Anda di halaman 1dari 11

EVALUASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH SAKIT (Studi Kasus : Rumah Sakit Umum Dr.

Pirngadi Medan)
Muhammad Iqbal1, Ir. Terunajaya, M.Sc2
1

Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl. Perpustakaan No. 1 Kampus USU Medan Email : ibalharahap@yahoo.com

Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara, Jl. Perpustakaan No.1 Kampus USU Medan

ABSTRAK

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengevaluasi sarana bangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Pengolahan air limbah di IPAL RSU Dr. Pirngadi Medan ini menggunakan sistem lumpur aktif, dimana proses ini menggunakan bantuan mikroba untuk menurunkan kadar racun (BOD, COD dll) di dalam air limbah sehingga effluen yang dikeluarkan tidak berbahaya bagi lingkungan. Dari report tahunan rumah sakit diketahui adanya peningkatan jumlah pasien rawat inap yang berdampak pada peningkatan volume limbah cair sebesar 261 m3/hari. Dari hasil evaluasi dan perhitungan yang telah dilakukan terhadap kapasitas limbah 261 m3/hari, diketahui bahwa kandungan BOD dan COD yang tereduksi di dalam IPAL dengan sistem FBBR lumpur aktif mengalami penurunan ataupun berkurang yang mencapai sebesar 92,94%. KATA KUNCI : RSU Dr. Pirngadi, Air Limbah, BOD dan COD

ABSTRACT
The purpose of this paper is to evaluate the means of building Wastewater Treatment Plant (WWTP) at the General Hospital Dr. Pirngadi Medan. Wastewater treatment in WWTP RSU Dr. This field Pirngadi using activated sludge system, where the process is to use aid to reduce levels of toxic microbes (BOD, COD, etc.) within the waste water so that the effluent released is not harmful to the environment. The annual report of the hospital is known to increase the number of inpatients who have an impact on the increased volume of 261 m3/day of wastewater. From the results of evaluations and calculations that have been made to the capacity of 261 m3/day waste, it is known that the content of BOD and COD were reduced in the WWTP activated sludge system FBBR decreased or diminished the reach of 92.94%. KEYWORDS : RSU Dr. Pirngadi Medan, Wastewater, BOD and COD

1. PENDAHULUAN
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi atau kegiatan industri obat-obatan maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Air limbah yang berasal dari daerah perkotaan merupakan bahan pencemar bagi mahluk hidup sehingga dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Untuk menjamin supaya terdapat keseimbangan ekologis dari alam dan mahluk hidup di sekitarnya maka air limbah tersebut perlu diolah di instalasi pengolahan sebelum dialirkan ke sungai penerima. Sistem pengolahan air limbah yang digunakan sangat tergantung pada tinggi rendahnya bahan pencemar yang terkandung di dalam air limbah. Parameter yang umum dipakai untuk menunjukkan tingkat pencemaran adalah BOD (kebutuhan oksigen biokimia), COD (kebutuhan oksigen kimia), TSS (jumlah zat padat tersuspensi) dan MPN (Most probable number coliform).

2. DASAR TEORI 2.1. Proses Dasar Metode Lumpur Aktif


Menurut definisinya, proses dasar pengolahan limbah lumpur aktif, seperti yang terlihat pada gambar 2.1 dan 2.2, terdiri dari 3 (tiga) komponen dasar, yaitu : 1) Sebuah reaktor dimana mikroorganisme yang bertanggung jawab dalam proses pengolahan disimpan dalam suspensi dan diberi udara 2) Pemisahan limbah cair dan padatan, biasanya di dalam bak pengendapan 3) Sistem daur ulang untuk mengembalikan padatan yang telah dihilangkan dari bak pengendapan kembali ke reaktor.

Pengendap Awal limbah

tangki aerasi Pengendap akhir limbah keluar

lumpur lumpur aktif kembali lumpur Gambar 2.1. Skema lumpur aktif konvensional model 1

Pengendap Awal

tangki aerasi

limbah

Pengendap akhir

limbah keluar lumpur lumpur aktif kembali lumpur Gambar 2.2. Skema lumpur aktif konvensional model 2 Secara umum proses pengolahannya adalah sebagai berikut. Air limbah yang berasal dari sumber pembuangan ditampung ke dalam bak penampung air limbah. Bak penampung ini berfungsi sebagai bak pengatur debit air limbah serta dilengkapi dengan saringan kasar untuk memisahkan kotoran yang besar. Kemudian, air limbah bak penampung di pompa ke bak pengendapan primer (awal). Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan tersuspensi ( Suspended Solids) sekitar 30 40 %, serta BOD sekitar 25 %. Air limpasan dari bak pengendap awal dialirkan ke bak aerasi secara gravitasi. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembus dengan udara sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada di dalam air limbah. Energi yang didapatkan dari hasil penguraian zat organik tersebut digunakan oleh mikroorganisme untuk proses pertumbuhannya. Dengan demikian di dalam bak aerasi tersebut

akan tumbuh dan berkembang biomassa dalam jumlah yang besar. Biomasa atau mikroorganisme inilah yang akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah. Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagan inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Air limpasan (over flow) dari bak pengendap akhir dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh mikroorganisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan proses ini air limbah dengan konsentrasi BOD 250 300 mg/l dapat diturunkan kadar BOD nya menjadi 20 30 mg/l.

2.2. Variabel Operasional Dalam Proses Lumpur Aktif


Variabel perencanaan (design variable) yang umum digunakan dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif adalah sebagai berikut : 1. Beban BOD (BOD Loading Rate atau Volumetric Loading Rate ). Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air limbah yang masuk (influent) dibagi dengan volume reaktor. Beban BOD dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Beban BOD = kg/m3.hari (2.1) Dimana : Q S0 = debit air limbah yang masuk (m3/hari) = konsentrasi BOD di dalam air limbah yang masuk ( kg/m3) V 2. = volume reaktor (m3)

3.

4.

Mixed-liquor suspended solids (MLSS). Isi di dalam bak aerasi pada proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed liquor yang merupakan campuran antara air limbah dengan biomassa mikroorganisme serta padatan tersuspensi lainnya. MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di dalamnya adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur 105 0 C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang. Mixed-liquor volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel. MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 650oC, dan nilainya mendekati 65 75 % dari MLSS. Food-to-microorganism ratio atau Food-to-mass ratio disingkat F/M Ratio. Parameter ini menunjukkan jumlah zat organik (BOD) yang dihilangkan dibagi dengan jumlah massa mikroorganisme di dalam bak aerasi atau reaktor. Besarnya nilai F/M ratio umumnya ditunjukkan dalam kilogram MLLSS per hari. F/M dehitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : F/M Dimana : Q S0 = laju air limbah m3 per hari = konsentrasi BOD di dalam air limbah yang masuk ke bak Aerasi (reaktor) (kg/m3) S = konsentrasi BOD di dalam effluent (kg/m3) = volume reaktor atau bak aerasi (m3) MLSS = Mixed-liquor suspended solids (kg/m3) V = (2.2)

Rasio F/M dapat dikontrol dengan cara mengatur laju sirkulasi lumpur aktif dari bak pengendapan akhir yang disirkulasi ke bak aerasi. Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/Mnya. Untuk pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif konvensional atau standar, rasio F/M adalah 0,2 0,5 kg BOD5 per kg MLSS per hari, tetapi dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni. Rasio F/M yang rendah menujukkan bahwa mikroorgansme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M maka pengolah limbah semakin efisien.

5.

Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk ke dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran. HRT = 1/D = V/Q (2.3) Dimana : V Q = volume reaktor atau bak aerasi (m3) = debit air limbah yang masuk ke dalam tangki aerasi (m3/jam) D = laju pengenceran (jam-1)

6.

7.

Rasio sirkulasi lumpur (Hydraulic recycle ratio, HRR). Rasio sirkulasi lumpur adalah perbandingan antara jumlah lumpur yang disirkulasikan ke bak aerasi dengan jumlah air limbah yang masuk ke dalam bak aerasi. Umur lumpur (sludge age) atau sering disebut waktu tinggal rata-rata cel (mean cell residence time). Parameter ini menunjukkan waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam bak aerasi dapat dalam hitungan hari. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Umur lumpur (hari) = (2.4) Dimana : MLSS = Mixed-liquor suspended solids (mg/l) V SSe SSw Qe Qw = volume bak aerasi (L) = padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l) = padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l) = laju effluent limbah (m3/hari) = laju influent limbah (m3/hari)

2.3. Hidrolika Pipa Bertekanan


Suatu pipa bertekanan adalah pipa yang dialiri dalam keadaan penuh. Pipa semacam ini seringkali lebih murah daripada saluran atau talang air, karena pada umumnya mengambil lintasan yang lebih pendek. Bila air langka didapat, pipa bertekanan dapat digunakan untuk menghindari kehilangan air akan rembesan dan penguapan yang dapat terjadi pada saluran terbuka. Persamaan energi antara penampang A dan B pada gambar 2 dibawah dapat ditulis sebagai : (2.5) dimana z adalah jarak tegak di atas suatu bidang persamaan mendatar, p/ adalah tinggi tekanan air, V adalah kecepatan aliran rata-rata, hp adalah tinggi tekanan energi yang diberikan oleh pompa kepada air, dan hL adalah kehilangan tinggi tekanan keseluruhan antara penampang A dan B.

Gambar 2.3. Bagan penjelasan aliran pipa

2.4. Kehilangan Energi Akibat Gesekan Pipa


Apabila pipa mempunyai penampang konstan, maka V 1 = V 2, dan persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk yang lebih sederhana untuk kehilangan tenaga akibat gesekan. (2.6) Atau (2.7) Kehilangan tenaga sama dengan jumlah dari perubahan tekanan dan tinggi tempat.

Gambar 2.4. Penurunan Rumus Darcy-Weisbach Seperti terlihat pada gambar 2.4, tampang lintang aliran melalui pipa adalah konstan yaitu A, sehingga percepatan a = 0. Tekanan pada tampang 1 dan 2 adalah p1 dan p2. Jarak antar tampang 1 dan 2 adalah L. Gaya-gaya yang bekerja pada zat cair adalah gaya tekanan pada kedua tampang, gaya berat dan gaya gesekan. Dengan menggunakan hukum Newton II untuk gaya-gaya tersebut akan didapat : F=Ma p1A - p2A+ AL sin - o PL =M x 0 Dengan P adalah keliling basah pipa. Oleh karena selisih tekanan adalah p1 maka : pA + AL sin - o PL = 0 Kedua ruas dibagi dengan A, sehingga : (2.8)

dengan z = L sin , R = A/P adalah jari-jari hidrolis dan I = hf /L adalah kemiringan garis energi. Untuk pipa lingkaran:

sehingga persamaan diatas menjadi: (2.9) Persamaan yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukan bahwa kehilangan tenaga sebanding dengan V n di mana n 2. Untuk aliran melalui pipa dengan dimensi dan za t cair tertentu, persamaan (2.9) menunjukan bahwa hf sebanding dengan o. Dengan demikian apabila hf = f (V 2) berarti juga o = f (V 2).

Dengan anggapan bahwa : o = CV 2 dengan C adalah konstanta, maka persamaan (2.10) menjadi : (2.11) Dengan mendefinisikan f = 8C/ maka persamaan di atas menjadi : (2.11) Apabila panjang pipa adalah L, maka persamaan (2.11) menjadi : (2.12) Persamaan (2.12) disebut dengan persamaan Darcy-Weisbach untuk aliran melalui pipa lingkaran. Dalam persamaan tersebut f adalah koefisien gesekan Darcy-Weisbach yang tidak berdimensi. Koefisien f adalah merupakan fungsi dari angka Reynolds dari kekasaran pipa. Pada tahun 1944 Moody memperkenalkan suatu grafik yang mempermudahkan dalam penentuan nilai f. Grafik ini kemudian dikenal dengan Moody Diagram. (2.10)

Gambar 2.5. Diagram Moody untuk memperkirakan nilai f pipa Sumber : Teknik Sumber Daya Air Jilid 1, Ray K. Linsey, 1986 Alternatif lain untuk menentukan nilai f dengan menggunakan koefisien manning, Chezy atau Hazenwilliams. (2.13) (2.14) dimana : f = koefisien gesekan Darcy-Weisbach yang tidak berdimensi d = diameter pipa

n CH

= koefisien manning = koefisien Hazen-Williams

Tabel 2.1. Koefisien Manning untuk beberapa jenis pipa Type of pipe Mannings n Galvanized iron 0,015 0,017 Corrugated metal 0,023 0,029 Steel formed concrete 0,012 0,014 Plastic (smooth) 0,011 0,015 PVC 0,009 0,010 Sumber : Brater et al. (1996); ASCE (1976) Tabel 2.2. Koefisien Hazen-Williams, CH Type of pipe Mannings n PVC, glass or enameled steel pipe 130 150 Riveted steel pipe 100 110 Cast iron pipe 95 100 Smooth concrete pipe 120 140 Rough pipe (e.g., rough concrete pipe) 60 80 Sumber : Brater et al. (1996); ASCE (1976)

2.5. Kehilangan Tenaga Sekunder Dalam Pipa


Di samping adanya kehilangan tenaga akibat gesekan (kehilangan tenaga primer), terjadi pula kehilangan tenaga yang disebabkan oleh perubahan penampang pipa, sambungan, belokan dan katub (kehilangan tenaga sekunder). Pada pipa panjang, kehilangan tenaga primer biasanya jauh lebih besar dari pada kehilangan tenaga sekunder, sehingga pada keadaan tersebut kehilangan tenaga sekunder dapat diabaikan. Pada pipa pendek kehilangan tenaga sekunder harus diperhitungkan. Apabila kehilangan tenaga sekunder kurang 5 % dari kehilangan tenaga primer maka kehilangan tenaga tersebut bisa diabaikan. a. Kehilangan energi akibat penyempitan (contraction) (2.15) dimana : Hc = tinggi hilang akibat penyempitan Kc = koefisien kehilangan energi akibat penyempitan V2 = kecepatan rata-rata aliran dengan diameter D2 (yaitu di hilir dari penyempitan) Nilai dari Kc untuk berbagai nilai D2 / D1 tercantum pada tabel di bawah Tabel 2.3. Nilai Kc untuk berbagai nilai D2 / D1 D2/D1 Kc 0 0,5 0,2 0,45 0,4 0,38 0,6 0,28 0,8 0,14 1,0 0,00

Sumber : Hidraulika II, Bambang Triadmodjo, 2003 b. Kehilangan energi akibat pembesaran tampang (expansion) (2.16) di mana (2.17) Apabila pipa masuk ke kolam yang besar seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.6, di mana A2 = sehingga V2 = 0 maka : (2.18)

Kehilangan tenaga pada perbesaran penampang akan berkurang apabila perbesaran dibuat secara berangsur-angsur seperti ditunjukkan dalam gambar 2.7, kehilangan tenaga diberikan oleh persamaan berikut : (2.19) dimana : HB = tinggi hilang akibat perbesaran penampang K = koefisien kehilangan energy akibat perbesaran penampang V1 = kecepatan rata-rata aliran dengan diameter D1 (diameter kecil) V2 = kecepatan rata-rata aliran dengan diameter D2 (diameter besar)

Gambar 2.6. Pipa menuju kolam

Gambar 2.7. Perbesaran penampang berangsur-angsur dengan nilai K tergantung pada sudut yang diberikan pada tabel 2.4. Tabel 2.4. Nilai K untuk berbagai nilai 100 200 300 400 500 600 0,078 0,31 0,49 0,60 0,67 0,72 Kc Sumber : Hidraulika II, Bambang Triadmodjo, 2003 750 0,72

Kehilangan energi akibat belokkan pipa Kehilangan tenaga yang terjadi pada belokkan tergantung pada sudut belokkan pipa. Rumus kehilangan tenaga pada belokkan adalah sama dengan rumus pada perubahan penampang, yaitu : (2.20) dimana : Hb = tinggi hilang akibat belokan pipa Kb = koefisien kehilangan energy akibat belokan pipa V = kecepatan rata-rata aliran

c.

Gambar 2.8. Belokan pada pipa dengan Kb adalah koefisien kehilangan tenaga pada belokkan, yang diberikan oleh tabel 2.5. Tabel 2.5. Nilai Kb untuk berbagai nilai 0 0 0 0 20 40 60 80 Kc 0,05 0,14 0,36 0,74 Sumber : Hidraulika II, Bambang Triadmodjo, 2003

90 0,98

Untuk sudut belokkan 90o dan dengan belokkan halus (berangsur-angsur), kehilangan tenaga tergantung pada perbandingan antara jari-jari belokkan dan diameter pipa. Nilai Kb untuk berbagai nilai R/D diberikan dalam tabel 2.6.

Gambar 2.9. Perbandingan nilai R/D untuk menentukan nilai K Tabel 2.6. Nilai Kb untuk berbagai nilai R/D 1 2 4 6 10 16 Kc 0,35 0,19 0,17 0,22 0,32 0,38 Sumber : Hidraulika II, Bambang Triadmodjo, 2003 d. Tinggi energi akibat valve (2.21) dimana : Kv adalah koefisien tinggi hilang di valve, Nilai ini sangat bergantung pada jenis valve dan bukaannya.

20 0,42

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari proses perhitungan yang telah dilakukan, kualitas air limbah sebelum dan sesudah pengolahan menunjukkan bahwa konsentrasi BOD turun dari 428,62 mg/L menjadi 27,895 mg/L, konsentrasi COD di dalam air limbah 896,304 mg/L turun menjadi 68,185 mg/L. Hasil perhitungan berbeda dengan hasil uji laboratorium, tetapi bila dibandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 1995 tentang baku mutu air limbah bagi rumah sakit, maka di dapat kesimpulan bahwa kualitas BOD dan COD telah memenuhi syarat yang ditentukan (seperti terlihat pada tabel 3.1 dan tabel 3.2). Tabel Unit Pengolahan Buffer Basin 3.1. Evaluasi terhadap pengolahan BOD dan COD IPAL RSUPM BOD COD BOD keluar COD keluar Efisiensi masuk masuk (mg/ ) (mg/ ) Pengolahan ( (mg/ ) (mg/ ) 428,62 896,304 351,468 98,412 51,1732 35,31 27,895 734,969 227,84 113,908 83,153 68,185 18 % 70,5 % 49 % 29 % 19,5 %

FBBR Basin 351,468 734,969 Settling Basin 98,412 227,84 Treated Water 51,1732 113,908 Disinfectant 35,31 83,153 Sumber : Hasil Uji Laboratorium (lampiran D) Tabel 3.2

Perbandingan antara hasil analisa dengan hasil uji laboratorium limbah cair IPAL RSU Dr. Pirngadi Medan KEP58/MENLH/12/1995 Kadar (mg/ ) Hasil analisa Kadar (mg/ ) Hasil uji laboratorium. Kadar (mg/ ) 27,895 68,185 Keterangan Ok ! Ok !

Parameter

BOD5 75 28,248 COD 100 66,185 Sumber : Kepmen LH, Hasil Perhitungan dan Hasil Uji Lab. FMIPA

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Setelah dilakukan pegamatan dan evaluasi terhadap pengolahan air limbah rumah sakit pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada RSUD dr. Pirngadi Medan, maka didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari report tahunan rumah sakit diketahui adanya peningkatan jumlah pasien rawat inap yang berdampak pada peningkatan volume limbah cair sebesar 261 m3/hari. 2. Untuk pengolahan limbah padat rumah sakit ini dilengkapi dengan satu unit Incenerator yang juga digunakan untuk mengolah limbah padat dari Rumah Sakit Pirngadi, puskesmas dan klinik laboratorium yang berada di kota Medan dan sekitarnya. 3. Untuk pengolahan limbah cair rumah sakit ini dilengkapi dengan satu bangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Instalasi limbah ini menggunakan metode lumpur aktif (active sludge). 4. Dari hasil evaluasi yang dilakukan, untuk kapasitas limbah 261 m3/hari, ada beberapa unit pengolahan yang harus didesain ulang agar sistem pengolahan dapat berlangsung efektif yang antara lain adalah; Raw Water Basin, Fluidized Bed Biofilm Reactor, penambahan bola sebagai media tumbuh mikroba, serta penambaan volume senyawa khlor pada desinfectan basin. 5. Dari hasil evaluasi dan perhitungan yang telah dilakukan terhadap kapasitas limbah 261 m3/hari, diketahui bahwa kandungan BOD dan COD yang tereduksi di dalam IPAL dengan sistem FBBR dan lumpur aktif mengalami penurunan ataupun berkurang yang mencapai sebesar 92,94 % 6. Untuk BOD dari 428,62 mg/lt menjadi 27,895 mg/ Untuk COD dari 896,304 mg/lt menjadi 68,185 mg/

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-58/MENLH/12/1995 tentang baku mutu limbah cair buangan rumah sakit, kualitas BOD dan COD buangan hasil olahan pada IPAL ini sudah memenuhi syarat yang ditetapkan yakni maksimal 75 mg/l dan 100 mg/l.

Dari hasil studi yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang mungkin bisa meningkatkan efektifitas pengolahan limbah di rumah sakit tersebut : 1. Dengan kondisi IPAL yang ada saat ini, bila dibandingkan dengan peningkatan jumlah pasien yang di rawat inap yang berdampak pula pada peningkatan limbah cair yang di hasilkan, tentunya bangunan IPAL yang ada saat ini kurang bisa mengolah dengan baik. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan dari pihak manajemen rumah sakit mengenai hal ini. 2. Perlu adanya peningkatan kualitas SDM yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional pengolahan limbah. 3. Kualitas limbah cair yang dibuang haruslah tetap dijaga agar memenuhi standard yang ditetapkan dan pengujian laboratorium terhadap limbah haruslah dilakukan secara berkala.

DAFTAR PUSTAKA
Doni Akbar, M, 2011, Evaluasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit (Studi Kasus Rumah Sakit Umum DR. Djasamen Saragih Pematang Siantar), Departemen Teknik Sipil USU. Giles, R.V, 1976, Mekanika Fluida & Hidraulika Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.76/Menkes/SK/viii/2001 Tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan. Kodoatie, J. Robert, 2002, Hidrolika Terapan : Aliran Pada Saluran Terbuka dan Pipa, Penerbit Andi, Yogyakarta. Linsey, Ray K, Franzini, J. B. dan Sasongko, D, 1986, Teknik Sumber Daya Air. jilid I dan II, Penerbit Erlangga, Jakarta. Mastura Siregar, Chadijah, 1997, Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah di Suatu Kawasan Industri di Kota Medan, Jurusan Teknik Lingkungan ITB. Metcalf & Eddy, 2003, Wastewater Engineering, Treatment And Reuse, McGraw-Hill Companies, Inc. Amerika Serikat. Raswari, 1986, Teknologi Dan Perencanaan Sistem Perpipaan, UI Press, Jakarta. Soemarto, C. D, 1995, Hidrologi Teknik, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai