Anda di halaman 1dari 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA A.

Virtual Laboratory dalam pembelajaran Fisika Dalam pembelajaran fisika di sekolah, peranan laboratorium yang berkaitan dengan pengembangan keterampilan adalah sebagai wahana mengembangkan keterampilan berpikir melalui proses pemecahan masalah dalam rangka siswa menemukan konsep secara sendiri. Berdasarkan peran laboratorium yang begitu penting, maka laboratorium telah dijadikan sebagai wahana untuk learning how to learn (Wiyanto, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan laboratorium adalah sumber daya yang mencakup bahan dan peralatan, ruang dan perabot, tenaga laboran, serta teknisi. Keterbatasan alat dan bahan yang dimiliki sekolah sering menjadi alasan utama bagi guru IPA untuk tidak melakukan kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan laboratorium. Tidak semua percobaan dapat dilakukan secara nyata dilaboratorium, bukan hanya karena tidak ada alatnya, tetapi karakteristik percobaan itu sendiri yang melibatkan proses dan konsep-konsep abstrak. Untuk itulah diperlukan sebuah alternatif agar kegiatan eksperimen, termasuk pada konsepkonsep abstrak agar tetap dapat dilakukan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menyediakan kesempatan untuk membangun dan menggunakan simulasi atau animasi komputer untuk pembelajaran yang berorientasi pada representasi mikroskopik. Hal ini dapat diwujudkan dengan bantuan animasi komputer karena melalui animasi komputer dapat memvisualisasikan proses-proses abstrak yang mustahil dapat dilihat atau dibayangkan (Buke, 1998). Kozma (1991) mengatakan bahwa simulasi komputer mempunyai kemampuan untuk menciptakan gerakan dinamis sehingga dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang bersifat proses dan abstrak. Pada pertemuan para ahli virtual laboratory yang diselenggarakan the International Institute of Theoritics and Applied Physics, menyatakan bahwa Virtual Laboratory (VL) tidak dianggap sebagai pengganti atau pesaing untuk laboratorium nyata, tetapi lebih sebagai eksistensi untuk peluang baru yang tidak dapat terealisasi dalam laboratorium nyata dengan biaya yang terjangkau. Disamping itu juga melalui 9

virtual laboratory memungkinkan untuk menghindari adanya peluang kerusakan alatalat laboratorium pada saat siswa melakukan eksperimen secara riil. Virtual Laboratory (VL) juga dapat menyajikan model interaktif, alat-alat pembelajaran eksploratif untuk mendukung proses pembelajaran, hands-on activity, hands-on training, pekerjaan rumah dan penelitian. Pada saat sekarang ini, banyak para ahli yang telah mengembangkan virtual laboratory untuk membantu siswa dalam memahami suatu konsep termasuk konsep fisika. Salah satu virtual laboratory (VL) yang sangat popular dalam pembelajaran IPA adalah PhET Simulation Interactive yang dikembangkan oleh Universitas Colorado di Amerika Sekikat. Software virtual laboratory ini telah dapat diperoleh secara gratis melalui website http://www.phet.colorado.edu (Perkins, 2007). B. Keterampilan berpikir kritis (Critical Thinking) dan Kemampuan Pemecahan masalah (Problem Solving Skill) dalam pembelajaran Fisika 1. Keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran Fisika Berpikir kritis digunakan untuk memeriksa atau mengklarifikasi sesuatu informasi atau fakta, sedangkan berpikir kreatif adalah digunakan untuk membentuk gagasan dari sesuatu fakta atau informasi. Keterampilan berpikir seperti menganalisis, menyintesis merupakan keterampilan berikir kritis, sedangkan keterampilan berpikir seperti menginfer (mendunga sesuatu yang tersembunyi/tidak teramati), memprediksi, dan mengelaborasi (seperti membuat contoh atau analogi) meruapakan keterampilan berpikir kreatif. Menurut Ennis (1985), berpikir kritis adalah merupakan bagian dari pola berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi yang bersifat konvergen. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir untuk menganalisi argumen dan memunculkan gagasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias yang mendasari tiap-tiap posisi, serta memberikan model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan. Selanjutnya Facione (1998) menyatakan bahwa inti berpikir kritis adalah deskripsi yang rinci dari sejumlah karakteristik yang berhubungan, yang meliputi analisis, pengaturan diri, dan interpretasi. 10 inferensi, eksplanasi, evaluasi,

Berdasarkan kurikulum berpikir kritis yang dikembangkan oleh Ennis (Costa, 1985) ada 2 kelompok berpikir kritis, yaitu disposisi berpikir kritis dan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis dapat dijabarkan berdasarkan tingkat kesulitannya menjadi 5 indikator berpikir, yaitu: (1) penjelasan sederhana; (2) keterampilan dasar; (3) kesimpulan; (4) penjelasan lanjut; dan (5) strategi dan taktik.Setiap tahap berpikir tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam indikator-indikator berpikir yang lebih spesifik. Jika kita lebih menekankan pada pendapat Ennis (1985) tentang keterampilan berpikir kritis, maka dikelompokkan menjadi aspek-aspek seperti pada pada Tabel 2.1. sebagai berikut: Tabel 2.1. Indikator Kompetensi Keterampilan Berpikir Kritis Keterampilan berpikir kritis Merumuskan masalah Memberi argument Melakukan deduksi Melakukan induksi Melakukan evaluasi Memutuskan dan melaksanakan 2. Indikator Memformulasikan bentuk pertanyaan yang memberi arah untuk memperoleh jawaban Argumentasi atau alasan yang sesuai konteks, menunjukkan persamaan dan perbedaan dengan argumentasi komprehensif Mendeduksi secara logis, kondisi logis deduktif, melakukan interpretasi terhadap pertanyaan Melakukan investigasi/pengumpulan data, membuat generalisasi data, membuat tabel dan grafik, membuat kesimpulan terkait dengan hipotesis Evaluasi diberikan berdasarkan fakta dan berdasar prinsip atau pedoman, memberikan alternatif penyelsaian masalah Memilih kemungkinan solusi, menentukan kemungkinan tindakan yang akan dilaksanakan

Kemampuan Pemecahan masalah (Problem Solving Skill) dalam pembelajaran Fisika Seorang siswa belum dapat dikatakan telah mempelajari sesuatu yang bermanfaat

kecuali siswa tersebut sudah sanggup menggunakan informasi dan kemampuan yang dimiliki tersebut untuk menyelesaikan suatu masalah. Kesulitan yang dialami siswa umumnya pada masalah penerapan ke dalam representasi matematik, tetapi bukan terletak pada perhitungannya, melainkan pada pengetahuan tentang cara menyusun masalah sehingga permasalahan tersebut dapat diselesaikan. Penyelesaian masalah (problem solving) skill merupakan kemampuan yang dapat diajarkan dan dipelajari (Fuchus et al.,2006; Martinez,1998; Mayer & Wittrock, 1996, Slavin, 2009). 11

Siswa dapat diajarkan beberapa srategi penyelesaian masalah yang telah diteliti dengan baik untuk digunakan dalam menyelasaikan masalah. Menurut Branford dan Stein (1993) dalam Slavin, 1999), mengembangkan dan mengevaluasi pemecahan masalah ditempuh dengan 5 langkah srtategi yang disebut IDEAL yaitu: (1) identifikasi permasalahan dan peluang, (2) definisikan sasaran dan sajikan masalahanya, (3) eksplorasi atau jajaki sejumkah strategi yang mungkin, (4) antisipasi hasil dan tindakan, dan (5) lihat kembali dan pelajari. IDEAL dimulai dengan pertimbangan seksama tentang msalah mana yang perlu diselesaikan, sumber daya dan informasi yang tersedia, dan bagaimana permasalahan tersebut dapat dilambangkan (gambar, garis besar, garis alir) dan kemudian dipecah menjadi langkah-langkah yang mengarah pada jawaban. Berdasarkan uraian di atas, batasan problem solving berlandaskan strategi mengandung makna bahwa untuk memecahkan suatu masalah, maka pendekatan yang digunakan memiliki keterkaitan dengan operasi berpikir dan menggunakan pengetahuan sebelumnya guna memecahkan masalah yang dihadapi. M e n u r u t Heller dalam Kuo ( 2004) m e m e r i k a n tahapan problem solving yaitu mendeskripsikan masalah dalam istilah fisika, yaitu merencanakan solusi, melaksanakan rencana, dan mengecek dan mengevaluasi. Tahap-tahap ini sesuai untuk problem solving adalah secara kuantitatif. Heller dan Heller (1999) memberikan tahapan problem solving, yaitu: (1) membuat prediksi (prediction); (2) metode pertanyaan (method questions); (3) mendesain peralatan (equipment); (4) melakukan eksplorasi (exploration); (5) melakukan pengukuran (measurement); (6) melakukan analisis (analysis); dan (7) membuat kesimpulan (conclusion). Menurut PISA (2012), kompetensi pemecahan masalah didasarkan pada makna yang diterima secara umum sebagai pemecahan masalah, yaitu sebagai suatu kompetensi yang dimaknai sebagai kapasitas individu untuk terlibat dalam pengolahan kognitif untuk memahami dan mengatasi situasi masalah di mana metode solusinya tidak segera tampak jelas. Ini mencakup kesediaan untuk terlibat dengan situasi tersebut untuk membentuk potensi seseorang sebagai anggota masyarakat yang konstruktif dan reflektif. Mengukur proses penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan langkah-langkah: (1) exploring and understanding, (2) representing and formulating, (3) planning and executing, dan (4) monitoring and reflecting. 12

Exploring and understanding, bertujuan untuk membangun mental mampu merepresentasikan masing-masing potongan informasi yang disajikan dalam masalah yang melibatkan: (i) mengeksplorasi situasi masalah: mengamati, berinteraksi dengan masalah, mencari informasi, menemukan keterbatasan atau hambatan, (ii) memahami informasi yang diberikan dan informasi ditemukan saat berinteraksi dengan situasi masalah, menunjukkan pemahaman yang relevan dengan konsep. Representasi dan memformulasikan bertujuan untuk membangun mental yang mampu merepresentasikan secara koheren dari situasi masalah. Untuk melakukan hal ini, harus dipilih informasi yang relevan, mental terorganisir, terintegrasi dengan pengetahuan sebelumnya yang relevan. Hal ini mungkin jika melibatkan: (i) merepresentasikan masalah dengan membuat tabel, grafik, simbolik atau pernyataan lisan, mengubah format representasional, (ii) merumuskan hipotesis dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang relevan denga masalah. Perencanaan dan pelaksanaan meliputi: (i) perencanaan terdiri dari penetapan tujuan, termasuk mengklarifikasi keseluruhan tujuan, dan menetapkan sub-tujuan, apa yang diperlukan, dan menyusun rencana atau strategi untuk mencapai tujuan termasuk langkah-langkah yang harus dilakukan, (ii) mengeksekusi, melaksanakan rencana. Melakukan evaluasi proses dan refleksi (monitoring dan reflecting) meliputi kegiatan: (i) memantau kemajuan setiap tahap, termasuk memeriksa hasil antara dan hasil akhir, mendeteksi kejadian tak terduga, dan mengambil tindakan perbaikan jika diperlukan, (ii) merefleksikan solusi dari perspektif yang berbeda; kritis mengevaluasi asumsi dan alternatif solusi, dan mencari informasi tambahan atau klarifikasi. C. Studi Pendahuluan yang telah Dilaksanakan dan Peta Jalan Penelitian 1. Penelitian terdahulu yang relevan Beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang diusulkan adalah: a) Steif (2005) melaporkan bahwa penggunaan animasi komputer dalam pembelajaran menghasilkan jawaban siswa yang lebih ilmiah, meningkatkan strategi pemecahan masalah, dan pemahaman konseptual yang lebih baik.

13

b) Gunawan (2008) menemukan bahwa peningkatan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir siswa yang mengikuti pembelajaran dengan multimedia interaktif pada materi elastisitas lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Penggunaan multimedia interaktif dapat lebih meningkatkan kemampuan inferensi logika dan kemampuan menarik kesimpulan bagi siswa. c) Setiawan (2009) menemukan bahwa siswa yang belajar menggunakan Virtual Laboratory Model memiliki kemampuan inferensi logika yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar secara konvensional. d) Takda, A., (2010; 2011) memperoleh hasil penelitian yaitu melalui penelitian pengembangan perangkat pembelajaran life skill berbasis kontekstual pada sekolah MAN 1 Kendari yang memiliki keterbacaan yang cukup memadai efektif dapat meningkatkan kualitas pengelolaan pengajaran oleh guru sehingga pembelajaran cenderung ke arah student centre, disamping itu juga dapat meningkatkan aktivitas life skill siswa kearah yang lebih terampil. e) Widodo (2012) dalam kajiannya memperoleh bahwa metode pembelajaran dengan laboratorium virtual akan sangat membantu siswa untuk memahami konsep-konsep dasar biologi dengan tidak perlu memakan banyak waktu sehingga sangat cocok untuk siswa program akselerasi. 2. Roadmap Penelitian Dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan dari hasil-hasil penelitian awal tentang keefektifan virtual laboratory dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa (inferensi logika dan kemampuan menarik kesimpulan) dan juga sangat membantu siswa untuk memahami konsepkonsep dasar IPA (Biologi) dengan tidak perlu memakan waktu yang banyak. Pertimbangan lain adalah adanya kelemahan terhadap hasil penelitian Takda, A., (2010; 2011) yaitu adanya kesulitan guru-guru fisika SMA/MA di Sulawesi Tenggara dalam mengembangkan perangkat pembelajaran fisika yang kontekstual khususnya untuk mengajarkan konsep-konsep yang bersifat abstrak karena kendala tidak tersedianya alat-alat laboratorium atau KIT Fisika yang dimiliki sekolah untuk mengajarkan konsep yang abstrak tersebut.

14

Berdasarkan dua pertimbangan tersebut, maka rencana dan arah (road map) dalam penelitian ini adalah akan dikembangkan perangkat pembelajaran fisika MVL berbasis PhET Simulation dalam pembelajaran fisika pada SMA/MA di Sulawesi Tenggara untuk melihat sejauhmana perubahan perilaku keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dan kemampuan pemecahan masalah (problem solving skill) sehingga akan berdampak positif terhadap penguasaan siswa terhadap konsep fisika khususnya yang bersifat abstrak. Penelitian ini akan dilaksanakan secara kolaborasi antara Tim peneliti dengan guru-guru inti pada mata pelajaran fisika SMA/MA di Sulawesi Tenggara dalam jangka waktu tiga tahun. Pada tahun pertama (2014) dimulai dengan kegiatan workshop bagi guru-guru inti mata pelajaran fisika SMA/MA di Sulawesi Tenggara. Tujuan workshop adalah melakukan diskusi dan penyamaan persepsi terhadap bagaimana menyusun perangkat pembelajaran fisika MVL berbasis PhET Simulation yang memiliki keterbacaan yang memadai. Tim peneliti membimbing guru-guru fisika dalam menyusun perangkat pembelajarannya dengan mengambil beberapa Kompetensi Dasar (KD) dari setiap kelas X, XI, dan XII dengan fokus pada konsep fisika yang bersifat abstrak. Tahap selanjutnya adalah penilaian perangkat pembelajaran fisika MVL berbasis PhET Simulation oleh tim ahli sebanyak 3 orang, ada ahli konten mater fisika, ahli dalam bidang kurikulum, dan ahli dalam bidang assessment. Pada tahun kedua (2015) pelaksanaan`penelitian ini diarahkan pada uji coba perangkat pembelajaran fisika MVL berbasis PhET Simulation yang telah berhasil di kembangkan oleh guru-guru inti mata pelajaran fisika pada beberapa sekolah SMA/MA di Sulawesi Tenggara. Pada akhirnya arah pelaksanaan penelitian pada tahun ketiga (2016) adalah melakukan revisi ulang terhadap perangkat pembelajaran fisika MVL berbasis PhET Simulation. Selanjutnya adalah melakukan koordinasi dengan para Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten/Kota yang ada dalam lingkup Kemendinas dan Kemenag Provinsi Sultra untuk mengambil suatu kebijakan agar melakukan penerapan perangkat pembelajaran fisika MVL berbasis PhET Simulation secara luas pada SMA/MA baik negeri maupun swasta yang ada di Sulawesi Tenggara dengan pertimbangan tingkat kategori atau kualitas dari masing-masing sekolah. 15

16

Anda mungkin juga menyukai