Anda di halaman 1dari 14

Derasnya aliran dana-dana asing masuk ke Indonesia dapat merupakan rahmat.

Tapi apabila tidak dimanage dengan baik, dapat berubah menjadi bencana. Membanjirnya dana asing masuk ke Indonesia melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) maupun Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dianggap dalam keadaan over heating (terlalu panas). Dana asing yang ditanam dalam bentuk SUN sebesar Rp182 triliun (8 Oktober 2010) sedangkan ditanam di SBI sebesar Rp78 triliun. Mengalirnya dana asing tersebut ke dalam negeri disebabkan negara-negara maju masih belum pulih dari krisis, dan malahan terancam krisis berikutnya. Hal ini mendorong investor asing untuk datang ke Indonesia menanamkan modalnya dengan membeli SUN dan SBI. Dana asing yang banjir masuk ini (capital in flow) dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah pertanda naiknya kepercayaan investor asing terhadap keadaan perekonomian Indonesia. Di samping itu permintaan rupiah meningkat yang menyebabkan penguatan rupiah, kini berada di bawah Rp9000 per USD. Tapi penguatan rupiah yang kelewat batas (over valued) dapat menggerus daya saing ekspor kita, yang pada akhirnya menyebabkan terpuruknya volume ekspor yang berujung pada melemahnya neraca perdagangan. Gejala ini sudah mulai tampak di mana pada Juli 2010 terjadi defisit neraca perdagangan. Dan tak kalah pentingnya dengan derasnya aliran dana asing masuk menyebabkan penguatan devisa kita. Diperkirakan tahun ini mendekati USD100 miliar. Hal-hal tersebut di atas merupakan dampak positif terhadap membanjirnya dana yang masuk, namun demikian dana asing yang banjir masuk ini melalui SUN dana SBI mempunyai dampak negatif, antara lain: 1. Menyebabkan volume uang yang beredar bertambah besar, yang dapat menyebabkan kenaikan tingkat inflasi, sehingga proyeksi tingkat inflasi yang dipatok oleh pemerintah sebesar 5,3 persen agak sulit tercapai. 2. Dapat menyebabkan risiko pecahnya bubble economic (gelembung perekonomian), bubble economic adalah kondisi di mana aktivitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi tidak didukung oleh faktor fundamental yang memadai. Keadaan ini sewaktu-waktu dapat menyebabkan krisis keuangan. Sebagaimana diketahui bahwa dewasa ini yang berkembang pesat adalah kegiatan di sektor keuangan (finansial), sedangkan sektor riil sangat lambat berkembang, justru sektor riil inilah yang sangat diharapkan berkembang untuk menyangga pembangunan ekonomi jangka panjang. Kurang tertariknya investor untuk investasi di sektor riil (investasi langsung) disebabkan antara lain prasarana yang buruk, birokrasi yang tidak efisien, penegakan hukum yang kurang, korupsi merajalela, keamanan dll. 3. Yang sangat berbahaya adalah apabila dana-dana ini (hot money) yang masuk pasar modal dan pasar uang tiba-tiba ditarik keluar (sudden reversal) dalam jumlah besar akan mengakibatkan dan dapat memicu krisis ekonomi seperti dialami periode 1997-1998 di mana pada saat itu dalam waktu sangat singkat menyebabkan terjadinya lonjakan harga dan terpuruknya nilai rupiah. Situasi pada saat itu sangat menyengsarakan masyarakat, dan dampaknya sampai saat ini masih dirasakan.

4. Pemerintah harus membayar bunga yang sangat tinggi berkisar 8,5 persen. Hal ini sangat memberatkan APBN di mana dewasa ini defisit APBN sudah berkisar Rp133,7 triliun, dan pada tahun ini utang jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah sebesar Rp115 triliun. Bunga yang tinggi ini merupakan salah satu daya penarik para investor asing untuk datang menanamkan modalnya di surat-surat berharga (SUN/SBI). Alat likuiditas cukup banyak di luar negeri dengan tingkat bunga yang rendah merupakan peluang bagi investor asing meminjam uang di lembaga keuangan di luar negeri, dan kemudian ditanam di Indonesia, dalam bentuk SUN dan SBI. Dengan demikian mereka meraih keuntungan yang cukup besar tanpa risiko. Jumlah SUN dan SBI yang masuk akan menambah beban utang pemerintah Indonesia. Utang pemerintah dewasa ini sekitar Rp1.625,63 triliun atau beban utang setara Rp6,7 juta per kepala, termasuk bayi yang baru lahir. Dari tahun ke tahun utang berbengkak terus. Utang sudah dianggap sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan. Tampaknya sukar untuk menggerakkan roda pembangunan tanpa dukungan utang, sulit sekali kita keluar dari jeratan utang. Beberapa tahun yang lalu kita keluar dari IMF dengan tujuan antara lain untuk menghilangkan ketergantungan kita dengan luar negeri. Tapi kenyataannya jumlah utang kita dewasa ini jauh lebih besar dari pada masa kerja sama dengan IMF. Dari tahun ke tahun utang membengkak terus, bukannya gali lubang tutup lubang tapi gali lubang gali lubang lagi. Mendapatkan utang dari luar negeri seperti suatu kebanggaan, dianggap menaikkan citra negera kita di mata luar negeri. Seandainya sejak sekarang kita berhenti berutang dan kita menfokuskan diri membayar utang maka akan memakan waktu puluhan tahun baru lunas. Pemerintah berdalih bahwa utang sebesar tersebut masih aman karena di bawah 30 persen PDB, kenyatannya cicilan utang tersebut sudah menguras APBN berkisar 20 persen. Ini merupakan beban yang cukup berat dan akan mengurangi kemampuan pemerintah menyejahterakan rakyat. Suatu hal yang perlu dikritik bahwa penjualan surat berharga khususnya SBI pada dasarnya merupakan instrumen moneter yang ditujukan untuk menarik uang yang terlalu banyak beredar di masyarakat. Dalam teori ekonomi moneter, kebijaksanaan jenis ini disebut open market operation (politik pasar terbuka). Kebijaksanaan ini biasanya diluncurkan antara lain untuk mengendalikan laju inflasi. Secara filosofi kebijaksanaan ini bukan untuk investasi seperti yang dilaksanakan sekarang, tapi karena pemerintah memerlukan dana yang cukup besar untuk berbagai keperluan, antara lain mengatasi defisit anggaran belanja yang cukup besar, maka cara ini ditempuh karena merupakan cara yang mudah untuk mendapatkan dana, walapun memikul bunga yang cukup tinggi dan waktu jatuh tempo yang pendek. Dana ini tidak dapat dipergunakan untuk membiayai investasi jangka menengah dan panjang misalnya untuk membiayai infrastruktur. Untuk itu perlu pihak pengambil kebijaksanaan (policy maker) berusaha dana yang masuk ini yang merupakan hot money dapat menjadi utang jangka menengah dan panjang sehingga dapat dipergunakan untuk investasi di sektor riil. (sumber metronews.fajar.co.id)

Jakarta. Porsi kepemilikan asing dalam Surat Utang Negara (SUN) mencetak rekor. Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan, per 24 Februari lalu, kepemilikan asing di SUN mencapai Rp 201,34 triliun. Maklum saja, banyak sentimen positif yang menyokong pergerakan pasar Indonesia. "Investor asing mulai yakin dengan perekonomian Indonesia," sebut Sukartono, Head of Debt Capital Market BNI Securities, kemarin. Meski asing menyerbu masuk, harga obligasi pemerintah justru tidak banyak bergerak. Jumat lalu, indeks SUN justu turun ke level 97,51. Padahal di awal pekan indeks yang disusun Perhimpunan Pedagang Surat Utang Negara (Himdasun) ini masih berada di level 97,93. Fenomena ini aneh karena saat ini pasar modal Indonesia mendapat banyak sentimen positif. Pekan lalu, Fitch Ratings menaikkan outlook utang Indonesia dari stabil menjadi positif, satu tingkat di bawahinvestment grade. Pasar juga memperkirakan inflasi Februari tidak akan setinggi inflasi Januari. Transaksi sepi Analis menyebutkan, salah satu yang menyebabkan harga SUN tak bergerak adalah aksi jual investor lokal. Analis pasar obligasi Trimegah Securities Imam MS menuturkan, investor lokal memanfaatkan masuknya asing untuk melepas surat utang pemerintah ke pasar. "Investor asing semakin gencar masuk SUN, di saat yang sama banyak investor domestik keluar," ujar dia. Menurut catatan DJPU, sekuritas, termasuk investor lokal, memang banyak melepas portofolio SUN-nya. Per 23 Februari, kepemilikan SUN sekuritas mencapai Rp 420 miliar dan turun jadi tinggal Rp 140 triliun pada tanggal 24 Februari. Selain itu, investor yang masuk ke pasar belakangan cenderung lebih suka memegang SUN dalam jangka waktu lebih panjang ketimbang memperdagangkan SUN tersebut di pasar. Apalagi, investor memang lebih memilih masuk ke SUN jangka pendek. "Investor memilih holding position," tutur Sukartono. Dirjen Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto mengungkapkan hal serupa. "Sebagian besar investor asing yang masuk diharapkan merupakan investor yang ingin berinvestasi jangka panjang," ujarnya. Investor memilih memegang SUN lebih lama lantaran menilai risiko berinvestasi di Indonesia sudah berkurang. Namun, lantaran investor memilih menyimpan SUN, jumlah SUN yang beredar di pasar pun berkurang. Alhasil, transaksi SUN ikut turun. "Pasar obligasi jadi sepi," tambah Sukartono. Analis memperkirakan, harga SUN tidak akan bergerak banyak sebulan ke depan. Analis memprediksi, nilai indeks SUN hanya akan bergerak tipis di kisaran 96,00-99,00 sebulan mendatang.

Penggunaan dana asing tampaknya bukan hanya digunakan untuk pembiayaan infrastruktur saja. Namun juga untuk pembiayaan modernisasi alutsista TNI. Hanya modelnya atau namanya saja yang berubah-ubah. Dulu istilahnya kredit ekspor (KE), terus berubah lagi menjadi APP, terus sekarang berubah lagi istilahnya menjadi pinjaman luar negeri (PLN). Intinya, tetap saja itu pinjam dana asing. Apalagi utang Indonesia sudah

mencapai Rp1800 triliun. Pemerintah telah mengalokasikan pembiayaan modernisasi alutsista TNI hingga 2014 dari sumber pendanaan PLN US$ 6,5 miliar. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa untuk memodernisasi alutsista TNI itu tidak menggunakan pinjaman dalam negeri (PDN)? Padahal sesungguhnya banyak sumber pendanaan PDN yang bisa dimaksimalkan. Contohnya, surat utang negara (SUN) atau surat berharga negara (SBN) yang banyak digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur. Dengan begitu, NKRI bisa meminimalisir ketergantungan dana asing. Sehingga hal ini menjadi tekad kuat bagi kemandirian bangsa ini. Padahal dulu, Bank Mandiri sempat menawarkan pinjaman PDN untuk keperluan produksi alutsista bagi BUMN. Namun entah kenapa hal itu tidak didorong lebih jauh. Terlebih lagi, selama ini Presiden SBY sendiri yang menyatakan demikian. Jangan lagi sekadar janji dan statement soal kecintaan pada produk alutsista dalam negeri. Tapi harus diwujudkan dalam komitmen yang nyata. Karena semakin ketergantungan dana asing, maka membuat NKRI tidak berdaya atas peranan asing dalam urusan dalam negeri. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, anggaran Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2012 ini mencapai sebesar Rp72,5 triliun. Anggaran sebesar itu terdiri dari anggaran dari rupiah murni sebesar Rp 56,2 triliun dan anggaran rupiah murni pendamping Rp 4,2 triliun. Sedangkan anggaran yang bersumber dari pinjaman dalam dan luar negeri pada tahun ini sebesar Rp 11,9 triliun Ternyata dari alokasi pinjaman luar negeri (PLN) untuk belanja atau modernisasi alutsista TNI hingga 2014 mendatang sebesar US$ 6,5 miliar, yang telah setujui untuk alokasi PLN itu hanya sebesar US$ 5,7 miliar. Padahal Bappenas sendiri hingga kini masih mengkaji atas alokasi PLN yang teralokasi, terutama yang belum dimanfaatkan secara maksimal Mestinya, peningkatan anggaran belanja alutsista, juga dapat diserap untuk kalangan industri pertahanan dalam negeri. Dimana pemerintah pun sudah mengalokasikan anggaran untuk penguatan modal bagi kepentingan BUMN industri strategis nasional tersebut Bolehlah mengambil pengalaman Turki terkait mewujudkan kemandirian dalam penggunaan alutsista dari produksinya sendiri. Pada 2007 lalu, belanja alutsista Turki dari negara lain hanya sebesar US$3,2 miliar. Sementara pengadaan alutsista dari produksi dalam negerinya mencapai US$4,3 miliar. Sementara pada 2008, Turki telah belanja alutsista dari pruduksi dalam negerinya sendiri meningkat mencapai US$5,2 miliar. Dan impornya hanya US$4,2 miliar.

Pendahuluan Keberhasilan suatu negara dalam mengelola perekonomian menurut sistem kapitalis diukur dari terjadinya pertumbuhan ekonomi. Salah satu alasan mempertahankan pertumbuhan secara kesinambungan adalah untuk menjaga kepercayaan investor agar tetap menginvestasikan modalnya di negara tersebut. Oleh karena itu di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global pemerintah Indonesia dalam APBN 2013 mencanangkan target pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8%, lebih tinggi dari yang telah dicapai tahun 2012; laju inflasi 4,9 persen; nilai tukar rupiah Rp 9.300 per dolar AS (USD) (www.jpnn.com, 21 November 2012). Untuk dapat mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi, maka harus dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). PDB atau GDP adalah total produksi barang dan jasa yang dihasilkan di dalam suatu wilayah pada periode tertentu, misalnya satu tahun. Lalu bagaimana PDB diukur? Caranya, total nilai berbagai macam barang dan jasa

diagregasikan. Namun karena berton-ton baja tidak mungkin dijumlahkan begitu saja dengan, misalnya, produksi roti, maka proses agregasi dilakukan berdasarkan nilai uang produksi barang-barang tersebut. Mengacu pada hukum penawaran dan permintaan, meningkatnya produksi barang dan jasa disebabkan permintaan atas barang dan jasa tersebut meningkat. Sedangkan permintaan tidak lain representasi dari belanja yang dilakukan oleh masyarakat menggunakan pendapatan yang diperolehnya. Oleh karena itu semakin tingginya tingkat pertumbuhan dengan meningkatnya PDB/GDP dianggap semakin sejahteranya penduduk di wilayah tersebut. Tantangan Global Krisis Global yang bermula di Amerika pada tahun 2008 sangat mengejutkan dunia. Amerika yang dianggap memiliki basis perekonomian yang kuat ternyata rapuh. Krisis ini kemudian berlanjut dan telah memicu krisis Yunani tahun 2010 yang merembet ke negara-negara Uni Eropa yang lain. Hingga saat ini dampak krisis global di Eropa masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Berdasarkan laporan dari Kementrian Tenaga Kerja Prancis bahwa tingkat pengangguran pada bulan September 2013 mencapai 3 juta orang meningkat 9% (www.bbc.co.uk). Rekor tertinggi pengangguran dialami oleh Spanyol dengan tingkat pengangguran dua kali rata-rata pengangguran Uni Eropa (www.pikiran-rakyat.com). Begitu berat dan meluasnya krisis di Uni Eropa ini hingga pada tanggal 14 November 2012 rakyat dari 23 negara melakukan aksi unjuk rasa serempak, untuk memprotes kebijakan penghematan yang dikombinasikan dengan pemotongan gaji, uang pensiun, layanan manfaat dan sosial dengan disertai kenaikan pajak yang tinggi (internasional.kontan.co.id). Sebab utama terjadinya krisis di Uni Eropa khususnya Yunani adalah telah melambungnya utang negara tersebut. Saat ini utang Yunani diperkirakan telah mencapai 120% dari posisi GDP-nya, dimana banyak analis yang memperkirakan bahwa data yang sesungguhnya kemungkinan lebih besar dari itu. Hingga awal tahun 2000-an, tidak ada seorang pun yang memperhatikan fakta bahwa utang Yunani sudah terlalu besar. Malah dari tahun 2000 hingga 2007, Yunani mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 4.2% per tahun, yang merupakan angka tertinggi di zona Eropa, hasil dari membanjirnya modal asing ke negara tersebut. Keadaan berbalik ketika pasca krisis global 2008 dimana negara-negara lain mulai bangkit dari resesi, dua dari sektor ekonomi utama Yunani yaitu sektor pariwisata dan perkapalan, justru mencatat penurunan pendapatan hingga 15%. Keadaan semakin memburuk ketika pada awal tahun 2010, diketahui bahwa Pemerintah Yunani telah membayar Goldman Sachs dan beberapa bank investasi lainnya, untuk mengatur transaksi yang dapat menyembunyikan angka sesungguhnya dari jumlah utang pemerintah. Pemerintah Yunani juga diketahui telah mengutak atik data-data statistik ekonomi makro, sehingga kondisi perekonomian mereka tampak baik-baik saja, padahal tidak. Pada Mei 2010, Yunani sekali lagi ketahuan telah mengalami defisit hingga 13.6%. Salah satu penyebab utama dari defisit tersebut adalah banyaknya kasus penggelapan pajak, yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$ 20 milyar per tahun. Tantangan yang begitu hebat ini dihadapi para pemimpin Eropa, sejak bangkrutnya Yunani, disusul Irlandia, Spanyol, merembet ke Itali, Inggris, dan terakhir melanda Perancis, yang masuk ke jurang krisis akibat utang. Perancis nasibnya sama seperti Amerika Serikat yang telah diturunkan peringkat rating

kreditnya dari AAA menjadi AA+. Perancis yang mempunyai utang yang setara dengan 95 % PDB nya, sudah tidak lagi mampu mengatasinya (mss-feui.com). Amerika sendiri sampai saat ini masih dihadapkan dengan krisis yang belum juga kunjung pulih, bahkan makin dalam dan merusak. Laporan Departemen Keuangan AS menyatakan utang yang ditanggung pemerintah AS saat ini sudah melampaui angka 13 triliun USD. Di akhir masa kepresidenan Obama tahun 2012, utang ini akan meningkat menjadi 16 triliun. Jumlah sebesar itu lebih tinggi seratus persen dibanding total produksi nasional bruto AS (Farid Wadjdi, November 2012). Media massa dan para pengamat serta akademisi banyak menilai krisis ini sebagai krisis kapitalisme, atau bahkan dianggap merupakan kegagalan kapitalisme sebagai sebuah sistem (Daniel Hutagalung, dhutag.wordpress.com). Prestasi dan Optimisme Pemerintah Indonesia Adapun Indonesia, di tengah kekhawatiran merembetnya krisis global yang terus membayangi kondisi perekonomian, nampaknya pemerintah masih mencoba meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia tetap bisa bertahan dalam kondisi yang tidak menentu ini. Hal ini didasarkan pada beberapa indikator fundamental ekonomi Indonesia seperti pertumbuhan ekonomi sampai triwulan III tahun 2012 yang tergolong tinggi sebesar 6,17% (BPS, 5 November 2012), jauh di atas pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan yang hanya sebesar 2,5% (shabestan.net). Selain itu persentase utang terhadap GDP masih kurang dari 25% (kompas.com). Menteri Keuangan Agus Martowardojo sendiri menegaskan bahwa perekonomian Indonesia belum menunjukkan gejala overheating seiring fundamental ekonomi domestik dinilai masih kuat (www.antaranews.com). Belum lagi laporan dari Global Wealth Report yang dilansir Credit Suisse, Kamis (11 Oktober 2012), Indonesia tercatat memiliki 104 ribu orang kaya per 2012. Pada 2017, jumlah tersebut diperkirakan naik menjadi 207 ribu orang kaya, alias tumbuh 99%. Meningkatnya jumlah orang kaya maupun nilai kekayaan tersebut, menurut pihak Credit Suisse amat dipengaruhi oleh pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita. Indonesia, misalnya, ditaksir mengalami pertumbuhan PDB per kapita 82%. Kenaikan kekayaan individu di Indonesia sendiri dinilai amat kuat oleh Credit Suisse, dengan rata-rata kekayaan meningkat lebih dari empat kali lipat sejak tahun 2000. Kini, rata-rata kekayaan Indonesia diperhitungkan sebesar US$10.842 per orang dewasa (www.metrotvnews.com). Belajar dari Pengalaman Perlu kiranya kita meninjau kembali ke tahun 1997, saat krisis menghantam Indonesia. Sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 1990-1996 tergolong tinggi, seperti nampak pada tabel berikut: Tahun Pertumbuhan ekonomi (%) Cadangan devisa akhir tahun (US$) Tingkat Inflasi (%) 1990 7,24 8,661 9,93 1991 6,95 9,868 9,93 1992 6,46 11.611 5,04 1993 6,50 12,352 10,18 1994 7,54 13,158 9,66 1995 8,22 14,674 8,96 1996 7,98 19,125 6,63

Sumber: BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia

Namun sekali pun telah mendapat pujian dari Bank Dunia atas prestasi yang diraih, pada pertengahan tahun 1997 telah terjadi krisis moneter di Indonesia dan segera berubah menjadi krisis ekonomi, bahkan krisis multidimensi yang melahirkan reformasi. Di antara sebab-sebab terjadinya krisis 1997, adalah: Fenomena loan addiction (ketergantungan pada utang luar negeri) yang berhubungan dengan perilaku para pelaku bisnis yang cenderung memobilisasi dana dalam bentuk mata uang asing (foreign currency) (cafe-ekonomi.blogspot.com). Lima tahun sebelum krisis ekonomi (1992/1993 1996/1997) Indonesia mengalami defisit Transaksi Berjalan masing-masing tiap tahun (jutaan) : $2,311; $2,740; $3,248; $6,757 dan $7,847. Maka untuk menutup defisit itu pemerintah melakukan pinjaman luar negeri (Kanti, 2012). Hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi ketidakstabilan. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (Devy Putra, 2009). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju kearah kebangkrutan. Empat sebab itu antara lain, akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992-1997, kelemahan pada sistim perbankan, masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah dalam menangani dan mengatasi krisis, dan yang terakhir adalah ketidakpastian politik dalam menghadapi Pemilu saat itu (Oktiandri, 2011). Permainan hedge funds yang dilakukan oleh spekulan tidak dapat dibendung dengan melepas cadangan devisayang dimiliki Indonesia saat itu, dikarenakan praktek margin trading. Praktek ini memungkinkandengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendirisudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini jugameminjam dari sistem perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnyamengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karenatidak akan ada gunanya (Lepi, 1999). Apa yang terjadi tahun 1997 harusnya dijadikan sebagai pelajaran berharga, bahwa prestasi yang diraih melalui angka-angka tidaklah sebaik yang ditunjukkan. Hitungan di atas kertas bisa jadi menyesatkan gambaran aktual kondisi sebenarnya di tengah-tengah masyarakat. Pengaruh Rencana dan Kebijakan Pemerintah Tahun 2013 dan Kondisi Global Di tengah kepercayaan diri pemerintah Indonesia yang mampu bertahan dari dampak krisis globalhingga akhir tahun 2012 dan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013, beberapa kondisi global serta kebijakan dan rencana pemerintah tahun 2013 nampaknya perlu mendapat sorotan. Berikut adalah rencana dan kebijakan pemerintah di tahun 2013: 1. DPR setuju atas rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik sebesar rata-rata 15% kecuali untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 450 watt dan 900 watt pada tahun 2013 (www.tempo.co, 22 November 2012).

2.

Mengacu pada UU No 38/2004 tentang Jalan dan PP No 15/2005 tentang Jalan Tol tentang penyesuaian tarif tol setiap dua tahun sekali, maka pada tahun 2013 sebagian ruas tol yang telah mengalami kenaikan pada tahun 2011 akan dilakukan penyesuaian tarif lagi. Kenaikan tarif tol tersebut juga berdasarkan pada standar pelayanan minimum (SPM) yang harus dipenuhi oleh badan usaha jalan tol (BUJT) (www.bisnis.com, 14 November 2012).

3.

Target penerimaan perpajakan pada APBN 2013 sebesar Rp 1.193 triliun. Jumlah ini setara 79,1% dari total pendapatan negara di APBN 2013 lebih besar ketimbang APBNP 2012. Agar target tahun depan bisa tercapai Menteri Keuangan mengharuskan pegawai Kementerian Keuangan meningkatkan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai, termasuk melakukan ekstensifikasi terhadap komoditi-komoditi yang belum dikenakan cukaidan intensifikasi cukai, serta menyesuaikan tarif PPnBM bagi sebagian penjualan barang mewah (Harian Kontan, 30 Oktober 2012). Selain itu untuk meningkatkan penerimaan pajak terdapat wacana penyesuaian tarif PPN dari 10% menjadi 26% (nusantara.pelitaonline.com, 18 September 2012)

4.

Tiga Opsi usulan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu terkait kebijakan BBM Bersubsidi 2013 (www.jpnn.com, 21 November 2012): 1) 2) 3) Harga Premium dan Solar naik Rp 500 per liter menjadi Rp 5.000 per liter (Potensi penghematan Angkutan umum dan angkutan barang wajib menggunakan bahan bakar gas (BBG) (Potensi Mobil pribadi dilarang mengkonsumsi BBM bersubsidi (Potensi penghematan subsidi Rp 50,2 triliun) subsidi Rp 21,2 triliun) penghematan subsidi Rp 6,6 triliun)

5.

Upah minimum regional (UMR) 2013 mengalami kenaikan di hampir semua daerah, bahkan kenaikan kali ini merupakan kenaikan yang cukup besar dengan memperhitungkan angka layak hidup (AKL) sesuai daerah masing-masing. Di Jawa Barat UMR terendah sebesar Rp 850.000,- untuk Kabupaten Majalengka, dan tertinggi sebesar Rp 2.100.000,- untuk kota Bekasi. Sedangkan kota Cimahi UMR yang ditetapkan sebesar Rp 1.338.333,-. Belum sampai batas akhir pengajuan penangguhan Upah Minimum Kota/Kabupaten tanggal 20 Desember 2012, puluhan perusahaan di wilayah Bekasi telah mengajukan penangguhan UMK karenakan tidak mampu membayar gaji sesuai UMK 2013. (Berita Kota, 6 Desember 2012).

6.

Porsi pembayaran cicilan bunga dan pokok utang dalam RAPBN 2013 mencapai Rp 171,7 triliun, atau 15 persen terhadap belanja pemerintah pusat. Rinciannya untuk pembayaran bunga Rp 113,24 triliun dan pokok utang luar negeri sebesar Rp 58,4 triliun. Besarnya cicilan bunga disebabkan besarnya pembayaran bunga obligasi rekapitulasi perbankan. Dampak terkurasnya anggaran untuk pembayaran utang ini, bisa dideteksi dari minimnya anggaran peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelayanan umum. Alokasi pembayaran utang, bahkan jauh lebih besar ketimbang anggaran kesehatan yang hanya Rp 50,9 triliun dan total anggaran ketahanan pangan Rp 83 triliun.

7.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total utang pemerintah Indonesia hingga September 2012 mencapai Rp 1.975,62 triliun. Dibanding akhir 2011, jumlah utang ini naik Rp 166,67 triliun. Secara rasio terhadap PDB, utang pemerintah Indonesia berada di level 27,3% pada September 2012.

Dari proyeksi kondisi 2013 ini, nampaknya masyarakat harus tetap waspada menghadapi kondisi 2013. Salah satu yang harus jadi perhatian adalah potensi inflasi yang tinggi, hal ini di dorong oleh kenaikankenaikan pada tarif listrik, tarif tol, tarif pajak, harga BBM subsidi, dan UMR. Kenaikan-kenaikan tersebut

akan berdampak langsung kepada pelaku bisnis dan produsen. Naiknya biaya-biaya tersebut akan mendorong kenaikan harga-harga barang, maka inflasi akan terdorong naik. Langkah antisipasi yang bisa dilakukan oleh perusahaan atas biaya yang kian melonjak tersebut adalah melalui efisiensi dengan pengurangan jumlah pekerja atau memindahkan lokasi bisnisnya ke luar negeri. Kondisi ini tidak mustahil berakibat terjadinya gelombang pemutusan kerja besar-besaran. Dampaknya pengangguran bertambah yang bisa memicu kerawanan sosial semakin meningkat. Menutup aktivitas bisnis alias gulung tikar merupakan dampak terburuk bagi perusahaan, hal ini mengakibatkan produksi barang-barang akan berkurang, termasuk barang untuk diekspor akan menurun, tetapi di lain pihak bisa mendorong impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Akibatnya impor lebih besar dari ekspor sehingga neraca transaksi berjalan akan defisit, dan kian menambah utang luar negeri. Adapun kondisi global yang dapat mempengaruhi kondisi Indonesia adalah: 1. Krisis yang masih melanda Uni Eropa, menjadikan perdagangan luar negeri mereka mengalami penurunan. Produk-produk impor yang masuk Eropa akan makin berkurang, termasuk produk-produk dari Indonesia dan Cina. Hal ini berakibat menurunkan nilai ekpor produk Indonesia, bahkan sebaliknya bisa meningkatkan nilai impor Indonesia sebagai dampak pelemparan produk Cina yang gagal masuk Eropa. 2. Dalam beberapa tahun terakhir Cina terus menurunkan pertumbuhan ekonominya.Padahal hal ini berdasarkan data IMF, bila pertumbuhan ekonomi Cina turun satu persen, akan berpengaruh pada penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,5 persen. (Antaranews.com, 21 November 2012) 3. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan menunjukkan nilai kepemilikan investor asing per 24 Juli 2012 tercatat sebesar Rp 235,90 triliun. 60 persen uang beredar berasal dari surat utang negara (SUN) dan sebagian besar dimiliki asing. Struktur keuangan tersebut menggambarkan iklim investasi hot money: yang bisa saja dana asing yang beredar dengan cepat meninggalkan Indonesia (Farid Wadjdi, November 2012). 4. Perusahaan-perusahaan besar di Eropa dan Amerika terancam bangkrut, jika hal ini benar terjadi maka akan terjadi kepanikan terutama ketika laporan keuangan perusahaan dirilis pada Maret 2013. Hal ini akan mendorong penarikan dana secara besar-besaran, termasuk di Indonesia yang berakibat nilai tukar rupiah terus merosot. Depresiasi rupiah ini akan berdampak jangka panjang seperti membengkaknya utang pemerintah. Dampak jangka panjang lain dari depresiasi rupiah adalah meningkatnya inflasi, terkoreksinya indeks harga saham gabungan (IHSG) (Farid Wadjdi, November 2012). Nampaknyabila kita belajar dari pengalaman, mengevaluasi kebijakan pemerintah ke depan, dan melihat kondisi global yang masih krisis, kita harus bersikap waspada atasoptimisme pemerintah bahwa Indonesia tidak akan diterjang oleh krisis seperti yang pernah terjadi tahun 1997. Namun demikian sekiranya hal terburuk (terseret krisis global) tidak terjadi, gejalake arah pelambatan ekonomi semakin nampak. Beban berat sebagian besar masyarakat lemah kian bertambah, sementara kesenjangan ekonomi kian melebar. Perlu dilakukan tindakan segera untuk terhindar dari krisis yang senantiasa berulang,dimanasiklusnyakini makin pendek. Tindakan tersebut adalah dengan mencampakkan sistem ekonomi kapitalis sebagai biang terjadinya krisis.

AKARTA. Tak hanya di surat utang negara (SUN), obligasi korporasi pun juga menjadi incaran investor asing. Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan, kepemilikan asing di obligasi korporasi sepanjang Februari 2013 meningkat. Sepanjang bulan lalu, asing tercatat menggenggam obligasi Rp 13,73 triliun atau sebesar 7,12% dari total nilai obligasi korporasi yang tercatat Rp 192,82 triliun. Angka itu naik dibandingkan bulan Februari 2012 yang sebesar Rp 8,20 triliun atau 5,25% dari total obligasi korporasi senilai Rp 156,27 triliun. Dibanding bulan Januari 2013, kepemilikan asing di Februari juga naik. Di Januari, kepemilikan asing di obligasi korporasi sebesar Rp 12, 77 triliun atau sebesar 6,7% dari total obligasi korporasi yang tercatat Rp 188,11 triliun. Herdi Ranu Wibowo, Head of Debt Capital Market BCA Sekuritas menduga, kenaikan kepemilikan asing dipicu oleh yield obligasi pemerintah yang kian mini. Obligasi korporasi memang memiliki yield bagus dengan rata-rata 200 basis poin-300 basis poin di atas yield obligasi negara. "Sehingga wajar asing sekarang memilih obligasi korporasi meskipun persentasenya masih relatif kecil apabila dibandingkan dengan obligasi negara," kata Herdi kepada KONTAN, akhir pekan lalu. Ia melihat, kenaikan kepemilikan asing mulai terasa sejak kuartal III tahun lalu. Data KSEI mencatat, saat itu kepemilikan asing di obligasi korporasi naik menjadi Rp 9,28 triliun dibandingkan Juni 2012 yang sekitar Rp 8,94 triliun. Dana asing yang makin besar ini, diprediksi akan mengerek harga obligasi korporasi di pasar sekunder. Menurut Herdi, harga obligasi korporasi berpotensi bergerak naik 50 basis poin-100 basis poin setelah diterbitkan. Analis obligasi Sucorinvest Asset Management, Jemmy Paul memperkirakan, asing masih akan membanjiri obligasi korporasi hingga Mei 2013. Semakin mendekati Pemilu 2014, asing mulai kembali menata portofolio investasi seiring risiko politik di Indonesia yang bakal meningkat. Prediksi Jemmy, bunga BI akan stabil di level 5,75%. Ini memicu korporat untuk memperbanyak penerbitan obligasi. "BI rate jadi benchmark selain rating perusahaan," ujar dia.
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat poin 15 poin didorong aksi beli yang dilakukan investor asing. Indeks kembali menembus rekor tertingginya sepanjang sejarah di level 4.811 Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di posisi Rp 9.675 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin di Rp 9.660 per dolar AS. Mengawali perdagangan pagi tadi, IHSG dibuka menguat tipis 3,875 poin (0,08%) ke level 4.799,664. Indeks menjadi satu-satunya yang menguat di regional.

Meski banyak sentimen negatif yang beredar dari pasar global dan regional, IHSG tetap mampu melaju di zona hijau atas dorongan aksi beli selektif di saham-saham unggulan. Indeks langsung mencetak rekor intraday tertingginya sepanjang masa di level 4.817,914. Level intraday tertinggi sebelumnya berada di level 4.795,789. Aksi ambil untung yang dilakukan investor lokal sempat menjegal indeks sampai jatuh ke zona merah. Sampai di posisi terendahnya di 4.777,975, indeks langsung kembali menguat secara perlahan. Pada penutupan perdagangan sesi I, IHSG naik tipis 0,668 poin (0,01%) ke level 4.796,457 terus melaju sampai kembali menembus level intraday tertingginya sepanjang masa. Padahal, posisi indeks sudah lama masuk area jenuh beli. Meski IHSG sudah lama masuk area jenuh beli, namun investor tetap semangat beli saham. Banyak sentimen positif yang datang dari dalam negeri, seperti kinerja emiten yang kinclong dan tingkat inflasi yang terkendali. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Februari 2013 mencapai 0,75%. Penyebab inflasi pada bulan tersebut dikarenakan adanya pembatasan impor komoditi barang hortikultura. Secara tahunan atau year on year, inflasi Februari 2013 tercatat 5,31%. Jika melihat tahun kalender, inflasi sejak Januari 2013 hingga akhir Februari 2013, BPS mencatat mencapai 1,79% Mengakhiri perdagangan akhir pekan, Jumat (1/3/2013), IHSG ditutup bertambah 15,824 poin (0,33%) ke level 4.811,613. Sementara Indeks LQ45 ditutup naik 3,227 poin (0,39%) ke level 827,971. Rekor baru IHSG kembali terpecahkan hari ini. Sedangkan level tertinggi sepanjang masa IHSG sebelumnya ada di level 4.795,789 pada penutupan perdagangan Kamis kemarin setelah melompat 79,374 poin (1,68%). Saham-saham lapis dua punya andil besar dalam pencetakan rekor IHSG kali ini. Sedangkan sahamsaham unggulan malah terkena aksi ambil untung dan menghambat laju penguatan IHSG. Perdagangan hari ini berjalan ramai dengan frekuensi transaksi mencapai 88.087 kali pada volume 4,042 miliar lembar saham senilai Rp 3,536 triliun. Sebanyak 106 saham naik, sisanya 107 saham turun, dan 110 saham stagnan. Volume dan nilai transaksi hari ini melambung tinggi berkat aksi tutup sendiri saham PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) senilai Rp 1,2 triliun di pasar negosiasi. Transaksi ini difasilitasi oleh broker Ciptadana Securities (KI). Hal ini juga mempengaruhi transaksi investor asing yang sore ini melakukan pembelian bersih (foreign net buy) senilai Rp 2,111 triliun di seluruh pasar. Bursa-bursa di Asia menutup perdagangan akhir pekan dengan mixed dan cenderung melemah. Pasar saham yang berhasil menguat hanya Jepang dan Indonesia. Berikut situasi dan kondisi bursa-bursa di Asia hingga sore hari ini:

Indeks Komposit Shanghai melemah 6,09 poin (0,26%) ke level 2.359,51. Indeks Hang Seng turun 140,05 poin (0,61%) ke level 22.880,22. Indeks Nikkei 225 naik 47,02 poin (0,41%) ke level 11.606,38. Indeks Straits Times menipis 0,15 poin (0,01%) ke level 3.269,80.

Saham-saham yang naik signifikan dan masuk dalam jajaran top gainers di antaranya Gudang Garam (GGRM) naik Rp 1.650 ke Rp 49.950, Fast Food (FAST) naik Rp 900 ke Rp 11.400, Semen Indonesia (SMGR) naik Rp 800 ke Rp 18.150, dan Indocement (INTP) naik Rp 750 ke Rp 22.700. Sementara saham-saham yang turun cukup dalam dan masuk dalam kategori top losers antara lain Sarana Menara (TOWR) turun Rp 600 ke Rp 26.500, Mayora (MYOR) turun Rp 450 ke Rp 24.550, Mitra Adiperkasa (MAPI) turun Rp 300 ke Rp 7.500, dan BCA (BBCA) turun Rp 300 ke Rp 10.700.

Emerging Market adalah negara-negara dengan atau bisnis kegiatan sosial dalam proses yang cepat pertumbuhan dan industrialisasi. Berdasarkan data dari tahun 2006 ada sekitar 28 muncul (menurut data tahun 2010 ada lebih dari 40 pasar negara berkembang) di dunia, dengan perekonomian Cina dan India dianggap sebagai yang terbesar. Menurut The Economist banyak orang menemukan istilah ketinggalan jaman, tetapi tidak ada istilah baru belum memperoleh banyak daya tarik. The ASEAN-China Free Trade Area , diluncurkan pada tanggal 1 Januari 2010, adalah yang terbesar regional emerging market di dunia. Terminologi Negara-negara berkembang yang bukan bagian darinegara terbelakang , atau dari negara-negara industri baru. Pada 1970-an, negara kurang ekonomis maju (LEDCs) adalah istilah umum untuk pasar yang kurang maju (dengan langkah-langkah objektif atau subjektif) daripada negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Pasar ini seharusnya memberikan potensi yang lebih besar untuk keuntungan, tetapi risiko juga lebih dari berbagai faktor. Istilah ini dirasakan oleh beberapa orang untuk menjadi tidak cukup positif sehingga label pasar berkembang lahir. Istilah ini menyesatkan karena tidak ada jaminan bahwa suatu negara akan berpindah dari kurang berkembang menjadi lebih berkembang, meskipun itu adalah kecenderungan umum di dunia, negara juga bisa bergerak dari lebih berkembang ke kurang berkembang . Awalnya dibawa ke fashion di tahun 1980 saat itu Bank Dunia ekonom Antoine van Agtmael, Istilah ini kadang-kadang longgar digunakan sebagai pengganti untuk negara berkembang, tapi benar-benar menandakan sebuah fenomena bisnis yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh atau dibatasi untuk geografi atau ekonomi kekuatan; seperti negaradianggap dalam fase transisi antara berkembang dan dikembangkan status. Contoh negara berkembang termasuk Indonesia, Iran, beberapa negara Amerika Latin, beberapa negara di Asia Tenggara, kebanyakan negara di Eropa Timur, Rusia, beberapa negara di Timur Tengah, dan bagian dari Afrika. Menekankan sifat fluida dari kategori, politik ilmuwan Ian Bremmer mendefinisikan pasar yang muncul sebagai negara dimana politik hal setidaknya sebanyak ekonomi ke pasar. Penelitian pasar yang muncul adalah disebarkan dalam manajemen sastra. Sementara para peneliti termasuk CK Prahalad, George Haley, Hernando de Soto, Usha Haley, dan beberapa profesor dari Harvard Business School dan Yale School of Management telah dijelaskan kegiatan di negara-negara seperti India dan China, bagaimana pasar muncul sedikit dipahami. Pada tahun 2008 Emerging Ekonomi Laporan, di Pusat Pengetahuan Masyarakat mendefinisikan Emerging Economies sebagai orang wilayah dunia yang mengalami

informationalization cepat dalam kondisi atau sebagian industrialisasi terbatas. Tampaknya pasar negara berkembang terletak di persimpangan perilaku pengguna non-tradisional, munculnya kelompok pengguna baru dan adopsi masyarakat produk dan layanan, dan inovasi dalam teknologi produk dan platform. Negara-negara industri baru pada 2010. Ini merupakan kategori pertengahan antara maju dan berkembang sepenuhnya. Istilah negara berkembang pesat digunakan untuk menunjukkan pasar negara berkembang seperti The United Arab Emirates , Chili dan Malaysia yang mengalami pertumbuhan yang cepat. Dalam beberapa tahun terakhir, istilah baru telah muncul untuk menggambarkan terbesar negara-negara berkembang seperti BRIC yang berdiri untuk Brazil, Rusia, India, dan Cina, bersama dengan BRICET (BRIC + Eropa Timur dan Turki), BRICs (BRIC + Afrika Selatan), BRICM (BRIC + Mexico), BATA (BRIC + Korea Selatan), Sebelas Berikutnya (Bangladesh, Mesir, Indonesia, Iran, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Korea Selatan, Turki, dan Vietnam) dan Musang (Colombia, Indonesia , Vietnam, Mesir, Turki dan Afrika Selatan). Negara-negara ini jangan berbagi agenda bersama, tetapi beberapa ahli percaya bahwa mereka sedang menikmati peran peningkatan dalam perekonomian dunia dan pada platform politik. Sulit untuk membuat daftar yang tepat yang muncul (atau maju) pasar; pemandu terbaik cenderung menjadi sumber informasi investasi seperti ISI Emerging Markets dan The Economist pembuat pasar atau indeks (seperti Morgan Stanley Capital International). Sumber-sumber yang baik-informasi, tetapi sifat sumber informasi investasi mengarah pada dua masalah potensial. Salah satunya adalah unsur historisitas; pasar dapat dipertahankan dalam indeks untuk kontinuitas, bahkan jika negara-negara maju sejak masa lalu fase emerging market.Kemungkinan contoh dari hal ini adalah Korea Selatan dan Taiwan . Sebuah kedua adalah penyederhanaan yang melekat dalam membuat indeks, negara kecil, atau negara dengan likuiditas pasar yang terbatas sering tidak dianggap, dengan tetangga mereka yang lebih besar dianggap sebagai yang tepat berdiri-in. Dalam Opalesque.TV video, hedge fund manager Jonathan Binder membahas relevansi dan masa depan saat ini istilah muncul pasar dalam dunia keuangan. Binder mengatakan bahwa di masa depan investor tidak akan selalu berpikir tentang klasifikasi tradisional G10 (atau G7) versus emerging markets. Sebaliknya, orang harus melihat dunia sebagai negara yang bertanggung jawab dan fiskal negara-negara yang tidak. Apakah negara yang di Eropa atau di Amerika Selatan harus membuat perbedaan, membuat tradisional blok kategorisasi tidak relevan. The Big Emerging Market (BEM) ekonomi adalah (menurut abjad dipesan): Brasil, Cina, Mesir, India, Indonesia, Meksiko, Filipina, Polandia, Rusia, Afrika Selatan, Korea Selatan dan Turki. Negara industri baru muncul pasar yang perekonomiannya belum mencapai status dunia pertama tetapi memiliki, dalam arti makroekonomi, melampaui mengembangkan rekan-rekan mereka. Investor individu dapat berinvestasi di pasar negara berkembang baik melalui ADR (American deposan Penerimaan saham perusahaan asing yang diperdagangkan di bursa saham AS) atau melalui dana exchange traded (pertukaran dana ETF diperdagangkan atau keranjang memegang saham). tukar diperdagangkan dana dapat

difokuskan pada suatu negara tertentu (misalnya, Cina, India) atau wilayah (misalnya, Asia-Pasifik, Amerika Latin).

Anda mungkin juga menyukai