Anda di halaman 1dari 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 Komposisi dan Distribusi Cairan Tubuh Air merupakan komponen utama dari seluruh cairan yang berada dalam tubuh. Total air dalam tubuh merepresentasikan kurang-lebih 60% dari berat badan pada usia dewasa secara umum. Persentase dari air dalam tubuh sangat bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin, dan adipositas karena otot mengandung 75% air, sebaliknya jaringan adiposa hanya mengangandung 10% air. Persentase kandungan air pada fetus sangat tinggi pada masa awal, namun menurun secara progresif selama masa gestasi akhir dan 3 sampai 5 tahun pertama kehidupan.3 Air dalam tubuh dapat dibagi menjadi dua komponen dasar, yaitu intraselular dan ekstraselular. Kompartemen tersebut dipisahkan oleh membran sel yang permiabel terhadap air. Volume cairan ekstraselular lebih tinggi pada individuindividu muda dan juga pada pria dibandingkan pada individu dengan usia lanjut dan wanita. Di sisi lain, volume darah berkisar antara 60 sampai 65 mL/kgBB, dan didistribusikan 15% pada sistem arteri dan 85% pada sistem vena.3 Komponen utama dari cairan ektraselular adalah plasma (30 sampai 35 mL/kgBB) dan cairan interstitial (120 sampai 165 mL/kgBB) sedangkan komponen lainnya terdiri dari cairan pleura, cairan peritonem, aqueous humor, keringat, urin, cariar limfe, serta cairan serebrospinal.

Gambar 1. Diagram Distribusi Cairan Tubuh

Gambar 2: Body water compartments. Komposisi Cairan Tubuh.

Plasma merupakan komponen nonselular dari darah dan memiliki kecenderungan untuk secara terus-menerus mencari keseimbangan dengan cairan intestitial. Perbedaan utama antara plasma dibandingan dengan cairan interstitial adalah konsentrasi proteinnya yang jauh lebih tinggi. Hal ini menyebabkan plasma memiliki tekanan osmotik 20mmHg lebih tinggi dari cairan interstitial serta cairan ekstraselular lainnya. Perbedaan ini berperan dalam proses menjaga volume

intravaskular. Cairan ekstraselular memiliki konsentrasi natrium, klorida, dan bikarbonat yang lebih tinggi. Permibabilitas terhadap ion dan protein sangat bervariasi pada masing-masing organ, dengan otak sebagai organ dengan permiabilitas terendah sedangkan hepar sebagai organ dengan permiabilitas tertinggi.5

Gambar 3.Susunan Kimia Cairan Ekstaseluler dan Intra seluler Tabel 1. Komposisi Elektrolit pada Cairan Tubuh

Elektrolit

Plasma (mEq/L)

Cairan Interstitial (mEq/L)

Cairan (mEq/L)

Intracellular

Na+ K+ Mg2+ Ca2+ ClHCO3-

142 4 2 5 103 25

145 4 2 3 117 27

10 159 40 1 10 7

Adapted from Campbell I: Physiology of fluid balance. Anaesth Intensive Care Med 7:462-465 2006.

2.2

Pergerakan Air Tekanan osmotik adalah tekanan yang dibutuhkan untuk mencegah difusi

cairan melalui membran semipermiabel ke dalam cairan lain yang konsentrasinya lebih tinggi. Membran semipermiabel adalah membran yang dapat dilalui oleh air sebagai pelarut, namun tidak dapat dilalui oleh zat terlarut. Tekanan osmotik plasma ialah 285 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik yang relatif sama dengan tekanan osmotik plasma disebut larutan isotonik, jika lebih rendah disebut larutan hipotonik, sedangkan bila lebih tinggi disebut larutan hipertonik. Konsentrasi molar (mol) ialah jumlah zat yang setara dengan berat atom atau berat molekul zat dalam garam (1 mol zat mengandung jumlah partikel yang sama, yaitu 6,02 x 1023). mMol = massa (mg) solute dalam 1 L larutan berat molekul solute. massa (mg) dalam 1 L larutan berat molekul Miliosmol (mOsm/kg H20), unit untuk menyatakan tekanan osmotik bila solute dilarutkan dalam 1 L larutan. Miliosmol (mOsm/kg H20) = miliosmol (mmol/kg H2O x jumlah partikel) Miliekuivalen (mEq/L) menyatakan konsentrasi elektrolit mEq/L = mmol x jumlah muatan listrik Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori

tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.5,7,8 Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

Gambar 4. Pompa Natrium

2.3 Asupan dan Kehilangan Cairan serta Elektrolit pada Keadaan Normal Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit atau traktus gastrointestinal. Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-2500ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan cairan ratarata 250 ml dari feses, 8001500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.9 Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari metabolisme oksidatif dari karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml per hari, cairan 7

yang diminum setiap hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari makanan padat sekitar 800-100 ml tiap hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada ratarata orang dewasa yang mana volume kehilangan bertambah pada keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius pada suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap hari dari insensible loss), traktus gastointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal), third-space loses.5
Tabel 2. Rata rata asupan dan kehilangan cairan pada orang dewasa

2.4 Perubahan cairan tubuh Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu : 1. Perubahan volume a. Defisit volume Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik, diare dan drainase

fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.

Gambar 5.Perubahan volume

Dehidrasi Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari

natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.5

Tabel 3. Tanda dan gejala dehidrasi

Tabel 4. Derajat dehidrasi

Terapi

untuk

dehidrasi

(rehidrasi)

dilakukan

dengan

mempertimbangkan kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Beberapa

pendekatan terangkum dalam tabel berikut ini.7


Tabel 5. Terapi cairan elektrolit

10

Tabel 6. Rumatan cairan berdasarkan Holliday segar

Strategi untuk rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung disesuaikan. Cara rehidrasi6 : 1. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 3, 4 di atas), banyak cairan yang diberikan (D) = derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc 2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam atau rumus holliday-segar untuk anak-anak) 3. Pemberian cairan : o 6 jam I = D + M atau 8 jam I = D + M (menurut Guillot7) o 18 jam II = D + M atau 16 jam II = D + M (menurut Guillot7) b. Kelebihan volume Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenik (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air

11

dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.9,10 Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.10 2. Perubahan konsentrasi - Hiponatremia Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% sebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg. 12 Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus8: Na= Na1 Na0 x TBW Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq) Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan Na0 = Na serum yang aktual TBW = total body water = 0,6 x BB (kg) - Hipernatremia Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan 12

mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.12 - Hipokalemia Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infus potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat). Rumus untuk menghitung defisit kalium8: K = K1 K0 x 0,25 x BB K = kalium yang dibutuhkan K1 = serum kalium yang diinginkan K0 = serum kalium yang terukur BB = berat badan (kg) - Hiperkalemia Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, 13

diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.3 3. Perubahan komposisi - Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg) Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting. 9 - Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg) Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.9 - Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)

14

Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.9 - Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L) Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.9 2.5 Cairan Pada Perioperatif Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.5 Faktor-faktor preoperatif : 1. Kondisi yang telah ada Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh

15

stres akibat operasi. 2. Prosedur diagnostik Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis osmotik. 3. Pemberian obat Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan elektrolit 4. Preparasi bedah Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit dari traktus gastrointestinal. 5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada 6. Restriksi cairan preoperatif Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan. 7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi. Faktor Perioperatif : 1. Induksi anestesi Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi. 16

2. Kehilangan darah yang abnormal 3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi) 4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan. Faktor postoperatif : 1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi 2. Peningkatan katabolisme jaringan 3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif 4. Risiko atau adanya ileus postoperatif Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi perioperatif adalah : 1. Hiperkalemia 2. Asidosis metabolik 3. Alkalosis metabolik 4. Asidosis respiratorik 5. Alkalosis repiratorik 2.6 Patofisiologi Trauma, pembedahan dan anestesi akan menimbulkan perubahan-perubahan pada keseimbangan air dan metabolisme yang dapat berlangsung sampai beberapa hari pasca trauma atau bedah. Perubahan-perubahan tersebut terutama sebagai akibat dari : - Kerusakan sel di lokasi pembedahan

17

- Kehilangan dan perpindahan cairan baik lokal maupun umum - Pengaruh puasa pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah - Terjadi peningkatan metabolisme, kerusakan jaringan dan fase penyembuhan Perubahan yang terjadi meliputi perubahan-perubahan hormonal seperti: 1. Kadar adrenalin dan non adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca bedah atau trauma. Sekresi hormon monoamin ini lebih meningkat lagi bila pada penderita tampak tanda-tanda sepsi, syok, hipoksia dan ketakutan. 2. Kadar glukagon dalam plasma juga meningkat 3. Sekresi hormon dari kelenjar pituitaria anterior juga mengalami peningkatan yaitu growth hormone dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Trauma atau stres akan merangsang hipotalamus sehingga dikeluarkan corticotropin releasing factor yang merangsang kelenjar pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH. Peningkatan kadar ACTH dalam sirkulasi menyebabkan glukokortikoid plasma meningkat sehingga timbul hiperglikemia, glikolisis dan peninggian kadar asma lemak. 4. Kadar hormon antidiuretik (ADH) mengalami peningkatan yang berlangsung sampai hari ke 2-4 pasca bedah/trauma. Respon dari trauma ini akan mengganggu pengaturan ADH yang dalam keadaan normal banyak dipengaruhi oleh osmolalitas cairan ekstraseluler. 5. Akibat peningkatan ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap penurunan volume darah atau cairan ektraseluler selalu menimbulkan rangsangan untuk pelepasan aldosteron.

18

6. Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan lakilaki. Derajat perubahan-perubahan tersebut di atas sangat bervariasi bagi setiap individu tergantung dari beberapa faktor : - Rasa sakit dan kualitas analgesi - Rasa takut dan sedasi yang diberikan - Komplikasi penyulit pada pasca bedah/trauma (syok, perdarahan, hipoksia atau sepsis) - Keadaan umum penderita - Berat dan luasnya trauma 2.7 Dasar-Dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam pemberian cairan perioperatif, yaitu :8 1. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit). 2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai

19

penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan. 3. Kehilangan cairan saat pembedahan a. Perdarahan Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : - Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah (suction pump) - Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah 100-10 ml. Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah. b. Kehilangan cairan lainnya

20

Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler. 4. Gangguan fungsi ginjal Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan: Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun. Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kadar aldosteron. Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat.

21

Ginjal tidak mampu mengekskresikan free water atau untuk menghasilkan urin hipotonis.

5. Pengganti defisit Pra bedah2,13 Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.7 2.8. Terapi cairan selama pembedahan Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang. 1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata

22

(ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan. 2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R. 3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.
Tabel 7. Rates of Fluid Administration to Replace Third Space Losses

2.9 Terapi Cairan dan Elektrolit Pasca Bedah Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini: 1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH

23

yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan. 2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah: - Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1C suhu tubuh - Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah. - Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan humidifikasi. 3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen. 4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.6 2.10 Pilihan Jenis Cairan 1. Cairan Kristaloid

24

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (1967) di medan perang Vietnam turut memperkuat penelitan yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
Tabel 8. komposisi cairan kristaloid

25

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida. 2. Cairan Koloid Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.

26

Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).

Tabel 9 komposisi cairan koloid

27

Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match. Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid: a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Prekallikrein activators (Hagemans factor fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler. b. Koloid sintesis yaitu: 1. Dextran: Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. 28

Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu. 2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch) Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat. 3. Gelatin Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu: - modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell) - Urea linked gelatin - Oxypoly gelatin 29

Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea linked gelatin.

Tabel 10. Perbedaan kristaloid dan koloid

30

31

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Penatalaksaan terapi cairan pada seseorang yang akan menjalani operasi merupakan bagian yang penting dalam penatalaksanaan holistik pasien perioperatif. Kebutuhan cairan perioperatif dapat berubah dengan cepat akibat tindakan anastesi, prosedur operasi yang komplek, perubahan suhu tubuh dan lingkungan, metabolisme serta perpindahan cairan antar kompartemen. Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh

didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam metabolisme sel, sehingga amat penting dalam menunjang kehidupan. Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama pembedahan ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif. Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau

mengembalikan volume dan komposisi normal cairan tubuh. Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan untuk terapi cairan adalah cairan kristaloid dan cairan koloid. 1

32

DAFTAR PUSTAKA 1. Latief, S.A., Suryadi, K. A., Dachlan, M.R. Terapi Cairan pada Pembedahan. Dalam petunjuk praktis Anestesiologi, Edisi II. Bagian anestesioloi dan terapi intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.133-40. 2. Pandey, C.K. Singh, R.B. Fluid and Electrolyte Disorder. Indian J. Anaesh. 2003;47(5):380-387. 3. Kaswiyan, U. Terapi Cairan Perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi. Fakultas Kedokteran Unpad/RS. Hasan Sadikin. 2000. 4. Heitz U, Horne, M.M. fluif, Electrolytr and Acid Base Balance. 5 th ed. Missouri: elsevier-mosby; 2005.p3-227 5. Guyton, A.C., Hall, J.E. textbook of medical physiologi. 9 th ed. Pennsylvania: W.B. Saunders, company; 1997: 375-395. 6. Leksana, E. Terapi cairan dan elektrolit. SMF/bagian anestesi dan terapi intensif FK UNDIP, Semarang; 2004: 1-90. 7. Schwartz, SI. Ed. Principles of surgeri companion handbook. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 1999:53-70 8. Silbernagl, F., Lang F. Color atlas of pathophysiology. Stuttgart: Thieme; 2000:122-3. 9. Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State Universitiy-Center for Veterinary health. 2006. Tersedia dari: http://member.tripod.com/lyser/ivfs.htm. 10. Miller RD. Anesthesia 7th ed. Churchill Livingstone Philadelphia. 2009

33

11. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4ed. Appleton & Lange Stamford. 2006. 12. Tuck JP, Gosling P, Lobo DN, et al. British Consensus Guidelines on Intravenous Fluid Therapy for Adult Surgical Patients. GIFTASUP. 7 March 2011. 13. Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Padjadjaran. Bagian

Farmakologi Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

34

Anda mungkin juga menyukai