Anda di halaman 1dari 2

Kerbau Esai Niduparas Erlang Padahal tanah adalah nafkah.

Tapi saya hanya berdiri di sini seperti hamba Maphisto sembari meneriakkan kata-kata dungu yang terkenal itu: Da steh ich nun, ich armer Tor! Und bin so klug als wie zuvor. Ya, saya bergeming di sini, si bodoh yang nelangsa! Tak pernah lebih bijak dari sebelumnya. Ah, betapa, saya telah membiarkan saja sawah nenek saya itu digusur untuk kepentingan peternakan ayam pedaging yang entah milik siapa. Bahkan, saya juga hanya bengongmelompong ketika menyaksikan pembangunanyang memang kerap beririsan dengan penggusuranitu telah meruntuhkan sebuah bukit Tonggoh (orang kampung saya menyebutnya Pasir Tonggoh), dan meretas berpuluh-puluh petak sawah; tak terkecuali beberapa petak sawah milik nenek yang pernah menjadi sumber nafkah. Tololnya, harga ganti rugi yang disepakati para petaniwalau sesungguhnya hanya berupa kesepakatan segelintir jari, dan tentu saja dengan sedikit intimidasi aparatur kelurahan, tak cukup untuk kembali membeli sawah, bahkan terbilang kurang untuk melunasi utang-gadai. Lalu, kerbau-kerbau pun kehilangan Pasir Tonggoh sebagai tempat merumput. Kehilangan sawah tempat melenguh, membajak, dan berkubang-riang. Dan karena telah tak ada lagi sawahsawah yang bisa digarap, maka kerbau-kerbau pun terpaksa disembelih, atau malah dijual ke pasar jagal oleh generasi berikutnya yang mendamba keriaan di jalan-jalan dengan menarik gas sepeda motor kencang-kencang. Dan kotoran kerbau pun segera tergantikan asap knalpot. Ukh, itu asap knalpot bodong mengepul legam. Lebih hitam dari jelaga lampu cempor yang menyala di sisi ranjang, dan membuat dua garis hitam di atas bibir yang merasuk ke lubang hidung yang baru kita sadari ketika terbangun di pagi hari. Sementara kerbau-kerbau, telah pula disingkirkan demi traktor-traktor. Kini, setiap kali saya kembali ke kampung halaman, nostalgia itu pun menyeruak ke seruang ingatan. Saban siang, anak-anak yang baru pulang sekolah akan tampak riang mengeluarkan kerbau-karbau dari kandangnya di belakang rumah mereka. Hampir setiap kepala keluarga di kampung sayadulumemiliki beberapa ekor kerbau pembajak sawah. Maka mengembala kerbau, seolah-olah telah menjadi rutinitas yang terus diwariskan dari para orangtua kepada para kakak, kemudian dilanjutkan oleh adik-adiknya. Dan jika seluruh kerbau dari setiap kandang itu telah dikeluarkan, maka tampaklah pemandangan arak-arakan kerbau yang penuh-sesak-padat di seruas Jalan Tunjung TejaWarung Gunung. Kerbau-kerbau yang lambat berjalan, digiring para pengembala muda usia itu, menuju Pasir Tonggoh dan sawah-sawah di sekitarnya. Tapi, ah, nostalgia. Ia hanyalah ingatan yang memperindah ingatan. Mengenangkan masa lalu dari sudut pandang saya sekarang yang takut kepada lupa. Tapi tentu, saya pun akan merasa sangat berlebihan jika harus terus-menerus menyalahkan dan menyesali modernitas. Sekalipun kini, saya pikir, kita yang hidup di kota-kota, bahkan di kampung-kampung juga, telah benar-benar kehilangan pesona dunia: suara burung, harum lumpur, wangi kembang, warna fajar, yang semuanya sekadar menjadi pengetahuan yang sukar lekang dari ingatan. Dan rumahrumah kita, oh, hanyalah kotak persegi panjang yang tak pernah menyatu dengan alam. Barangkali, kini, saya dapat memaknai ke-kaku-tak-mengerti-an saya waktu itu adalah sebagai berdiam yang puitis (dichterisch wohnet der Mensch) seperti kata penyair Holderlin pada abad ke-18 itu. Tapi, agaknya juga kurang tepat. Sebab, mungkin, berdiam yang puitis hanya milik urang Baduy Dalam, yang rumah-rumahnya menyatu dengan alam bahkan tanpa

merusak kontur tanah, sejuk-tenang-damai-tenteram dengan hutan hijau dan sungai bening mengalir di sekitarnya. Sementara kita, rumah-rumah kita, rumah-rumah yang telah menggusur kandang-kadang kerbau, atau paling tidak rumah yang saya tempati, hanyalah produsen sampah makanan yang efek berantainya berdampak pula padatak hanyapencemaran lingkungan melainkan juga terkurasnya energi bumi. Betapa, bahwa pada sepiring nasi yang saya makan tadi padi, terdapat air tanahyang mungkin sekarang sudah semakin tercemaryang diserap sedari mulai membajak sawah hingga menanaknya di atas kompor atau tungku atau magic jar. Juga terdapat bensin atau solar yang habis dalam pembakaran mesin traktor ketika digunakan untuk membajak sawah, menggiling gabah, dan dalam pendistribusiannya hingga sampai ke dapur kita. Bahkan juga terdapat gas bumi, atau kayu, atau listrik, untuk menanaknya hingga tersaji enak di meja makan keluarga. Sementara kerbau, sebagai pembajak sawah yang tak perlu solar, kini nyaris sulit ditemukan di kampung saya. Bahkan ketika Lebaran, ketika ritual pagi bagi anak-anak yang penasaran melihat kerbau gemuk-hitam-kekar direbahkan di lapangan terbuka dan digorok seorang jagal bergolok panjangyang kini tak ada lagi, juga ketika ritual setahun sekali makan semur daging plus gemblong bakar, boleh jadi daging yang dimasak si nenek bukan lagi daging kerbaupembajak yang gemuk-hitam-kekar milik petani. Barangkali, daging yang dikonsumsi mayoritas warga kampung saya pada saat Lebaran beberapa tahun belakangan ini adalah daging sapisapi yang tak pernah akrab dengan kamiyang diimpor dari negara entah mana. Dan ketika peternakan ayam pedaging itu pun dipanen, tujuh sampai delapan kali dalam setahun, para penduduk di kampung saya pun turut memanen lalat-lalat yang bertebaran ke rumah-rumah mereka. Kerbau-kerbau tiada, lalat-lalat di mana-mana. Ah.... Sementara saya, masih saja berdiri di tepi ini sembari menepuki lalat-lalat yang ngagimbreng seperti lebah yang digusah, masih saja menjadi si bodoh yang nelangsa, dan tak pernah lebih bijak dari sebelum membunuhi para lalat. [*]

Anda mungkin juga menyukai