah yang disebut dengan ta’zîr45.
Yang sering mendapatkan kritikan oleh para penentang hokum Islam adalah hudûd,
mereka melihat bahwa memotong tangan pencuri atau merajam pezina itu sangatlah sadis
dan tidak cocok lagi denggan abad modern ini.

43
Al-maktubat, 48.
44
Dr. Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî, al-‘Uqûbât al-Islâmiyyah wa ‘Uqdah at-Tanâqudh Bainahâ wa Baina Mâ
Yusammâ bi Thabî’ah al-‘Ashr, al-Lajnah al-Isytisyârah al-‘Ulyâ li al-‘amal ‘alâ Istikmâli Tathbîqi Ahkâm as-SYarî’ah al-
Islâmiyyah Idârah al-Buhûts wa al-Ma’lûmât, Kwait, 2002, hal. 11.
45
Ibid., hal. 12-13.
7
Memang sungguh lebih baik jika di dalam sebuah masyarakat tidaka ada sama
sekalai apa yang disebut dengan sanksi maupun hukuman dan manusia bebas melakuakn apa
saja yang mereka mau, akan tetapi sebuat system kehidupan social menuntuk adanya
sebuah disiplin dan tanggung jawab. Oleh karena bentuk penghormatan menusia terhadap
tanggung jawab ini berbeda-beda maka disini perlu adanya pengawasan dan adanya
pendukung berupa balasan (jazâ) yang membuat mereka jera dan tidak mau melakukannya
lagi, dan panstinya tidak ada suatu balasan yang membuat jera tanpa kekerasan dan
kecaman.
disini kita akan mengambil contoh sanksi pencurian. Beliau berkata:
“Pencuri di lingkungan kita —uamat muslim— ketika ia menjulurkan tangannya untuk
mengambil barang orang lain, ia akan langsung ingat kepada pada pelaksanaan had (sanksi
hokum) syar’I yang akan dikenakan kepadanya dan di hatinya terbetik bahwasanya hokum
tersebut adalah undang-undang tuhan yang turun dari ‘Arsy (kayangan) yang agung. Dia
seakan-akan mendengar dengan panca indera keimanan dari lubuk hatinya dan ia betul-betul
merasakan kalam Allah yang berbunyi, “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah
tangan mereka” (al-Mâidah:38), maka tergeraklah di dalam dirinya Iman dan aqidah yang ia
bawa dan berkobarlah naluri kebaikanya. Lalu di dalam dirinya terjadi sebuah keadaan
spiritual menyerupai sesuatu yang mengarahkan serangan dari segala penjuru naluri kepada
kecondongan mencuri, kemudian kecondongan yang timbul dari nafsu dan hawa tersebut
tercerak berai, mundur dan kalah. Begitu juga, dengan selalu mengingat akan sanksi hokum
dari tuhan ini hilanglah kecenderungan mencuri tersebut, sebab yang menyerang
kecenderugan tersebut bukanlah angan-angan dan fikiran saja akan tetapi potensi (kekuatan)
spiritual akal, hati dan naluri, semuanya secara serempak meluluh lantakkan keinginan
tersebut. Jadi dengan mengingat sanksi tuhan keingingan mencuri tersebut berhadapan
dengan rintangan langit dan halanngan naluri”46. Lebih lanjut beliau berargumen: “Sanksi atau
hukuman ketika dilaksanakan sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah tuhan dan
keadilannya, maka ruh, akal, naluri dan seluruh aura positif yang terkandunga dalam diri
manusia menjadi terpengaruh dan terikat dengannya. Oleh karena itu, pelaksanaan
pelaksaan had satu kali selama lima puluh tahun itu lebih bermanfaat dari pada penjara
kalian setiap hari, karena sanksi hokum yang kalian dengung-dengungkan atas nama
keadilan tersebut pengaruhnya tidak tercapai kecuali di dalah angan-angan kalian. Sebab
ketika seseorang hendak mencuri terbetiklah di hayalannya akan hukuman yang dibuat
hanya untuk kemaslahtan umat dan Negara saja dan ia akan berkata, ‘seandainya orang-
orang tahu bahwa saya pencuri, mereka akan memandangku dengan pandangan kebencian
dan cemoohan, jika halnya demikian maka pastinya pihak yang berwenang aka
menjebloskanku kedalam penjara’. Ketika orang yang akan mencuri tersebut menghayalkan
demikian, maka di sana tidak ada efek kecuali pengaruh parsial dari daya hayalnya saja,
padahal keinginan mencurinya sudah sangat kuat —apalagi ketika ia sangat membuthkan—,
jika halnya demikian maka sanksi yang kalian buat tidak mampu untuk menyelamatkan orang
tersebut dari perbuatan jahat. Kemudian mengingat hokum kalian tersebut bukan merupakan
pelaksanaan terhadap perintah tuhan mka itu tidak dapat disebut keadilan, bahkan hokum
tersebut batal dan tidak berguna sebagaimana batalnya shalat tanpa wudhu` dan tanpa
menghadap Qiblat. Yakni keadilan hakiki dan sanksi yang bermanfaat hanyalah jika
dilaksanakan sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah tuhan, jika tidak, maka efek dari
sanksi tersebut sangatlah sedikit.47
46
Badî’u az-Zamân Sa’îd an-Nursî, Shayqal al-Islâm, op.cit., hal. 522.
47
Ibid., hal 523.
8
Kesimpulan dan penutup

Anda mungkin juga menyukai