Anda di halaman 1dari 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepatuhan Berobat Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti taat, suka menuruti, disiplin. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Menurut Sacket (Ester, 2000), kepatuhan penderita adalah sejauh mana perilaku penderita sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut Sarafino (Bart, 1994) secara umum, ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktahuan penderita terhadap aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang 9
Universitas Sumatera Utara

10

menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus. Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi 4 (empat) bagian yaitu : 1. Pemahaman tentang instruksi Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan intruksi yang harus diingat oleh penderita. Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan penderita ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu : a. b. c. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat, maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis. d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal yang perlu ditekankan.

Universitas Sumatera Utara

11

2.

Kualitas interaksi. Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan penderita merupakan

bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan penderita adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada penderita setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Penderita membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. 3. Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit. 4. Keyakinan, sikap, kepribadian Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuranpengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orangorang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Blumenthal et al (Ester, 2000) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program pengobatan.

Universitas Sumatera Utara

12

Menurut Schwart & Griffin (Bart, 1994), faktor yang berhubungan dengan ketidaktaatan, secara sejarah, riset tentang ketaatan penderita didasarkan atas pandangan tradisional mengenai penderita sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh. Penderita yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk

mengidentifikasi kelompok-kelompok penderita yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Pendidikan penderita dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh penderita secara mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seorang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional dan penderita sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan sering diartikan sebagai suatu usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya. Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan : 1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang jelas), sarana mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas.

Universitas Sumatera Utara

13

Menurut Sarafino (Bart, 1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78% untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat tersebut menurun sampai 54%. 2. Komunikasi antara penderita dan dokter. Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan dokter memengaruhi tingkat ketidaktaatan ketidakpuasan misalnya, terhadap informasi aspek dengan pengawasan emosional yang dengan kurang, dokter,

hubungan

ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan (Bart, 1994). 3. Variabel-variabel sosial Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara umum, orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada penderita yang kurang mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh normatif pada penderita, yang mugkin mengakibatkan efek yang memudahkan atau menghambat perilaku ketaatan. 4. Ciri-ciri individual Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan. Sebagai contoh : di Amerika serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Bart, 1994).

Universitas Sumatera Utara

14

2.2. Penyuluhan Kesehatan Menurut Depkes RI (2002), penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting sacara langsung ataupun menggunakan media. Dalam program

penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung per orangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan sacara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru dari suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan. Penyuluhan langsung per orangan dapat dianggap berhasil bila penderita bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya, penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan, anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya.

Universitas Sumatera Utara

15

2.3. Pengawas Menelan Obat (PMO) Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

2.3.1. Persyaratan PMO Menurut Depkes RI (2007), persyaratan seorang PMO adalah: 1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. 2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. 4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2.3.2. Siapa yang Bisa Jadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

2.3.3. Tugas Seorang PMO Menurut Depkes RI (2007), tugas seorang PMO adalah: 1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

Universitas Sumatera Utara

16

2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur 3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang ditentukan. 4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke UPK

2.4. Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang paru, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain. Basil penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37C, yang memang kebetulan sesuai dengan tubuh manusia (Aditama , 1994).

2.4.1. Cara Penularan Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

Universitas Sumatera Utara

17

pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).

2.4.2. Risiko Penularan Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang di antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV

Universitas Sumatera Utara

18

meningkat, maka jumlah penderita TB paru akan meningkat, dengan demikian penularan TB Paru di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2007).

2.4.3. Gejala Klinis TB Paru Gejala utama penderita TB Paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).

2.4.4. Tipe Penderita TB Paru Menurut Depkes RI (2007), ada beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu : 1. Kasus baru adalah penderita TB Paru yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

Universitas Sumatera Utara

19

3. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah penderita TB Paru yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih, kemudian kembali berobat dengan BTA positif. 4. Kasus setelah gagal (Failure) adalah penderita TB Paru yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita TB Paru yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB ke UPK lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu penderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.4.5. Pemeriksaan Dahak Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga spesimen Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan. Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program penanggulangan TB Paru adalah : 1. 2. 3. Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/klasifikasi. Menilai kemajuan pengobatan. Menentukan tingkat penularan.

Universitas Sumatera Utara

20

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada : 1. Akhir tahap intensif. Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2. 2. Sebulan sebelum akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2. 3. Akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang BTA positf dengan kategori 2.

2.4.6. Prinsip Pengobatan Tujuan dari pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan. Obat yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang

Universitas Sumatera Utara

21

digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat (Depkes RI, 2002). Menurut Depkes RI (2007), pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap yaitu : 1. Tahap awal (intensif) Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. 2. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Menurut Depkes RI (2002), paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk penderita dalam satu masa pengobatan. Program Nasional Penaggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT : 1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan

Universitas Sumatera Utara

22

(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru TB Paru BTA positif, TB Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat, dan TBC Ekstra paru berat. 2. Kategori 2 (2HRZE/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan Streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan Streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), gagal (failure) dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default). 3. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan yang diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan pada penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan serta penderita Ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfademitis), pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

Universitas Sumatera Utara

23

4.

OAT Sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan.

2.5. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO, yang dimulai pelaksanaannya di Indonesia pada tahun 1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1965-1994) angka kesembuhan TB Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA positif yang ditemukan. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan (Aditama, 2002). Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan/ mendiagnosis penderita secara baik dan akurat melalui pemeriksaan mikroskopis. Selanjutnya, setiap penderita harus diawasi (observed) dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang pengawas. Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam sistem pengelolaan, pemberian regimen OAT yang

Universitas Sumatera Utara

24

adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (Shortcourse) sesuai dengan klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Aditama, 1994). Tujuan penanggulangan dengan strategi DOTS adalah untuk mencapai angka kesembuhan TB Paru yang tinggi, mencegah kematian, mencegah putus berobat dan kambuhnya penyakit serta mencegah resistensi ganda terhadap obat TB yang disebut Multiple Drug Resistance / MDR (Crofton, 2002).

2.6. Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, maka kerangka konsep penelitian ini adalah : Variabel Independen 1. Pengetahuan penderita TB Paru 2. Faktor Pelayanan Kesehatan - Ketersediaan OAT - Penyuluhan kesehatan - Sikap petugas kesehatan 3. Pengawas Menelan Obat (PMO) Variabel Dependen

Tingkat Kepatuhan Berobat.

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka konsep, dapat dirumuskan definisi konsep variabel penelitian sebagai berikut: 1. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu 2. Faktor pelayanan kesehatan adalah penilaian dari penderita TB Paru terhadap upaya yang diselenggarakan oleh unit pelayanan kesehatan untuk menangani

Universitas Sumatera Utara

25

penderita TB Paru meliputi: ketersediaan OAT, penyuluhan kesehatan dan sikap petugas kesehatan 3. Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah penilaian dari penderita TB Paru terhadap hal-hal yang menjadi tugas dari seorang PMO yang meliputi: mengawasi menelan obat, mengingatkan periksa ulang dan memberi dorongan untuk berobat. 4. Tingkat kepatuhan adalah sejauh mana perilaku penderita TB Paru dalam melaksanakan pengobatan di Puskesmas Amplas.

2.7. Hipotesis Penelitian 1. Ada pengaruh pengetahuan penderita TB Paru terhadap tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Amplas Kota Medan tahun 2011 2. Ada pengaruh faktor pelayanan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru di Puskesmas Amplas Kota Medan tahun 2011. 3. Ada pengaruh PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru di Puskesmas Amplas Kota Medan tahun 2011.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai

  • Inform Consent Anestesi
    Inform Consent Anestesi
    Dokumen2 halaman
    Inform Consent Anestesi
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Data Ria Balut Bidai
    Data Ria Balut Bidai
    Dokumen36 halaman
    Data Ria Balut Bidai
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Pembalutan Dan Pembidaian
    Pembalutan Dan Pembidaian
    Dokumen34 halaman
    Pembalutan Dan Pembidaian
    Asti Sugiarti
    100% (2)
  • CVD H Kasus Tn. D
    CVD H Kasus Tn. D
    Dokumen7 halaman
    CVD H Kasus Tn. D
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Keperawatan Pada MRV Adi
    Asuhan Keperawatan Pada MRV Adi
    Dokumen15 halaman
    Asuhan Keperawatan Pada MRV Adi
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Sap Hipertensi2
    Sap Hipertensi2
    Dokumen9 halaman
    Sap Hipertensi2
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Diit Hipertensi
    Leaflet Diit Hipertensi
    Dokumen3 halaman
    Leaflet Diit Hipertensi
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Kuisioner
    Kuisioner
    Dokumen5 halaman
    Kuisioner
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan ANEMIA Gravis
    Laporan Pendahuluan ANEMIA Gravis
    Dokumen7 halaman
    Laporan Pendahuluan ANEMIA Gravis
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Askep Anemia
    Askep Anemia
    Dokumen13 halaman
    Askep Anemia
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • SBARcghcnbvn Wayan
    SBARcghcnbvn Wayan
    Dokumen2 halaman
    SBARcghcnbvn Wayan
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen20 halaman
    TB Paru
    Febrina Bangun
    Belum ada peringkat
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen20 halaman
    TB Paru
    Febrina Bangun
    Belum ada peringkat
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen20 halaman
    TB Paru
    Febrina Bangun
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner (Baru)
    Kuesioner (Baru)
    Dokumen7 halaman
    Kuesioner (Baru)
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    100% (1)
  • Transkip Nilai
    Transkip Nilai
    Dokumen4 halaman
    Transkip Nilai
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • BAB I (Terbaru)
    BAB I (Terbaru)
    Dokumen9 halaman
    BAB I (Terbaru)
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Samriadi Proposal
    Samriadi Proposal
    Dokumen18 halaman
    Samriadi Proposal
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen3 halaman
    Daftar Pustaka
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat
  • Bab. 2
    Bab. 2
    Dokumen66 halaman
    Bab. 2
    Samriadhy Akand Slalu Sabar
    Belum ada peringkat