Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb. Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadirat Allah SWT, karena berkat

kemurahanNya referat kami yang berjudul SINUSITIS ini dapat kami selesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam proses referat ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan kepada Kolonel (Purn) dr. Tri Damijatno, Sp.THT, LetKol CKM dr. Rakhmat Haryanto, M.Kes, Sp.THT-KL dan Mayor CKM dr. M. Andi Fathurakhman, Sp. THT-KL. Semoga dengan adanya referat ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan berguna bagi pihak yang terkait. Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi memperbaiki referat ini. Terimakasih. Wassalammualaikum Wr Wb

Jakarta, September 2013

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga hidung. Rongga-rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama sesuai dengan letaknya: sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sfenoidalis dan sinus ethmoidalis ( sinus paranasalis ). Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat

mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rhinosinusitis ini. Rinosinusitis merupakan inflamasi pada lapisan mukosa dari sinus. Inflamasi yang paling sering pada sinus paranasal dan hidung adalah common cold atau rhinitis akut. Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Konsep bahwa sinusitis terbanyak terjadi pada sinus maksilaris sudah terhapuskan dan kini konsep yang berkembang adalah bahwa yang terlibat pertama pada sinusitis adalah kompleks ostiomeatal (KOM) 1. Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rhinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis (PERHATI, 2006). Menurut American Academy of Otolaryngology - Head & Neck Surgery (1996), istilah sinusitis lebih tepat diganti dengan rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan: (1) secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung, (2) sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis dan (3) gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada
2

rinitis ataupun sinusitis (4) Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga yang letaknya di sekitar hidung dan bermuara ke dalam rongga hidung. Sinus paranasal mempunyai bentuk yang bervariasi pada tiap individu. Terdapat empat macam sinus paranasal, antara lain sinus maksilaris (terletak di samping kanan-kiri hidung), sinus etmoidalis (terletak di belakang hidung dan sudut mata), sinus frontalis (terletak di dahi bagian depan), dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang sinus etmoid) 2 Terjadinya sinusitis dapat diakibatkan oleh virus, bakteri maupun jamur. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hampir 70% kasus ditemukan Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, dan Streptococcus group A. Selain itu dapat juga disebabkan peradangan di sekitar sinus paranasal seperti radang mukosa hidung (yang menjalar melalui ostium sinus), radang tenggorok (menjalar melalui adenoid dan tonsil) atau infeksi gigi-geligi 2. Sinusitis dapat dibedakan menjadi dua yaitu sinusitis akut dan kronis. Untuk sinusitis akut itu biasanya terjadi karena rhinitis akut, faringitis, tonsilitis akut dan lain-lain. Gangguan drainase, perubahan mukosa, dan pengobatan merupakan penyebab terjadinya sinusitis kronis. Sinusitis menjadi perhatian khusus karena angka kejadiannya yang masih tinggi akibat banyak faktor yang dapat mempengaruhinya dan dapat menyebabkan komplikasi, seperti komplikasi pada orbita, komplikasi intrakranial (meningitis akut, abses dura, abses cerebral), osteomielitis dan abses subperiosteal serta kelainan pant seperti bronkitis kronik maupun bronkiektasis 3. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas. Awalnya diberikan terapi antibiotik dan jika telah begitu hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.

BAB II PEMBAHASAN 2.1. ANATOMI 2.1.1 HIDUNG a. Hidung luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: Pangkal hidung (root/radix) Dorsum nasi (bridge) Puncak hidung (apeks) Ala nasi Kolumela Lubang hidung (nares anterior)
Gambar 1: Anatomi permukaan hidung

Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. 8 tulang kerangka terdiri dari: Sepasang os nasalis (tulang hidung) Prosesus frontalis os maksila Prosesus nasalis os frontalis
Gambar 2: Anatomi hidung

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu: Sepasang kartilago nasalis lateralis superior Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor) Beberapa pasang ala minor Tepi anterior kartilago septum nasi

Otot- otot hidung terdiri dari tiga kelompok, yaitu3: 1. Kelompok Elevator: M. Proserus M. Levator labii superioris alaeque nasi 2. Kelompok Depressor: M. Nasalis Transversus 3. Kelompok Dilator: M. Dilator nares (anterior dan posterior)
Gambar 3: Otot-otot hidung

Perdarahan dihidung dapat dibagi menjadi dua aliran utama yaitu (1) Cabang dari arteri carotid interna (arteri etmoid posterior dan anterior dari arteri optalamika) dan (2) Cabang dari arteri carotis eksterna (Arteri sfenopalatina, greater palatine, labial superior dan arteri angularis. Bagian luar hidung mendapat suplai perdarahan dari arteri fasialis, yang membentuk suatu angular yang memperdarahi bagian superomedial dari hidung. Sementara dasar dan dorsal dari hidung diperdarahi oleh arteri maxillaris interna dan arteri optalamika.

b. Hidung Bagian Dalam Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut nares anterior dan posterior disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1. Vestibulum Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.
5

2. Septum nasi Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari: Lamina perpendikularis os etmoid Vomer Krista nasalis os maksila Krista nasalis os palatina

Bagian tulang rawan terdiri dari: Kartilago septum (lamina kuadrangularis) Kolumela

3. Kavum nasi Dasar hidung Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horisontal os palatum.

Atap hidung Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

Dinding lateral Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.

Konka Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.konka suprema ini biasanya rudimeter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os

maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Meatus nasi Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara ductus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.

Dinding medial Dinding medial hidung adalah septum nasi.5


Gambar 4: Anatomi Bagian dalam hidung

Hidung bagian dalam sisi lateral posteroinferior diperdarahi oleh arteri sfenopalatina dan pada bagian superior diperdarahi oleh arteri etmoid anterior dan posterior. Sementara bagian septum diperdarahi oleh sfenopalatina dan arteri etmoid anterior dan posterior dengan tambahan dari arteri labial superior (bagian anterior) dan dari artery palatina mayor (bagian posterior). Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labial superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai Plexus Kiesselbach atau Little area.3,6

2.1.2 Sinus Paranasal

Gambar 5: Sinus paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya yang sangat bervariasi. Ada empat pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus frontal, sinus ethmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus paranasal dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia dan di antaranya terdapat goblet. Di bawalmya terdapat tunika propria yang mengandung kelenjar mukosa dan serosa yang salurannya bermuara di permukaan epitel. Sekresi kelenjar ini membentuk palut lendir (mucous blanket) yang menutupi epitel. Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara saluran dari sinus maksilaris, sinus frontal, sinus sphenoid dan sinus etmoid. Daerah ini rumit dan sempit, dinamakan kompleks osteomeatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid, sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris. Selaput sinus menghasilkan cairan bening berupa lendir yang berguna membersihkan KOM dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran drainase ke bagian belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi terus-menerus, meskipun kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika kelebihan cairan yang dihasilkan itu sering dikenal sebagai dahak yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di tenggorokan dikenal dengan nama post-nasal drip.

Gambar 6: Osteomeatal Kompleks

A. Sinus Maksilaris Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar berbentuk segitiga, dengan batas dinding anterior yaitu permukaan facial os maksilla yang disebut fossa kanina, dinding posteriomya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding lateral rongga hidung (medial), dasar orbita (dinding superior) dan prosesus alveolaris dan palatun (dinding inferiornya).2 Ostium sinus maksila bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Ostium simis maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagi pula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit yang merupakan kondisi anatomis yang menyebabkan sinusitis 2 B. Sinus Etmoidalis Bentuk seperti pyramid dengan bagian dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga menyerupai sarang tawon. Berdasarkan letak, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlengketan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar, jumlahnya lebih sedikit dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut ressesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis maksila.

C. Sinus frontalis Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dart orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dart sinus frontal mudah menjalar ke arah ini. D. Sinus Sfenoidalis Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid sangat berdekatan dengan rongga sinus. Batas-batasnya adalah; sebelah superior fossa serebri media dan kelenjar, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavemosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriomya berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah pons.

2.2 FISIOLOGI HIDUNG Tujuan dari hidung adalah untuk menghangatkan, membersihkan, dan melembabkan udara yang anda napas serta membantu anda untuk membaui dan mencicipi. Seorang yang normal akan menghasilkan kira-kira dua quarts (1 quart = 0,9 liter) cairan setiap hari (lendir), yang membantu dalam mempertahankan saluran pernapasan bersih dan lembab. Rambut-rambut mikroskopik yang kecil (cilia) melapisi permukaan-permukaan dari rongga hidung, membantu menghapus partikel-partikel. Akhirnya lapisan lendir digerakan ke belakang tenggorokan dimana ia secara tidak sadar ditelan. Seluruh proses ini diatur secara ketat oleh beberapa sistim-sistim tubuh.4 Secara struktural, hidung dipisahkan kedalam dua jalan-jalan terusan (lubang hidung kiri dan kanan) oleh struktur yang disebut septum. Menonjol kedalam setiap jalan pernapasan adalah penonjolan-penonjolan yang bertulang yang disebut turbinates, yang membantu meningkatkan area permukaan dari bagian dalam hidung. Ada tiga turbinates pada setiap sisi dari hidung (turbinates inferior atau bagian bawah, turbinates bagian tengah, turbinates superior atau bagian atas). Sinus-sinus adalah empat pasang kamar-kamar yang berisi udara yang mengosong kedalam rongga hidung. Tujuan mereka sebenarnya tidak diketahui, namun mungkin membantu untuk meringankan tengkorak, mengurangi beratnya. 4,5
10

2.2.1 FUNGSI HIDUNG Respirasi Inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media kemudian turun ke bawah kearah nasofaring. Aliran udara dihidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.Udara yang dihirup akakn mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah dibawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.6 Penyaringan Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring dihidung oleh rambut (vibrissae) di vestibulum nasi, silia dan palut lendir. Debu dan lendir akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. 6 Penghidu Hidung juga belerja sebagai indra penghidu. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. 6 Fonetik Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau atau hilang (rinolalia). 6

Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tretentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas. 6

11

2.2.2 FUNGSI SINUS PARANASAL Beberapa teori yang dikemukakan mengenai fungsi sinus paranasal antara lain : a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada setiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.6

b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.6

c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sekitar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna.6

d. Membantu resonansi udara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.6 e. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.6

12

2.3 SINUSITIS 2.3.1. Definisi Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur.6,7 Rhinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah rinosinusitis. Rhinosinusitis adalah bentuk peradangan pada mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Penyakit rinosinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal, oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi dan oleh karena penyebaran infeksi gigi. Dalam beberapa kasus rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya peningkatan produksi bakteri pada permukaan rongga sinus. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sinusitis kronis berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis akut. Pada sinusitis akut, perubahan patologik membrana mukosa berupa infiltrat polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel permukaan bersifat reversibel. Sedangkan pada sinusitis kronik adalah kompleks dan irreversible. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis, yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoidalis.
Gambar 7: Sinusitis

13

2.3.2. Epidemiologi Penyakit ini terjadi pada semua ras, semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan dan pada semua kelompok umur. Jarang menancam jiwa, tetapi dapat menimbulkan komplikasi ke orbita dan intrakranial. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% nya adalah sinusitis.10 2.3.3. Etiologi Beberapa patogen seperti bakteri (Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Streptococcus group A, Staphylococcus aureus, Neisseria, Klebsiella, Basil gram (-), Pseudomonas, fusobakteria), virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus), dan jamur (Aspergillus atau Candida sp). Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan kavitas sinus yang menghasilkan edema dan inflamasi di membran mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan blokade dalam pembukaan kavitas sinus dan membuat daerah yang ideal untuk perkembangan jamur, bakteri, atau virus yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis Kelainan anatomi hidung dan sinus seperti deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus, juga dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Hal ini dapat diperparah dengan penggunaan berlebihan obat dekongestan topikal dimana fungsi mukosiliar sementara. Sinusitis terjadi jika kompleks osteomeatal di hidung mengalami obstruksi mekanis, baik itu akibat edema mukosa setempat atau akibat berbagai etiologi semisal ISPA atau rhinitis alergi. Keadaan ini membuat statis sekresi mukus di dalam sinus. Stagnasi mukosa ini membentuk media yang nyaman untuk pertumbuhan patogen. Awalnya, terjadi sinusitis akut dengan gejala klasik dan biasanya terdiri dari satu macam bakteri aerob saja. Jika infeksi ini dibiarkan terus14

menerus, akan tumbuh pula berbagai flora, organisme anaerob, hingga kadang tumbuh jamur di dalam rongga sinus. Sebagian besar kasus sinusitis kronis terjadi pada pasien dengan sinusitis akut yang tidak respon atau tidak mendapat terapi. Peran bakteri sebagai dalang patogenesis sinusitis kronis saat ini sebenarnya masih dipertanyakan juga. Infeksi sinus yang berulang dan persisten dapat terjadi tidak hanya akibat timbunan bakteri, tapi memang dari lahir orang tersebut sudah mengalami imunodefisiensi kongenital atau penyakit lain seperti fibrosis kistik.

2.3.4. Patofisiologi dan Patogenesis Pada dasarnya patofisiologi dari rhinosinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan path silia, dan kuantitas dan kualitas mukosa. Sinusitis dapat terjadi bila terdapat gangguan pengaliran udara dari dan ke rongga sinus serta adanya gangguan mukus. Bila terjadi edema di kompleks ostio-meatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus yang menyebabkan silia menjadi kurang aktif. Rhinosinusitis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, protease, arachidonic acid metabolit, imunecomplek, lipolisaccharide yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dari mukosa hidung dan disfungsi mukosiliar sehingga terjadi stagnasi mukos dan bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan kembali terjadi. Hal ini diperberat dengan adanya infeksi virus akan menyebabkan terjadinya udem pada dinding hidung dan sinus sehingga terjadi penyempitan atau obstruksi jalur ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia sinus dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Asap rokok merupakan penyebab dari rusaknya rambut halus ini sehingga pengeluaran cairan mukus menjadi terganggu. Cairan mukus yang terakumulasi di rongga sinus dalam jangka waktu yang lama merupakan tempat yang nyaman bagi kehidupan bakteri, virus dan jamur.10

15

Gambar 8: Patofisiologi sinusitis

2.3.5. Manifestasi kilinis Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh sinusitis dapat dibagi menjadi dua yaitu gejala subyektif dan gejala obyektif. Gejala subyektif bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari : a. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip) b. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadinya sumbatan tuba eustachius c. Gejala laring dan faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan. d. Ada nyeri atau sakit kepala. e. Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis. f. Gejala saluran nafas, berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial. g. Gejala di saluran cerna, mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis. Gejala Obyektif International Conference on Sinus Disease (1995) membuat kriteria mayor dan minor untuk mendiagnosa rinosinusitis kronis. Rinosinusitis didiagnosa apabila dijumpai atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor. Gejala Mayor berupa obstruksi hidung, sekret pada daerah hidung (Postnasal drip), sakit kepala, nyeri atau rasa tertekan pada wajah,

16

kelainan penciuman (Hiposmia / anosmia). Gejala Minor seperti demam, halitosis, batuk dan iritabilitas. 2.3.6. Klasifikasi Sinusitis Disebut sinusitis akut bila lamanya gejala penyakit berlangsung dari beberapa hari sampai kurang dari 4 minggu. Penyakit dimulai dengan penyumbatan daerah KOM oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi. Selain itu juga dapat merupakan penyebaran dari infeksi gigi. Penyakit atau keadaan yang memungkinkan terjadinya sinusitis akut antara lain rinitis akut, infeksi faring (faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut), Infeksi gigi rahang atas MI, M2, M3, trauma. Sinusitis subakut dan kronis sering merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak mendapatkan pengobatan adekuat. Lamanya gejala penyakit sinusitis subakut berlangsung antara 1 bulan sampai 3 bulan. Path sinusitis subakut tanda-tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversibel. Gejala klinis sama dengan sinusitis akut hanya tandatanda radang akutnya (sakit kepala hebat, demam, nyeri tekan) sudah reda. Sinusitis kronik bila gejala penyakit diderita lebih dari 3 bulan. Pada sinusitis kronik, perubahan histologik mukosa sinus sudah ireversibel, misal sudah berubah menjadi jaringan granulasi atau polipoid. Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi, asma dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis tidak sempuma. Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret akan terganggu dapat menyebabkan silia rusak.

2.3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Anamnesa (gejala subyektif) Sinusitis Akut : demam, rasa lesu, terdapat ingus kental kadang berbau pada rongga hidung dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Hidung terasa tersumbat. Pada sinusitis maksila, rasa nyeri dirasakan di bawah kelopak mata kadang menyebar ke alveolus sehingga gigi terasa nyeri, nyeri alih dirasakan didahi dan didepan telinga.
17

Sinusitis Kronik : hidung terasa tersumbat dan mengeluarkan ingus yang kental dan berwarna kuning atau hijau. Dan kadang-kadang menyebabkan nafas berbau, disertai adanya ingus yang turun ke tenggorok. Sering disertai gangguan indera penciuman dan iritasi kronis pada tenggorok yang menyebabkan batuk yang tidak sembuh-sembuh. Biasanya, tidak ada rasa nyeri.

Pemeriksaan fisik (gejala obyektif)

Sinusitis Akut : Tampak pembengkakan di daerah muka Nyeri tekan/ nyeri ketok daerah pipi infraorbita Rinoskopi anterior : mukosa hiperemis, konka udem dan hiperemis, tampak secret purulen/ mukopurulen di meatus media. Rinoskopi posterior : post nasal drip (secret di nasofaring)

Pada sinusitis kronik, gejala obyektif tidak seberat sinusitis akut, serta tidak terdapat pembengkakan di daerah wajah. Pada diagnosa sinusitis terdapat trias gejala, yaitu: Hidung tersumbat dan batuk produktif Ingus di meatus medius Post nasal drip 7,8

2.2.7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan adalah: Transluminasi (diafanoskopi) Dilakukan dikamar gelap, memakai sumber cahaya penlight yang dimasukkan ke dalam mulut dan bibir dikatupkan. Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit terang di infraorbita. Pada sinus tampak suram.

Pemeriksaan Radiologi Posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan
18

cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sunus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid. Akan tampak penebalan mukosa (radioopaq), dapat disertai gambaran air fluid level pada sinus maksilaris.

Foto waters dan gambaran air fluid level

Pungsi sinus Pungsi sinus dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dan untuk terapi. Kultur dilakukan pada secret yang keluar dari pungsi ini.

Endoskopi (sinoskopi) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus, apakah ada secret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana keadaan dalam mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu. Pemeriksaan CT Scan

Merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinus dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan di dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).

19

Foto SPN 3 posisi dan endoskopi

2.3.8. Komplikasi Komplikasi yang bisa terjadi :3 1. Abses Mata Ditandai dengan mata yang keluar nanah, gatal-gatal, membengkak, dan yang paling parah adalah bisa menyebabkan kebutaan. Ini mudah sekali terjadi karena lokasi antara hidung dan mata sangat berdekatan. 2. Meningitis dan Abses Otak Bakteri, salah satunya pneumokokus, bisa masuk ke otak yang dapat menimbulkan meningitis atau radang selaput otak. Bisa juga jaringan otak terinfeksi yang disebut dengan abses otak. Meskipun hal ini jarang sekali terjadi namun kita perlu mewaspadainya mengingat dampaknya sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa anak. Gejala yang muncul biasanya demam tinggi dan anak mengalami kejang-kejang. 3. Bronkitis dan Pneumonia Lendir bisa turun ke saluran napas bawah seperti bronchus dan paru-paru sehingga bakteri yang terkandung di dalamnya dapat menginfeksi bronchus, disebut dengan sinubronchitis atau bronchitis yang disebabkan adanya rhinosinusitis. Bila masuk ke dalam paru-paru dan kebetulan daya tahan tubuh anak sedang lemah, dapat memunculkan pneumonia atau radang paru. Bila paru-paru sudah diserang, pengobatannya sangat sulit dilakukan. Gejala yang muncul biasanya panas tinggi, sesak napas, batuk-batuk, dan sebagainya. 4. Radang Telinga Sering kali, saat rhinosinusitis muncul, telinga pun ikut terasa sakit. Hal ini disebabkan organ telinga tengah yang juga ikut terinfeksi. Bukankah lokasi keduanya sangat berdekatan? Gejala
20

yang muncul pada telinga biasanya terasa sakit seperti ada yang menusuk, berbunyi "nguing", panas tinggi, juga keluar nanah atau congekan. Congek yang tak kunjung sembuh bisa mengakibatkan tuli konduktif.

2.3.9. Penatalaksanaan Prinsip penanganan rinosinusitis adalah meliputi pengobatan dan pencegahan infeksi, memperbaiki ostium, memperbaiki fungsi mukosiliar dan menekan proses inflamasi pada mukosa saluran nafas.9 1. Sinusitis akut11 Antibiotic selama 10-14 hari, meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotic yang diberikan golongan penisilin. Diberikan juga dekongestan local berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Boleh diberikan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi diberikan antihistamin atau kortikosteroid topical. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intracranial, atau bila ada nyeri yang hebat karenba ada secret tertahan oleh sumbatan. 2. Sinusitis kronik11 Pada sinusitis kronis perlu diberikan antibiotic untuk mengatasi infeksinya dan simtomatis lainnya.antibiotik diberikan selama sekurang-kurangnya 2 minggu. Setelah itu dibantu dengan diatermi gelombang pendek selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis etmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak secret purulen, berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal (irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal.

Pembedahan radikal : Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc Sinus etmoit dengan etmoidektomi Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi killian

21

Pembedahan non radikal: Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar. Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal. 2.3.10. Pencegahan Pencegahan yang paling mudah, jangan sampai terkena infeksi saluran nafas. Rajin mecuci tangan karena tindakan sederhana ini terbukti efektif dalam mengurangi risiko tertular penyakit saluran pemafasan. Selain itu, sedapat mungkin tnenghindari kontak erat dengan mereka yang sedang terkena batuk pilek. Bila anda memakai AC, sering-seringlah membersihkan penyaringnya agar debu, jamur dan berbagai substansi yang mungkin dapat mencetuskan alergi dapat dikurangi. Demikian juga dengan karpet dan sofa. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cukup istirahat dan konsumsi makanan dan minuman yang memiliki nilai nutrisi baik dan berolahraga yang teratur. Perbanyak menghirup udara bersih,. Hal ini sangat bermanfaat selain untuk menguatkan paru-paru juga untuk mengisi daerah sinus dengan oksigen. Sehingga daerah-daerah sinus menjadi lebih bersih dan kebal terhadap berbagai infeksi dan bakteri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah segera kunjungi dokter bila terdapat gejala-gejala yang mungkin merupakan gejala sinusitis. Diagnosa dan pengobatan secara dini dan tepat akan mempercepat kesembuhan penyakit yang diderita.1

BAB III KESIMPULAN


22

Rhinosinusitis adalah bentuk peradangan pada mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Penyakit rinosinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal, oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi. Dalam beberapa kasus rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya peningkatan produksi bakteri pada permukaan rongga sinus. Penyakit ini terjadi pada semua ras, semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan dan pada semua kelompok umur. Jarang menancam jiwa, tetapi dapat menimbulkan komplikasi ke orbita dan intrakranial Etiologinya bisa disebabkan beberapa hal, antara lain : infeksi bakteri, adanya ISPA, reaksi alergi, trauma, ataupun kelainan kongenital. Pada dasarnya patofisiologi dari rhinosinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan path silia, dan kuantitas dan kualitas mukosa. Sinusitis dapat terjadi bila terdapat gangguan pengaliran udara dari dan ke rongga sinus serta adanya gangguan mukus. Bila terjadi edema di kompleks ostio-meatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif. Manifestasi klinisnya bisa dilihat dari gejala subyektif dan obyektif. Juga bisa dinilai dari gejala mayor dan minor. Rhinosinusitis berdasarkan waktu dan kondisinya bisa diklasifikasikan menjadi akut, sub akut, dan kronik. Diagnosis dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti transluminasi, foto rontgen 3 posisi, foto waters, dan juga endoskopi. Komplikasi rhinosinusitis bisa terjadi hingga intrakranial, periorbita dan paru. Penatalaksanaan dan pencegahannya dilakukan sesuai dengan indikasi. DAFTAR PUSTAKA

23

1. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Rhinosinusitis: Current Concepts And Management. Dalam: Bailey BJ, penyunting. Head & neck surgery-otolaryngology Vol.3. Edisi ke-3. Philadelphia-New York: Lippincott Raven publ; 2001. h.345-56. 2. E.Mangunkusumo . Fisiologi Hidung dan Parasanal Dalam Iskandar N.dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Balai Penerbit FK Ul Jakarta; 1990. h.85-87. 3. http://emedicine.medscape.com/article/835134-overview#showall 4. Blumenthal MN, AdamGL, fli'ger P. Alergic Conditions in Otolaryngology Patients. Dalam: Boles LR Jr, penyunting. Boles Fundamental of otolaryngology. Edisi ke-6. Philadelphia; 1989. h 195 205. 5. Suetjipto D. Anatomi llidung dan sinus Parasanal. Dalam: Iskandar N., penyunting. Buku ajar Ilmu penyakit THT. Balai Penerbit FK 111, Jakarta; 1990. h 75-E4. 6. Soepardi, Efiaty Arsyad, Iskandar, Nurbaiti, dkk. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorokkan Kepala & Leher. Edisi ke 6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 7. Burnside Mc Glynn; Hidung dan Sinus Dalam : ADAMS Diagnosis Fisik, edisi 17, Cetakan ke lima, Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta, 1995 : 141-144 8. Adam Boeis, H. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC. Jakarta. : 240-260 9. W e i r N , G o l d i n g W o o d D G ( 1 9 9 7 ) I n f e c t i v e r h i n i t i s a n d S i n u s i t i s . i n : mackay IS, Bull TR, Editors. Scott-Brown Otolaryngology (Rhinologi). 6thed. Oxford,Boston,Singappore: Butterworth-Heinemann:4/8/1-49 10. Sumarman I. Patofisiologi dan Prosedur Diagnostic Rinitis Alergi. Dalam : Kumpulan Makalah Simposium "Current and Future Approach in Treatment of Allergic Rhinitis" kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THT FK U1 / RSCM. Jakarta; 2001. h 14-18. 11. Endang Mangunkusumo, Nusjirwan Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti, editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 125 12. Waguespack R. Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic Sinus Surgery, Laryngoscope(Supplement); 1995. h 1-40

Sumber gambar : 1. http://www.idrawdigital.com/wp-content/uploads/2010/03/nose-anatomy.jpg 2. http://img22.imageshack.us/img22/9809/externalnoseparts.gif


24

3. http://ars.els-cdn.com/content/image/1-s2.0-S1090820X06004079-gr1.jpg 4. http://media-1.web.britannica.com/eb-media/78/74278-004-77CECC8B.jpg 5. http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/004/4567-0550x0475.jpg 6. http://noseandsinus.com/scfig1_350blue.jpg 7.http://4.bp.blogspot.com/mg9s2PLgpXY/TbrymN43ZmI/AAAAAAAAAKw/edn5uBWj6_I/s1 600/images-image_popup-sinusitis_big.jpg

25

Anda mungkin juga menyukai