Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

Telah diketahui bahwa tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang obstetri adalah: pendarahan 45%, infeksi 15%, dan hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia) 13%. Sisanya terbagi atas penyebab partus macet, abortus yang tidak aman, dan penyebab tidak langsung lainnya (SKRT, 1995).

Preeklampsia ( PE) adalah kumpulan gejala atau sindroma yang mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dengan tanda utama berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Preeklampsia berat (PEB) adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan diastolik 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam (Prawirohardjo, 2010; Cunningham, 2005).
Penyakit ini ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/100 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Preeklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel dan dapat berlanjut menjadi eklampsia. Preeklampsia berat menyebabkan 16% kematian maternal dan 45% kematian perinatal baik secara langsung maupun tidak langsung, insidensi preeklampsia berat pada umumnya sebesar 5-7% dari seluruh kehamilan, meskipun terdapat variasi yang sangat besar,yang dipengaruhi oleh paritas, lingkungan dan predisposisi ras / genetik. Preeklampsia terjadi akibat adanya endothelial disfunction/ kerusakan endotel mikrovaskular. Penatalaksanaan dilakukan dengan pengelolaan penyulit ibu. Yaitu dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya dan menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya. Jika kehamilan < 37 minggu maka dilakukan tindakan ekspektatif atau konservatif mempertahankan kehamilan selama mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa, atau tindakan aktif bila umur kehamilan37minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu. Pada penderita dengan preeklampsia berat, persalinan pervaginam tetap menjadi pilihan utama untuk kelahiran. Bagi wanita yang pernah mengalami persalinan melalui seksio sesaria 1x, maka pada kehamilan berikutnya masih mungkin dilakukan partus per

vaginam jika indikasi SC sebelumnya tidak absolut. Pada laporan kasus ini, pada penderita dengan hamil kurang bulan, janin tunggal, dengan PEB, tanpa adanya riwayat seksio sesarea, maka pilihan persalinan pervaginam tetap menjadi pilihan apabila sudah terdapat tanda-tanda inpartu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam proses perkembangannya kehamilan dapat disertai hipertensi. Hipertensi yang terjadi dalam kehamilan bisa tanpa gejala-gejala klinis lainnya atau dengan gejala klinis yang dapat mengancam nyawa ibu hamil. Menurut Report on The National High Blood Pressure Education ProgramWorking Group on High Blood Pressure in Pregnancy (AJOG Vol 183, 5. July 2000), hipertensi dalam kehamilan diklasifikasi sebagai berikut: 1. Hipertensi Gestasional Pada kehamilan dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg, tanpa disertai proteinuria dan biasanya tekanan darah akan kembali normal sebelum 12 minggu pasca-persalinan. 2. Preeklampsia Apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu disertai dengan proteinuria 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan dipstick 1 +. 3. Eklampsia Ditemukan kejang-kejang pada penderita preeklampsia, dapat disertai koma. 4. Hipertensi Kronik Dari sebelum hamil, atau sebelum kehamilan 20 minggu, ditemukan tekanan darah 140/90 mmHg dan tidak menghilang setelah 12 minggu pascapersalinan. 5. Hipertensi Kronis dengan Super Imposed Preeklampsia Pada wanita hamil dengan hipertensi kronis, muncul proteinuria 300 mg/24 jam setelah kehamilan 20 minggu, dapat disertai gejala dan tanda preeklampsia lainnya. Hipertensi pada pasien dengan pre-eklampsia biasanya timbul lebih dulu

daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklampsia, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Sedangkan tekanan diastolik naik 15 mmHg atau lebih, atau mencapai 90 mmHg atau lebih. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.

Edema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklampsia. Kenaikan berat badan kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal, tetapi bila kenaikan mencapai 1 kg seminggu beberapa kali menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklampsia. Protein urin 24 jam merupakan standar emas untuk pengukuran proteinuria pada hipertensi kehamilan. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urine melebihi 0,3 g/liter/ 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1 atau 2+ atau 1 g/liter atau lebih dalam urine yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat daripada hipertensi dan kenaikan berat badan, karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius. Sampai sekarang penyebab preeklampsia dan eklampsia masih menjadi tanda tanya, penyakit ini masih disebut disease of theory (Chesley, 1978), beberapa faktor risiko pada penyakit ini antara lain adalah: Nullipara, terutama usia 20 tahun, dan kehamilan yang langsung terjadi setelah perkawinan (Robillard P. Y., 1994). Riwayat pernah menderita preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan terdahulu. Adanya riwayat penderita preeklampsia dan eklampsia dalam keluarga. Kehamilan ganda, obesitas, diabetes mellitus, hydrops foetalis, mola hidatidosa, dan anti phospolipid antibodies, infeksi saluran kemih. Riwayat penderita hipertensi dan penyakit ginjal. Multipara dengan umur lebih dari 35 tahun.

PATOGENESIS PRE-EKLAMPSIA Saat ini teori yang dapat diterima terjadinya preekalmpsia berat merupakan manifestasi akhir kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi platelet intravaskuler, juga ditemukan kelainan tonus vaskuler, vasospasme,dan kelainan koagulasi. Etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini belum dapat diketahui. Ada beberapa teori yang mendukung terjadinya preeklampsia (Dekker G. A., Sibai B. M., 1998) antara lain:

1. Faktor Iskemia Plasenta Menurut Smasaron dan Sargent pada preeklampsia terjadi perubahan pada plasenta. Peningkatan deportasi sel tropoblast yang akan menyebabkan kegagalan invasi pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya dan akan menyebabkan iskemi pada plasenta. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal bebas). Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus dan protein sel endotel sehingga terjadi disfungsi endotel. Proses yang terjadi adalah sebagai berikut: 1) Gangguan metabolisme prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilatator kuat. 2) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. 3) Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus ( glomerular endotheliosis). 4) Peningkatan permeabilitas kapiler. 5) Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat. 6) Peningkatan faktor koagulasi. 2. Faktor Imunologi

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Pada ibu yang mengalami preeklampsia terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua sehingga arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras serta sulit mengalami vasodilatasi. Ketidak sesuaian sistem imun yang disebabkan oleh sel-sel sitotrofoblast menimbulkan kerusakan pada arteri spiralis, yaitu pada endovaskular dan kerusakan sel endotel serta terjadi peningkatan pelepasan sitokin desidual, enzim-enzim proteolitik dan radikal bebas. Viniatier dkk (1995) menduga salah satu penyebab preeclampsia adalah gangguan sistem imunitas ibu pada kehamilan. menyebabkan invasi Adanya trofoblas antigen yang fetotrofoblastik yang tidak dikenali

abnormal. Pada proses ini pembentukan antibodi pada plasenta terganggu, misalnya pada wanita hamil yang mendapat terapi imunosupresif atau pada kehamilan kembar. 3. Faktor Genetika Ada faktor keturunan dan familial dengan metode gen tunggal. Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula. 4. Hubungan Lipoprotein Densitas sangat rendah (Very Low Density Lipoprotein=VLDL ) dengan Aktivitas Pencegah Toksisitas ( Toxicity Preventing Activity= TxPA). Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar

albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak ke dalam hepar akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai pada titik di mana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul. Asam lemak bebas merupakan sumber energi yang penting untuk jaringan yang berasaldari metabolisme trigliserida dan lipoprotein. Lipoprotein adalah senyawa dengan beratmolekul tinggi yang terdiri dari lemak (kolestrol, trigliserida dan fosfolid) serta satu atau lebih protein spesifik disebut apolipoprotein, dan berfungsi mengangkut lemak dalam darah. Lipoprotein yang disentesis di hepar yaitu, VLDL, LDL( Low Density Lipoprotein) dan HDL ( High Density Lipoprotein). Pada preeklampsia, asam lemak bebas (Free Fatty Acid =FFA) meningkat sebelum timbul gejala klinis, sehigga rasio FFA / albumin menjadi lebih tinggi dengan peningkatan aktivitas lipolitik yang mengakibatkan Percepatan pengambilan FFA pada sel endotel, yang selanjutnya diesterifikasi menjadi trigliserida. Banyaknya FFA yang terikat dengan albumin menyebabkan makin rendahnyaRasio FFA/albumin yang tinggi menyebabkan pergeseran dari pl 5,6 menjadi 4,8.Menurut Arbogast dkk, pada kehamilan terjadi peningkatan VLDL. Pada wanita dengan kosentrasi albumin yang rendah, menyebabkan pemindahan FFA dari jaringanlemak ke hati cenderung menurunkan kosentrasi TxPA, yang akhirnya meningkatkan kosentrasi VLDL dan menyebabkan kerusakan sel endotel. Proses kerusakan endotel menyebabkan vasokonstrisi ginjal proses dan ini

kehilangan cairan serta protein intravaskular. Pada yang akan menyebabkan proteinuria.

menyebabkan peningkatan plasma protein melalui membran basalis glomerulus

Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia plasenta.

Menurut Jaffe dkk. (1995) pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang mendasari patogenesanya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta. Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidatif stress yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan (Robert J. M., 2004). Oxidatif stress pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia. Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti: Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi. Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan oedema menyeluruh. Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan coagulopathi. Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati. Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan retina, dan pendarahan.

Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin, dan solusio plasenta.

PEMBAGIAN PRE-EKLAMPSIA Pre-eklampsia dibagi sebagai berikut: 1. Disebut preeklampsia ringan jika ditemukan: Tekanan darah 140/90 mmHg, tetapi kurang dari 160/110 mmHg Proteinuria 300 mg/24 jam, atau pemeriksaan dipstick 1 + c

2. Ditegakkan diagnosa preeklampsia berat jika ditemukan tanda dan gejala sebagai berikut (Sibai B. M., 2003): Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat: sistolik 160 mmHg dan diastolik 110 mmHg Proteinuria 5 gr/24 jam atau dipstick 2 + Oliguria < 500 ml/24 jam Serum kreatinin meningkat Oedema paru atau cyanosis

3. Dan disebut impending eklampsia apabila pada penderita ditemukan keluhan seperti (Lipstein, 2003): Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran kanan atas abdomen : disebabkan teregangnya kapsula glisone. Nyeri dapat sebagai gejala awal rupture hepar. Nyeri kepala frontal, scotoma, dan pandangan kabur (gangguan susunan syaraf pusat) Gangguan fungsi hepar dengan meningkatnya alanine atau aspartate amino transferase Tanda-tanda hemolisis dan micro angiopatik Trombositopenia < 100.000/mm3 Munculnya komplikasi sindroma HELLP o Merupakan satu kumpulan gejala multisistem pada penderita preeklampsia berat yang ditandai dengan adanya: hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan penurunan jumlah trombosit.

Sindroma HELLP dapat terjadi antara 212% pada penderita preeklampsia berat. Bisa terjadi antepartum pada 69% kasus dan sisanya pada 31% kasus terjadi pasca-persalinan.

Kriteria diagnosis sindroma HELLP ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Disebut sindroma HELLP komplit bila dijumpai SGOT > 70 iu/l, LDH > 600 iu/l, bilirubin > 1,2 mg/dl, trombosit < 100.000/mm3, dan disebut sindroma HELLP parsial jika hanya ditemukan perubahan pada salah satu atau lebih, tetapi tidak semua dari parameter di atas (Audibert, dkk., 1996).

Sedangkan Martin (1991), hanya mengelompokkan sindroma HELLP berdasarkan jumlah trombosit, yaitu: kelas I jika jumlah trombosit 50.000/mm3 kelas II jika jumlah trombosit > 50.000/mm3 - 100.000/mm3 kelas III jika jumlah trombosit > 100.000/mm3 - 150.000/mm3

4. Dan disebut eklampsia jika pada penderita preeklampsia berat dijumpai kejang klonik dan tonik, dapat disertai adanya koma. Eklampsia sering terjadi pada kehamilan nullipara, kehamilan kembar, kehamilan mola, dan hipertensi dengan penyakit ginjal (Ramin K. D., 1999). Lebih kurang 75% penderita eklampsia terjadi antepartum dan 25% sisanya terjadi pasca-melahirkan. Eklampsia biasanya terjadi akibat oedema otak yang luas, yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah yang mendadak dan tinggi yang akan menyebabkan kegagalan autoregulasi aliran darah. Sebelum serangan kejang pada eklampsia biasanya didahului oleh kumpulan gejala impending eklampsia yang dapat berupa: nyeri kepala, mata kabur, mual, muntah, dan nyeri epigastrium. Gambaran klinik penderita eklampsia biasanya lebih berat dan dapat disertai berbagai komplikasi seperti: koma, oedema paru, gagal ginjal, solusio plasenta, gangguan pertumbuhan janin, dan kematian janin. DIAGNOSIS

Pada umumnya diagnosis pre-eklampsi didasarkan atas adanya 2 dari trias utama: hipertensi, oedema, dan proteinuria. Diagnosis diferensial pre-eklampsia dengan penyakit hipertensi menahun atau penyakit ginjal tidak jarang menimbulkan kesukaran. Tabel 1. Uji diagnostik pre-eklampsia 1. Uji diagnostik dasar Pengukuran tekanan darah Analisis protein dalam urin Pemeriksaan oedema Pengukuran tinggi fundus uteri

Pemeriksaan funduskopik 2. Uji laboratorium dasar Evaluasi hematologik (hematokrit, jumlah trombosit, morfologi eritrosit pada sediaan apus darah) Pemeriksaan fungsi hati (bilirubin, protein serum, aspartat aminotransferase, dan sebagainya) Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) Roll-over test 3. Uji untuk meramalkan hipertensi

Pemberian infus angiotensin II

PENATALAKSANAAN Penanganan penderita preeklampsia dan eklampsia yang definitif adalah segera melahirkan bayi dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam penatalaksanaannya kita harus mempertimbangkan keadaan ibu dan janinnya, antara lain umur kehamilan, proses perjalanan penyakit, dan seberapa jauh keterlibatan organ (Sibai B. M., 2005). Tujuan penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia adalah: Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di samping itu mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada ibu. Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan ibu hamil. TERAPI MEDIKA MENTOSA

a. Segera masuk rumah sakit. b. Tirah baring miring ke kiri secara intermiten. c. Infus ringer laktat atau ringer dekstrose 5%.

Pengelolaan cairan, monitoring input (melalui oral atau infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Bila terjadi tandatanda edema paru, segera lakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa 5% ringer-dekstrose atau cairan garam faal dengan jumlah tetesan < 125 cc/jam atau infus dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc. Foley catheter digunakan untuk mengukur pengeluaran urin.
d. Pemberian antikejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.

Cara kerja: magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular memerlukan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan magnesium). Cara pemberian: a. Loading dose: initial dose. 4 gram MgSO4: intravena, (40% dalam 10 cc) selama 15 menit. b. Maintenance dose Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram i.m tiap 4 - 6 jam. c. Syarat-syarat pemberian MgSO4: Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10 % = 1 g (10 % dalm 10 cc) diberikan i.v 3 menit. Harus Refleks patella (+) kuat.

Frekuensi pernafasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres napas. d. Magnesium sulfat dihentikan jika: i. Ada tanda-tanda intoksikasi ii. Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.
e. Anti hipertensi, diberikan bila tensi 180/110mmHg atau MAP126. Jenis obat yang dapat diberikan adalah nifedipine 10-20mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120mg dalam 24 jam. Diberikan secara

oral, tidak boleh sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat kuat. f. Diuretikum Diuretikum yang dipakai ialah furosemida. Diuretikum tidak diberikan secara rutin kecuali bila ada edema paru, payah jantung kongestif atau anasarka, karena dapat memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin dan menurunkan berat janin. g. Glukokortikoid Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32 34 minggu, 2 x 24 jam.
PERAWATAN AKTIF Tujuan : terminasi kehamilan. Indikasi o Ibu

Kegagalan terapi

medikamentosa

setelah

6 jam

sejak dimulai pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan darah yang persisten. Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medika mentosa terjadi kenaikan tekanan darah yang persisten. Janin Umur kehamilan> 37minggu IUGR berat berdasarkan pemeriksaan USG NST non reaktif dan profil biofisik abnormal Timbulnya oligo hidramnion Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia Gangguan fungsi hepar Gangguan fungsi ginjal Dicurigai terjadi solusio plasenta Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan. B

PERAWATAN KONSERVATIF Tujuan: o o o o Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu. Indikasi: Kehamilan < 37minggu tanpa disertai tanda-tanda dan gejalagejala impending eklampsia. Terapi medikamentosaa. Seperti terapi medika mentosa tersebut diatas. Bila penderita sudah kembali menjadi preeklampsia ringan, maka masih dirawat 2-3hari lagi, baru diizinkan pulang. pemberian MgSO4 sama seperti tersebut diatas o Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 3234minggu selama 48 jam. Perawatan di rumah sakit

Pemeriksaan dan monitoring setiap hari terhadap gejala klinis sebagai berikut : nyerikepala, penglihatan kabur, nyeri perut kuadran kanan atas, nyeri epigastrium, kenaikan berat badan dengan cepat.

o o o o

Menimbang berat badan pada waktu masuk rumah sakit dan diikuti tiap hari. Mengukur proteinuria ketika masuk rumah sakit dan diulang tiap 2hari. Pengukuran desakan darah sesuai standar yang telah ditentukan

Penderita boleh dipulangkan: bila penderita telah bebas dari gejala-gejala preeklampsia berat. Dirawat selama 3 hari setelah stabil sebelum diiznkan pulang.

PENATALAKSANAAN OBSTETRIK Sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam: 1. Penderita belum inpartu a. Dilakukan persalinan pervaginam bila skor bishop 8 bila perlu dilakukan pematangan servik dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II dalam waktu 24jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap gagaldan harus disusul dengan pembedahan sesar. b. Indikasi pembedahan sesar i. Tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam. ii. Induksi persalinan gagal. iii. Terjadi maternal distress iv. Terjadi fetal distress. v. Bila umur kehamilan< 33minggu. 2. Bila penderita sudah inpartu. a. Perjalanan persalinan diikuti dengan grafik Friedman, partograf WHO. b. Memperpendek kala II, diakhiri dengan tindakan. c. Pembedahan sesar dilakukan bila terdapat maternal distress dan fetal distress.

d. Primigravida direkomendasikan pembedahan sesar. Pada dasarnya pada pengelolaan preeklampsia berat, sedapat mungkin harus berusaha mempertahankan kehamilan sampai aterm. Pada kehamilan aterm persalinan pervaginam adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan seksio sesarea. Jika perjalanan penyakitnya memburuk dan dijumpai tanda-tanda impending eklampsia, kehamilan harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan. Di samping itu pemeriksaan terhadap janin harus dilakukan secara ketat. Biometri janin, biophisical profile janin harus dievaluasi 2 x seminggu, bila keadaan janin memburuk terminasi kehamilan harus segera dilakukan, tergantung dari keadaan janinnya apakah persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal. KOMPLIKASI PREEKLAMPSIA Komplikasi yang terberat pada preeklampsia berat adalah kematian ibu dan janin. Selain itu juga dapat menyebabkan solusio plasenta, hipofibrinogenemia, hemolisis dengan gejala klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus tapi belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel hati atau destruksi sel darah merah, kelainan mata berupa kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung sampai seminggu dapat terjadi, edema paru, nekrosis hati, kelainan ginjal yang berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya. Selain itu komplikasi preeklampsia berat pada kehamilan bisa menyebabkan prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin (Prawirohardjo, 2010). Pada penanganan penderita eklampsia kita harus bertindak lebih aktif. Stabilisasi keadaan ibu, pembebasan jalan nafas, sirkulasi udara, dan stabilisasi sirkulasi darah harus segera dilakukan, terutama bila dijumpai hipoksemia dan acidemia. Kehamilan harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin setelah stabilisasi keadaan ibu tercapai. Jika ditemukan komplikasi berupa sindroma HELLP, Pada umumnya penanganannya lebih sulit bila dibandingkan dengan penanganan penderita preeklampsia berat, karena pada penderita sindroma HELLP umumnya telah terjadi multiorgan disfungsi. Prioritas utama penanganannya adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap tekanan darah, keseimbangan cairan, dan gangguan pembekuan darah. Kontrol terhadap tekanan darah yang tinggi perlu segera dilakukan terutama bila dijumpai tanda-tanda

iritabilitas syaraf pusat dan kegagalan ginjal. Seperti penanganan preeklampsia, pemberian magnesium sulfat masih merupakan pilihan utama. Transfusi darah dan pemberian trombosit harus diperhitungkan untuk memberantas anemia, atau jika ditemui kadar trombosit 50.000/mm3. Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan terutama untuk pematangan paru, meningkatkan kadar trombosit dan memperbaiki fungsi hepar. Terminasi kehamilan harus segera dilakukan, tanpa memandang usia kehamilan terutama setelah stabilitas keadaan ibu tercapai. Pemberian kortikosteroid pascapersalinan dapat diulangi dengan tujuan untuk mempercepat perbaikan laboratorium dan keadaan penderita (Martin J. N., dkk., 1997).

PENCEGAHAN

Pemeriksaan antenatal yang teratur dapat ditemukannya tanda-tanda dini preeklampsia sehingga dapat dilakukan penanganan dengan semestinya. Hal ini terutama pada ibu hamil dengan faktor risiko seperti nullipara, usia terlalu muda atau terlalu tua, riwayat adanya preeklampsiaeklampsia dan lain-lain. Meskipun preeklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan memberikan penjelasan yang cukup seperti istirahat, diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan. Pengawasan yang cermat saat perawatan antenatal hendaknya lebih ditekankan pada golongan ibu-ibu yang memiliki risiko tinggi menderita preeklampsia ( Prawirohardjo, 2010).

Anda mungkin juga menyukai