Anda di halaman 1dari 29

STATUS NEUROLOGIS

Pemeriksa

: Fira Tania Khasanah Putri Anggia Bunga Riza Zahara

Tgl. Pemeriksaan

: 05 Juni 2012

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Agama Pekerjaan Status Suku Bangsa Tgl. Masuk RS Dirawat yang ke : Tn. W : 70 tahun : Laki-laki : 29 Banjarsari : Islam : Petani : Menikah : Jawa : 2 Juni 2012 : Ke-1

II.

RIWAYAT PENYAKIT Alloanamnesis tanggal 05-Juni-2012 Keluhan Utama : Kaku pada rahang dan leher sejak 1 hari SMRS

Keluhan Tambahan: Penglihatan buram Riwayat Perjalanan Penyakit: 2 minggu yang lalu os yang sedang menebang pohon pepaya, terluka pada lengan kiri bawah, os mengatakan luka tersebut terkena bambu, namun os kurang yakin. Luka hanya dibersihkan dengan air dan diberi betadine. Os tidak pingsan, demam, mual maupun muntah. Os tidak mengeluh terdapat gangguan buang air besar maupun buang air kecil.
1

2 hari sebelum masuk rumah sakit os mengatakan kepada keluarganya bahwa penglihatannya menjadi kabur, namun os tidak mengeluh mual, muntah, maupun demam. Os mengatakan buang air besar dan air kecil lancar dan tidak ada keluhan. Os belum memeriksakan diri ke dokter maupun meminum obat-obatan yang dibeli sendiri. 1 hari sebelum masuk rumah sakit os mengeluh rahang terasa kaku sehingga os sulit menggerakan mulut. Os kemudian mengompres dengan air hangat dan memanggil mantri ke rumah. Os diberi 3 macam obat yang os tidak ingat apa namanya. Namun os merasa rahang bertambah kaku dan terjadi kekakuan pada lehernya. Os juga merasa perut keras dan tegang. Os tidak mual, muntah maupun demam. Os masih dapat buang air kecil dan air besar dengan lancar. Karena keluhan belum membaik, akhirnya os berobat ke rumah sakit ahmad yani. Riwayat Penyakit Dahulu: Os menyangkal memiliki penyakit kencing manis maupun tekanan darah tinggi. Os menyangkal pernah sakit gigi. Os mengatakan tidak pernah digigit binatang liar.

Riwayat Penyakit Keluaga: Keluarga os tidak ada yang menderita keluhan serupa. Tidak ada keluarga os yang menderita kencing manis maupun tekanan darah tinggi.

Riwayat Imunisasi: Os menyangkal pernah mendapat imunisasi maupun vaksin tetanus.

III. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Vital Sign Tekanan Darah : 100/70 mmHg Nadi : 108x/menit

Respiration Rate : 36 x/menit Temperatur : 37,50 C

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran Keadaan gizi Kulit : Compos mentis, GCS E4M6V5 = 15 : Cukup : Turgor normal, warna sawo matang

Status Generalis Kepala Bentuk Rambut Mata Telinga Hidung Mulut : Normochepalic : Hitam beruban, tidak mudah dicabut : Konjungtiva tak tampak pucat, sklera anikterik : Telinga kiri dan kanan simetris, othoroe (-), nyeri (-) : Rhinore (-), septum deviasi (-) : Sianosis (-), bibir kering, gusi tidak berdarah

Thorax Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Pernapasan simetris kiri dan kanan : Fremitus taktil kanan = kiri : Sonor (+/+) : Vesiculer +/+, ronkhi-/-, wheezing -/-

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis tidak teraba : Batas jantung dalam batas normal : Bunyi jantung I-II murni, murmur (-), gallop (-)
3

Abdomen Inspeksi Palpasi : Simetris, tampak datar : Hepar dan lien tak teraba, ginjal tak teraba, defans musculer (+), nyeri tekan (+) Perkusi Auskultasi : Timpani seluruh lapang abdomen, asites (-) : Bising usus (+) normal

Ekstremitas Superior Inferior : Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral teraba hangat : Oedem (-/-), sianosis (-/-), akral teraba hangat

Kekuatan otot : Sulit dinilai karena spasme

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGI Saraf Cranialis N.Olfactorius (N.I) Daya penciuman hidung N.Opticus (N.II) Tajam penglihatan Lapang penglihatan Tes warna Fundus oculi : 3/60 / 3/60 : Normal/Normal : Tidak dilakukan : Tidak dilakukan : Baik

N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III N.IV N.VI) Kelopak mata Ptosis Endophtalmus Exopthalmus Pupil Ukuran : (2 mm / 2 mm)
4

: (-/-) : (-/-) : (-/-)

Bentuk Isokor/anisokor Posisi Refleks cahaya

: (Bulat / Bulat) : (Isokor / Isokor) : (Sentral / Sentral) : (+/+)

Gerakan bola mata Medial, lateral Superior, inferior Obliqus, superior Obliqus, inferior N.Trigeminus (N.V) Membuka Mulut Menggerakkan Rahang : (-) : (-) : DBN : DBN : DBN : DBN

N.Fascialis (N.VII) Inspeksi wajah sewaktu Diam Senyum Meringis Menutup mata : Simetris : Tidak dapat dilakukan : Tidak dapat dilakukan : Simetris

Pasien disuruh untuk Mengerutkan dahi Mengangkat alis Menutup mata kuat-kuat : Simetris : Tidak dapat dilakukan : Simetris

N.Acusticus (N.VIII) N.cochlearis Ketajaman pendengaran : (+/+)


5

Tinitus

: Tidak dilakukan

N.vestibularis Test vertigo Nistagmus : Tidak dilakukan : Tidak dilakukan

N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X) Suara bindeng/nasal N.Accesorius (N.XI) M.Sternocleidomastodeus M.Trapezius N.Hipoglossus (N.XII) Deviasi : Tidak bisa dinilai : Tidak bisa dinilai : Tidak bisa dinilai : (-)

Kaku kuduk Kekuatan otot Tonus Klonus

: (+) : Tidak bisa dinilai karena spasme : Kaku : Tidak dilakukan

Refleks fisiologis: Biceps Triceps (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan) Pattela Achiles (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan)

Refleks patologis: Babinsky Oppenheim Schaefer (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan) Chaddock Gordon Hoffman trommer (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan)

Susunan saraf otonom Miksi Defekasi Salivasi Chvosteks sign Fungsi luhur Fungsi bahasa Afasia motorik Afasia sensorik : Baik : (-) : (-) : Baik : Belum BAB sejak masuk rumah sakit : Normal : (-)

Pemeriksaan Khusus Muka Mulut Abdomen : Risus sardonikus (+) : Trismus (+) : Perut tegang seperti papan/defans musculer (+)

Status Psikiatrikus Sikap Perhatian : Cukup Kooperatif : Ada

V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG (5 Juni 2012) Darah lengkap Kimia Darah Faal Hati Albumin Protein Globulin : 4,51 gr/dL : 6,87 g/dL : 2,36 g/dL

Alkali phosphatase : 87 U/L SGOT : -7

SGPT Gamma GT Bil. Total Bil. Indirect Bil. Direct Fungsi Ginjal Ureum Kreatinin

: 17 U/L : 26,8 U/L : 0,71 mg/dL : 0,36 mg/dL : 0,35 mg/dL

: 72,4 mg/dL : 1,81 mg/dL

Hb Ht Leukosit Trombosit Gula sesaat

: tidak diperiksa : tidak diperiksa : tidak diperiksa : tidak diperiksa : 109 mg/dl

VI. DIAGNOSIS BANDING Ensefalitis Rabies

VII. DIAGNOSIS Tetanus generalisata

VIII. PENATALAKSANAAN 1. Umum 2. Tirah baring Penderita ditempatkan di ruang isolasi

Medikamentosa Infuse Dextrose 5% XX gtt/menit Diazepam ATS : IV tiap 8 jam 1 ampul dan drip (1 flabot 4 ampul) : IV selama 7 hari, 1x/hari 1 vial (20.000 IU)
8

Ceftriaxone

: IV 2x/hari 1 vial

IX. PROGNOSA Quo ad Vitam Quo ad Fungtionam : Dubia ad Malam : Dubia ad Malam

Follow up tanggal 04 Juni 2012 S : kejang (+) semenjak masuk rs (> 5x/ 12 jam), demam (-), mulut dan rahang masih terasa kaku, perut terasa tegang O: TD Nadi RR : 120/80 mmHg : 84x/menit : 28x/menit

Suhu : 37,20C GCS : E4M6V5 =15

Pemeriksaan Nervus Kranialis N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III N.IV N.VI) Kelopak mata Ptosis Endophtalmus Exopthalmus Pupil Ukuran Bentuk Isokor/anisokor Posisi Refleks cahaya : (2 mm / 2 mm) : (Bulat / Bulat) : (Isokor / Isokor) : (Sentral / Sentral) : (+/+) : (-/-) : (-/-) : (-/-)

Gerakan bola mata


9

Medial, lateral Superior, inferior Obliqus, superior Obliqus, inferior

: DBN : DBN : DBN : DBN

N.Fascialis (N.VII) Inspeksi wajah sewaktu Diam Senyum Meringis Menutup mata : Simetris : Tidak dapat dilakukan : Tidak dapat dilakukan : Simetris

Pasien disuruh untuk Mengerutkan dahi Mengangkat alis Menutup mata kuat-kuat N.Hipoglossus (N.XII) Deviasi Kekuatan otot Tonus Klonus : Tidak bisa dinilai : Tidak bisa dinilai karena spasme : Kaku : Tidak dilakukan : Simetris : Tidak dapat dilakukan : Simetris

Refleks fisiologis: Biceps Triceps (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan) Pattela Achiles (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan)

Refleks patologis: Babinsky (Tidak dilakukan) Chaddock (Tidak dilakukan)

10

Oppenheim Schaefer

(Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan)

Gordon Hoffman trommer

(Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan)

Pemeriksaan Khusus Muka Mulut Abdomen Chvosteks sign Epistotonus Kaku kuduk : Risus sardonikus (+) : Trismus (+) : Perut tegang seperti papan/defans musculer (+) : (-) : (+) : (+)

A: Tetanus generalisata P : Umum Tirah baring Penderita ditempatkan di ruang isolasi

Medikamentosa Infuse Dextrose 5% XX gtt/menit Diazepam ATS Ceftriaxone : IV tiap 8 jam 1 ampul dan drip (1 flabot 4 ampul) : IV selama 7 hari, 1x/hari 1 vial (20.000 IU) : IV 2x/hari 1 vial

Follow up tanggal 05 Juni 2012 S : kejang (+), demam (+), mulut dan rahang masih terasa kaku, perut terasa tegang O: TD Nadi RR : 130/70 mmHg : 78x/menit : 20x/menit

Suhu : 38,60C GCS : E4M6V5 =15


11

Pemeriksaan Nervus Kranialis N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III N.IV N.VI) Kelopak mata Ptosis Endophtalmus Exopthalmus Pupil Ukuran Bentuk Isokor/anisokor Posisi Refleks cahaya : (2 mm / 2 mm) : (Bulat / Bulat) : (Isokor / Isokor) : (Sentral / Sentral) : (+/+) : (-/-) : (-/-) : (-/-)

Gerakan bola mata Medial, lateral Superior, inferior Obliqus, superior Obliqus, inferior N.Fascialis (N.VII) Inspeksi wajah sewaktu Diam Senyum Meringis Menutup mata : Simetris : Tidak dapat dilakukan : Tidak dapat dilakukan : Simetris : DBN : DBN : DBN : DBN

Pasien disuruh untuk Mengerutkan dahi Mengangkat alis Menutup mata kuat-kuat : Simetris : Tidak dapat dilakukan : Simetris
12

N.Hipoglossus (N.XII) Deviasi Kekuatan otot Tonus Klonus : Tidak bisa dinilai : Tidak bisa dinilai karena spasme : Kaku : Tidak dilakukan

Refleks fisiologis: Biceps Triceps (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan) Pattela Achiles (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan)

Refleks patologis: Babinsky Oppenheim Schaefer (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan) Chaddock Gordon Hoffman trommer (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan) (Tidak dilakukan)

Pemeriksaan Khusus Muka Mulut Abdomen Chvosteks sign Epistotonus Kaku kuduk : Risus sardonikus (+) : Trismus (+) : Perut tegang seperti papan/defans musculer (+) : (-) : (-) : (+)

A: Tetanus generalisata P : Umum Tirah baring Penderita ditempatkan di ruang isolasi

Medikamentosa Infuse Dextrose 5% XX gtt/menit Diazepam ATS Ceftriaxone : IV tiap 8 jam 1 ampul dan drip (1 flabot 4 ampul) : IV selama 7 hari, 1x/hari 1 vial (20.000 IU) : IV 2x/hari 1 vial
13

TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi otot yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratories C. tetani atau toksinnya dengan atau tanpa riwayat trauma (Dire, 2011). B. Sejarah Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya meregang. Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian mendeskripsikan tetanus sebagai penderitaan manusia yang tiada akhir. Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada hewan. Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama Perang Dunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II (Ang,2003: Dire,2011: Farrar,2000).

14

Gambar episthotonus

C. Epidemiologi Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material organik. Tanah dan usus manusia serta hewan merupakan reservoir spora C. tetani .Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi pada musim panas atau hujan. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia (Ang,2003:Ogunrin,2009). Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik. Faktor risiko lainnya meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga tengah (Cottle, 2011). Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan di negara kurang berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 40-50% mortalitas akibat tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan kondisi higiene persalinan yang buruk dan praktik sosial atau tradisi seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat bayi di India (Hinfey,2011: Bhatia,2002). Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya imunisasi aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun 1974 terjadi101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun 1998-2000 terjadi ratarata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap. Insiden tetanus pada orang dengan
15

imunisasi lengkap sangat jarang yaitu 4:100.000.000. Secara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus terjadi antara bulan April-September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan >50 tahun dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis residual jarang ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan tekanan darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung (Edlich, 2003: Hinfey,2011).

D. Etiologi Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus (Ang,2003). Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan didalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20 menit pada suhu 1210 C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi menggunakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu 1600C) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat membunuh spora (Edlich, 2003) . Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi (Ang,2003). Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi

16

terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda asing, (b) crushed injury, dan (c) infeksi supuratif (Ang,2003).

Gambar.Pewarnaan gram Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat badan (Ang,2003). E. Patogenesis Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing. Adanya organism lain juga mempercepat transformasi spora ke bentuk vegetatif. Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari sistem saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis (Edlich,2003). C.tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang kehadirannya di jaringan sulit dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat dikultur dari darah. Bakteri ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa

17

supurasi. Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima persen dari berat bakteri. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 150-kDa yangtidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan dengan berat molekul 50kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino menciptakan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri (Edlich,2003: Hinfey,2011: Cook,2001).

Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh.Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinap tobrevin, senyawa yang penting dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang menginhibisi alfa motorneuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural retrograde yang lebih lanjut terjadi dan toksin mencapai batang otak dan diensefalon (Hinfey,2011: Cook,2001). Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan striknin (Ang,2003:Edlich,2003). Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disnhibitor
18

motoneuron melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat menyebabkan terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah penyembuhan (Cook,2001). Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang,wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai (Dire,2011:Bhatia, 2002:Cook,2001). Gambar mekanisme kerja tetanospasmin

F. Manifestasi klinis Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus. Pada 30% pasien tidak tampak adanya tempat masuk (portal of
19

entry). Tetanus telah diidentifikasi setelah berbagai cidera jaringan, termasuk injeksi intravena dan intramuskular, akupunktur, tindik telinga, dan bahkan luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya (Edlich,2003:Cottle, 2011). 1. Tetanus local Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1% (Ang, 2003:Edlich, 2003). 2. Tetanus sefalik Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general.Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi, yaitu 15-30% (Ang,2003: Dire,2011: Bhatia,2002).

3.

Tetanus general Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-40 C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti

20

busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan(Edlich,2003). Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara,cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan pada pasienusia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapatmenyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi kehipotensi serta takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung (Edlich,2003).

Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalaminyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular junction yang baru (Ang,2003).

G. Diagnosis Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam
21

derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (Edlich,2003:Farrar,2000). Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80 C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur

diinokulasi (Edlich,2003). Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap

protektif (Edlich,2003:Ogunrin,2009). Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis (Bhatia,2002: Sjamsuhidajat,2005). Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor >18 tetanus berat.

22

Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada distress pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.

Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30 kali/menit, disfagia ringan.

Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea 40 kali/menit,apneic spell, disfagia berat, takikardia 120 kali/menit.

Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.

H. Diagnosis banding Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus. Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar. Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat di eksklusi dengan pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan otot-otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan kadar kalsium serum dapat mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi terhadap fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yangtidak ditemukan pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada keracunan striknin harus digali kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan pembunuhan. Selain itu, pada

23

keracunan striknin trismus muncul lebih lambat sert atanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan tetanus (Edlich,2003). I. Penatalaksanaan Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi (Bhatia,2002: Cook,2001). Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme (Edlich,2003). Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human tetanus immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat HTIG untuk tetanus. Bhatia menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara

intramuskular, sedangkan dosis yang disarankan dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU (Taylor, 2006). Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa(20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dariserum kuda sehingga berpotensi
24

besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf (Ritarwan,2004:

Afshar,2011). Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antagonis reseptor GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murahdan penetrasi lebih baik ke jaringan anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mgsetiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap Metronidazole adalah Doksisiklin 100mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida, Klindamisin, Sefalosporin, danKloramfenikol juga efektif Pada perawatan luka dilakukan debridemen luka dengan membuang benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogenperoksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik (Ritarwan,2004: Afshar,2011). Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas. Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama untuk mencapai sedasi. Dosis benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100 mg/jam intravena. Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital yang meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan digunakan dengan dosis aw1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk dewasa diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila spasme menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari diberikan intravena. Klorpromazin dosis 4-12 mguntuk bayi atau 50150 mg untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam dapat digunakan untuk mengendalikan kejang tetani (Edlich 2003: Taylor,2006). Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin. Meskipun morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek dan analgesik
25

penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan dengan beberapa efek samping. Propofol juga telah digunakan dalam manajemen tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena untuk mencapai konsentrasi plasma yang adekua tmembutuhkan ventilasi mekanis (Taylor,2006). Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme adalah magnesium sulfat dan baklofen. Magnesium bekerja sebagai antagonis kalsium dan dalam penggunaannya harus dimonitor refleks patella, respiratory rate , serta tanda-tanda hipokalsemia seperti tanda Chvostek dan Trousseau yang positif. Pemberiannya didahului dengan loading dose 5 mg diberikan selama 20 menit diikuti Maintenance dose 2 gram/jam. Magnesium sulfat tidak boleh digunakan pada pasien dengan gagal ginjal berat. Baklofen merupakan agonis GABA fisiologis yang menstimulasi reseptor GABA post-sinaptik sehingga mengembalikan inhibisi fisiologis motor neuron. Pemberiannya secara intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg untuk orang dewasa < 55 tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan awalnya dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien atau diberikan dengan infus kontinyu apabila dibutuhkan. Dantrolene merupakan relaksan otot kerja langsung yang bekerja dengan menginhibisi pelepasan kalsium dari reticulum sarkoplasma dan seara langsung mempengaruhi coupling eksitasi-kontraksi. Dantrolene telah digunakan dalam beberapa kasus dan memiliki keuntungan karena

tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi Dantrolene belum dapat direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena belum banyak penelitian melibatkan obat ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot yang tidak dapat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan pemberian agen blokade

neuromuskuler,diantaranya atrakurium dan vekuronium. Vekuronium memiliki sifat kardiostabil (Bhatia,2002: Taylor,2006). Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan

bradikardia.Overaktivitas parasimpatetik dapat menyebabkan henti sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus vagal oleh toksin. Atropin dosis

26

tinggi (hingga100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia merupakan manifestasi utama (Taylor,2006). Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik terutama menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin. Blokade beta, meskipun secara teoritis berguna mengontrol episode hipertensi dan

takikardia,berhubungan dengan kolaps kardiovaskular tiba-tiba, edema pulmoner, dan kematian.Obat lain yang telah digunakan termasuk klonidin dan magnesium. Klonidin merupakan agonis 2 -adrenergik yang menurunkan aliran simpatis, tekanan arteri, denyut jantung,dan pelepasan katekolamin. Klonidin dapat diberikan secara oral dan parenteral. Magnesium telah meningkat penggunaannya sebagai terapi multimodal tetanus. Magnesium bekerja melalui beberapa cara diantaranya memblok pelepasan katekolamindari saraf dan medula adrenal dan mengurangi respon reseptor terhadap katekolamin.Magnesium juga merupakan bloker neuromuskular presinaptik sehingga berguna untuk mengontrol rigiditas dan spasme. Dosis yang direkomendasikan adalah 20 mmol/jam dan disesuaikan untuk mencapai konsentrasi plasma 2,5-4,0 mmol/liter.

27

DAFTAR PUSTAKA Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: Tetanus - A HealthThreat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med .2011;154:329-35. Ang J. 2003. Tetanus. (Online).www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf , diakses 21 Mei 2012. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India . 2002;50:398-407. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British Journalof Anaesthesia. 2001;87(3):477-87. Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection, diakses 21 Mei 2012. Dire DJ. Tetanus in Emergency Medicine. .http://emedicine.medscape.com/article/786414overview, diakses 21 Mei 2012. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical Implants. 2003;13(3):139-54. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. NeurologicalAspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.2000;69:292 301. Hinfey PB. Tetanus.http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview, diakses 21 Mei 2012. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal f Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61. Ritarwan K. 2004. Tetanus. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysarafkiking2.pdf ,diakses 06 juni 2012. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
28

Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain. 2006;6(3):101-4.

29

Anda mungkin juga menyukai