Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP PENYAKIT EPILEPSI 1.

Pengertian - Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel (Tarwoto, 2007). - Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000). - Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008). - Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori. - Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel - Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. - Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. 2. Epidemiologi Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negaranegara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang. 3. Etiologi Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.

Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-anak. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak

o o

o o o

1. Epilepsi Primer (Idiopatik) Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik). Sering terjadi pada: 1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum 2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf 3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol 4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia) 5. Tumor Otak 6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007) 2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik) Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma. Penyebab step / childhood epilepsi / epilepsi anak-anak:

fever / panas (these are called febrile seizures)

genetic causes head injury / luka di kepala. infections of the brain and its coverings lack of oxygen to the brain/ kekurangan oksigen, terutama saat proses kelahiran. hydrocephalus/pembesaran ukuran kepala (excess water in the brain cavities) disorders of brain development / gangguan perkembangan otak. Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah

epilepsi idopatik, remote symptomatic epilepsy (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas. Sementara itu, dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pascaawitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut: Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama. Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain: a. Epilepsi Grand Mal Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan dari neuron diseluruh area otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan di batang otak dan talamus. Kejang grand mal berlangsung selama 3 atau 4 menit. b. Epilepsi Petit Mal Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau penurunan kesadaran selama 3 sampai 30 detik, di mana selama waktu serangan ini penderita

merasakan beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch- like),biasanya di daerah kepala, terutama pengedipan mata. c. Epilepsi Fokal Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regio setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal disebabkan oleh resi organik setempat atau adanya kelainan fungsional. 4. Patofisiologi Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di otak. Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi). Secara Patologi : Fenomena biokimia sel saraf yang menandai epilepsi : 1. Ketidakstabilan membran sel saraf. 2. Neuron hypersensitif dengan ambang menurun. 3. Polarisasi abnormal. 4. Ketidakseimbangan ion. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gamaaminobutirat (GABA).

Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

5. Manifestasi klinik 1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan 2. Kelainan gambaran EEG 3. Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen 4. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya) 1. Sawan Parsial (lokal, fokal)

Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal 1. Dengan gejala motorik Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja

Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson. Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh. Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

1. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.

Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum. Visual : terlihat cahaya Auditoris : terdengar sesuatu Olfaktoris : terhidu sesuatu Gustatoris : terkecap sesuatu Disertai vertigo berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).

1. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, 2. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur) Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, kalimat. mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi. Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah. Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut. Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar. Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran) 1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.

fenomena tertentu, dll.

Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran. Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran. Hanya dengan penurunan kesadaran Dengan automatisme klonik)

1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, 2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum. 3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum. 4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum. 1. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif) 1. Sawan lena (absence) Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama menit dan biasanya dijumpai pada anak. 1. i. 2. ii. 3. iii. 4. iv. Hanya penurunan kesadaran Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher

pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral. tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai. atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang. 5. v. 6. vi. 7. vii. Dengan automatisme Dengan komponen autonom. Lena tak khas (atipical absence)

Dapat disertai: 1. Gangguan tonus yang lebih jelas. 2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak. a. Sawan Mioklonik Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur. b. Sawan Klonik Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak. c. Sawan Tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak. d. Sawan Tonik-Klonik Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala. e. Sawan atonik Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak. f. Sawan Tak Tergolongkan Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana. 6. Klasifikasi kejang 1. Kejang Parsial a. Parsial Sederhana Gejala dasar, umumnya tanpa gangguan kesadaran. Misal: hanya satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak umum/tdk nyaman b. Parsial Kompleks Dengan gejala kompleks, umumnya dengan ganguan kesadaran. Dengan gejala kognitif, afektif, psiko sensori, psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, tetapi individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat 2. Kejang Umum (grandmal) Melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi Terjadi kekauan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian

dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik) Disertai dengan penurunan kesadaran, kejang umum terdiri dari: a. Kejang Tonik-Klonik b. Kejang Tonik : keadaan kontinyu c. Kejang Klonik : Kontraksi otot mengejang d. Kejang Atonik : Tidak adanya tegangan otot e. Kejang Myoklonik : kejang otot yang klonik f. Spasme kelumpuhan g. Tidak ada kejang h. Kejang Tidak Diklasifikasikan/ digolongkan karena datanya tidak lengkap. 7. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pungsi Lumbar Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi. a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher) b. Mengalami complex partial seizure c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya) d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat) e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal. f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan. 2. EEG (electroencephalogram) EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

3. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin. 4. Neuroimaging (CT-Scan dan MRI) Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya. 8. Pencegahan Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obatobatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini. 9. Pengobatan Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll. Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya. Macam Obat-obatan 1. Fenitoin (PHT) Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter. 2. Karbamazepin (CBZ) Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik. 3. Fenobarbital (PB) Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran Clyang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase. 4. Asam valproat (VPA) VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase. 5. Gabapentin (GBP) Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA. 6. Lamotrigin (LTG) Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.

7. Topiramate (TPM) Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11 8. Tiagabine (TGB) Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme. 10. Komplikasi 1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang 2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas ( Elizabeth, 2001 : 174 ) KONSEP KEPERAWATAN PASIEN DENGAN EPILEPSI 1. Pengkajian data dasar Data dasar adalah dasar untuk mengindividualisasikan rencana asuhan keperawatan, mengembangkan dan memperbaiki sepanjang waktu asuhan perawat untuk klien. Pengumpulan data harus berhubungan dengan masalah kesehatan tertentu dengan kata lain data pengkajian harus relevan ( Potter, 2005 : 144 ) Identitas atau biodata terdiri dari tinggi atau kesiapan psikis. Pendidikan untuk mengetahui wawasan dan pengetahuan, agama untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, pekerjaan untuk mengetahui status sosial ekonomi dan alamat untuk mengetahui komunitasnya Riwayat keperawatan sekarang didapatkan dengan pengkajian dari penyakit saat ini, riwayat kesehatan keluarga. Pada pengkajian riwayat penyakit saat ini diperoleh dengan pengumpulan data yang penting dan berkaitan tentang awitan gejala. Perawat menentukan kepan gejala timbul, apakah gejala selalu timbul atau hilang dan timbul. Perawat juga menanyakan tentang durasi gejala. Pada bagian tentang riwayat penyakit sat ini perawat mencatatkan informasi spesifik seperti letak, intentitas dan kualitas gejala Riwayat kesehatan masa lalu diperoleh dengan pengkajian tentang riwayat masa lalu sehingga memberikan data tentang pengalaman perawatan kesehatan klien. Perawat mengkaji apakah klien dirawat dirumah sakit atau pernah menjalani operasi juga penting

dalam merencanakan asuhan keperawatan adalah deskripsi tentang alergi termasuk alergi terhadap makanan, obat obatan atau polutan. Juga terdapat pada format pengkajian. Perawat juga mengidentifikasi kebiasaan dan pola gaya hidup. Penggunaan tembakau, alkohol, kafein, obat obatan atau medikasi yang secara rutin digunakan dapat membuat klien berisiko terhadap penyakit yang menyerang napas, paru paru, jantung, sistem saraf, atau berfikir dengan membuat catatan tentang tipe kebiasaan juga frekuensi dan durasi penggunaan akan memberikan data yang penting Pengkajian pada riwayat keluarga adalah untuk mendapatkan data tentanghubungan kekeluargaan langsung dan hubungan darah. Sasarannya adalah untuk menentukan apakah klien beresiko terhadap penyakit yang bersifat genetik atau familial dan untuk mengidentifikasi area tentang promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Riwayat keluarga juga memberikan informasi tentang struktur keluarga, interaksi dan fungsi yang mungkin berguna dalam merencanakan asuhan, keperawatan ( Potter, 2005 : 158 ) Pada pola pengkajian fungsional, penulis menggunakan pola pengkajian menurut Virginia Handerson karena teory keperawatan tersebut (Handerson, 1955 ) mencakup seluruh kebutuhan dasar manusia. Handerson ( 1964 ) mengidentifikasikan keperawatan sebagai membantu individu yang sakit dan yang sehat dalam melaksanakan aktivitas yang memiliki kontribusi terhadap kesehatan dan penyembuhannya dimana individu tersebut akan mampu mengerjakannya tanpa bantuan. Bila ia memiliki kekuatan, kemampuan dan kebutuhan. Dalam hal ini dilakukan agar dapat mengembalikan kembali kemandiriannya secepat mungkin ( Potter, 2005 : 159 ) Pengkajian fisik pada kasus ini difokuskan pada sistem persyarafan dan sistem neurologis bertanggung jawab terhadap banyak fungsi, termasuk stimulus sensori, organisasi proses berfikir, kontrol bicara dan penyimpanan memori. Kebutuhan dasar menurut Virgina Handerson memberikan kerangka kerja dalam melakukan asuhan keperawatan diantaranya : 1. Bernafas secara normal Bantuan yang dapat diberikan kepada klien oleh perawat adalah membantu memilih tempat tidur, kursi yang cocok, serta menggunakan bantal, alas dan sejenisnya sebagai alat pembantu klien agar dapat bernafas dengan kontrol dan kemampuan mendemonstrasikan serta menjelaskan pengaruhnya kepada klien. Perawat harus waspada terhadap tandatanda obstruksi jalan nafas dan siap memberikan bantuan dalam keadaan tertentu 2. Kebutuhan akan Nutrisi Perawat harus mampu memberikan penjelasan mengenai tinggi dan berat badan yang normal, kebutuhan nutrisi yang diperlukan, pemilihan dan penyediaan makanan, pendidikan, kesehatan akan berhasil apabila diperhatikan latar belakang kultural dan sosial klien. Untuk

itu perawat harus mengerti kebiasaan, kepercayaan klien tentang nutrisi disamping nutrisi dan tumbuh kembang 3. Kebutuhan Eliminasi Perawatan dasarnya meliputi semua pengeluaran tubuh, perawat harus mengetahui semua saluran pengeluaran dan keadaan normalnya. Jarak waktu pengeluaran dan frekuensi pengeluaran yang meliputi keringat. Udara yang keluar saat bernafas, menstruasi, muntah, buang air besar atau kecil 4. Gerak dan Keseimbangan Tubuh Perawat harus mengetahui tentang prinsip prinsip keseimbangan tubuh miring dan besar artinya perawat harus bisa memberikan rasa nyaman dalam semua posisi dan tidak membiarkan terbaring terlalu lama pada satu sisi. Perawat harus dapat melindungi pasiennya selama sakit dengan berhati hati saat memindahkan dan mengangkat 5. Kebutuhan Istirahat Tidur Istirahat dan tidur tergantung pada relaksasi otot, untuk itu perawat harus mengetahui tentang pergerakan badan yang baik disamping itu juga dipengaruhi oleh emosi (stress) dimana stress merupakan keadaan dimana aktivitas dan kreatifitas dianggap patologis apabila ketegangan dapat diatasi atau tak terkontrol dengan istirahat cukup. 6. Kebutuhan Berpakaian Perawatan pada dasarnya meliputi membantu klien memilih pakaian yang tersedia dan membantu urutan memakainya. Perawat tidak boleh memaksakan pada klien pakaian yang tak sesuai dan disukai klien hal tersebut dapat menghilangkan rasa kebebasan klien. 7. Mempertahankan Temperatur Tubuh atau Sirkulasi Perawat harus mengetahui kebutuhan fisiologi pasien dan bisa mendorong kearah tercapainya keadaaan normal maupun dengan mengubah temperatur kelembapan, pergerakan udara atau dengan menguatkan serta mengurangi aktivitasnya. Menu makanan dan pakaian yang dikenakan mempengaruhi dalam hal ini. 8. Kebutuhan Akan Personal Higine Klien harus menyediakan fasilitas dan bantuan peralatan sangat dibutuhkan untuk membersihkan kulit, rambut, kuku, hidung, mulut dan giginya konsep konsep mengeanai kebersihan berbeda tiap klien tetapi tak perlu menurunkan hanya karena sakit. Sebaliknya

standart kerendah harus ditingkatkan perawat harus bisa menjaga posisinya tetap bersih terlepas dari keadaan fisik jiwa yang kotor. 9. Kebutuhan Rasa Aman Dan Nyaman Dalam keadaan sehat setiap orang bebas mengontrol keadaan sekelilingnya atau mengubah keadaan itu bila beranggapan sudah tak cocok lagi jiwa sakit sikap tersebut tidak dapat dilakukan ketidaktahuan dapat menimbulkan kekawatiran yang tak perlu baru dalam keadaan sehat atau sakit. Seorang klien mungkin mempunyai pantangan yang tak diketahui dan petugas kesehatan, kasta, adat istiadat kepercayaan dari agama mempengaruhi peraturan dasarnya meliputi melindungi klien dari trauma dan bahaya yang timbul. 10. Berkomunikasi Dengan Orang Lain Dan Mengekspresikan Emosi, Keinginan Rasa Takut Dan Pendapat Keinginan rasa takut dan pendapat dalam keadaan sehat tiap bersikap emosi tampan pada ekpresi fisik bertambah, cepatnya denyut jantun, pernafasan atau muka yang mendadak merah dinterprestaikan sebagai pernyataan jiwa atau emesi. Perawat mempunyai tugas yang kompleks baik bersifat pribadi maupun yang mengarahkan keseluruhan personalitas dalam memberi bantuan kepada klien. Perawat harus menterjemahkan dalam hubungan klien dengan temperatur dalam memasukan kesehatannya tugas terberat perawat adalah membuat klien mengerti dirinya sendiri, mengerti perubahan sikap yang memperburuk kesehatan dan menerima keadaan yang tidak dapat diubah, menciptakan lingkunagan yang teraupetik sangat membantu dalam hal ini. 11. Kebutuhan Spritual Dalam memberiakn perawatan dalam situasi apapun kebutuhan spritual klien harus dicermati dan perawatan harus membantu dalam pemenuhan kebutuhan itu. Apabila sewaktu sehat melakukan ibadah agama merupakan perintah yang penting bagi seseorang maka saat sakit hal ini menjadi lebih penting perawat, petugas keshatan lain 12. Kebutuhan Bekerja Dalam perawatan dasar maka penilaian terhadap interprestasi terhadap kebutuhanklien sangat penting rasa keberatan terhadap therapy bedrest didasarkan pada meningkatnya perasaan tak berguna karena tidak aktif 13. Kebutuhan Bermain dan Rekreasi Seringkali keadaan sakit menyebabkan seorang kehilangan kesepakatan meningkat variasi dan udara segar serta rekreasi, untuk itu perlu dipilihkan beberapa aktivitas yang sangat

dipengaruhi oleh jenis kreatifitas, umur,kecerdasan dan pengalaman serta selera klien kondisi dan keadaan penyakitnya. 14. Kebutuhan Belajar Bimbingan latihan atau pendidikan merupakan bagian dari pelayanan dasar. Fungsi perawat adalah membantu klien belajar dalam mendorong usaha penyembuhan dan meningkatkan kesehatan serta memperkuat dan mengikuti rencana therapy yang diberikan pembimbing dapat dilakukan setiap resiko saat klien perawat memberikan asuhan. Pengkajian fungsi neurologis dapat menghabisakan banyak waktu. Perawat yang efesiensi mengintegrasikan pemeriksaan neurologis dengan bagian pemeriksaan fisik lainnya sebagai contoh fungsi saraf cranial dapat diuji ketika survei kepala dan leher status emosi dan mental diobservasi pada saat data riwayat keperawatan dikumpulkan. Riwayat keperawatan untuk mengkaji sistem neurologis misalnya dengan menentukan apakah klien mengkonsumsi analgesik, tarutama apakah klien mempunyai riwayat kejang , skrining klien untuk menentukan adanya sakit kepala terutama pusing didiskusikan dengan anggota keluarga tentang adanya perubahan perilaku, kaji klien untuk adanya riwayat perubahan pada sistem penginderaan serta tinjau riwayat masa lalu untuk adanya cedera kepala ( Potter, 2005 ; 916 ). PENGKAJIAN FISIK Pengkajian fisik meliputi pemeriksan keadaan umum meliputi memeriksa adanya keluhan pada kulit, bentuk tulang, kekenyataan otot, mengukur tanda-tanda vital untuk tubuh juga inspeksi gerakan gerakan abnormal seperti fasikuli, mioclonic dll. Selanjutnya adalah pengkajian tes fungsi cerebral yang meliputi : pemeriksaan keadaan, omentasi baik tempat, waktu, daya ingat, bicara. Tes fungsi cerebral yang meliputi pengakajian secara nervus 1 12 nervus selanjutnya tes fungsi motorik dan fungsi cerebellum, tes fungsi sensori, tes fungsi reflek yang meliputi reflek fisiologis, reflek abdominal dan reflek dinal, reflek bulbocavernosa yang terakhir terangsang meningkat ( Depkes, 1995 ; 16-27 ) Pada pengkajian fisik juga dapat ditemukan data data lain diantaranya : 1. Aktivitas atau istirahat Gejala : keletihan, kelemahan, umur , keterbatasan dalam beraktivitas Tanda : perubahan tonus otot, kontraksi otot atau sekelompok otot 2. Sirkulasi Gejala : Hipertensi, peningkatan nadi,sianosis 3. Integritas Ego Gejala : Stresor eksternal atau internal yang berhubungan dengan keadaan Tanda : Pelebaran rentang respon emosional

4. Eliminasi Gejala : Inkontensia episodik Tanda : Peningkatan tekanan kandung kemih, otot relaksasi yang mengakibatkan interkontensia. 5. Makanan Gejala : Sertifitas terhadap makanan,mual muntah. Tanda : Kerusakan jaringan lunak atau gigi, hiperplasia. 6. Neorosensori Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang yang berulang, pingsan,pusing, riwayat trauma kepala. Tanda : Karakteristik kejang : a. Fase prodoumal : adanya perubahan pola pada rekreasi emosi atau respon afectif yang tak menentu. b. Keadaan umum : tonik klonik, kekakuan,penurunak kesadaran. c. Kejang parsial : pasien tetap sadar dengan aksi mimpi, melamun, jalan jalan. d. Status epiletilikus : aktivitas kejang yang terjadi terus menerus dengan spontan gejala putus anti konvulsan tiba tiba dan fenomena metabolik lain. 7. Nyeri atau Kenyamanan Gejala : Sakit kepala, nyeri otot,nyeri abnormal. Tanda : Sikap dan tingkah laku perubahan tonus otot. 8. Pernafasan Gejala : Gigi mengatup,siasonis pernapasan dan turun cepat, peningkatan sekresi mukus. 9. Keamanan Gejala : Riwayat jatuh, fraktur Tanda : Tauma pada jaringan lunak, penurunan kekuatan otot 10. Interaksi Sosial Gejala : Masalah dalam hubungan inter personal dalam keluarga dan lingkungan sosialnya. ( Doenges, 2000; 259 ) b. Fokus Intervensi 1. Resiko tinnggi terhadap trauma, pengeentian pernapsan b/d kelemahan, kesulitan kesimbangan, keterbatasan kognitif, kehilangan koordinasi otot besar atau kecil, kesulitan emosional - Hasil yang diharapkan : a. Mampu mengungkapkan pemaham faktor yang menunjang kemunginan trauma b. Mendemonstrasikan perilaku perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko c. Mampu mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan

d. Mampu mempertahankan antara pengobatan sesuai indikasi e. Mampu mengidentifikasi tindakan yang diambil bila terjadi kejang - Intervensi 1. Gali bersaka pasien berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang Rasionalisasi : alkohol, berbagai obat dan stimulasi lain dapat meningkatkan resiko terjadinya kejang 2. Pertahankanlah bantalan lunak pada penghalang temapt tidur Rasionalisasi : mengurangi trauma saat kejang selama pasien berada ditempat tidur 3. Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi Rasionalisasi : membantu untuk melokalisasi daerah otot yang terkena 4. Lakukan penilaian neurologis atau tanda tanda vital setelah kejang Rasionalisasi : mencatat keadaan pewintal dan waktu penyembuhan pada keadaan normal 5. Observasi munculnya tanda tanda status epileptikus Rasionalisasi : untuk keadaan darurat yang mengamcamhidup yang dapat menyebabkan henti nafas, hipolsia, kerusakan pada otak atau sel saraf 2. Pola nafas tidak efectif b/d merusakan neuromuskuler, obstruksi trakea bronkial kerusakan persepsi - Hasil yang diharapkan : Mampu mempertahankan pola nafas yang efectif dengan jalan nafas paten aspirasi dicegah - Intervensi : a. Anjurkan pasien mengosongkan mulut dari makanan Rasionalisasi : menurunkan resiko aspirasi atau masuknya suatu benda asing ke faring b. Letakan pasien pada posisi miring, permukaan datar, meiringkan kepala secara serangan kejang Rasionalisasi : meningkatkan aliran sekret mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas c. Masukan spatel lidah sesuai indikasi Rasionalisasi : mencegah tergigitnya lidah dan menfasilitasi saat melakukan penghiasapan lendir. d. Lakukan penghisapan sesuai indiaksi Rasionalisasi : menurunkan resiko aspirasi serebal sebagai akibat di sirkulasi yang menurun e. Berikan tambahan oksigen Rasionalisasi : dapat menurunkan hipeksia serebal sebagai akibat di sirkulasi yang menurun 3. Gangguan harga diri, identitas pribadi b/d stigma berkenaan dengan

kondisi,persepsi tentang tidak kekontrol - Hasil yang diharapkan :

a. Mampu mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dengan persepsi negatif pada diri sendiri b. Mampu meningkatkan masa harga diri dalam hubungan diagnosis c. Mampu mengungkapkan persepsi realitis dan penerimaan diri dalam perubahanperan atau gaya hidup - Intervensi : a. Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik persepsi diri terhadap penanganan yang dilakukan Rasionalisasi : reaksi yang ada bervariasi diantaranya individu dan pengetahuan atau pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya akan mempengaruhi pengobatan b. Identifikasi kemungkinan reaksi orang lain pada keadaan penyakitnya Rasionalisasi : memberikan kesempatan untuk bevespen pada proses pemecahan masalah dan memberikan kesadaran kontrol terhadap situasi yang dihadapi c. Gali bersama pasien mengenai keberhasilan yang telah diperoleh Rasionalisasi : memfokuskan pada aspek yang positif dapat membantu untuk menghilangkan perasaan dari kegagalan atau untuk kesadaran terhdap diri sendiri d. Hindari pemberian perlindungan yang amat berlebihan pada pasien Rasionalisasi : Partisipasi dalam sebanyak mungkin pengalaman dapat mengurangi depresi tentang keterbatasan e. Tekankan pentingnya orang terdekat untuk tetap dalam keadaan terang selama kejang Rasionalisasi : ansietas dari pemberian asuhan dalam menjalankan dan bila sampai pada pasien dapat meningkatkan persepsi kognitif terhadap keadaan lingkungan 4. Kurang pengetahuan b/d kurang pemanjaan kesalahan interprestasi informasi, keterbatasan kognitif kegagalan untuk berubah - Hasil yang diharapkan a. Mampu mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsangan yang dapat meningkatkan aktivitas kejang b. mampu memulai perubahan perilaku gaya hidup sesuai indikasi c. menaati aturan obat yang diresepkan - Intervensi : a Jelaskan kembali tentang patofisiologi penyakitnya Rasionalisasi : memberikan kesempatan untuk mengklasifikasikan kesalahan persepsi dan keadaan penyakit b. Beri petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan Rasionalisasi : dapat menurunkan iritasi lambung, mual dan muntah c. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik Rasionalisasi : aktivitas yang sedang dan teratur dapat membantu menurunkan faktor

predisposisi yang meningkatkan perasaan sehat d. Tinjau kembali kebersihan mulut dan perawatan gigi Rasionalisasi : menurunkan resiko infeksi mulut dan hiperplsia digusi ( Donges, 2000;262 ) 4. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan). Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh Intervensi Observasi: 1. Identivikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera 2. Barang-barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang 3. Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan Mandiri 1. Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang 2. Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol 3. Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh 4. Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien 5. Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali 6. Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar 7. Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien Kolaborasi: 1. Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter 2. Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak

Edukasi: 1. Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang. 2. Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan 3. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera 5. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva Tujuan : jalan nafas menjadi efektif Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea Intervensi Mandiri 1. Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal. 2. Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar 3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen 4. Melakukan suction sesuai indikasi Kolaborasi 1. Berikan oksigen sesuai program terapi menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring. meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada 2. Mengeluarkan mukus yang berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia 3. Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang. 6. sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat Tujuan: mengurangi rendah diri pasien Kriteria hasil: adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat

Intervensi Observasi: 1. Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien 2. Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien Mandiri 1. Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien 2. Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri Kolaborasi: Kolaborasi dengan tim psikiater Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri. Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya. Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama. Edukasi: 1. Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien 2. Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular). Rencana Keperawatan a. b. c. Potensial kecelakaan sehubungandengan penurunan kesadaran, kelemahan fisik, gerak otot tonik klonik. Potensial terjadi sumbatan jalan nafas sehubungan dengan tracheo bronkhial, gangguan persepsi dan neuro muskuler. Gangguan konsep diri sehubungan dengan stigma sosial, salah persepsi dari lingkungan sosial. d. Gangguan mekanisme koping (koping tidak efektif) sehubungan dengan terdiagnose epilepsi dan keterikatan dengan obat. e.. 6. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit (epilepsi) dan pengobatannya sehubungan dengan mis interpretasi dan kurang informasi. Rencana tindakan obstruksi

NO 1.

Diagnosa Dx 1

Tujuan Serangan dikendalikan komplikasi dihindari

Implementasi dapat 1. Cegah dan kendalikan kejang dan 2. klien 3. Siapkan spatel lidah di dekat klien 4. Hindarkan klien sendirian 5. Usahakan agar tempat tidur klien serendah mungkin 6. Jangan pernah mengikat klien dengan Alasan apapun 7. Jangan memasukkan benda apapun kemulut saat terjadi serangan 8. Pasang gudel saat serangan berkurang 9. Miringkan klien pada salah satu sisi 10. Obserpasi adanya tanda-tanda status epileptikus 11. Upayakan agar klien mampu mengenali faktor pencetus dan tanda-tanda serangan 12. Lakukan tindakan kolaborasi : a. Pemberian obat anti konvulsan b. Siapkan klien untuk EEG, pengambilan bahan lab elektrolit, cairan cerebro spinal, darah lengkap, BUN, Creatinin, Glukosa darah, PO2 dan PCO2. 13. Observasi fase-fase kejang 14. Analisa ambulasi klien klien Hindarkan lingkungan agar aman dari dapat kemungkinan yang dapat menimbulkan cedera bagi

Dx. 2

Jalan nafas tetap paten

1.

Anjurkan agar klien mengosongkan mulut jika

fase aura dapat dikenali 2. Buat klien dalam posisi miring pada salah satu sisi untuk menghindari adanya aspirasi 3. 4. Mengupayakan jalan nafas tetap paten Memberikan oksigen sesuai dengan indikasi

5. Lakukan penghisapan lendir dengan cara yang benar 6. Siapkan klien untuk pemasangan intubasi dan

ambu bag. 7. Selalu ingatkan untuk menjaga kebersihan mulut Untuk mencegah aspirasi 3 Dx. 3 dan Mampu 4 menampilkan 1.Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan 2.Ajarkan klien dan keluarga untuk mengidentifikasi beberapa reaksi orang terhadap pasien 3. Anjurkan dan ingatkan untuk mengidentifikasikan keberhasilan yang telah diperoleh 4. terhadap klien 5.Bantulah klien untuk meluruskan kesan orang lain terhadap klien dan kesan klien terhadap orang lain 6.Selalu bersikap tenang baik itu pasien, pemberi pelayanan atau keluarga saat terjadi serangan kejang 7.Anjurkan untuk berkonsultasi dengan spesialis tertentu seperti psikolog 8.Diskusikan pentingnya untuk berusaha menerima keterbatasan yang ada. 9.Mampu menyesuaikan pola hidup sesuai dengan keadaan klien 4 Dx. 5 Mampu menjelaskan 1.Menjelaskan kembali proses penyakit serta Jangan terlalu melakukan proteksi

konsep diri yang positif

mengenai proses peny., prognosanya. prognosa, kemungkinan 2.Menjelaskan kembali tentang pentingnya obat komplikasi dimiliki dan serta mengobservasi efek dari obat tersebut. dan obat, dan selalu diingatkan bahwa dosis terapeutik keterbatasan diri yang 3.Buatkan petunjuk yang jelas dalam pemberian melaksanakan program saat ini dapat berubah suatu saat. pengobatan serta follow 4.Diskusikan efek samping dari obat. up secara tepat dan 5.Anjurkan agar klien membawa tanda khusus. teratur 6.Jelaskan pentingnya follow up.

7.

Evaluasi

Evaluasi merupakan bagian akhir dari proses keperawatan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan tindakan yang telah dilakukan. Disamping itu evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pengkajian untuk proses berikutnya. Pada kasus epilepsi evaluasi dilakukan atas tindakan yang dilakukan sesuai dengan diagnosa dan tujuan yang sudah ditetapkan. 1. Frekuensi dan faktor pencetus serangan dapat diidentifikasi, lingkungan aman, klien tahu berperilaku untuk mencegah trauma jika muncul serangan, keluarga tidak meninggalkan klien sendiri terutama saat faktor pencetus paparannya meningkat. 2. 3. 4. Klien dapat mengambil posisi yang stabil, tidak menelan sesuatu, jika fase aura mulai Klien mampu menampakkan kesan diri yang positif, keluarga aktif memberikan Klien mampu menjelaskan tentang penyakit, penanganan, prognose, serta waktu muncul, kebutuhan O2 klien dapat terpenuhi terutama pada saat serangan. dukungan dukungan kepada klien. pengobatan. Klien mengerti dan mau melakukan follow up secara teratur. Klien dapat menyesuaikan pola hidupnya sesuai dengan keadaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Dongoes M. E. et all, 1989, Nursing Care Plans, Guidelines for Planning Patient Care, Second Ed, F. A. Davis, Philadelpia. Harsono (ED), 1996, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hudac. M. C. R and Gallo B. M, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (Terjemahan), Edisi VI, EGC, Jakarta Indonesia. Kariasa Made, 1997, Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi, FIK-UI, Jakarta. Luckman and Sorensen S, 1993, Medikal Surgical Nursing Psychology Approach, Fourt Ed, Philadelpia London. Price S. A and Wilson L. M, 1982, Pathofisiology, Clinical Concepts of Desease Process, Second Ed, St Louis, New York.

Anda mungkin juga menyukai