Anda di halaman 1dari 13

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H.

ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Amblyopia adalah penurunan ketajaman penglihatan, walaupun sudah diberi koreksi yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral (jarang) yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan kelainan struktural mata maupun jaras penglihatan posterior.1 Klasifikasi amblyopia dibagi menjadi beberapa kategori dengan nama yang sesuai dengan penyebabnya yaitu amblyopia strabismik, fiksasi eksentrik, amblyopia anisometropik, amblyopia isometropia dan amblyopia deprivasi.1 Amblyopia, dikenal juga dengan istilah mata malas (lazy eye), adalah masalah dalam penglihatan yang mengenai 2-3% populasi, tapi bila dibiar-biarkan, akan sangat merugikan bagi kehidupan penderita nantinya. Amblyopia tidak dapat sembuh dengan sendirinya dan amblyopia yang tidak diterapi dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen. Jika nantinya pada mata yang baik itu timbul suatu penyakit ataupun trauma, maka penderita akan bergantung pada penglihatan buruk mata yang amblyopia, oleh karena itu amblyopia harus ditatalaksana secepat mungkin.2 Hampir seluruh amblyopia itu dapat dicegah dan bersifat reversibel dengan deteksi dini dan intervensi yang tepat.2,3 Anak dengan amblyopia atau yang beresiko amblyopia hendaknya dapat diidentifikasi pada umur dini, dimana prognosis keberhasilan terapi akan lebih baik.1

1.2. Tujuan Tujuan dari penyusunan paper Amblyopia ini adalah: Menambah pengetahuan pembaca mengenai Amblyopia atau yang dikenal dengan nama Mata Malas oleh orang awam. Memberikan informasi bagi orang tua untuk mengetahui gejala dan tanda tanda dini anak yang menderita amblyopia. Menambah pengetahuan para petugas kesehatan mengenai penyakit Amblyopia.

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

1. American Academy of Ophthalmology; Pediatric Ophthalmology and Strabismus: Chapter 5 : Amblyopia; Section 6; Basic and Clinical Science Course; 2004 2005; p.67 73. 2. Lee,J; Bailey,G; Thompson, V; Amblyopia (Lazy Eye). Available at : http://www.allaboutvision.com/conditions/amblyopia.htm 3. Yen, K.G ; Amblyopia. Available at: http://www.emedicine.com/OPH/topic316.htm 4. Prof. dr. Wasisdi Gunawan, Sp.M (K); Gangguan Penglihatan Pada Anak karena Ambliopia dan Penanganannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. 2007. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universtas Gajah Mada. 5. Abraham M. Rudolph, Julien I.E Hoffman, Collin D.Rudolph,. Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol.III. Alih Bahasa, A.Samik Wahab.2006. Jakarta: ECG. 6. Attebo K, Mitchell P, Cumming R, Smith W, Jolly N, Sparkes N. 2000. Prevalence and causes of ambliopia in adult population. Ophthalmologi. 105 : 1154-9. 7. Harley, Robinson, Nelson Leonard B, Olitsky Scott E . 2005. Pediatric Opthalmology Harley. Edisi 5. United States of America. Library of Conggress. 8. American Academy of Ophthalmology ; International Ophthalmology; Chapter 10: Amblyopia; Section 13; Basic and Clinical Science Course; 2004 2005; p111119. 9. Amblyopia : Treat Lazy Eye in early childhood. Available at: http://www.eyesite.ca/english/public-information/eyeconditions/ pdfs/amblyopia.pdf#search=amblyopia 10. Greenwald, M.J; Parks, M.M; in Duanes Clinical Ophthalmology; Volume 1; Revised Edition; Lippincott Williams & Wilkins; 2004; Chapter 10 p.1-19; Chapter 11 p1-8 11. Henkind, P; Priest, R.S; Schiller, G; Compendium of Ophthalmolgy; J.B.Lippincott Company; Philadelphia and Toronto; 1983; p 78-93 12. Noorden,G.K.V; Atlas Strabismus; Edisi 4; EGC; Jakarta; 1988; p78-93 13. Ciufrfreda, K.J; Levi,D.M ; Selenow, A ; Amblyopia Basic and Clinical Aspects, Butterworth Heinemann; 1991

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

14. Langston, D.P; Manual of Ocular Diagnosis and Therapy; 5th Edition; Lippincott Wlliams & Wilkins; Philadelphia; p 344-346

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Amblyopia adalah penurunan ketajaman penglihatan, walaupun sudah diberi koreksi yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral (jarang) yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan kelainan struktural mata maupun jaras penglihatan posterior.1 Amblyopia berasal dari bahasa Yunani yaitu amblyos (tumpul) dan opia (penglihatan). Dikenal juga dengan lazy eye atau mata malas.4 Amblyopia adalah berkurangnya visus atau tajam penglihatan unilateral atau bilateral walaupun sudah dengan koreksi terbaik tanpa ditemukannya kelainan struktur pada mata atau lintasan visual bagian belakang. Hal ini merupakan akibat pengalaman visual yang abnormal pada masa lalu (masa perkembangan visual) yang penyebabnya adalah strabismus atau mata juling, anisometropia atau bilateral ametrop yang tinggi serta amblyopia exanopsia.4 Amblyopia hanya dapat terjadi selama tahun-tahun pertama kehidupan, saat sistem penglihatan memiliki plastisitas yang paling besar.5

2.2. Epidemiologi Prevalensi di berbagai belahan dunia bervariasi sesuai tajam penglihatan yang digunakan. Prevalensi ambliopia pada populasi usia diatas 5,5 tahun dengan batasan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik 6/9 ditemukan berkisar antara 0,14-3,14%, dengan batasan tajam penglihatan 6/12 berkisar antara 0,35-2,9% dan dengan batasan tajam penglihatan 6/18 berkisar antara 1,13-2%. Data prevalensi ambliopia pada anak Indonesia masih belum ada.6 Prevalensi ambliopia di Amerika Serikat sulit ditaksir dan berbeda pada tiap literatur, berkisar antara 13,5% pada anak yang sehat sampai 4-5,3% pada anak yang mempunyai masalah pada mata. Hampir seluruh data mengatakan sekitar 2 % dari keseluruhan populasi menderita ambliopia. Di China, menurut data bulan Desember tahun 2005, sekitar 3-5% atau 9 hingga 5 juta anak menderita ambliopia.2

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

Di Indonesia, prevalensi ambliopia pada murid-murid kelas I SD di Kotamadya Bandung pada tahun1989 adalah sebesar 1,56%. Pada tahun 2002 hasil penelitian mengenai ambliopia di Yogyakarta didapatkan insidensi ambliopia pada anak-anak SD di perkotaan adalah sebesar 0,25%, sedagkan di daerah pedesaan sebesar 0,20%. Penyebab ambliopia terbanyak pada studi tersebut adalah anisometropia yaitu sebesar 44,4%. Sedangkan penelitian tentang ambilopia pada 54.260 anak SD di 13 kecamatan di DIY pada tahun 2005 dengan kriteria ambliopia yaitu visus dengan koreksi terbaik 20/30 dan terdapat paling sedikit perbedaan 2 baris Optotipe Snellen antara mata kanan dan kiri, menggunakan teknik crowding phenomenon, neutral density filter dan tidak ditemukannya kelainan organik ternyata hanya menemukan prevalensi ambliopia sebesar 0,35%.4 Jenis kelamin dan ras tampaknya tidak ada perbedaan. Usia terjadinya ambliopia yaitu pada periode kritis dari perkembangan mata. Resiko meningkat pada anak yang perkembangannya terlambat, prematur, dan atau dijumpai adanya riwayat keluarga ambliopia.2

2.3. Faktor Resiko 2.3.1. Faktor ambliogenik 1. Mata yang berdeviasi (deviated eye) sampai usia sekitar 6 tahun, akan menyebabkan ambliopia strabismus. Umumnya deviasi yang terjadi bersifat konstan dan non alternating. Ini adalah mekanisme adaptasi untuk mengatasi kebingungan visual (visual confusion; bayangan yang tidak sama tumpang tindih) dan diplolpia (bayangan identik yang tumpang tindih).7

2. Perbedaan kelainan refraksi antara kedua mata akan menyebabkan ambliopia anisometropia. Menurut Sloane 2002, anisometropia dibagi menjadi tiga yaitu, anisometropia kecil dengan beda refraksi lebih kecil dari 1,5 D, anisometropia sedang dengan beda refraksi 1,5- 3 D, dan anisometropia berat dengan beda refraksi lebih dari 3 D. Perbedaan bayangan pada masing-masing mata akan mengakibatkan interaksi kortikal abnormal, inhibisi bayangan retina dan berakhir menjadi ambliopia. Berbeda dengan ambliopia stabismus ambliopia anisometropia dapat timbul dan pulih sampai usia 10 tahun atau mungkin lebih. 7

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

3. Mata dengan bayangan retina yang kurang jelas (defocused eye) akan menyebabkan ambliopia isoametropia. Ambliopia isoametropia terjadi akibat kelainan refraksi yang tidak dikoreksi dan hampir sama besar pada kedua mata. Umumnya batasan besar sferis maupun SE yang digunakan adalah +3D pada hipermetropia dan -6 D pada miopia, sedangkan batasan astigmat umumnya 2,5 D. Ini adalah bentuk ambliopia bilateral yang tidak lazim yang disebabkan oleh kesalahan refraksi yang besar, biasanya hiperopia lebih dari 5 dioptri. Anak gagal melakukan akomodasi penuh dan memperoleh bayangan yang jelas karena gejala astenopik yang ditimbulkan oleh akomodasi kontinu. Anak akhirnya terbiasa dengan bayangan retina yang sedikit kabur, dan korteks penglihatan gagal mnegmbangkan potensi untuk menerima ketajaman resolusi yang tinggi. Masalah yang serupa terjadi pada astigmatisme yang lebih dari 3 dioptri. 7

4. Mata dengan deprivasi (deprived eye) akan menyebabkan ambliopia deprivasi. Bayangan obyek di retina kedua mata yang kurang jelas akibat kelainan kongenital maupun didapat dini (early acquired) akan

mengakibatkan kurangnya stimulasi foveal yang adekuat dan berakhir menjadi ambliopia. Sumbu penglihatan harus dibersihkan dan citra retina terbentuk pada usia 6 bulan untuk mencegh ambliopia tipe ini menjadi permanen. 7

2.3.2. Faktor Internal dan Eksternal 1. Faktor internal, dimana secara tidak langsung mempengaruhi terjadinya ambliopia meliputi faktor pendidikan, pengetahuan, dan perilaku (P&P) orang tua dan terutama status ekonomi keluarga berpengaruh terhadap tingkat prevalensi ambliopia.

2. Faktor eksternal, meliputi faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan mata, dan faktor terlaksananya program Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Kelemahan sistem pelayanan kesehatan mata di Indonesia yang telah diidentifikasi saat ini adalah belum tertatanya sistem pelayanan kesehatan indera penglihatan yang komprehensif, termasuk belum terlaksananya
6

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

program rutin skrinning gangguan penglihatan pada anak usia pra sekolah, anak usia sekolah maupun sekolah dasar (SD). Tenaga kesehatan terkait dirasakan masih kurang dalam hal kompetensi dan jumlah penduduk yang harus dilayani serta belum terdistribusi secara merata.

2.4.

Patofisiologi Pada amblyopia didapati adanya kerusakan penglihatan sentral, sedangkan daerah

penglihatan perifer dapat dikatakan masih tetap normal. Studi eksperimental pada binatang serta studi klinis pada bayi dan balita, mendukung konsep adanya suatu periode kritis yang peka dalam berkembangnya keadaan amblyopia. Periode kritis ini sesuai dengan perkembangan sistem penglihatan anak yang peka terhadap masukan abnormal yang diakibatkan oleh rangsangan deprivasi, strabismus, atau kelainan refraksi yang signifikan. Secara umum, periode kritis untuk amblyopia deprivasi terjadi lebih cepat dibanding strabismus maupun anisometropia. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya amblyopia ketika periode kritis lebih singkat pada rangsang deprivasi dibandingkan strabismus ataupun anisompetropia.1 Periode kritis tersebut adalah: 1. Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 (6/60) hinga 20/20 (6/6), yaitu pada saat lahir sampai usia 3 5 tahun. 2. Periode yang beresiko (sangat) tinggi untuk terjadinya amblyopia deprivasi, yaitu di usia beberapa bulan hingga usia 7 8 tahun. 3. Periode dimana kesembuhan amblyopia masih dapat dicapai, yaitu sejak terjadinya deprivasi sampai usia remaja atau bahkan terkadang usia dewasa.3 Walaupun mekanisme neurofisiologi penyebab amblyopia masih sangat belum jelas, studi eksperimental modifikasi pengalaman dalam melihat pada binatang dan percobaan laboratorium pada manusia dengan amblyopia telah memberi beberapa masukan, pada binatang percobaan menunjukkan gangguan sistem penglihatan fungsi neuron yang dalam/besar yang diakibatkan pengalaman melihat abnormal dini. Sel pada korteks visual primer dapat kehilangan kemampuan dalam menanggapi rangsangan pada satu atau kedua mata, dan sel yang masih responsif fungsinya akhirnya dapat menurun. Kelainan juga terjadi pada neuron badan genikulatum lateral. Keterlibatan retina masih belum dapat disimpulkan.1

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

Sistem penglihatan membutuhkan pengalaman melihat dan terutama interaksi kompetitif antar jalur penglihatan di kedua mata pada visual korteks untuk berkembang hingga dewasa.8 Bayi sudah dapat melihat sewaktu lahir, tapi mereka harus belajar bagaimana menggunakan mata mereka. Mereka harus belajar bagaimana untuk fokus, dan bagaimana cara menggunakan kedua mata bersamaan.9

2.5.

Klasifikasi Amblyopia dibagi kedalam beberapa bagian sesuai dengan gangguan/kelainan yang

menjadi penyebabnya.1 1. Ambliopia Strabismik Amblyopia yang paling sering ditemui ini terjadi pada mata yang berdeviasi konstan. Konstan, tropia yang tidak bergantian (nonalternating, khususnya esodeviasi) sering menyebabkan amblyopia yang signifikan.1 Amblyopia umumnya tidak terjadi bila terdapat fiksasi yang bergantian, sehingga masing masing mata mendapat jalan/ akses yang sama ke pusat penglihatan yang lebih tinggi, atau bila deviasi strabismus berlangsung intermiten maka akan ada suatu periode interaksi binokular yang normal sehingga kesatuan sistem penglihatan tetap terjaga baik.10 Amblyopia strabismik diduga disebabkan karena kompetisi atau terhambatnya interaksi antara neuron yang membawa input yang tidak menyatu (fusi) dari kedua mata, yang akhirnya akan terjadi dominasi pusat penglihatan kortikal oleh mata yang berfiksasi dan lama kelamaan terjadi penurunan respon terhadap input dari mata yang tidak berfiksasi.1 Penolakan kronis dari mata yang berdeviasi oleh pusat penglihatan binokular ini tampaknya merupakan faktor utama terjadinya amblyopia strabismik, namun pengaburan bayangan foveal oleh karena akomodasi yang tidak sesuai, dapat juga menjadi faktor tambahan.10 Hal tersebut di atas terjadi sebagai usaha inhibisi atau supresi untuk menghilangkan diplopia dan konfusi.11 (konfusi adalah melihat 2 objek visual yang berlainan tapi berhimpitan, satu di atas yang lain).12 Ketika kita menyebut amblyopia strabismik, kita langsung mengacu pada esotropia, bukan eksotropia. Perlu diingat, tanpa ada gangguan lain, esotropia primer-lah, bukan eksotropia, yang sering diasosiasikan dengan amblyopia . Hal ini disebabkan karena eksotropia sering berlangsung intermiten dan / atau deviasi alternat dibanding deviasi unilateral konstan, yang merupakan prasyarat untuk terjadinya amblyopia.13
8

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

2. Fiksasi Eksentrik Fiksasi eksentrik mengacu kepada penggunaan regio nonfoveal retina terus menerus untuk penglihatan monokular oleh mata amblyopia. Fiksasi eksentrik terdapat sekitar 80% dari penderita amblyopia. Fiksasi eksentrik ringan (derajat minor), hanya dapat dideteksi dengan uji khusus, seperti visuskop, banyak dijumpai pada penderita amblyopia strabismik dan hilangnya tajam penglihatan ringan.1 Secara klinis bukti adanya fiksasi eksentrik, dapat dideteksi dengan melihat refleks kornea pada mata amblyopia tidak pada posisi sentral, dimana ia memfiksasi cahaya, dengan mata dominan ditutup.1Umumnya tajam penglihatan adalah 20/200 (6/60) atau lebih buruk lagi.1,14 Penggunaan regio nonfoveal untuk fiksasi tidak dapat disimpulkan sebagai penyebab utama menurunnya penglihatan pada mata yang amblyopia. Mekanisme fenomena ini masih belum diketahui.1

3. Amblyopia Isometropia Amblyopia isometropia terjadi akibat kelainan refraksi tinggi yang tidak dikoreksi, yang ukurannya hampir sama pada mata kanan dan mata kiri.1 Dimana walaupun telah dikoreksi dengan baik, tidak langsung memberi hasil penglihatan normal. Tajam penglihatan membaik sesudah koreksi lensa dipakai pada suatu periode waktu (beberapa bulan). Khas untuk amblyopia tipe ini yaitu, hilangnya penglihatan ringan dapat diatasi dengan terapi penglihatan, karena interaksi abnormal binokular bukan merupakan faktor penyebab.13 Mekanismenya hanya karena akibat bayangan retina yang kabur saja.1 Pada amblyopia isometropia, bayangan retina (dengan atau tanpa koreksi lensa) sama dalam hal kejelasan/ kejernihan dan ukuran.13 Hyperopia lebih dari 5 D dan myopia lebih dari 10 D beresiko menyebabkan bilateral amblyopia dan harus dikoreksi sedini mungkin agar tidak terjadi amblyopia.14

4. Amblyopia Deprivasi Istilah lama amblyopia ex anopsia atau disuse amblyopia sering masih digunakan untuk amblyopia deprivasi, dimana sering disebabkan oleh kekeruhan media kongenital atau dini1, akan menyebabkan terjadinya penurunan pembentukan bayangan yang akhirnya menimbulkan amblyopia.14 Bentuk amblyopia ini sedikit kita jumpai namun

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

merupakan yang paling parah dan sulit diperbaiki.1Amblyopia bentuk ini lebih parah pada kasus unilateral dibandingkan bilateral dengan kekeruhan identik.14 Anak kurang dari 6 tahun, dengan katarak kongenital padat / total yang menempati daerah sentral dengan ukuran 3mm atau lebih, harus dianggap dapat menyebabkan amblyopia berat. Kekeruhan lensa yang sama yang terjadi pada usia > 6 thn lebih tidak berbahaya.1 Amblyopia oklusi adalah bentuk amblyopia deprivasi disebabkan karena penggunaan patch (penutup mata) yang berlebihan.1 Amblyopia berat dilaporkan dapat terjadi satu minggu setelah penggunaan patching unilateral pada anak usia < 2 tahun sesudah menjalani operasi ringan pada kelopak mata.10

2.6.

Tanda dan Gejala

10

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

BAB III KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan Pemasok arteri utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri ophthalmik, yaitu cabang besar pertama arteri carotis interna bagian intrakranial. Cabang ini berjalan di bawah nervus optikus dan bersamaan melewati kanalis optikus menuju ke

11

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

orbita. Cabang intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang memasuki nervus optikus sekitar 8 15 mm di belakang bola mata. Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena ophthalmik superior dan inferior, yang juga menampung darah dari vena vorticose, vena siliaris anterior, dan vena sentralis retina. Vena ophthalmika berhubungan dengan sinus cavernosus melalui fisura orbitalis superior, dan dengan pleksus venosus pterigoideus melalui fisura orbitalis inferior.

DAFTAR PUSTAKA

1. Riardon,P., etc. 2008. Anatomy & Embryology of the Eye. In General Ophthalmology Vaughan D, Asbury T, Rordian Eva P.The McGraw-Hill ED 17 : 6-8

12

PAPER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Herman Tuah Sitohang NIM : 080100396

2. Chauduri, Z., etc. 2011. Summary of the Gross Anatomy of the Extraocular Muscles. Available from: http://books.google.co.id/ [Accessed 27th May 2013]. 3. Graham, R.H., etc. 2011. Extraocular Muscle Anatomy. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1189799-overview#showall [Accessed 27th May 2013] 4. Baker, R.S., 1989. Morphology od Extra-Ocular Muscle. Available from: http://www.aoa.org/x4717.xml. [Accessed 27th May 2013] 5. Putz, R., Pabst, R., Sobotta Atlas of Human Anatomy, Urban & Fischer. 744-762 6. Standring,S., 2008. Grays Anatomy The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th ed. Churchill Livingstone; Chapter 39; 659-666 7. Ramadan, W.S.E., etc. 2008. Anatomical Study of the Arterial Supply of Human Extraocular Recti Muscles. Available from:

http://www.med.alexu.edu.eg/journal/index.php/bulletin/article/view/579/488 [Accessed 27th May 2013]. 8. Kleckowska, J., etc. 2003. Morphology of the extra-ocular muscles (musculi bulbi) of the American Stafford Terrier during the perinatal period. Wroclaw, Poland 9. Schlote, T., etc. 2006. Pocket Atlas of Ophthalmology, Thieme 10. Terfera, D., etc. 2012. Muscles, Nerves, and Blood Vessels in the Human Eye.

13

Anda mungkin juga menyukai