Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika mendengar kata Madura, hal yang mungkin langsung terbayang di
benak kepala setiap orang Indonesia adalah “Carok dan Clurit”. Carok dan Clurit
(dalam bahasa Madura are’) adalah dua hal yang selalu melekat pada orang
Madura. Pada umumnya, orang luar Madura mengartikan setiap bentuk kekerasan
yang dilakukan oleh orang Madura sebagai Carok. Berkaitan dengan hal itu,
muncul pernyataan-pernyataan stereotip mengenai orang Madura yang terkesan
negatif.
Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang
sebenarnya, antara lain menyebutkan orang Madura keras perilakunya, kaku,
ekspresif, temperamental, pendendam, dan suka melakukan tindak kekerasaa.
Stereotip semacam ini sering kali mendapatkan pembenaran, ketika terjadi kasus-
kasus kekerasan dimana pelakunya adalah orang Madura.
Sebenarnya, orang Madura memiliki karakter yang terbuka terhadap
perubahan. Maka tidak heran jika majalah Tempo berdasarkan riset pada tahun
1980-an pernah menempatkan suku Madura dalam lima besar suku yang paling
sukses di negara ini. Hampir di tiap daerah, bisa ditemukan “Sate Madura” yang
seolah menjadi trade-mark orang Madura (Tempo Interaktif, 16-8-2006).
Hal itu membuktikan bahwa semangat orang Madura sangat kuat untuk
melakukan perantauan kemana pun. Di tanah rantau pun, orang Madura masih
tetap dikenal sebagai sosok yang rajin, ulet dan berkinerja tinggi.
Karakter lain yang juga melekat dengan orang Madura adalah perilaku
yang selalu apa adanya dalam bertindak. Suara yang tegas dan ucapan jujur
kiranya merupakan salah satu bentuk keseharian yang bisa dirasakan ketika
berkumpul dengan orang Madura. Pribadi yang keras dan tegas adalah bentuk lain
dari kepribadian umum yang dimiliki oleh orang Madura.

1
B. Rumusan Masalah
Oleh karena hal-hal yang telah telah disebutkan di atas, maka kami
mencoba untuk memaparkan masalah tentang Carok itu sebagai berikut.
1. Apa itu Carok?
2. Mengapa terjadi Carok?
3. Bagaimana Carok itu terjadi?
4. Bagaimana pandangan orang Madura sendiri mengenai Carok?
Pernyataan-pernyataan di atas akan coba kami jawab dalam Makalah ini.

C. Tujuan
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Sosial Dasar, adalah juga untuk memberikan pengertian yang
sebenarnya tentang apa itu Carok dengan segala latar belakangnya agar tidak
timbul kesan-kesan negatif terhadap orang Madura. Sehingga perspektif orang-
orang luar Madura bisa menjadi lebih baik. Selain itu untuk sekedar memberikan
saran-saran agar Carok tersebut paling tidak bisa diminimalisir, jika memang tidak
dapat dihilangkan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Carok
Ada banyak teori tentang konflik kekerasan orang Madura yang disebut
dengan Carok ini. Secara umum, pendapat-pendapat tersebut sama-sama
menyatakan bahwa Carok adalah konflik kekerasan orang Madura yang timbul
dan disebabkan karena persoalan harga diri. Teori-teori tersebut banyak
dikemukakan oleh orang-orang luar Madura berdasarkan hasil pengamatan-
pengamatan, seperti yang dilakukan oleh Touwen – Bouwsma (1985), De Jonge
(1993), dan Smith (1997). Sementara, sebagian kecil di antaranya dinyatakan oleh
orang Madura sendiri dengan metode yang lebih akurat. yaitu dengan melakukan
serangkaian penelitian-penelitian langsung seperti yang dilakukan oleh A. Latief
Wiyata (1996).
Dalam menggambarkan konflik kekerasan orang Madura ini, Touwen –
Bouwsma menggunakan teori ekologi kultural (cultural ecology theory), dimana
faktor lingkungan ditemukan sebagai penyebab konflik. Touwen – Bouwsma
berasumsi bahwa Carok berkaitan erat dengan dua peristiwa. yaitu pemilihan
kepala desa dan remo1.
De Jonge mengemukakan bahwa Carok tidak dapat dilepaskan dari sejarah
politik Madura ketika pemerintahan kolonial Belanda berkuasa, De Jonge
mengemukakan pendapat ini berlandaskan pada teori Politik atau Ekonomi Politik
(political or political economi theory).
Sedangkan Smith memahami Carok dengan teori Diskriptif historis atau
Particularis (historical descriptive or particularist theory). Dimana Carok
diartikan sebagai tindakan main hakim sendiri yang dipengaruhi oleh pola dan
struktur pemukiman orang Madura yang terpisah satu sama lain (struktur Taneyan

1
Tradisi pertemuan semacam arisan antar para jago dan blater (bajhingan)

3
Lanjhang2 dan Kampong Mejhi3 ). Pendapat ini didasarkan pada arsip-arsip zaman
kolonial Belanda yang dikutip dari De Jonge dan Touwen – Bouwsma. (Wiyata ;
2004 : 18-21).
Sementara itu, Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh A.
Latief Wiyata mengemukakan pendapat yang merupakan gabungan dari teori-teori
yang sudah ada. A. Latief Wiyata memformulasikan Carok sebagai
institusionalisasi kekerasan orang Madura, yang berupa upaya pembunuhan
menggunakan senjata tajam, pada umumnya adalah clurit. Yang dilakukan oleh
laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah dianggap telah melakukan pelecehan
terhadap harga diri (Wiyata ; 2004 : 184).
Oleh orang Madura, Carok dianggap semata-mata sebagai urusan laki-laki,
dan bukan urusan perempuan. Hal ini sejalan dengan ungkapan yang berbunyi
“oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’” (laki-laki mati karena carok,
sedangkan perempuan mati karena melahirkan).
Sedangkan orang-orang Madura tradisional sendiri mengartikan Carok
dengan kalimat “mon e anca alorok” (kalau diganggu menyerang), yang artinya
kalau harga dirinya diganggu atau dilecehkan oleh orang lain maka dia akan
menyerang orang tersebut.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dan ditambah dengan kesimpulan
hasil wawancara yang kami lakukan dengan orang-orang Madura tradisional,
dapat disimpulkan bahwa Carok adalah duel yang dilakukan seseorang dengan
seseorang yang lain atau suatu kelompok dengan kelompok yang lain, yang timbul
karena salah seorang dan atau salah satu kelompok ada yang merasa harga dirinya
telah dilecehkan oleh yang lain.

B. Faktor-faktor Penyebab Carok


Sesuai dengan pengertian Carok di atas, faktor utama penyebab terjadinya
Carok adalah terjadinya pelecehan terhadap harga diri seseorang atau suatu

2
Pola pemukiman memanjang dari arah Barat ke Timur sesuai dengan urutan kelahiran anak-anak
perempuan.
3
Kumpulan atau kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama lain saling terisolasi.

4
kelompok. yang termasuk dalam kategori pelecehan harga diri menurut orang
Madura adalah:
1. Mengganggu istri atau anak perempuan orang lain
2. Perlakuan semena-mena dan tidak adil dalam pembagian harta warisan
3. Hal-hal lain yang walaupun kadang hanya sepele tapi telah membuat
seseorang atau suatu kelompok tersinggung dan merasa harga dirinya
dilecehkan.
4. Faktor penyebab yang lain adalah balas dendam akibat peristiwa Carok
lain yang terjadi sebelumnya, dan hal ini biasanya dilakukan oleh pihak
keluarga yang kalah.
Seperti telah dikemukakan di atas, faktor utama penyebab Carok adalah
mengganggu istri atau anak perempuan orang lain. Berkaitan dengan hal itu,
seorang Penyair dan Budayawan Madura D. Zawawi Imron mengemukakan
ungkapan dalam tulisannya yang berbunyi “Saya kawin dan dinikahkan oleh
penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan
agama. Maka, siapa saja yang berani mengganggu istri saya, berarti telah
menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya” (Imron ; 1986 :
11)
Oleh karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan manifestasi dari
martabat dan kehormatan suami, karena bagi orang Madura istri adalah
“bhantalla pate” (landasan kematian). Dengan kata lain, tindakan mengganggu
istri orang disebut juga dengan istilah “aghaja’ nyabah”. Yang pengertiannya
sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa.
Dalam sistem perkawinan orang Madura, seorang laki-laki Madura ketika
akan kawin tidak perlu memikirkan rumah untuk tempat tinggal keluarganya
nanti, karena biasanya rumah tersebut sudah disiapkan oleh mertuanya. Hal ini
menyebabkan pertukaran yang tidak seimbang, sehingga sebagai konsekuensinya
seorang suami harus betul-betul dapat menjaga istrinya dengan baik, terutama
yang menyangkut masalah kehormatannya.
Tindakan mengganggu istri merupakan pelecehan harga diri yang paling
menyakitkan bagi laki-laki Madura. Tindakan tersebut selain dianggap telah

5
melecehkan harga diri suaminya, juga dianggap telah merusak tatanan sosial
(arosak atoran). Oleh karena itu, menurut pandangan orang Madura, pelakunya
tidak dapat diampuni dan harus dibunuh, atau dengan kata lain carok.

C. Faktor Pemicu Carok


Konflik kekerasan orang Madura dipicu oleh letak dan kondisi geografis,
sejarah dan sosial budaya Madura. Kondisi alam Madura yang pada umumnya
panas dan tandus membuat orang-orang Madura mayoritas bertempramen tinggi
dan mudah tersinggung.
Pola pemukiman Kampong Mejhi dan struktur pemukiman Taneyan
Lanjhang yang dipakai orang-orang Madura membuat kontrol sosial menjadi
longgar. Sebaliknya, solidaritas antar kelompok semakin kuat sehingga Carok
menjadi sangat mungkin bagitu mudah terjadi.
Yang dimaksud dengan pemukiman Kampong Mejhi adalah kumpulan-
kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa dimana
pemukiman yang satu dengan yang lain saling terisolasi. Jarak antara satu
pemukiman dengan pemukiman yang lain sekitar 1 sampai 2 km. Keterisolasian
kelompok pemukiman ini menjadi semakin nyata oleh adanya pagar yang terbuat
dari beberapa rumpun bambu yang sengaja ditanam sekelilingnya. Antara satu
kelompok pemukiman yang satu dengan yang lain hanya dihubungkan oleh jalan
desa atau jalan setapak.
Setiap pemukiman Kampong Mejhi biasanya terdiri dari 4 sampai 8 rumah
yang dibangun dalam bentuk memanjang, membujur dari barat ke timur dan selalu
menghadap ke selatan. Jika jumlah rumah lebih dari 8, karena sempitnya lahan
maka deretan rumah biasanya dibangun dalam bentuk melingkar.
Sementara rumah-rumah yang terdapat dalam pemukiman Taneyan
Lanjhang bisanya selalu dibangun berderet dari barat ke timur dan selalu
menghadap selatan sebagaimana posisi semua rumah tradisional yang lain, hal ini
menurut urutan kelahiran anak perempuan dari keluarga yang bersangkutan. Anak
perempuan pertama menempati urutan pertama, demikian seterusnya dengan

6
anak-anak perempuan yang lahir kemudian. Dan satu rumah biasanya ditempati
oleh satu keluarga.
Konsekuensi sosial dari pola pemukiman semacam ini adalah solidaritas
internal antar masing-masing anggota atau penghuninya menjadi sangat kuat.
Apabila terjadi pelecehan harga diri terhadap salah seorang anggota keluarga,
maka akan selalu dimaknai sebagai pelecehan harga diri terhadap semua keluarga
yang ada dalam kelompok pemukiman tersebut. Dan jika hal ini terjadi, maka
semua anggota keluarga yang ada dalam pemukiman tersebut akan bereaksi,
dimana reaksi yang muncul selalu dalam bentuk tindakan kekerasan atau Carok.
Ditemukannya banyak pola pemukiman semacam ini, mengindikasikan
bahwa kondisi sosial di pedesaan Madura sejak dahulu tidak memberikan rasa
aman bagi penduduknya. Indikasi ini dapat terlihat pada semua bentuk arsitektur
rumah tradisional orang Madura yang hanya memiliki satu pintu di bagian depan,
sehingga tidak ada jalan lain bagi setiap orang untuk keluar-masuk rumah
(Wiryoprawiro; 1986 : 15).
Selain itu, karena posisi rumah selalu menghadap ke selatan, maka secara
otomatis semua pintu pasti ditempatkan di bagian selatan. Dan karena posisi tidur
orang Madura yang membujur dari utara ke selatan dengan menempatkan kepala
di arah utara seperti layaknya posisi orang mati saat dikuburkan.
Hal ini bermakna bahwa dalam keadaan tidur sekalipun, orang Madura
selalu dapat mengawasi pintu rumah. Dengan kata lain, Realitas sosial ini dapat
dimaknai bahwa setiap orang Madura tetap selalu waspada terhadap keamanan
lingkungannya.
Selain dua hal di atas, Carok juga dipicu oleh tradisi nyekep4 dan rem.
Tradisi nyekep tersebut membuat Carok sangat mungkin untuk terjadi di setiap
saat, nyekep sudah merupakan kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan oleh
kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di daerah pedesaan. Hal ini terbukti
setiap kali mereka keluar rumah hampir tidak pernah lupa membawa senjata
tajam. Lebih-lebih jika sedang mempunyai musuh atau sedang menghadiri remo.

4
Membawa senjata tajam dengan cara menyembunyikannya di balik baju.

7
Bahkan di sebuah pedalaman atau daerah rawan Carok, nyekep merupakan
sebuah keharusan. Jika seseorang tidak nyekep, maka dia akan dianggap sombong
dan merasa sudah hebat karena tidak perlu untuk nyekep. Jadi, jika kebetulan lupa
untuk nyekep, maka biasanya mereka akan mengambil ranting pohon untuk
diselipkan di balik bajunya. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kemarahan
sosial di sekitarnya yang akhirnya berpotensi melahirkan Carok.
Sedangkan tradisi remo seakan membuat pembenaran terhadap terjadinya
Carok, hal ini berdasarkan atas besarnya dukungan dari yang hadir saat
diadakannya remo carok5. Pada prinsipnya, remo adalah suatu pesta tempat
berkumpulnya para oreng jago6 dan Blater7. Dan secara ekonomi, remo
merupakan suatu sarana untuk mengumpulkan uang dalam jumlah yang relatif
besar hanya dalam waktu satu malam. Penyelenggara remo dapat mengumpulkan
uang antara 10 sampai 25 juta, bahkan juga lebih. Semua itu sangat tergantung
pada besarnya jumlah uang bhubuwan8 dari para tamu yang datang.
Sementara remo carok biasanya dilakukan sebelum atau sesudah Carok,
hal ini diselenggarakan karena yang bersangkutan sedang membutuhkan biaya.
Untuk remo yang diadakan sebelum Carok, penyelenggaraanya biasanya diadakan
kira-kira seminggu atau dua minggu sebelum Carok dilaksanakan.
Dan jika remo diadakan sesudah Carok, biasanya berlangsung seminggu
setelah kejadian, sebab pada saat itu proses penyidikan sudah mulai dilakukan dan
kebutuhan akan dana sudah mendesak. Undangan biasanya disampaikan berantai
secara lisan melalui koordinator-koordinator, dan dalam undangan tersebut secara
tegas disebutkan bahwa akan diselenggarakan remo carok.
Setiap tamu yang datang wajib abhubu (menyumbang), sedangkan
besarnya bhubuwan (sumbangan) tidak ditentukan. Artinya besarnya sumbangan
bersifat sukarela berdasarkan keikhlasan masing-masing tamu.
Penyelenggaraannya biasanya dilakukan oleh keluarga dan kerabat yang terdekat,
karena yang bersangkutan sedang menjalani hukuman.
5
Remo yang diselenggarakan untuk keperluan carok.
6
Seorang blater yang sudah pernah menang dalam carok.
7
Seseorang yang menjadi anggota remo, di daerah Madura bagian Timur disebut bajhingan.
8
Jumlah uang yang harus diserahkan/disumbangkan oleh seorang anggota remo kepada anggota
yang lain.

8
Jadi, remo carok merupakan suatu media kultural, dimana fungsinya tidak
hanya sekedar mengumpulkan uang dan menggalang solidaritas diantara para
anggotanya (kanca remo9), tetapi justru berfungsi sebagai pendukung dan pelestari
Carok dalam masyarakat Madura.
Rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keimanan para pelaku
Carok dalam beragama juga menjadi faktor pemicu lain dari terjadinya Carok.
Pada umumnya, pelaku Carok adalah orang-orang yang berpendidikan rendah dan
awam dalam beragama. Hal ini sangat ironi dan patut disesalkan, mengingat
mayoritas masyarakat Madura beragama Islam.
Selain itu, lemahnya institusi Hukum di Madura khususnya, juga menjadi
faktor pemicu mengapa Carok begitu mudah terjadi. Ancaman hukuman penjara
tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan bagi para pelaku Carok, karena
mereka masih bisa melakukan upaya nabang10 untuk memperingan hukuman yang
dijatuhkan kepadanya.
Padahal menurut KUHP, pelaku Carok (penganiayaan berat/pembunuhan)
seharusnya dikenai sanksi pidana berupa hukuman maksimal hukuman mati,
penjara seumur hidup, atau hukuman penjara selama-lamanya 20 tahun. Akan
tetapi, ancaman sanksi ini terkadang dalam prakteknya cenderung tidak diterapkan
secara konsisten, hal ini ditandai dengan upaya nabang yang dilakukan pelaku
Carok, sehingga hukuman yang dikenakan terkesan sangat ringan, yaitu tidak
lebih dari 5 tahun.
Institusi kepolisian tidak lagi menjadi pengayom bagi masyarakat, karena
justru ikut membantu dan mendorong terjadinya Carok dengan mempermudah
upaya pelaku Carok untuk nabang. Hal ini membuat masyarakat enggan untuk
mempercayai hukum, dan lebih memilih untuk main hakim sendiri dalam
menyelesaikan masalahnya, biasanya selalu dalam bentuk tindakan kekerasan atau
Carok.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, dorongan atau dukungan
dari masyarakat ternyata juga menjadi faktor pemicu yang sangat potensial
9
Teman dari lingkungan remo
10
Merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum aparat
peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa carok dengan orang lain.

9
terhadap terjadinya Carok. Hal ini didasarkan dengan di lontarkannya sindiran-
sindiran sinis oleh masyarakat bila seseorang enggan untuk melakukan Carok. Hal
ini bisa dilihat dari ungkapan-ungkapan berikut :
1. Lokana daghing bisa e jhai’, lokana ate tadha’ tambhana kajhabana
ngero’ dhere. ( Daging yang terluka masih bisa dijahit, tapi jika hati
yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah).
2. Ango’an poteya tolang e tembang poteya mata. (Lebih baik putih
tulang daripada putih mata, lebih baik mati dari pada malu)
3. Jha’ ngako oreng Madura mon tako’ acarok. (Jangan mengaku orang
Madura bila takut untuk ber- Carok)
4. Aotang pesse majar pesse, aotang nyabah majar nyabah. (Hutang uang
dibayar uang, hutang nyawa ditebus nyawa)
Jika ada laki-laki Madura tidak berani melakukan Carok, maka dia akan
disebut sebagai penakut (tako’an), dia juga akan disebut sebagai bukan laki-laki
(lo’ lake’ atau ta’ lalake’). Bahkan orang perempuan pun akan sangat
mencemoohnya yang diungkapkan dalam sebuah kalimat “sayang saya
perempuan, seandainya saya memiliki buah zakar sebesar cabai rawit, maka saya
yang akan melakukan Carok” (Imron, 1986 : 12).
Selain itu, masyarakat akan menyebutnya sebagai bukan orang Madura
(jha’ ngako oreng Madura mon tako’ acarok) Jadi, orang Madura melakukan
Carok bukan karena semata-mata tidak mau dianggap sebagai penakut, meskipun
sebenarnya juga takut mati, melainkan juga agar dia tetap dianggap sebagai orang
Madura.

D. Persiapan, Pelaksanaan dan Pasca Carok


Ada Carok yang dilakukan secara spontan, yaitu ketika tiba-tiba terjadi
perselisihan menyangkut harga diri, maka seketika itu salah satu pihak yang
merasa tersinggung langsung menyerang pihak yang lain. Jika terjadi kasus Carok
seperti ini dan kebetulan pihak-pihak yang berselisih tidak nyekep, biasanya alat
yang digunakan adalah senjata tajam seadanya seperti linggis dan cangkul.

10
Untuk Carok yang direncanakan, maka para pelaku Carok mempersiapkan
dengan nyekep, apaghar11 dan konsolidasi terlebih dahulu dengan masing-masing
keluarga atau kelompoknya. Rencana Carok tersebut biasanya sudah dimatangkan
terlebih dahulu dalam sidang keluarga, agar rencana tersebut tidak bocor, para
kerabat yang ikut dalam sidang tersebut sepakat untuk merahasiakan semua hasil
sidang.
Selain itu, pelaku Carok harus mempunyai bhandha (dana). Dalam
konteks ini Carok mempunyai dimensi ekonomi, artinya biaya atau dana harus
tersedia. Hal ini sejalan dengan ungkapan dalam masyarakat yang mengatakan
“mon lo’ andi’ bhandha, ajjha’ acarok” (jangan melakukan Carok jika tidak
mempunyai dana yang cukup). Ungkapan ini bermakna sebagai suatu peringatan
bahwa Carok akan menghabiskan banyak biaya, baik bagi yang menang dan
(terutama) untuk yang kalah.
Bagi pihak keluarga yang kalah, biaya tersebut sangat diperlukan untuk
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku Carok yang
terbunuh. Kegiatan-kegiatan itu dimulai dari penyelenggaraan selamatan selama
tujah hari sejak kematiannya, serta selamatan lainnya seperti 40 hari, 100 hari, dan
1000 harinya. Selain itu, biaya tersebut sangat penting untuk biaya hidup sanak
keluarga (istri dan anak) yang ditinggalkan.
Sementara itu, kebutuhan dana untuk pemenang Carok biasanya jauh lebih
besar daripada pihak yang kalah (terbunuh). Selain untuk menghidupi keluarga
yang ada di rumah selama yang bersangkutan sedang menjalani hukuman, biaya
tersebut biasanya dibutuhkan dan digunakan untuk upaya nabang sebagai usaha
untuk memperingan hukuman yang akan dikenakan kepadanya nanti.
Pelaksanaan Carok dilakukan dengan dua cara yaitu ngongghai12 atau
dengan cara melakukan melakukan kesepakatan mengenai kapan dan dimana
Carok tersebut akan dilakukan.
Setelah Carok itu terjadi, dan salah satu pihak ada yang kalah atau
terbunuh. Pihak pemenang biasanya akan menyerahkan diri ke kantor polisi, hal
ini dilakukan untuk mencari perlindungan dari kemungkinan terjadinya aksi balas
11
Upaya membentengi diri dengan bantuan dukun.
12
Mendatangi rumah musuh untuk menantang carok.

11
dendam dari pihak keluarga yang kalah. Selain itu, penyerahan diri ini juga
dijadikan sebagai alat publikasi bagi sang pemenang, agar kemenangannya bisa
diketahui oleh orang lain. Sehingga sang pemenang dapat membanggakan diri
karena telah memenangkan Carok dan menjadi oreng jago.
Dalam konteks ini, Carok menjadi semacam media kultural bagi
pelakunya (yang menang) untuk memperoleh predikat sebagai oreng jago,
sehingga nantinya bisa (makin) disegani oleh masyarakat yang lain.
Upaya lain pasca carok yang dilakukan oleh pemenang adalah nabang,
Nabang adalah upaya untuk merekayasa proses hukum suatu peristiwa carok,
dengan memberikan sejumlah uang kepada oknum peradilan (polisi, jaksa dan
hakim). Hal ini dilakukan agar vonis hukuman yang dijatuhkan menjadi lebih
ringan.
Sementara bagi pihak yang kalah, korban Carok biasanya langsung
dikuburkan seperti biasa ditempat pemakaman umum. Namun terkadang, banyak
juga korban Carok yang dikuburkan di dekat atau di sekitar rumahnya, sementara
bekas pakaian Carok yang masih berlumuran darah disimpan. Kedua hal ini
dilakukan agar peristiwa tersebut bisa terus diingat, dengan harapan suatu saat ada
sanak keturunannya yang akan membalaskan dendam.

E. Tanggapan Masyarakat
Ada banyak dan beragam tanggapan dari masyarakat terhadap terjadinya
Carok, pada umumnya mereka tidak menyalahkan para pelaku Carok yang telah
menang dan berhasil membunuh lawannya, karena telah melecehkan harga
dirinya. Bahkan, masyarakat seolah merestui dan seakan memberikan dukungan
terhadap terjadinya Carok.
Sementara itu, tanggapan negatif terhadap Carok sebenarnya juga ada pada
sebagian orang Madura, khususnya bagi mereka yang kebetulan bertugas sebagai
paramedis, baik di tingkat kecamatan (puskesmas) maupun di rumah sakit tingkat
kabupaten (RSUD).
Menurut pengakuan beberapa tenaga paramedis tersebut, jika kebetulan
sedang menangani korban-korban Carok, mereka tidak pernah melakukan

12
pembiusan pada diri pelaku Carok ketika luka-luka parah yang di deritanya harus
dijahit dan dioperasi. Selain itu, cara menjahit luka-luka tersebut dilakukan
dengan sembarangan sehingga para pelaku carok selalu berterik-teriak kesakitan
selama pengobatan berlangsung. Semua ini dilakukan dengan maksud agar pelaku
Carok menjadi jera, dengan harapan tidak akan melakukan Carok lagi.
Akan tetapi, tanggapan negatif dalam bentuk penyiksaaan seperti ini
tampaknya tetap tidak begitu efektif untuk membuat para pelaku Carok jera, yang
akhirnya diharapkan dapat meredam terjadinya Carok. Bahkan Bekas-bekas luka
karena bacokan Clurit yang dijahit secara sembarangan, ketika telah sembuh
kelihatan sangat mencolok mata. Semua itu justru oleh para pelaku Carok
dijadikan sebagai simbolisasi sekaligus sebagai bukti kemenangan yang sangat
membanggakan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

13
Carok adalah institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura yang
memiliki keterkaitan erat dengan faktor-faktor lingkungan, struktur budaya dan
sosial ekonomi, agama dan pendidikan.
Berdasarkan kesimpulan di atas, kiranya dapat dikemukakan beberapa
saran sebagai suatu wacana untuk meredam terjadinya Carok dikemudian hari.
Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perlu upaya menegakkan kembali otoritas dan kewibawaan negara,
terutama dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan.
2. Carok bisa saja hilang dari tradisi orang Madura, bila negara menerapkan
hukum yang adil dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya,
sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi para pelaku Carok. Hal ini
dilakukan agar masyarakat bisa mempercayai hukum dan akhirnya
meninggalkan kebiasaan menyelesaikan masalah dengan cara main
hakim sendiri.
3. Perlu upaya penyadaran masyarakat akan hukum dengan jalan
peningkatan kualitas pendidikan dan keagamaan.
4. Perlu adanya peran serta dari para tokoh masyarakat yang ada terutama
tokoh agama atau ulama serta aparatur desa yang bisa dihormati dan
disegani, supaya dapat ikut berperan aktif sehingga nantinya bisa
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang suatu permasalahan
kepada segenap masyarakat yang ada di sekitarnya.
5. Para keluarga korban Carok perlu mulai disadarkan agar meninggalkan
kebiasaan buruk menyimpan segala benda yang digunakan untuk Carok
dan mengubur korban Carok di dekat atau di sekitar rumah, agar tidak
selalu melahirkan dendam yang tiada pernah berkesudahan.

Daftar Pustaka

Imron, D. Z, 1986. Menggusur Carok , Surabaya: Harian Memorandum.

14
Wiryoprawiro, Z. M, 1986. Arsitektur Tradisional Madura Sumenep dengan
Pendekatan Historis dan Deskriptif, Surabaya: Laboratorium Arsitektur
Tradisional, FTSP-ITS.
Wiyata, A. L, 2006. Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,
Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta.
Tempo Interaktif, 16-8-2006.

15

Anda mungkin juga menyukai