Anda di halaman 1dari 22

Kamis, 26 Mei 2011

askep hipospadia

A. DEFINISI Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa muara uretra yang terletak di sebelah ventral penis dan sebelah prokimal ujung penis. Hipospadia merupakan salah satu dari kelainan congenital paling sering pada genitalia laki laki, terjadi pada satu dalam 350 kelahiran laki-laki, dapat dikaitkan dengan kelainan kongenital lain seperti anomali ginjal, undesensus testikulorum dan genetik seperti sindroma klinefelter. B. ETIOLOGI Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain : 1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon Hormon yang dimaksud di sini adalah hormon androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormon androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormon androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama. 2. GenetikaTerjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi. 3. LingkunganBiasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

C. MANIFESTASI KLINIS 1. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus. 2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis. 3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar. 4. Kulit penis bagian bawah sangat tipis. 5. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada. 6. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis. 7. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok. 8. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum). 9. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal. Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung ke arah bawah yang akan tampak lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini disebabkan oleh adanya chordee yaitu suatu jaringan fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke glands penis. Jaringan fibrosa ini adalah bentuk rudimeter dari uretra, korpus spongiosum dan tunika dartos. Walaupun adanya chordee adalah salah satu ciri khas untuk mencurigai suatu hipospadia, perlu diingat bahwa tidak semua hipospadia memiliki chordee. D PATOFISIOLOGI Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero. Terjadi karena adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke 10 sampai minggu ke 14. Gangguan ini terjadi apabila uretra jatuh menyatu ke midline dan meatus terbuka pada permukaan ventral dari penis. Propusium bagian ventral kecil dan tampak seperti kap atau menutup. E. KLASIFIKASI Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus : 1. Tipe sederhana/ Tipe anterior Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal. Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi. 2. Tipe penil/ Tipe Middle Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal. Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih.

Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya. 3. Tipe Posterior Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal. Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun. Klasifikasi hipospadia yang digunakan sesuai dengan letak meatus uretra yaitu tipe glandular, distal penile, penile, penoskrotal, skrotal dan perineal. Semakin ke proksinal letak meatus, semakin berat kelainan yang diderita dan semakin rendah frekuensinya. Pada kasus ini 90% terletak di distal di mana meatus terletak di http://nursingforuniverse.blogspot.com/ ujung batang penis atau di glands penis. Sisanya yang 10% terletak lebih proksimal yaitu ditengah batang penis, skrotum atau perineum. Berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan koreksi korde, Brown membagi hipospadia dalam 3 bagian : (1) Hipospadia anterior : tipe glanular, subkoronal, dan penis distal. (2) Hipospadia Medius : midshaft, dan penis proksimal (3) Hipospadia Posterior : penoskrotal, scrotal, dan perineal. F PERKEMBANGAN EMBRIONIK DARI HIPOSPADIA Perkembangan dari penis dan skrotum dipengaruhi oleh testis. Tanpa adanya testis, maka struktur wanita seperti klitoris, labia minora dan labia mayora dominan, tetapi dengan adanya testis, klitoris membesar menjai penis, sulkus antara labia minora terbentuk menjadi uretra dan labia mayora berkembang menjadi skrotum, ke dalam sana testis kemudian turun. Hipospadia terjadi jika sel testis yang berkembang secara premature berhenti memproduksi androgen, karena itu menimbulkan interupsi konversi penuh dari genitalia eksterna menjadi bentuk laki laki. G. MASALAH PADA HIPOSPADIA 1. Masalah psikologis pada anak karena merasa malu akibat bentuk penis yang berbeda dengan teman bermainnya. 2. Masalah reproduksi karena bentuk penis yang bengkok menyebabkan penis susah masuk ke dalam vagina saat kopulasi, cairan semen yang disemprotkan melalui saluranuretra pada tempat abnormal. 3. kesulitan penentuan jenis kelamin terutama jika meatu uretra terletak di perineum dan skrotum terbelah dengan disertai kriptorkismus. 4. Biaya yang cukup besar karena prosedur operasi yang bertahap http://nursingforuniverse.blogspot.com/ 5. Kemungkinan adanya kelainan congenital yang lain seperti kelainan ginjal

sehingga perlu dianjurkan untuk pemerikaan foto polos abdomen dan pielografi intravena. H. PENATALAKSANAAN Dikenal banyak tehnik operai hipospadia, yang umumnya terdiri dari beberapa tahap yaitu : 1. Operasi pelepasan chordee dan tunneling Dilakukan pada usia 1,5-2 tahun. Pada tahap ini dilakukan operasi eksisi chordee dari muara uretra sampai ke glands penis. Setelah eksisi chordee maka penis akan menjadi lurus tetapi meatus uretra masih terletak abnormal. Untuk melihat keberhasilan eksisi dilakukan tes ereksi buatan intraoperatif dengan menyuntikkan NaCL 0,9% kedalan korpus kavernosum. 2. Operasi uretroplasty Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis bagian ventral yang di insisi secara longitudinal pararel di kedua sisi. Tujuan pembedahan : 1. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial, serta 2. Perbaikan untuk kosmetik pada penis. Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan Devine. 1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap: a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 -2 tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak. Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang. 2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah. Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap, urine lengkap Uretroskopi I. PRINSIP TERAPI DAN MANAGEMEN PERAWATAN 1. Koreksi bedah. 2. Persiapan prabedah 3. Penatalaksanaan pasca bedah Anak harus dalam tirah baring Baik luka penis dan tempat luka donor harus dijaga tetap bersih dan kering Perawatan kateter Pemeriksaan urin untuk memeriksa kandungan bakteri Masukan cairan yang adekuat untuk mempertahankan aliran ginjal dan mengencerkan toksin Pengangkatan jahitan kulit setelah 5-7 hari I. KOMPLIKASI Komplikasi yang biasa terjadi antara lain striktur uretra (terutama pada sambungan meatus uretra yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fistula. 1. Infertility 2. Resiko hernia inguinalis 3. Gangguan psikososial J ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1. Fisik a. Pemeriksaan genetalia b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada ginjal. c. Kaji fungsi perkemihan d. Adanya lekukan pada ujung penis e. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi f. Terbukanya uretra pada ventral g. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria, drinage. 2. Mental a. Sikap pasien sewaktu diperiksa b. Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan c. Tingkat kecemasan d. Tingkat pengetahuan keluarga dan pasieN K. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL

1. Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur

pembedahan dan perawatan setelah operasi. 2. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter. 3. Nyeri berhubungan dengan pembedahan 4. Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan 5. Risiko injuri berhubungan dengan pemasangan kateter atau pengangkatan kateter.

L. IMPLEMENTASI 1. Diagnosa 1 dan 4 Tujuan : memberikan pengajaran dan penjelasan pada orang tua sebelum operasi tentang prosedur pembedahan, perawatan setelah operasi, pengukuran tandatanda vital, dan pemasangan kateter. a. Kaji tingkat pemahaman orang tua. b. Gunakan gambar-gambar atau boneka untuk menjelaskan prosedur, pemasangan kateter menetap, mempertahankan kateter, dan perawatan kateter, pengosongan kantong urin, keamanan kateter, monitor urine, warna dan kejernihan, dan perdarahan. c. Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis serta waktu pemberian. d. Ajarkan untuk ekspresi perasaan dan perhatian tentang kelainan pada penis. e. Ajarkan orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan sebelum dan sesudah operasi (pre dan post) 2. Diagnosa 2 Tujuan : mencegah infeksi a. Pemberian air minum yang adekuat b. Monitor intake dan output (pemasukan dan pengeluaran) c. Kaji gaya gravitasi urine atau berat jenis urine d. Monitor tanda-tanda vital e. Kaji urine, drainage, purulen, bau, warna f. Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter g. Pemberian antibiotik sesuai program 3. Diagnosa 3 Tujuan : meningkatkan rasa nyaman a. Pemberian analgetik sesuai program b. Perhtikan setiap saat yaitu posisi kateter tetap atau tidak c. Monitor adanya kink-kink (tekukan pada kateter) atau kemacetan d. Pengaturan posisi tidur anak sesuai kebutuhannya 4. Diagnosa 5 Tujuan : mencegah injuri a. Pastikan kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas b. Gunakan restrain atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah. c. Hindari alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi kateter dan penis.

Perencanaan pemulangan 1. Ajarkan tentang perawatan kateter dan pencegahan infeksi dengan disimulasikan. 2. Jelaskan tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke dokter atau perawat. 3. Jelaskan pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang (follow up).

KAMU JUGA BISA LIAT DIAGNOSA BANDING YANG LAIN CUY, DIANTARANYA :

a) Pra Bedah 1. Cemas b/d krisis situasional 2. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, kebutuhan pengobatan b/d keterbatasan kognitif b) Pasca Bedah 1. Resiko Infeksi b/d tindakan invasif 2. Nyeri akut b/d cidera fisik akibat pembedahan

1. Cemas b/d krisis situasional Definisi : Perasaan gelisah yang tak jelas dari ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai respon autonom (sumner tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan keprihatinan disebabkan dari antisipasi INTERVENSI : 1. Anxiety Reduction (penurunan kecemasan) Gunakan pendekatan yang menenangkan.Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan terhadap bahaya. Sinyal ini merupakan peringatan adanya ancaman yang akan datang dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah untuk menyetujui terhadap tindakan Ditandai dengan Gelisah Insomnia Resah Ketakutan Sedih Fokus pada diri Kekhawatiran Cemas tehnik untuk mengontol cemas 2. Ukur tanda vital 3, kaji kecemasan Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan selama prosedur Pahami prespektif pasien terhdap situasi stres Temani pasien

untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis Dorong keluarga untuk menemani anak Lakukan back / neck rub Dengarkan dengan penuh perhatian Identifikasi tingkat kecemasan Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi Barikan obat untuk mengurangi kecemasan 2. Resiko Infeksi b/d tindakan invasive Definisi : Peningkatan resiko masuknya organisme patogen Faktor-faktor resiko : - Prosedur Infasif - Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan patogen INTERVENSI 1. Infection Control (Kontrol infeksi) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain Pertahankan teknik isolasi Batasi pengunjung bila perlu Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan. 2. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing 3. Tingktkan intake nutrisi Berikan terapi antibiotik bila perlu Infection Protection (proteksi terhadap infeksi) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal Monitor hitung granulosit, WBC Monitor kerentanan terhadap infeksi Batasi pengunjung Saring pengunjung terhadap penyakit menular Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko 4. Pertahankan teknik isolasi k/p Berikan perawatan kuliat pada area epidema Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase Ispeksi kondisi luka/ insisi bedah Dorong masukkan nutrisi yang cukup Dorong masukan cairan Dorong istirahat Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi Ajarkan cara menghindari infeksi Laporkan kecurigaan infeksi Laporkan kultur positif 3. Nyeri akut b/d cidera fisik akibat pembedahan INTERVENSI 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2.Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4 Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri 5 Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau 6 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

7 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 8 Kurangi faktor presipitasi nyeri 9 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal) 10 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 11 Ajarkan tentang teknik non farmakologi 12 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 13 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 14 Tingkatkan istirahat 15 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil 16 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri 4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, kebutuhan pengobatan b/d keterbatasan kognitif. INTERVENSI 1 Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik 2 memverbalisasikan adanya masalah, ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai. Faktor yang berhubungan : keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi. 3 Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat 4 Hindari harapan yang kosong 5 Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat 6 Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit 7 Diskusikan pilihan terapi atau penanganan 8 Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan 9 Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA Closkey JC & Bulechek. 1996. Nursing Intervention Classification. 2nd ed. Mosby Year Book. IDAI, 2005,

Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Badan Pnerbit IDAI, Jakarta. Johnson M, dkk. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC). Second edition. Mosby. NANDA. 2005-2006. Nursing Diagnosis: Deffinition & Classification. Philadhelphia. Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta Purnomo, Basuki B, 2003, Dasar-Dasar Urologi, Jakarta , Sagung Seto atzel, pincus dkk. 1990. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta : EGC. Markum, A.H. 1997. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Rosenstein, Beryl J. 1997. Intisari Pediatri Panduan Praktis Pediatri Klinik Edisi II. Jakarta : Hipokrates.

ASUHAN KEPERAWATAN RHEUMATIK HEART DESEASE (RHD)


RHEUMATIK HEART DESEASE (RHD) 1. PENGERTIAN RHD Penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum. Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa dari Demam Rematik (DR).

Sindroma klinik sebagai akibat infeksi streptococcus Beta hemolitikus group A dengan salah satu atau lebih gejala mayor. Rheumatik Heart Desease ini merupakan : Reaksi radang akut Beta hemolitikus streptococcus group A Sering pada infeksi pharynx berulang Bersifat asimtomatis Usia anak 5 Tahun-15 Tahun Proses sampai sekarang belum jelas

2. ANATOMI FISIOLOGI RHD Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani secara adekuat, Maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung rematik. Infeksi oleh kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang menyebabkan seseorang mengalami demam rematik dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurah terarah menyebabkan racun/toxin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan katup jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi kebocoran. 3. ETIOLOGI RHD Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan lingkungan. Faktor-faktor pada individu 1. Faktor genetik

Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus. 2. Jenis kelamin Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak lakilaki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin. 3. Golongan etnik dan ras Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya. 4. Umur Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun. 5. Keadaan gizi dan lain-lain Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik. 6. Reaksi autoimun Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.

Faktor-faktor lingkungan 1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju,

jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik. 2. Iklim dan geografi Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah. 3. Cuaca Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat. Dampak dari RHD Terjadi jaringan parut pada selaput jantung Pada myocardium umumnya reversible Dapat menimbulkan kelainan katup jantung, bila berlangsung kronis Elastisitas myocard menurun Menurunnya fungsi jantung Mitral stenosis 40% Mitral insufisiensi 40% Aorta stenosis 40% Aorta insufisiensi 15%

4. PATOFISIOLOGI RHD

Infeksi pada saluran pernapasan yang ditimbulkan oleh sejenis kuman, maka antigen yang terdapat dalam kuman tersebut bentuknya bermacam-macam jenis protein yang akan menimbulkan antibodi. Mengandalkan antigen antibod reaction akan terbentuk Ag-Ab complek yang akan terdefosit pada jaringan ikat, terutama jaringan ikat synovial,

endocardium, pericardium, pleura sehingga menyebabkan reaksi radang granulomatous spesifik (Aschoff bodies), gejala yang ditimbulkan bervariasi. 5. TANDA DAN GEJALA RHD Gejala Klinis Umum Panas beberapa hari Batuk, sakit waktu menelan Anorexia, sampai muntah Pharynx merah/heperemia Pembesaran kelenjar getah bening Nyeri sendi beberapa hari sampai beberapa minggu Tanda dan gejala RHD menurut criteria T. Jones 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor + 2 minor Manifestasi mayor Karditis Karditis reumatik merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokardium, miokardium, dan pericardium. Gejala awal adalah rasa lelah, pucat, dan anoreksia. Tanda klinis karditis meliputi takikardi, disritmia, bising patologis, adanya kardiomegali secara radiology yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung, dan tanda perikarditis. Arthritis Arthritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik, berupa gerakan tidak disengaja dan tidak bertujuan atau inkoordinasi muskuler, biasanya pada otot wajah dan ektremitas. Nodul subcutan Ditemukan pada sekitar 5-10% pasien. Nodul berukuran antara 0,5 2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Umumnya terdapat di permukaan ekstendor sendi, terutama siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki. Eritema marginatum

Eritema marginatum ditemukan pada lebih kurang 5% pasien. Tidak gatal, macular, dengan tepi eritema yang menjalar mengelilingi kulit yang tampak normal.tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, serta tidak melibatkan wajah. Korea

Manifestasi minor Demam beberapa hari Nyeri sendi beberapa sendi LED meningkat ASO meningkat Swab tenggorokan ditemukan streptococcus Perpanjangan interval P-R

Manifestasi Mayor . Karditis . Poliartritis . Khorea . Eritema marginatum . Nodul subkutan

Manifestasi Minor Klinis : . Demam . Arthralgia . Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik Laboratorium : . Reaksi fase akut :

LED

, lekositosis - Interval P-R memanjang

- CRP +

Ditambah bukti adanya bukti infeksi streptokokus yang mendahului: titer ASO atau titer antibodi terhadap streptokokus lainnya yang meningkat, kultur hapusan tenggorokan positif streptokokus grup A, atau demam skarlatina.

6. MANIFESTASI KLINIS RHD

Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium : Stadium I Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A. Keluhan : Demam, Batuk, Rasa sakit waktu menelan, Muntah, Diare, Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat. Stadium II Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik; biasanya periode ini berlangsung 1 - 3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian. Stadium III Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik. Gejala peradangan umum : Demam yang tinggi, lesu, Anoreksia, Lekas tersinggung, Berat badan menurun, Kelihatan pucat, Epistaksis, Athralgia, Rasa sakit disekitar sendi, Sakit perut Stadium IV Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa. Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya. 7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK a) Pemeriksaan fisik

Inspeksi Pharynx heperemis Kelenjar getah bening membesar Pembengkakan sendi Tonjolan di bawah kulit daerah kapsul sendi Ada gerakan yang tidak terkoordinasi Nyeri tekan persendian Tonjolan keras tidak terasa nyeri dan mudah digerakkan Murmur sistolik injection dan friction rub

Palpasi

Auskultasi

b) Pemeriksaan Penunjang ECG Radiologi Laboratorium Hemoglobin LED C-Rp ASO Swab tenggorokan : kurang dari normal : meningkat : positif : positif : streptococcus positif : Perpanjangan interval P-R : - Thorax Foto : cardiomegali

- Foto sendi : tidak spesifik

8. KOMPLIKASI a. Dekompensasi Cordis Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolic termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot jantung yang berlebihan, biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses inflamasi atau gabungan kedua faktor tersebut. Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan pengobatan ialah menghilangkan gejala (simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer.

b. Pericarditis Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard. 9. PENATALAKSANAAN MEDIS a. Pengobatan Penecilin 600.000-1,2 juta 1 kali Eritromisin 20 mg/kg/BB 2 kali selama 10 hari Salicilat dan steroid dosis sesuai indikasi Apabila diagnosa penyakit jantung rematik sudah ditegakkan dan masih adanya infeksi oleh kuman Streptococcus tersebut, maka hal utama yang terlintas dari Tim Dokter adalah pemberian antibiotika dan anti radang. Misalnya pemberian obat antibiotika penicillin secara oral atau benzathine penicillin G. Pada penderita yang allergi terhadap kedua obat tersebut, alternatif lain adalah pemberian erythromycin atau golongan cephalosporin. Sedangkan antiradang yang biasanya diberikan adalah Cortisone and Aspirin. Penderita dianjurkan untuk tirah baring dirumah sakit, selain itu Tim Medis akan terpikir tentang penanganan kemungkinan terjadinya komplikasi seperti gagal jantung, endokarditis bakteri atau trombo-emboli. Pasien akan diberikan diet bergizi tinggi yang mengandung cukup vitamin. Penderita Penyakit Jantung Rematik (PJR) tanpa gejala tidak memerlukan terapi. Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik untuk mengatasi keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi surgikal atau intervensi invasif. Tetapi terapi surgikal dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang relatif mahal dan memerlukan follow up jangka panjang. b. Perawatan Istirahat mutlak selama periode serangan Jika ada penyakit jantung, posisi semi fowler Oksigenasi Diet lunak rendah garam Kontrol swab tenggorokan secara teratur Pencegahan

Eradiksi kuman :

Anti imflamasi :

a. Profilaksis primer Pengobatan adekuat Setelah diagnose ditegakkan pada hari ke-11, tergantung ada tidaknya kelainan jantung: Bila tidak ada kelainan jantung profilaksis diberikan sampai 5 tahun terus menerus, minimal usia 18 tahun. Bila ada kelainan jantung sampai usia 25 tahun. b. Profilaksis sekunder

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK Pengkajian Lakukan pengkajian fisik rutin Dapatkan riwayat kesehatan, khususnya mengenai bukti-bukti infeksi streptokokus antesenden. Observasi adanya manifestasi demam rematik. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi myocardium 2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi penyakit. 3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia. 4. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi. Rencana Keperawatan 1. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi myocardium

Tujuan : Pasien dapat menunjukkan perbaikan curah jantung. Intervensi & Rasional Beri digoksin sesuai instruksi, dengan menggunakan kewaspadaan yang sudah ditentukan untuk mencegah toksisitas. Kaji tanda- tanda toksisitas digoksin (mual, muntah, anoreksia, bradikardia, disritmia) Seringkali diambil strip irama EKG Jamin masukan kalium yang adekuat Observasi adanya tanda-tanda hipokalemia Beri obat-obatan untuk menurunkan afterload sesuai instruksi dapat meningkatkan curah jantung Untuk mencegah terjadinya toksisitas Mengkaji status jantung Penurunan kadar kalium serum akan meningkatkan toksisitas digoksin Tujuan : Suhu tubuh normal (36 37 C) Intervensi & Rasional Kaji saat timbulnya demam Observasi tanda-tanda vital : suhu, nadi, TD, pernafasan setiap 3 jam Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang hal-hal yang dilakukan Jelaskan pentingnya tirah baring bagi klien dan akibatnya jika hal tersebut tidak dilakukan Anjurkan klien untuk banyak minum kurang lebih 2,5 3 liter/hari dan jelaskan manfaatnya Berikan kompres hangat dan anjurkan memakai pakaian tipis Berikan antipiretik sesuai dengan instruksi Dapat diidentifikasi pola/tingkat demam Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadan umum klien Penjelasan tentang kondisi yang dilami klien dapat membantu mengurangi kecemasan klien dan keluarga Untuk mengatasi demam dan menganjurkan klien dan keluarga untuk lebih kooperatif Keterlibatan keluarga sangat berarti dalam proses penyembuhan klien di RS Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan cairan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak Kompres akan dapat membantu menurunkan suhu tubuh, pakaian tipis akan dapat membantu meningkatkan penguapan panas tubuh

2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi penyakit.

Antipiretika yang mempunyai reseptor di hypothalamus dapat meregulasi suhu tubuh sehingga suhu tubuh diupayakan mendekati suhu normal

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia. Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, klien mampu menghabiskan makanan yang telah disediakan. Intervensi Rasional Kaji faktor-faktor penyebab Jelaskan pentingnya nutrisi yang cukup Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil dan sering, jika tidak muntah teruskan Lakukan perawatan mulut yang baik setelah muntah Ukur BB setiap hari Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien Penentuan factor penyebab, akan menentukan intervensi/ tindakan selanjutnya Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga sehingga klien termotivasi untuk mengkonsumsi makanan Menghindari mual dan muntah dan distensi perut yang berlebihan Bau yang tidak enak pada mulut meningkatkan kemungkinan muntah BB merupakan indikator terpenuhi tidaknya kebutuhan nutrisi Mengetahui jumlah asupan / pemenuhan nutrisi klien Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang Intervensi Rasional Kaji tingkat nyeri yang dialami klien dengan memberi rentang nyeri (1-10), tetapkan tipe nyeri dan respon pasien terhadap nyeri yang dialami Kaji factor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang Berikan suasana gembira bagi pasien, alihkan perhatian pasian dari rasa nyeri (libatkan keluarga) Berikan kesempatan pada klien untuk berkomunikasi dengan teman/ orang terdekat Berikan obat-obat analgetik sesuai instruksi Untuk mengetahui berapa tingkat nyeri yang dialami Reaksi pasien terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh berbagai factor begitupun juga respon individu terhadap nyeri berbeda dab bervariasi

4. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.

Mengurangi rangsang nyeri akibat stimulus eksternal Dengan melakukan aktifitas lain, klien dapat sedikit melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami Tetap berhubungan dengan orang-orang terdekat/teman membuat pasien gembira / bahagia dan dapaty mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri Mengurangi nyeri dengan efek farmakologik

Anda mungkin juga menyukai