Anda di halaman 1dari 13

Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang

(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang

Muhammad Rizky
Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako (Untad) Palu
Email : muhrizky051@gmail.com

I Wayan Sutapa
Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako (Untad) Palu

ABSTRACT
In the hydrological cycle of rain is an important factor for determining water capacity in a watershed
(DAS). Information on rainfall data is very important and needed in the development of water resources, both in
planning and design. Geographically Lariang watershed is located at 1°10’ South Latitude - 2o29’ South
Latitude and 119°16’ East Longitude - 120°31’ East Longitude as for the location of the rain Station which will
be used as research including Gintu Station, Wuasa Station, Watumaeta Station, Station Oo Parese and Tompi
Bugis Station. The data used are daily rainfall data for 2005 - 2017, which were obtained from the Sulawesi
River Region III. The method used to search for missing data is the normal ratio method, and reciprocal method.
From the results of research conducted in mind that the location of the station has been in accordance with the
terms of the rain–technical terms, but the data lapses had occurred due to the void of the rainfall data, in order to
avoid irregularities of rainfall data the charging is performed on an empty data. Based on the results of the
research the cause of the occurrence of rainfall data void caused by the destruction of the rain logger tool.
Keywords : Rainfall, Watershed, Lariang, Normal Ratio Method and Reciprocal Method.

ABSTRAK
Dalam siklus hidrologi hujan merupakan faktor penting untuk menentukan kapasitas air di suatu Daerah
Aliran Sungai (DAS). Informasi data curah hujan sangat penting dan diperlukan dalam pengembangan sumber
daya air, baik itu dalam perencanaan maupun perancangan. Secara geografis DAS Lariang terletak pada 1°10’
LS - 2o29’ LS dan 119°16’ BT - 120°31’ BT adapun lokasi Stasiun hujan yang akan dijadikan sebagai penelitian
diantaranya Stasiun Gintu, Stasiun Wuasa, Stasiun Watumaeta, Stasiun Oo Parese dan Stasiun Tompi Bugis.
Data yang digunakan adalah data curah hujan harian tahun 2005 – 2017, yang diperoleh dari Balai Wilayah
Sungai Sulawesi III. Metode yang digunakan untuk mencari data yang hilang yaitu metode normal ratio, dan
metode reciprocal. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa lokasi Stasiun hujan telah sesuai
dengan syarat–syarat teknis, namun telah terjadi penyimpangan data yang disebabkan adanya kekosongan data
curah hujan, untuk menghindari penyimpangan data curah hujan dilakukan pengisian pada data yang kosong.
Berdasarkan hasil penelitian penyebab terjadinya kekosongan data curah hujan disebabkan oleh rusaknya alat
pencatat hujan.
Kata kunci: Curah hujan, Daerah Aliran Sungai, Lariang, Metode Normal Ratio dan Metode Reciprocal.

1
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

1. PENDAHULUAN evaporasi, runoff dan infiltrasi. Satuan CH


Data curah hujan sangat diperlukan adalah mm, inch.
dalam perencanaan bangunan air seperti sistem
drainase, irigasi, bendungan, tanggul penahan 2.2.1 Kondisi Curah Hujan
banjir dan sebagainya. Karena itu data curah DAS Lariang mempunyai curah hujan
hujan harus terus menerus dicatat untuk yang cukup tinggi, bahkan di beberapa lokasi,
menghitung perencanaan yang akan dilakukan. curah hujan dapat mencapai lebih dari 2500 mm
Pencatatan data curah hujan pada suatu DAS per tahun. Hasil simulasi dengan menggunakan
dilakukan di beberapa titik stasiun pencatat DSS-Ribasim tahun 2005 memperlihatkan
curah hujan untuk mengetahui sebaran hujan bahwa ketersediaan aliran permukaan rerata
yang turun pada suatu DAS apakah merata atau Sungai Lariang hilir berkisar 232.6 m³/detik.
tidak. Namun terkadang di beberapa titik Untuk Sungai Lariang hulu (segmen Paato–
stasiun pencatat data curah hujan terdapat data Watutau) debit rerata adalah 26.3 m³/detik,
yang hilang. Data yang hilang tersebut dapat segmen Rompo–Doda adalah sebesar 79.1
disebabkan oleh kelalaian pada petugas m³/detik, segmen Gintu–Tuare adalah sebesar
pencatat curah hujan atau karena faktor 85.4 m³/detik, segmen Lariang 6 ke hilir sebesar
terjadinya kerusakan pada alat pencatat curah 160.4 m³/detik dan segmen Lariang 7 hulu
hujan karena kurangnya perawatan. adalah sebesar 169.1 m³/detik. Jadi terjadi
peningkatan debit ke arah hilir sungai utama.
2. LOKASI DAN DATA
PERENCANAAN 2.3 Kondisi Topografi
2.1 Keadaan Geografis Lokasi Penelitian Sebagian besar DAS Lariang merupakan
DAS Lariang yang terletak pada posisi daerah berbukit dan pegunungan dengan
geografis 1° 10’ LS – 2° 29’ LS dan 119° 16’ kemiringan lebih besar dari 60 %, sehingga
BT – 120° 31’ BT, berada di 3 provinsi, yaitu mayoritas lahan di DAS Lariang ini adalah
Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi berupa hutan asli yang dilindungi (hutan
Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat. lindung) sebagai penyangga (buffer zone) dan
Total luas wilayah sungai Lariang adalah daerah tangkapan air. Akan tetapi di sebagian
14,550 km², dan DAS Lariang salah satu DAS kecil daerahnya sangat potensial untuk lebih
utama di WS Palu Lariang dengan luas dikembangkan melalui sistem pertanian,
keseluruhan daerah pengaliran sungai sebesar perkebunan dan agroforestry yang dapat
7.069 km² atau sekitar 49 % dari luas total menambah penghasilan masyarakat di
Wilayah Sungai Palu-Lariang. sekitarnya dan juga bagi pemda setempat.
Beberapa lokasi/wilayah yang dapat
dikembangkan diantaranya adalah daerah
Lembah Napu, mulai dari Desa Kaduaa hingga
ke daerah Talabosa (pertanian dan perkebunan),
Desa Watumaeta–Winowanga (perkebunan dan
pertanian) hingga Watutau (perkebunan) serta
Danau Wanga untuk keperluan perikanan darat
dan rekreasi.

3. TINJAUAN PUSTAKA DAN


LANDASAN TEORI
3.1 Siklus Hidrologi
Gambar 2.1 Peta lokasi stasiun curah hujan Daur atau siklus hidrologi adalah gerakan
DAS Lariang air laut ke udara, yang kemudian jatuh ke
(Sumber: Balai Wilayah Sungai Sulawesi III permukaan tanah lagi sebagai hujan atau bentuk
2017) presipitasi lain, dan akhirnya mengalir ke laut
kembali. Susunan secara siklus peristiwa
2.2 Curah Hujan tersebut sebenarnya tidaklah sesederhana yang
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh kita gambarkan.
di permukaan tanah datar selama periode Yang pertama daur tersebut dapat
tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) merupakan daur pendek, yaitu misalnya hujan
di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi
2
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

yang jatuh di laut, danau atu sungai yang segera kondisi kemiringan lahan yang curam berturut-
dapat mengalir kembali ke laut. turut menjadi agak curam, agak landai, dan
Kedua, tidak adanya keseragaman waktu relatif rata. Arus relatif cepat di daerah hulu dan
yang di perlukan oleh suatu daur. Pada musim bergerak menjadi lebih lambat dan makin
kemarau kelihatannya daur berhenti sedangkan lambat pada daerah hilir. Sungai merupakan
dimusim hujan berjalan kembali. tempat berkumpulnya air di lingkungan
Ketiga, intensitas dan frekwensi daur sekitarnya yang mengalir menuju tempat yang
tergantung pada keadaan geografi dan iklim, lebih rendah. Daerah sekitar sungai yang
yang mana hal ini merupakan akibat adanya mensuplai air ke sungai dikenal dengan daerah
matahari yang berubah-ubah letaknya terhadap tangkapan air atau daerah penyangga. Kondisi
meridian bumi sepanjang tahun (sebenarnya suplai air dari daerah penyangga di pengaruhi
yang berubah-ubah letaknya adalah planit bumi aktivitas dan perilaku penghuninya (Wardhana,
terhadap matahari). 2001).
Keempat, berbagai bagian daur dapat
menjadi sangat kompleks, sehingga kita hanya 3.3 Curah Hujan
dapat mengamati bagian akhirnya saja dari Curah hujan adalah volume air yang
suatu hujan yang jatuh di atas permukaan tanah jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010).
dan kemudian mencari jalannya untuk kembali Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu
ke laut (Soemarto, 1987). jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah
dalam waktu tertentu. Curah hujan adalah
butiran air dalam bentuk cair atau padat di
atmosfer yang jatuh ke permukaan bumi. Curah
hujan merupakan unsur iklim yang sangat
penting bagi kehidupan di bumi. Jumlah curah
hujan dicatat dalam inci atau millimeter (1 inchi
= 25,4 mm). Jumlah curah hujan 1 mm
menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi
permukaan 1 mm, jika air tersebut tidak
meresap ke dalam tanah atau menguap ke
atmosfer.
Definisi curah hujan menurut Badan
Gambar 3.1 Siklus Hidrologi
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika adalah
(Sumber: www.google.com/siklushidrologi)
ketinggian air hujan yang terkumpul dalam
suatu tempat yang datar, tidak menguap, tidak
3.2 Daerah Aliran Sungai (DAS)
meresap, dan tidak mengalir. Kriteria hujan
Berdasarkan Undang-undang (UU) No.7
ukuran kuantitatif yang dikeluarkan BMKG,
tahun 2004, daerah aliran sungai adalah suatu
yaitu :
wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
1. Sangat ringan : < 1 mm/jam atau 0 –
dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
5 mm/hari
berfungsi menampung, menyimpan,
2. Ringan : 1 – 5 mm/jam atau 5
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
– 20 mm/hari
ke danau atau ke laut secara alami, dimana
3. Sedang : 5 – 10 mm/jam atau
batas di darat merupakan pemisah topografis.
20 – 50 mm/hari
Menurut Sinukaban (2007), daerah aliran
4. Lebat : 10 – 20 mm/jam atau
sungai adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh
50 – 100 mm/hari
batas-batas topografi sehingga setiap hujan
5. Sangat Lebat : 20 mm/jam atau >
akan mengalir melalui titik tertentu (titik
100 mm/hari
pengukuran di sungai) dalam DAS tersebut.
Hujan merupakan komponen masukan
yang paling penting dalam proses analisis
3.2.1 Sungai
hidrologi. Hal ini dikarenakan kedalaman curah
Sungai adalah tempat dan wadah serta
hujan (rainfall Depth) yang turun dalam suatu
jaringan pengaliran air mulai dari mata air
DAS akan dialihragamkan menjadi aliran
sampai muara dengan dibatasi oleh garis
sungai, baik melalui limpasan permukaan
sempadan (Peraturan Pemerintah Nomor 35
(surface runoff), aliran antara (interflow, sub-
Tahun 1991). Sungai mengalir dari hulu dalam

3
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

surface runoff), maupun sebagai aliran air tanah 6. Pintu rumah alat penakar hujan otomatis
(groundwater flow) (Sri Harto, 2000). diberi gembok (Prosedur dan Instruksi
Kerja Survei Penempatan dan
3.4 Syarat-Syarat Penempatan Lokasi Pembangunan Pos Hidrologi, 2009).
Stasiun Hujan
Dalam pengamatan dan pengambilan 3.5 Pengukuran Hujan
data hidrologi yang perlu diperhatikan kecuali Di antara beberapa jenis presipitasi,
peralatan, cara pengamatan/pencatatan, waktu hujan adalah yang paling biasa diukur.
pengamatan juga tata letak/layout alat-alat Pengukuran dapat dilakukan secara langsung
tersebut sehingga dapat mewakili kondisi fisik dengan menampung air hujan yang jatuh.
lingkungan. Sebuah stasiun hidrologi Namun tidak mungkin menampung hujan di
membutuhkan letak yang cukup luas, terbuka seluruh daerah tangkapan air. Hujan di suatu
dengan taman alat di tengahnya. daerah hanya dapat di ukur di beberapa titik
Dalam penempatan lokasi harus yang ditetapkan dengan menggunakan alat
memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut : pengukur hujan. Hujan yang terukur oleh alat
tersebut mewakili suatu luasan daerah di
sekitarnya. Hujan terukur dinyatakan dengan
kedalaman hujan yang jatuh pada suatu interval
waktu tertentu.
Di Indonesia, pengukuran hujan
dilakukan oleh beberapa instansi di antaranya
adalah Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG), Dinas Pengairan Dapertemen
Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, dan
beberapa instansi lain baik pemerintah maupun
swasta yang berkepentingan dengan hujan.
Gambar 3.2 Cara pemasangan pos hujan
Masing-masing instansi tersebut mengola
(Sumber: Prosedur dan Instruksi Kerja Survei
sendiri stasiun hujannya. Bisa terjadi dua atau
Penempatan dan Pembangunan Pos Hidrologi,
lebih stasiun hujan berada pada jarak yang
2009)
berdekatan.
Alat penakar hujan dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu penakar hujan biasa
(manual raingauge) dan penakar hujan otomatis
(automatic raingauge) (Triatmodjo, 2008).

3.5.1 Penakar Hujan Tipe Manual


Alat penakar hujan manual pada dasarnya
hanya berupa container atau ember yang
diketahui diameternya. Pengukuran hujan
dengan menggunakan alat ukur manual
dilakukan dengan cara air hujan yang
tertampung dalam tempat penampungan air
hujan tersebut diukur volumenya setiap interval
Gambar 3.3 Pos hujan biasa dan otomatis waktu tertentu atau setiap satu kejadian hujan.
(Sumber: Prosedur dan Instruksi Kerja Survei Dengan cara tersebut hanya diperoleh data
Penempatan dan Pembangunan Pos Hidrologi, curah hujan selama periode tertentu. Alat
2009) penakar hujan manual ada dua jenis, yaitu:
1. A adalah ukuran pondasi penakar hujan (Dikutip dari: Anisa Anisa, ilmugeografi.com)
otomatis. 1. Penakar Hujan Ombrometer Biasa
2. B adalah ukuran pondasi penakar hujan Penakar hujan ini tidak dapat mencatat
manual/biasa. sendiri (non recording), bentuknya
3. Panjang 3 m, lebar 3 m dan tinggi 1,2 m sederhana terbuat dari seng plat tingginya
dari permukaan tanah. sekitar 60 cm di cat alumunium, ada juga
4. Pagar dari kawat harmonica. yang terbuat dari pipa paralon tingginya
5. Pintu pos diberi gembok. 100 cm. Prinsip kerja Ombrometer
4
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

menggunakan prinsip pembagian antara hujannya bersifat otomatis (perekam). Dengan


volume air hujan yang ditampung dibagi menggunakan alat ini dapat mengukur curah
luas mulut penakar. Ombrometer biasa hujan tinggi maupun rendah selang periode
diletekan pada ketinggian 120-150 cm. waktu tertentu juga dapat dicatat lamanya
kemudian luas mulut penakar dihitung, waktu hujan. Dengan demikian besarnya
volume air hujan yang tertampung juga intensitas curah hujan dapat ditentukan.
dihitung. Pada dasarnya alat hujan otomatis ini
sama dengan alat pengukur manual yang terdiri
dari tiga komponen yaitu corong, bejana
pengumpul dan alat ukur. Perbedaannya terletak
pada komponen bejana dan alat ukurnya dibuat
secara khusus. Alat penakar hujan otomatis
diantaranya:
(Dikutip dari: Anisa Anisa, ilmugeografi.com)
1. Penakar Hujan Tipe Hellman
Pada umumnya penakar hujan tipe
Gambar 3.4 Alat Ombrometer biasa Hellman yang dipakai oleh BMKG yaitu
(Sumber: ilmugeografi.com) Rain Fues yang diimpor dari Jerman,
2. Penakar Hujan Ombrometer walaupun ada penakar tipe ini yang
Observatorium buatan dalam negeri.
Penakar hujan tipe observatorium adalah
penakar hujan manual yang
menggunakan gelas ukur untuk
mengukur air hujan. Penakar hujan ini
merupakan penakar hujan yang banyak
digunakan di Indonesia dan merupakan
standar di Indonesia. Penakar
Ombrometer Observatorium memiliki
kelebihan, yaitu mudah dipasang, mudah
dioperasikan, dan pemeliharaannya juga
relative mudah. Kekurangannya adalah
data yang didapat hanya untuk jumlah
curah hujan selama periode 24 jam, Gambar 3.6 Alat tipe Hellman
beresiko kerusakan gelas ukur, dan resiko (Sumber: ilmugeografi.com)
kesalahan pembacaan dapat terjadi saat 2. Penakar Hujan Tipe Bendix
membaca permukaan dari tinggi air di Penakar hujan otomatis yang lainnya
gelas ukur sehingga hasilnya dapat yaitu tipe Bendix yang sekilas terlihat
berbeda. seperti tiang bendera namun ini
merupakan salah satu penakar hujan
otomatis yang cara kerjanya cukup
simple.

Gambar 3.5 Alat Ombrometer biasa


(Sumber: ilmugeografi.com)

3.4.2 Penakar Hujan Tipe Otomatis


Alat ukur hujan otomatis adalah alat Gambar 3.7 Alat tipe Hellman
penakar hujan yang mekanisme pencatatan (Sumber: ilmugeografi.com)

5
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

3. Penakar Hujan Tipe Tilting Siphon


Alat ini mengukur curah hujan dari
intensitas hujan secara kontinu.

Gambar 3.11 Alat tipe Weighing Bucket


(Sumber: ilmugeografi.com)
7. Penakar Hujan Tipe Optical
Penakar hujan tipe Optical memiliki
Gambar 3.8 Alat tipe Tilting Siphon
sensor untuk menangkap curah hujan
(Sumber: ilmugeografi.com)
sehingga disebut juga sebagai Optical
4. Penakar Hujan Tipping Bucket sensor. Penakar hujan ini bekerja dengan
Pengukuran yang dilakukan dengan sensor lokal karena baru terekam ketika
Tipping Bucket cocok untuk hujan mengenai sensor yang terpasang.
akumulasi hujan yang berjumlah di
atas 200 mm/jam atau lebih.

Gambar 3.12 Alat tipe Optical


(Sumber: ilmugeografi.com)
Gambar 3.9 Alat tipe Tipping Bucket
(Sumber: ilmugeografi.com) 3.6 Pengisian Data Hilang
5. Penakar Hujan Tipe Floating Bucket Data hujan yang hilang di suatu stasiun
Penakar hujan tipe ini digunakan untuk dapat diisi dengan nilai perkiraan berdasar data
memfasilitasi perekaman hujan jarak dari tiga atau lebih stasiun terdekat di
jauh. sekitarnya.Berikut ini ada dua cara untuk
melakukan koreksi data (Triatmodjo, 2008).

3.6.1 Metode Normal Ratio


Data yang hilang di perkirakan dengan
rumus sebagai berikut:
Px 1  P1 P P Pn 
   2  3 .......  (3.1)
Nx n  N1 N 2 N3 Nn 
Keterangan:
Px = Hujan yang hilang di stasun
Gambar 3.10 Alat tipe Floating Bucket P1,P2,Pn = Data hujan di stasiun
(Sumber: ilmugeografi.com) sekitarnya pada periode
6. Penakar Hujan Tipe Weighing Bucket yang sama
Jenis alat penakar hujan ini terdiri dari Nx = Hujan tahunan di stasiun
corong penangkap air hujan yang N1,N2,.....,.Nn = Hujan tahunan di stasiun
ditempatkan di atas ember penampung air sekitarnya
yang terletak di atas timbangan yang N = Jumlah stasiun hujan di
dilengkapi dengan alat pencatat otomatis. sekitarnya
6
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

3.6.1 Metode Reciprocal yang mewakili DAS Lariang dengan


Cara ini lebih baik karena stasiun hujan, yang diperoleh dari Kantor
memperhitungkan jarak antar stasiun. Balai Wilayah Sungai Sulawesi III.
n
Pi
L
i 1
2 4.3 Pengolahan Data
Px  n
i
(3.2) Data-data yang sudah dikumpulkan
1
L
i 1
2
kemudian diolah dalam bentuk perhitungan.
Dengan menggunakan metode Normal ratio
i
Keterangan: method, dan Reciprocal method.
Mulai
Px = Hujan yang hilang di stasiun
Pi = Data hujan di stasiun sekitarnya
Studi Pustaka
pada periode yang sama
Li = Jarak antar stasiun Pengumpulan Data

4. METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
1. Data Curah Hujan
Penelitian ini merupakan jenis penelitian 2. Data DAS
evaluasi yang bertujuan untuk mengevaluasi
data curah hujan yang hilang pada DAS
Lariang. Stasiun yang ditinjau yaitu stasiun
Gintu dan sebagai stasiun pembanding yaitu
stasiun Wuasa, Oo Parese, Tompi Bugis, dan Data Tidak
Watumaeta. Cukup

Ya
4.2 Pengumpulan Data Analisa dan Pembahasan
Dalam analisis ini, terlebih dahulu
penulis mengumpulkan data-data yang terkait Kesimpulan dan Saran

langsung atau data-data yang mendukung


proses analisis. Pengumpulan data-data tersebut Selesai
dimaksudkan agar proses analisa pengisian data Gambar 4.1 Bagan alir tahap penelitian
curah hujan yang hilang sesuai dengan prosedur
Mulai
perhitungan. Data–data yang dikumpulkan
diperoleh langsung dari Kantor Balai Wilayah
Sungai Sulawesi III. Adapun data–data yang Metode Normal Ratio
diperlukan yaitu :
Px 1  P1 P P Pn 
   2  3 ....... 
1. Data stasiun hujan pada DAS Lariang, Nx n  N1 N 2 N3 Nn 
yang terdiri dari:
a. Stasiun Wuasa.
b. Stasiun Watumaeta. Metode Reciprocal

c. Stasiun Tompi Bugis. n


Pi
L 2
d. Stasiun Parabu. Px  i 1
n
1
i

e. Stasiun Gintu. 
i 1 Li
2

f. Stasiun Oo Parese.
2. Data curah hujan Harian.
Selesai
Dalam hal ini, data yang diambil
merupakan data 13 tahun pencatatan. Gambar 4.2 Algoritma perhitungan
Data diambil dari 5 stasiun saja yaitu
stasiun pencatat hujan Wuasa, 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Watumaeta, Tompi Bugis, Oo Parese, 5.1 Data Curah Hujan
Gintu. Karena stasiun Parabu data tidak Kompilasi data dalam “Pengisian Data
langkap. Curah Yang Hilang Pada DAS Lariang”
3. Data Topografi didasarkan pada data-data sekunder yang akan
Data topografi yang diperoleh merupakan digunakan dalam perhitungan dan disesuaikan
lembaran peta lokasi stasiun curah hujan dengan tujuan yang akan dicapai dan data

7
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

tersebut disesuaikan dengan fungsinya. Data- Gambar 5.1 Peta lokasi stasiun curah hujan
data yang dimaksud meliputi: yang ditinjau
1. Data Curah Hujan (Sumber: Balai Wilayah Sungai Sulawesi III
Data curah hujan adalah data hujan yang 2017)
terjadi pada suatu daerah , data hujan
dapat diperoleh dari alat pengukur hujan 5.2 Penentuan Lokasi Alat Pencatat Data
biasa maupun otomatis, data hujan Curah Hujan
diambil yaitu data curah hujan harian dari Dalam menganalisis data curah hujan
Balai Wilayah Sungai III . Data hujan yang hilang pada suatu stasiun hujan, maka
yang diambil dalam studi ini adalah data harus dilakukan pengamatan pada lokasi stasiun
hujan stasiun Watumaeta, Wuasa, Tompi hujan tersebut, karena factor keadaan di
Bugis, Oo Parese, dan Gintu. lapangan memungkinkan terjadinya alat
Dikarenakan pos hujan tersebut banyak pencatat curah hujan tidak berfungsi dengan
terdapat data curah hujan yang hilang baik. Maka dilakukan pengamatan ke lokasi
dengan data curah hujan 13 tahun penelitian yaitu stasiun Gintu, stasiun Wuasa,
periode 2005-2017. Hasil evaluasi stasiun Oo Parese, stasiun Tompi Bugis, dan
terhadap data diperoleh data yang kosong stasiun Watumaeta. Berikut hasil peninjauan di
pada tahun 2007, 2008, 2010, 2013, dan lokasi masing-masing stasiun curah hujan :
2014. Untuk mencari data hujan yang 1. Stasiun Gintu
hilang digunakan metode Normal Ratio Alat pencatat curah hujan stasiun Gintu
dan metode Reciprocal. ini terdapat di Desa Gintu, Kecamatan
2. Data Lokasi Lore Selatan, Kabupaten Poso. Berada di
Data lokasi merupakan data pengamatan titik koordinat 1°53'15.0'' LS dan
keadaan di lapangan, karena salah satu 120°14'24.2'' BT. Dari data hasil yang di
faktor terjadinya data curah hujan yang dapatkan di lokasi, stasiun tersebut telah
hilang kemungkinan disebabkan oleh memenuhi syarat–syarat yang di
lokasi penempatan alat pencatat hujan anjurkan. Bangunan pencatat hujan
dan human eror. Adapun lokasi yang berukuran 3 x 3 meter, disekitar
ditinjau sebagai stasiun yang datanya bangunan alat pencatat hujan terdapat
kosong atau hilang adalah stasiun Gintu bangunan rumah yang berjarak ± 10
dan stasiun pembanding data adalah meter serta terdapat pepohonan berjarak
stasiun Wuasa, Watumaeta, Oo Parese, ± 10 meter dari alat pencatat hujan.
dan Tompi Bugis. Jarak antar stasiun Permasalahan yang terjadi pada bulan
pembanding dan stasiun yang ditinjau Oktober 2007, Nopember 2007, Juni
sebagai berikut : 2008, Juli 2008, Desember 2008, Juli
a. Jarak antara stasiun Gintu ke 2010, Agustus 2010, April 2013, Mei
stasiun Wuasa = ± 51,21 km. 2013, September 2014, dan Oktober 2014
b. Jarak antara stasiun Gintu ke terjadi kerusakan yang sama yaitu pada
stasiun Oo Parese = ± 36,67 km. Tipping Bucket yang disebabkan
c. Jarak antara stasiun Gintu ke kurangnya perawatan pada alat tersebut.
stasiun Tompi Bugis = ± 41,4 km. 2. Stasiun Wuasa
d. Jarak antara stasiun Gintu ke Alat pencatat curah hujan stasiun Wuasa
stasiun Watumaeta = ± 55,8 km. ini terdapat di Desa Wuasa, Kecamatan
Lore Utara, Kabupaten Poso. Berada di
titik koordinat 1°25'53'' LS dan
120°18'55.7'' BT. Alat ini terletak di
kawasan sawah yang dimana letaknya
tidak jauh dari pemukiman warga. Dari
data hasil yang di dapatkan di lokasi
stasiun tersebut penempatan alat telah
memenuhi syarat–syarat yang di
anjurkan. Bangunan pencatat hujan
berukuran 3 x 3 meter, tidak ada
bangunan disekitar bangunan alat
pencatat hujan. Di area bangunan alat
8
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

hanya terdapat tanaman sawah jauh dari hujan, maka dilakukan dengan pengecekan data
bangunan lainnya atau pohon–pohon. menggunakan metode kurva massa ganda.
3. Stasiun Oo Parese
Alat pencatat curah hujan stasiun Oo 5.3.1 Perhitungan Uji Konsistensi Kurva
Parese ini terdapat di Desa Oo Parese, Massa Ganda
Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Tabel 5.1 Data hujan tahunan stasiun
Data hujan tahunan Stasiun (mm)
Sigi. Berada di titik koordinat 1°34'58'' Tahun Gintu Wuasa Oo Parese Tompi Bugis Watumaeta
Rerata stasiun Kumulatif Kumulatif rerata
B, C, D, dan E A B, C, D, dan E
(A) (B) (C) (D) (E)
LS dan 120°1'38.9'' BT. Alat ini terletak 2005 1286,6 1784,8 538,2 488,7 2070,9 1220,7 1286,6 1220,7

di kawasan sawah yang dimana letaknya 2006


2007
1136,0
920,9
1563,9
2027,2
585,0
805,4
370,6
863,9
1764,5
1678,0
1071,0
1343,6
2422,6
3343,6
2291,6
3635,3
tidak jauh dari pemukiman warga. Dari 2008 1006,6 1877,1 1300,7 819,2 1972,8 1492,5 4350,2 5127,7
2009 1218,6 1447,7 745,2 407,9 1742,5 1085,8 5568,8 6213,6
data hasil yang di dapatkan di lokasi 2010 1498,0 1618,2 970,8 634,2 1865,9 1272,3 7066,7 7485,8
stasiun tersebut penempatan alat telah 2011 1425,7 1752,2 932,9 674,1 1909,0 1317,0 8492,4 8802,9
2012 1214,5 1551,0 819,6 532,0 1786,3 1172,2 9706,9 9975,1
memenuhi syarat–syarat yang di 2013 1224,5 1837,9 711,2 711,2 2192,3 1363,2 10931,4 11338,3

anjurkan. Bangunan pencatat hujan 2014 1288,9 1785,2 658,8 232,9 1803,6 1120,1 12220,3 12458,4
2015 747,2 1116,4 534,4 323,3 1241,6 803,9 12967,5 13262,3
berukuran 3 x 3 meter, tidak ada 2016 1094,2 2061,1 757,9 459,0 2014,5 1323,1 14061,8 14585,4

bangunan disekitar bangunan alat 2017 1413,7 2493,0 841,8 615,4 2085,5 1508,9 15475,4 16094,4

pencatat hujan. Di area bangunan alat (Sumber: Balai Wilayah Sungai Sulawesi III)
hanya terdapat tanaman sawah jauh dari
bangunan lainnya atau pohon–pohon.
4. Stasiun Tompi Bugis
Alat pencatat curah hujan stasiun Tompi
Bugis ini terdapat di Desa Tompi Bugis,
Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten
Sigi. Berada di titik koordinat 1°37'33.3''
LS dan 120°2'24.6'' BT. Dari data hasil
yang di dapatkan di lokasi, stasiun
tersebut telah memenuhi syarat–syarat
yang di anjurkan. Bangunan pencatat
hujan berukuran 3 x 3 meter, disekitar
bangunan alat pencatat hujan ada Gambar 5.2 Grafik kurva massa ganda uji
pepohonan yang berjarak ± 10 meter. konsistensi data curah hujan
5. Stasiun Watumaeta Berdasarkan grafik diatas, perubahan
Alat pencatat curah hujan stasiun kemiringan kurva terjadi setelah tahun 2007
Watumaeta ini terdapat di Desa karena itu, data stasiun Gintu dari tahun
Watumaeta, Kecamatan Lore Utara, sebelum atau sesudah tahun 2007 harus
Kabupaten Poso. Berada di titik dikoreksi.
koordinat 1°23'24.69'' LS dan Berdasarkan kurva diatas maka
120°18'53.35'' BT. Alat ini terletak di diperoleh:
kawasan sawah yang dimana letaknya α = kemiringan kurva sebelum patahan
tidak jauh dari pemukiman warga. Dari 3635,3 − 1220,7
=
data hasil yang di dapatkan di lokasi 3343,6 − 1286,6
stasiun tersebut penempatan alat telah = 1,174
memenuhi syarat–syarat yang di β = kemiringan kurva sesudah patahan
anjurkan. Bangunan pencatat hujan 5127,7 − 3635,3
=
berukuran 3 x 3 meter. Di area bangunan 4350,2 − 3343,6
alat hanya terdapat tanaman sawah jauh = 1,483
dari bangunan lainnya atau pohon– 𝛼
Jadi, faktor koreksinya =
pohon. 𝛽
1,174
=
5.3 Metode Perhitungan Kurva Massa 1,483
Ganda = 0,792
Untuk mengetahui terjadi tidak Selanjutnya dilakukan koreksi terhadap
konsistennya data curah hujan atau disebut data stasiun Gintu tahun 2007 dan 2008 dengan
terjadinya penyimpangan data pada stasiun cara membagi data tersebut dengan faktor

9
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

koreksi, sehingga diperoleh data seperti tabel Contoh perhitungan data hujan yang
berikut ini : hilang pada tanggal 5 Desember 2008 pada
Tabel 5.2 Data hujan tahunan stasiun stasiun Gintu :
terkoreksi Px 1 51,3 10,9 0,5 7,1
Data hujan tahunan Stasiun (mm)
Tahun Gintu Wuasa Oo Parese Tompi Bugis Watumaeta
Rerata stasiun Kumulatif Kumulatif rerata = ( + + + )
(A) (B) (C) (D) (E)
B, C, D, dan E A B, C, D, dan E
1271,4 4 1877,1 1300,7 819,2 1972,8
2005 1286,6 1784,8 538,2 488,7 2070,9 1220,7 1286,6 1220,7
2006 1136,0 1563,9 585,0 370,6 1764,5 1071,0 2422,6 2291,6 Px = 12,7 mm
2007 1163,2 2027,2 805,4 863,9 1678,0 1343,6 3585,8 3635,3
2008 1271,4 1877,1 1300,7 819,2 1972,8 1492,5 4857,2 5127,7 Jadi, data yang hilang pada stasiun hujan
2009 1218,6 1447,7 745,2 407,9 1742,5 1085,8 6075,8 6213,6
2010 1498,0 1618,2 970,8 634,2 1865,9 1272,3 7573,7 7485,8 Gintu pada tanggal 5 Desember 2008 adalah
2011 1425,7 1752,2 932,9 674,1 1909,0 1317,0 8999,4 8802,9
12,7 mm.
2012 1214,5 1551,0 819,6 532,0 1786,3 1172,2 10213,9 9975,1
2013 1224,5 1837,9 711,2 711,2 2192,3 1363,2 11438,4 11338,3 Semua hasil perhitungan data curah hujan
2014
2015
1288,9
747,2
1785,2
1116,4
658,8
534,4
232,9
323,3
1803,6
1241,6
1120,1
803,9
12727,3
13474,5
12458,4
13262,3
yang hilang menggunakan metode Normal
2016 1094,2 2061,1 757,9 459,0 2014,5 1323,1 14568,7 14585,4 Ratio ditabelkan sebagai berikut :
2017 1413,7 2493,0 841,8 615,4 2085,5 1508,9 15982,4 16094,4
Tabel 5.3 Hasil perhitungan data curah hujan
(Sumber: Balai Wilayah Sungai Sulawesi III) yang hilang menggunakan metode
Normal Ratio
Metode Normal Ratio
Okt Nop Juni Juli Des Juli Agst April Mei Sept Okt
Tanggal
2007 2007 2008 2008 2008 2010 2010 2013 2013 2014 2014
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 0,0 6,9 8,4 2,8 6,8 1,6 2,1 8,9 0,0 0,0 0,0
2 0,0 4,8 1,2 5,0 1,3 0,0 0,1 0,0 0,5 1,2 0,0
3 0,0 4,9 0,9 0,0 9,7 14,7 3,1 0,0 4,6 0,0 0,0
4 0,0 1,1 8,8 9,4 0,6 0,3 21,9 0,0 0,0 0,5 0,0
5 0,0 4,8 4,1 11,3 12,7 1,8 3,2 2,0 3,0 0,0 0,0
6 0,0 0,0 4,4 6,8 0,7 6,4 19,1 4,1 1,7 7,3 0,0
7 0,0 3,1 5,8 3,1 1,1 2,7 17,1 13,0 0,6 0,0 0,0
8 0,0 1,4 1,3 0,1 1,0 1,9 6,7 14,0 3,9 1,5 0,0
9 2,6 8,4 2,9 0,0 1,5 1,0 0,4 1,0 1,1 6,3 0,0
10 63,1 0,8 17,7 0,0 2,0 1,2 8,6 0,0 5,8 8,7 0,0
11 13,8 5,6 6,7 3,1 4,8 2,6 1,6 5,1 9,3 6,9 0,0
12 0,0 0,2 0,0 5,7 0,0 1,8 6,6 1,5 11,0 0,0 0,0
13 0,0 0,0 1,3 0,1 1,0 1,5 0,0 1,1 3,0 0,0 0,0
14 0,0 1,4 4,7 1,2 1,2 0,8 0,5 7,3 31,9 0,0 0,0
15 1,3 0,5 9,1 4,5 5,0 2,0 2,4 0,9 0,9 0,0 0,0
16 0,0 0,4 5,7 3,1 2,4 0,3 6,8 14,7 0,8 2,9 0,4
Gambar 5.3 Grafik kurva massa ganda uji 17 0,0 6,6 0,0 0,5 1,9 1,2 0,0 3,9 0,0 0,0 0,7
18 10,3 1,6 1,2 1,2 0,3 0,8 0,0 7,3 0,0 0,0 0,0
konsistensi data curah hujan 19 0,0 1,9 0,2 4,6 8,6 5,3 2,8 6,2 26,9 0,0 0,0
terkoreksi 20
21
5,1
7,7
3,3
0,9
3,5
2,0
14,1
7,3
0,1
0,0
14,6
27,8
13,0
17,0
0,9
0,0
0,0
1,0
0,0
3,0
5,0
2,7
22 3,8 0,0 0,2 17,1 3,6 1,5 0,0 0,0 0,0 1,4 0,0
23 0,1 0,0 0,0 11,3 8,8 11,2 10,2 0,0 8,1 0,0 4,2
5.4 Analisis Perhitungan Data Curah 24
25
0,0
0,1
1,0
0,6
1,2
0,7
5,5
0,8
4,0
3,3
5,4
5,3
3,0
0,0
1,0
3,2
0,5
0,0
0,0
0,0
4,5
2,4
Hujan 26 2,6 0,7 1,6 5,6 5,8 1,1 0,0 7,0 0,0 0,0 10,7
27 0,1 7,0 0,1 3,5 2,0 0,6 0,0 0,3 2,0 0,0 0,0
Pada penelitian ini digunakan dua metode 28 8,2 6,2 0,3 7,5 0,5 6,8 0,0 3,6 6,9 3,9 0,2
29 0,1 11,6 1,6 10,2 4,2 5,5 0,0 4,3 2,0 0,0 21,7
perhitungan yaitu metode normal ratio, dan 30 0,0 0,6 1,2 8,5 2,2 7,9 0,0 0,9 2,8 0,0 1,3
31 10,2 5,8 0,3 0,4 0,0 0,0 0,4
reciprocal methode, serta menggunakan lima Keterangan : Data yang sudah ada
stasiun pos hujan. (Sumber: Hasil Perhitungan)
Dari tabel hasil perhitungan di atas maka
5.4.1 Perhitungan Metode Normal Ratio diperoleh :
Data yang hilang di perkirakan dengan a. Pada bulan Oktober 2007 diperoleh
rumus sebagai berikut: jumlah curah hujan = 129 mm, nilai rata-
Px 1  P1 P P Pn  rata = 4,2 mm, curah hujan maksimum =
   2  3 .......  63,1 mm, dan curah hujan minimum =
Nx n  N1 N 2 N3 Nn 
0,1 mm.
Keterangan: b. Pada bulan Nopember 2007 diperoleh
Px = Hujan yang hilang di stasun jumlah curah hujan = 86,2 mm, nilai rata-
P1,P2,Pn = Data hujan di stasiun rata = 2,9 mm, curah hujan maksimum =
sekitarnya pada periode 11,6 mm, dan curah hujan minimum =
yang sama 0,2 mm.
Nx = Hujan tahunan di stasiun c. Pada bulan Juni 2008 diperoleh jumlah
N1,N2,.....,.Nn = Hujan tahunan di stasiun curah hujan = 96,7 mm, nilai rata-rata =
sekitarnya 3,2 mm, curah hujan maksimum = 17,7
N = Jumlah stasiun hujan di mm, dan curah hujan minimum = 0,1
sekitarnya mm.

10
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

d. Pada bulan Juli 2008 diperoleh jumlah Contoh perhitungan data hujan yang
curah hujan = 159,5 mm, nilai rata-rata = hilang pada tanggal 5 Desember 2008 pada
5,1 mm, curah hujan maksimum = 17,1 stasiun Gintu :
mm, dan curah hujan minimum = 0,1 Diketahui :
mm. a. Jarak antara stasiun Gintu ke stasiun
e. Pada bulan Desember 2008 diperoleh Wuasa = ± 51,21 km.
jumlah curah hujan = 96,7 mm, nilai rata- b. Jarak antara stasiun Gintu ke stasiun Oo
rata = 3,1 mm, curah hujan maksimum = Parese = ± 36,67 km.
12,7 mm, dan curah hujan minimum = c. Jarak antara stasiun Gintu ke stasiun
0,1 mm. Tompi Bugis = ± 41,4 km.
f. Pada bulan Juli 2010 diperoleh jumlah d. Jarak antara stasiun Gintu ke stasiun
curah hujan = 136,1 mm, nilai rata-rata = Watumaeta = ± 55,8 km.
4,4 mm, curah hujan maksimum = 27,6 51,3 10,9 0,5 7,1
mm, dan curah hujan minimum = 0,3 + 36,67² + 41,4² + 55,8²
51,21²
mm. Px = 1 1 1 1
g. Pada bulan Agustus 2010 diperoleh + 36,67² + 41,4² + 55,8²
51,21²
jumlah curah hujan = 146,2 mm, nilai
Px = 14,9 𝑚𝑚
rata-rata = 4,7 mm, curah hujan
maksimum = 21,9 mm, dan curah hujan Jadi, data yang hilang pada stasiun hujan
minimum = 0,1 mm. Gintu pada tanggal 5 Desember 2008 adalah
h. Pada bulan April 2013 diperoleh jumlah 14,9 mm.
curah hujan = 112 mm, nilai rata-rata = Semua hasil perhitungan data curah hujan
3,7 mm, curah hujan maksimum = 14,7 yang hilang menggunakan metode Reciprocal
mm, dan curah hujan minimum = 0,3 ditabelkan sebagai berikut :
mm. Tabel 5.4 Hasil perhitungan data curah hujan
i. Pada bulan Mei 2013 diperoleh jumlah yang hilang menggunakan metode
curah hujan = 128,5 mm, nilai rata-rata = Reciprocal
Metode Reciprocal
4,1 mm, curah hujan maksimum = 31,9 Okt Nop Juni Juli Des Juli Agst April Mei Sept Okt
Tanggal
mm, dan curah hujan minimum = 0,5 2007
(mm)
2007
(mm)
2008
(mm)
2008
(mm)
2008 2010 2010
(mm) (mm) (mm)
2013
(mm)
2013
(mm)
2014
(mm)
2014
(mm)
mm. 1
2
0,0
0,0
7,6
4,3
10,8
0,9
3,6
6,2
10,1
1,5
1,3
0,0
1,4
0,1
8,9
0,0
0,0
0,6
0,0
1,2
0,0
0,0
j. Pada bulan September 2014 diperoleh 3
4
0,0
0,0
4,9
1,4
1,3
7,5
0,0
9,6
13,8
0,7
12,9
0,1
2,5
18,0
0,0
0,0
4,2
0,0
0,0
0,4
0,0
0,0
jumlah curah hujan = 43,5 mm, nilai rata- 5 0,0 4,8 4,2 12,0 14,9 1,5 2,9 2,0 3,4 0,0 0,0
6 0,0 0,0 4,8 8,5 1,1 5,2 11,0 4,1 1,6 7,0 0,0
rata = 1,4 mm, curah hujan maksimum = 7 0,0 3,6 5,7 3,1 1,2 2,2 15,6 13,0 0,6 0,0 0,0
8 0,0 1,2 1,4 0,1 1,3 1,6 5,2 14,0 3,4 1,3 0,0
8,7 mm, dan curah hujan minimum = 0,5 9 2,6 9,3 2,2 0,0 1,6 0,8 0,4 1,0 1,2 6,0 0,0
10 63,1 0,8 18,2 0,0 1,9 1,0 7,0 0,0 6,3 8,2 0,0
mm. 11 13,8 4,8 8,6 2,7 5,3 2,2 1,3 5,1 10,4 3,8 0,0
k. Pada bulan Oktober 2014 diperoleh 12
13
0,0
0,0
0,3
0,0
0,0
1,7
6,0
0,1
0,0
1,0
0,9
1,2
6,0
0,0
1,7
1,1
10,5
3,1
0,0
0,0
0,0
0,0
jumlah curah hujan = 54,2 mm, nilai rata- 14
15
0,0
1,3
1,5
0,5
4,8
13,0
1,9
4,7
1,6
4,9
0,5
1,1
0,4
1,2
8,2
1,0
24,2
0,7
0,0
0,0
0,0
0,0
rata = 1,7 mm, curah hujan maksimum = 16 0,0 0,4 6,4 2,3 3,6 0,1 4,7 11,1 1,0 3,0 0,3
17 0,0 6,8 0,0 0,7 2,8 0,6 0,0 4,4 0,0 0,0 0,6
21,7 mm, dan curah hujan minimum = 18 10,3 1,4 1,6 1,2 0,3 0,7 0,0 6,4 0,0 0,0 0,0
19 0,0 1,8 0,3 3,9 9,2 2,9 2,8 4,7 26,9 0,0 0,0
0,2 mm. 20 5,1 2,8 3,6 17,0 0,1 10,8 13,0 1,0 0,0 0,0 4,4
21 8,3 0,8 3,0 8,1 0,0 15,8 17,0 0,0 1,0 2,7 2,4
22 4,9 0,0 0,4 12,9 4,1 1,3 0,0 0,0 0,0 1,2 0,0
23 0,1 0,0 0,0 9,3 9,1 9,8 10,2 0,0 8,1 0,0 4,4
5.4.2 Perhitungan Metode Reciprocal 24 0,0 1,1 0,9 4,8 4,2 3,7 3,0 1,1 0,5 0,0 4,4
25 0,1 0,8 0,8 0,8 3,3 4,2 0,0 3,6 0,0 0,0 2,5
Data yang hilang di perkirakan dengan 26 3,3 0,9 2,1 5,4 6,4 0,9 0,0 7,9 0,0 0,0 11,2
27 0,1 6,9 0,1 3,8 1,9 0,5 0,0 0,3 2,0 0,0 0,0
rumus sebagai berikut: 28 8,4 6,9 0,3 6,1 0,5 5,0 0,0 4,1 6,9 3,4 0,2
n 29 0,1 12,7 1,6 12,4 3,7 2,9 0,0 4,9 2,0 0,0 10,1
Pi
L
30 0,0 0,7 0,9 8,7 2,1 6,2 0,0 1,0 2,8 0,0 1,1
31 10,1 5,1 0,3 0,3 0,0 0,0 0,3
2
i 1
Px 
Keterangan : Data yang sudah ada
i
n
1 (Sumber: Hasil Perhitungan)
L
i 1
2 Dari tabel hasil perhitungan di atas maka
i diperoleh :
Keterangan: a. Pada bulan Oktober 2007 diperoleh
Px = Hujan yang hilang di stasiun jumlah curah hujan = 131,5 mm, nilai
Pi = Data hujan di stasiun sekitarnya rata-rata = 4,2 mm, curah hujan
pada periode yang sama maksimum = 63,1 mm, dan curah hujan
Li = Jarak antar stasiun minimum = 0,1 mm.

11
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

b. Pada bulan Nopember 2007 diperoleh metode Reciprocal. Perbedaan nilai antara
jumlah curah hujan = 89 mm, nilai rata- metode Normal Ratio dan Metode Reciprocal
rata = 3 mm, curah hujan maksimum = adalah ± 2 mm. Contoh perbandingan pada
12,7 mm, dan curah hujan minimum = bulan Nopember 2007 dari kedua metode
0,3 mm. tersebut dapat dilihat pada grafik sebagai
c. Pada bulan Juni 2008 diperoleh jumlah berikut :
curah hujan = 106,6 mm, nilai rata-rata =
3,6 mm, curah hujan maksimum = 18,2
mm, dan curah hujan minimum = 0,1
mm.
d. Pada bulan Juli 2008 diperoleh jumlah
curah hujan = 161 mm, nilai rata-rata =
5,2 mm, curah hujan maksimum = 17
mm, dan curah hujan minimum = 0,1
mm.
e. Pada bulan Desember 2008 diperoleh
jumlah curah hujan = 112,5 mm, nilai
rata-rata = 3,6 mm, curah hujan
maksimum = 14,9 mm, dan curah hujan Gambar 5.3 Grafik perbandingan metode
minimum = 0,1 mm. Normal Ratio vs Reciprocal bulan
f. Pada bulan Juli 2010 diperoleh jumlah Nopember 2007
curah hujan = 98,2 mm, nilai rata-rata = Berdasarkan grafik diatas diperoleh
3,2 mm, curah hujan maksimum = 15,8 perbedaan nilai dari hasil perhitungan antara
mm, dan curah hujan minimum = 0,1 metode Normal Ratio dan Metode Reciprocal
mm. tidak jauh berbeda. Jadi, dapat disimpulkan
g. Pada bulan Agustus 2010 diperoleh bahwa kedua metode tersebut efektif digunakan
jumlah curah hujan = 123,5 mm, nilai untuk menghitung data curah hujan yang
rata-rata = 4 mm, curah hujan maksimum hilang.
= 18 mm, dan curah hujan minimum =
0,1 mm. 6. KESIMPULAN DAN SARAN
h. Pada bulan April 2013 diperoleh jumlah 6.1 Kesimpulan
curah hujan = 110,5 mm, nilai rata-rata = Berdasarkan hasil penelitian dalam dalam
3,7 mm, curah hujan maksimum = 14 pembahasan maka penulis menarik beberapa
mm, dan curah hujan minimum = 0,3 kesimpulan sebagai berikut:
mm. 1. Dari bab hasil dan pembahasan untuk
i. Pada bulan Mei 2013 diperoleh jumlah penentuan lokasi alat pencatat curah
curah hujan = 121,6 mm, nilai rata-rata = hujan dari kelima stasiun yang ditinjau
3,9 mm, curah hujan maksimum = 26,9 telah memenuhi syarat-syarat teknis
mm, dan curah hujan minimum = 0,5 yaitu:
mm. a. Jarak antara titik tengah stasiun ke
j. Pada bulan September 2014 diperoleh bangunan atau pepohonan adalah
jumlah curah hujan = 38,2 mm, nilai rata- 10 meter atau lebih serta
rata = 1,3 mm, curah hujan maksimum = kemiringan 45º.
8,2 mm, dan curah hujan minimum = 0,4 b. Bangunan alat pencatat curah
mm. hujan berukuran 3 x 3 meter.
k. Pada bulan Oktober 2014 diperoleh 2. Dari hasil perhitungan telah terjadi
jumlah curah hujan = 41,9 mm, nilai rata- penyimpangan data yang disebabkan
rata = 1,4 mm, curah hujan maksimum = adanya kekosongan data. Untuk mengisi
11,2 mm, dan curah hujan minimum = kekosongan data digunakan metode
0,2 mm. normal ratio dan metode riciprocal.
3. Dari kedua metode yang digunakan
5.5 Perbandingan Antara Metode Normal diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda.
Ratio dan Metode Reciprocal a. Pada tanggal 31 Oktober 2007 dari
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai hasil perhitungan menggunakan
yang berbeda antara metode Normal Ratio dan metode normal ratio diperoleh Px

12
Pengisian Data Curah Hujan Yang Hilang Pada DAS Lariang
(Muhammad Rizky dan I Wayan Sutapa)

= 10,2 mm, sedangkan metode Sinukaban, N. (2007). Konservasi Tanah dan


reciprocal diperoleh Px = 10,1 Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan :
mm. Pengembangan DAS dengan Tebu
b. Pada tanggal 10 Juni 2008 dari sebagai Tanaman Konservasi, Direktorat
hasil perhitungan menggunakan Jendral RLPS. Jakarta.
metode normal ratio diperoleh Px Soemarto, CD. (1987). Hidrologi Teknik, Usaha
= 17,7 mm, sedangkan metode Nasional. Surabaya.
reciprocal diperoleh Px = 18,2 Sri Harto. (2000). Hidrologi, Teori-Masalah-
mm. Penyelesaian, Nafiri Offset. Yogyakarta.
c. Pada tanggal 12 Agustus 2010 dari Tjasyono, B. (2004). Klimatologi, Penerbit ITB.
hasil perhitungan menggunakan Bandung.
metode normal ratio diperoleh Px Triadmodjo, B. (2008). Hidrologi Terapan.
= 6,6 mm, sedangkan metode Beta Offset. Yogyakarta.
reciprocal diperoleh Px = 6,0 mm. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7.
d. Pada tanggal 15 Mei 2013 dari (2004). Sumber Daya Air.
hasil perhitungan menggunakan Wardhana, W. A. (2001). Dampak Pencemaran
metode normal ratio diperoleh Px Lingkungan, Penerbit Andi Offset.
= 0,9 mm, sedangkan metode Jogjakarta.
reciprocal diperoleh Px = 0,7 mm.

6.2 Saran
1. Sebaiknya penempatan alat pencatat
curah hujan dievaluasi kembali
menggunakan Metode Kagan yang
bertujuan untuk mendapatkan kerapatan
jaringan optimum.
2. Untuk meningkatkan keakuratan data
curah hujan sebaiknya menggunakan alat
pencatat curah hujan otomatis.

DAFTAR PUSTAKA

Anisa Anisa. (2016). 9 Alat Pengukur Curah


Hujan dan Cara Kerjanya. (https://
ilmugeografi.com/ ilmu-bumi/iklim/alat-
pengukur-curah-hujan). Diakses 25
September 2018.
Arsyad Sitanala. (2010). Konservasi Tanah dan
Air. Edisi Kedua, IPB Press. Bogor.
Direktorat Jendral Sumber Daya Air. (2009).
Prosedur dan Instruksi Kerja Survei
Penempatan dan Pembangunan Pos
Hidrologi, Penerbit Sumber Daya Air.
Jakarta.
Dokumen. (2016). Grafik Kumulatif (Uji
Konsistensi). (https://dokumen.tips/docu
ments /grafik-kumulatif-uji-konsistensi-
.html). Diakses 26 Maret 2019.
Fakultas Teknik Universitas Tadulako. (2017).
Pedoman Penulisan Tugas Akhir, Palu.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 35. (1991). Tentang Sungai.
Prawirowardoyo, S. (1996). Meteorologi,
Institut Teknologi Bandung. Bandung.

13

Anda mungkin juga menyukai