Anda di halaman 1dari 12

Retensio Urin Postpartum Memanjang: Pentingnya Diagnosis Dini dan Waktu Intervensi

Tujuan: Untuk mengevaluasi prevalensi dan faktor risiko obstetrik dari faktor risiko retensio urin postpartum memanjang, setelah hari ketiga postpartum. Metode: Tiga puluh ribu tujuh ratus lima puluh tujuh wanita bersalian yang diikuti pada rumah sakit bersalin Lis rumah sakit selama Juni 2006 hingga Juni 2009. Istilah retensio urin postpartum memanjang didefinisikan sebagai tidak mampu berkemih secara normal setelah tiga hari postpartum. Kelompok penelitian membandingkan 55 wanita yang mengalami retensio urin postpartum memanjang. Kelompok kontrol membandingkan 100 wanita, yang sesuai dari segi usia dan paritas, yang melahirkan pada hari yang sama namun tidak mengalami retensio urin. Hasil: Lima puluh lima (0.18%) wanita (41 primipara, 14 multipara) mengalami retensio urin postpartum memanjang. Pada analisis regresi logistik multivariat, hanya durasi dari kala dua persalinan dan persalinan dengan vakum merupakan faktor risiko independen yang bermakna. Dengan diagnosis dini dan waktu intervensi yang ditentukan,

penyembuhan sempurna diharapkan terjadi dalam waktu 28 hari postpartum tanpa konsekuensi jangka panjang. Neurol.Urodynam. 30:8386, 2011.

PENDAHULUAN Retensio urin postpartum yang terjadi terlambat, melewati masa nifas dini, merupakan kondisi yang jarang terjadi pada obstetri modern. Namun, retensi urin yang tidak dikenali dan mismanajemen dapat menyebabkan kerusakan kandung kemih yang ireversibel.1-3 Diagnosis dini dan waktu intervensi merupakan hal yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi pasien-pasien dengan risiko. Secara konsep, disfungsi fase berkemih kemungkinan disebabkan oleh gangguan dan/atau sumbatan pada pengosongan vesika urinaria. Gangguan pada pengosongan kandung kemih disebabkan oleh otot

destrusor yang kurang beraktivitas, atau arefleksi dari otot destrusor. Obstruksi jalur keluar dari vesika urinaria kemungkinan disebabkan oleh overaktivitas uretra (obstruksi fungsional), atau proses patologis dari anatomi kandung kencing (obstruksi mekanik). Mekanisme dasar ini kemungkinan seluruhnya memegang peranan dalam patogenesis

disfungsi berkemih postpartum: obstruksi aliran keluar dari kandung kemih secara mekanik dapat berkembang akibat hematom lokal atau edema, obstruksi fungsional bisa akibat rasa nyeri, dan rendahnya aktivitas destrusor kemungkinan disebabkan neuropati pelviis, atau kandung kemih yang overdistensi terlalu lama. Atonia kandung kemih, akibat peningkatan kadar progesteron selama kehamilan dan pada nifas dini, juga dapat memegang peranan.2,4 Disfungsi berkemih postpartum yang tidak bergejala cukup sering ditemukan; namun demikian, biasanya dapat sembuh sendiri dan perbaikan kondisi secara spontan diharapkan terjadi dalam waktu singkat.5,6 Retensio urin akut dan simtomatik yang terjadi postpartum lebih jarang terjadi dan makin kompleks jika terjadi terlambat melebihi masa nifas awal. Data yang berkaitan dengan gangguan klinis ini terbatas. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi prevalensi, faktor risiko, tatalaksana, dan prognosis dari retensio urin postpartum memanjang.

METODE Populasi penelitian mencakup 30.757 wanita yang melahirkan di Rumah Sakit Lis Maternity, Tel Aviv Sourasky Medical Centre, antara Juni 2006 hingga Juni 2009. Diantara kasus ini, 55 wanita (0.18%) mengalami retensio urin postpartum yang memanjang, didefinisikai sebagai retensio urin klinis yang terjadi pada nifas hari ke 3 atau lebih. Kelompok kontrol membandingkan 110 wanita yang sama namun tidak mengalami retensio urin postpartum. Dua kontrol yang sama dari segi usia, paritas, dan tanggal persalinan, dipilih untuk masing masing kasus retensio urin postpartum memanjang. Protokol penelitian disetujui oleh komite Rumah Sakit Helsinki.

Dari populasi obstetri secara keseluruhan (30,757 wanita), 44% merupakan primipara dan 56% adalah multipara. Persalinan pervaginam dan seksio cesarea dilakukan sebayak 76.4% dan 23.6%. rata-rata persalinan dengan menggunakan alat adalah 4.7%; semuanya melalui ekstraksi vakum. Penggunaan anelgesia epidural dilakuan pada 85.5% persalinan pervaginam. Persalinan yang mengalami gangguan

didefinisikan berdasarkan kriteria klinis dari American College of Obstetricians and Gynecologist.7 Berdasarkan kriteria ini, kala II memanjang didefinisikan sebagai durasi yang lebih dari 2 atau 4 jam tergantung dari paritas dan penggunaan anestesi. Setelah persalinan, seluruh wanita diobservasi untuk pengosongan kandung kemih secara spontan. Jika pasien tidak mampu berkemih dalam waktu 6 jam setelah kateter dibuka pada kasus-kasus seksio cesarea, Foley kateter dipasang menetap selama 24 jam. Jika pasien tidak mampu berkemih secara spontan setelah 24 jam, atau tidak puas setelah berkemih (residu urin >200cc), folley kateter dipasang kembali hingga 48 jam. Pada saat ini, 72 jam setelah persalinan, jika pasien masih belum bisa berkemih, atau tidak puas berkemih, diagnosis retensio urin postpartum memanjang ditegakkan. Foley kateter dipasang kembali dan pasien dirujuk ke ahli uroginekologi untuk manajemen dan evaluasi lebih lanjut. Evaluasi uroginekologi meliputi riwayat penyakit, fokus pada pertanyaan berkaitan dengan munculan dan beratnya gejala traktus urinarius bawah sebelum dan selama kehamilan, pemeriksaan pelvis, urinalisa dan kultururin, uroflow, dan volume residu urin setelah berkemih. Seluruh pasien ditatalaksana dengan antibiotik profilaksis. Kasus-kasus infeksi traktus urinarius diterapi menurut hasil kultur dan sensitivity test. Tindakan membuka kateter dilakukan setiap 3-5 hari. Setiap kateter dibuka, jika pasien tidak mampu berkemih, atau tidak puas setelah berkemih, kateter kembali dipasang selama 3-5 hari lagi.Proses perbaikan dikatakan apabila pasien berkemih spontan dengan volume residu urin < 200 ml.

Data demografi, medis, obstetri dan uroginekologi dicatat secara prospektif dan disimpan dalam database komputer. Parameter obstetri meliputi: usia ibu, paritas, berat dan tinggi badan, usia kehamilan saat persalinan, lamanya kala satu dan kala dua persalinan, penggunaan anelgesia (epidural, narkutik), induksi atau akselerasi persalinan,

penggunaan oksitosin, kateterisasi kandung kemih intrapartum, trauma perineum (episiotomi mediolateral, robekan), jenis persalinan, berat bayi baru lahir, dan jenis kelamin. Data uroginekologi meliputi: volume residu urin saat diagnosis dan setelah 24 dan 72 jam, waktu pemulihan, penyakit pada ibu (seperti demam, infeksi saluran kencing), dan jarak hasil luaran. Parameter Obstetri dianalisa dan dibandingkan antara penelitian dan kelompok kontrol. Kelompok kontrol kemudian dibagi menjadi dua subgroup, menurut interval waktu pemulihan : pemulihan cepat (hingga 14 hari) atau pemulihan lambat (15 hari atau lebih). Parameter obstetri dan uroginekologi dibandingkan antara kedua subgrup. Analisis statistik dilakukan menggunakan Students t-test untuk data kontinyu atau X2 untuk data kategorik. P < 0.05 dianggap signifikan. Data rangkum dalam bentuk nilai mean + standar deviasi (SD), atau persentase menurut variabel. Seluruh variabel yang ditemukan bermakna secara statistik pada analisa univariat dimasukkan kedalam model regresi logistik multivariat untuk mengidentifikasi faktor risiko independen. Statistical Package for Social Science (SPSS), versi 15.0 digunakan untuk analisis multivariat. P < 0.05 dianggap bermakna secara statistik.

HASIL Lima puluh lima wanita (0.18% dari populasi obstetri secara umum) mengalami retentio urin postpartum memanjang. Semuanya merupakan wanita sehat (usia rata-rata 30.9 + 4.7; rentang usia 20 43 tahun), tanpa riwayat kesulitan berkemih sebelumnya. Dua wanita yang ditemukan

dengan riwayat kesulitan berkemih jangka lama sebelum kehamilan dikeluarkan dari penelitian. Dua puluh lima (45%) wanita menjalani induksi persalinan dengan menggunakan oksitosin atas indikasi obstetri yang

berbeda-beda. Delapan belas (33%) wanita lainnya mendapatkan akselerasi dengan oksitosin akibat proses persalinan disfungsional. Seluruhnya mendapatkan analgesia epidural, kecuali dua pasien. Durasi kala dua berkisar antara 20 hingga 270 menit (rata-rata 157 + 60). Dua puluh empat (44%) wanita mengalami kala dua memanjang per definisi. Tiga puluh tiga (60%) wanita menjalani persalinan spontan pervaginam, 17 (31%) melahirkan dengan cara vakum ekstraksi, dan 5 (9%) menjalani seksio cesarea (1 kasus kala dua memanjang, 2 kasus deselerasi denyut jantung janin, 1 kasus gagal vakum, dan 1 kasus seksio cesarea elektif). Dari 50 persalinan pervaginam (spontan dan vakum), 41 (82%) dilakukan episiotomi mediolateral, dan 7 (14%0 lainnya mengalami robekan derajat.
1-3

Perbandingan univariat dari kelompok penelitian dan kontrol dapat dilihat pada tabel I. Pemberian oksitosin, durasi kala dua yang lebih lama, kala dua memanjang perdefinisi, persalinan vakum, dan berat badan bayi yang besar secara bermakna lebih lazim pada wanita dengan retensio urin postpartum memanjang dibandingkan dengan yang tidak mengalami retensio urin.

Tabel 1. Karakteristik pasien

Dari variabel yang ditemukan bermakna secara statistik pada analisa univariat, hanya lamanya kala dua persalinan (selama 120 180 menit: )R 3.2, 95% CI 1.3 7.7; untuk > 180 menit: OR 8.6, 95% CI 2.4 30.4) dan persalinan dengan vakum (OR 12.2, 85% CI 2.5 60.4) ditemukan bermakna secara statistik sebagai faktor risiko independen pada model regres logistik multivaariat. Analisa statistik lebih lanjut, menggunakan kurva ROC, mengidentifikasi durasi kala dua dengan cut off 90 menit merupakan faktor risiko yang bermakna ((OR 6.5, 95% CI 2.6-15.9; sensitivitas 0.895, spesifisitas 0.533) untuk terjadinya retensio urin postpartum memanjang. Dari 55 kasus retensio urin postpartum memanjang yang didiagnosis dalam waktu 4 24 jam setelah persalinan diterapi sesuai dengan protokol yang ada. Volume kandung kemih inisial saat pertama kali didiagnosis antara 450 3,500 ml (1326 + 512). Dari 55 pasien, hanya didapati 1 pasien dengan residu urin lebih dari 3,500 ml. Pasien lainnya memiliki residu urin 600 2000 ml. Volume residu urin setelah 24 jam sekitar 320 2000 (812 + 371). Tiga puluh enam pasien (65%) berkemih

secara normal dalam waktu 4-14 hari postpartum. Pada 19 pasien (35%), berkemih kembali normal setelah 15 28 hari postpartum. Perbandingan waktu pemulihan pada onset dini dan onset lambat tidak terlalu bermakna, namun ditemukan volume residu urin lebih tinggi pada 72 jam setelah persalinan pada kasus-kasus pemulihan onset lambat.(tabel II). Dari 55 pasien, 48 (87%) yang ada datang untuk follow up pada September 2009 (3-39 bulan setelah indeks persalinan). Pada pasienpasien ini, tiga diantaranya menjalani persalinan lagi setelahnya dengan luaran yang normal, dan lima lainnya hamil. Dari 48 pasien, 5 (10.4%) mengalami stress urinary incontinence dan 4 (8.3%) mengalami gejala overactive bladder. Tiga pasien lainnya (6.3%) mengalami kesulitan berkemih secara subjektif; namun evaluasi urodinamik tidak menemukan abnormalitas fase dalam berekemih. Tidak ada korelasi antara variasi obstetrik dengan parameter uroginekologi dengan risiko terjadinya gejala saluran kencing bagian bawah.

Tabel II. Perbandingan antara Pemulihan dini (4-14 hari) dengan Pemulihan lambat (15-28 hari)

DISKUSI Disfungsi berkemih lazim terjadi setelah persalinan. Namun, mayoritas kasus biasanya asimtomatik dan sembuh spontan dalam waktu 3 hari setelah persalinan.5-10 Retensio urin postpartum yang nyata secara klinis jarang ditemukan, namun sepertihalnya kasus-kasus asimtomatik, pemulihan spontan diharapkan terjadi dalam 3 hari setelah persalinan, tanpa konsekuensi jangka panjang.10-11 Maka dari itu kami memutuskan mendifinisikan retensio urin postpartum memanjang sebagai suatu ketidakmampuan berkemih secara spontan melebihi 3 hari postpartum. Data berkaitan dengan insiden, faktor risiko, dan luaran hasil jarang ditemukan.11-15 Dari pengetahuan kami, hingga saat ini, sejumlah kasus yang pernah dipublikasikan: dari 30.757 proses persalinan yang diikuti, 55 (0.18%) mengalami retensio urin postpartum memanjang setelah tiga hari postpartum. Insiden yang sangat rendah ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya: Carley et al,12 pada penelitian secara

retrosptective case-control terhadap 11,332 persalinan pervaginam, ditemukan 13 kasus (0.11%) retensio urin postpartum yang nyata secara klinis terjadi tiga hari postpartum. Teo et al.,13 pada penelitian case-control terhadap 15,757 persalinan pervaginam, mendapatkan 30 kasus (0.2%) retensio urin memanjang postmartum. Dua penelitian lain juga melaporkan angka insiden yang sama, 0.05% dan 0.18%.14,15 Temuan ini menjelaskan bahwa retensio urin postpartum memanjang cukup jarang ditemukan pada praktik obstetri modern. Patofisiologi disfungsi berkemih postpartum diduga multifaktorial. Faktor mekanis, fungsional dan neurologis diduga sebagai mekanisme yang memungkinkan terjadinya disfungsi berkemih postpartum. 14-16 Dampak spesifik dari masing-masing mekanisme tidak diketahui dan sangat bervariasi pada berbagai kasus. Walaupun pemulihan sempurna biasanya terjadi, retensi urin yang tidak dikenali dan intervensi terlambat dapat menyebabkan kerusakan otot-otot destrusor yang bersifat ireversibel dan menyebabkan disfungsi berkemih jangka panjang. 13-16 Retensio urin lama, tidak terdiagnosis juga dapat menyebabkan ruptur

kandung kemih spontan, namun ini merupakan komplikasi yang sangat jarang.17 Diagnosis dini dan saat dilakukannya intervensi dibutuhkan untuk mencegah konsekuensi buruk, dan perhatian harus diberikan untuk mengidentifikasi pasien-pasien berisiko. Beberapa faktor obstetrik

berkaitan dengan retensio urin postpartum: nulliparitas, kala dua memanjang, persalinan menggunakan alat, trauma perinemun, dan alagesia epidural. Carley et al.12 melakukan penelitian retrospective casecontrol terhadap 51 kasus retensio urin postpartum dengan klinis yang nyata setelah persalian pervaginam. Kasus kontrol terdiri dari lima persalinan pervaginam segera sebelum dan sesudah masing-masing

kasus peneliitian. Pemilihan case-control ini dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan perbedaan dalam manajemen obstetri selama periode penelitian selama 8 tahun. Wanita-wanita dengan retensio urin lebih sering terjadi pada wanita primipara (66.7% vs 40%), pada persalinan menggunakan alat (47.1% VS 12.4%), persalinan dengan anestesi regional (98% vs 68.8%), dan persalinan dengan episiotomi mediolateral (39.2% vs 12.5%). Pada analisis regresi logistik multivariat, hanya persalinan dengan alat dan persalinan dengan anestesi regional yang merupakan faktor risiko independen. Teo et al.13 meneliti 30 retensio urin postpartum simtomatik. Empat kontrol, yang sama saat persalinan, dipilih untuk masing-masing 30 kasus. Etnisitas bangsa Asia, durasi kala satu dan kala dua, primiparitas, analgesia regional, episiotomy, induksi persalinan, berkaitan dan persalinan dengan menggunakan alat meningkatnya risiko retensio urin ditemukan postpartum

dengan

memanjang. Namun demikian, pada model multivariat, hanya etnis Asia dan analgesia regional yang ditemukan merupakan faktor risiko independen yang bermakna. Pada penelitian ini, dua kontrol, sesuai menurut usia, paritas, dan tanggal persalinan, dipilih untuk masing-masing 55 kasus dari retensio urin postpartum memanjang. Pemberian oksitosin, kala dua lama, kala dua memanjang, persalinan dengan vakum, dan berat janin secara bermakna lebih sering dialami oleh wanita yang selanjutnya menderita retensio urin postpartum memanjang dibandingkan mereka

10

yang tidak menderita. Namun, pada analisis regresi logistik multivariat, hanya durasi kala dua persalinan dan persalinan menggunakan vakum yang menjadi faktor risiko independen. Dari 55 pasien-pasien, 36 (65%) kembali berkemih secara normal dalam waktu 4-14 hari postpartum, dan 19 (35%) lainnya dalam waktu 15 28 hari. Perbandingan selanjutnya antara pemulihan dini dengan pemulihan lambat tidak terdapat perbedaan bermakna kecuali adanya residu urin yang lebih banyak pada 72 jam setelah persalinan, pada kasus pemulihan lambat. Kepentingan klinis dari volume residu urin saat diagnosis masih belum jelas. Dari 55 pasien, hanya 1 pasien dengan volume residu urin sebanyak 3,500 ml saat diagnosis. Pasien kembali berkemih spontan secara normal dalam waktu 7 hari tanpa dampak jangka panjang. Seluruh pasien lainnya memiliki volume residu urin 600-2000 ml saat ditegakkan diagnosis. Cukup mungkin bahwa berlawanan dengan kandung kemih yang terlalu distensi yang lambat terdeteksi, diagnosis dini volume residu urin yang besar memungkinkan pemulihan yang lebih baik. Empat puluh delapan (87%) pasien-pasien datang untuk follow up pada 3 39 bulan. Diantaranya, lima (10.4%) menderita stress urinary incontinence dan empat (8.3%) menderita gejala overactive bladder. Tiga (6.3%) lainnya menderita kesulitan berkemih secara subjektif; namun, evaluasi urodinamik tidak menunjukkan fase berkemih yang abnormal. Kami tidak menemukan korelasi antara berbagai variasi parameter obstetri dan uroginekologi dan risiko gejala traktus urinarius bawah.

KESIMPULAN Dapat diambil kesimpulan, hasil dari penelitian kami menunjukkan prevalensi yang sangat rendah dari retensio urin memanjang postpartum. Durasi kala dua persalinan dan persalinan dengan vakum secara signifikan merupakan faktor risiko yang independen. Dengan diagnosis dini dan waktu intervensi, resolusi komplit diharapkan terjadi dalam waktu 28 hari postpartum tanpa konsekuensi jangka panjang yang bermakna.

11

DAFTAR PUSTAKA 1. Hinman F. Postoperative overdistension of the bladder. Surg Gynecol Obst 1976;142:901--2. 2. Mayo ME, Lloyd-Davies RW, Shuttleworth KE, et al. The damaged human detrusor: Functional and electron-microscopic changes in disease. Br J Urol 1973;45:116--25. 3. Versi E, Barnick C. Postpartum urinary retention. Proceedings of the 17th Annual Meeting of the International Continence Society, International Continence Society, Bristol; 1987, pp 218--9. 4. Iosif S, Ingemarsson I, Ulmsten U. Urodynamic studies in normal pregnancy and in puerperium. Am J Obstet Gynecol 1980;137:696--700. 5. Ramsay IN, Torbet TE. Incidence of abnormal voiding parameters in the immediate postpartum period. Neurourol Urodyn 1993;12:179--83. 6. Groutz A, Hadi E,Wolf Y, et al. Early postpartum voiding dysfunction: Incidence and correlation with obstetric parameters. J Reprod Med 2004;49:960--4. 7. Technical ACOG Bulletin. Dystocia and the augmentation of labor, December 1995, Number 218. 8. Andolf E, Iosif CS, Jorgensen C, et al. Insidious urinary retention after vaginal delivery: Prevalence and symptoms at follow-up in a populationbased study. Gynecol Obst Invest 1994;38:51--3. 9. Yip SK, Brieger G, Hin LY, et al. Urinary retention in the post-partum period. The relationship between obstetric factors and the post-partum post-void residual bladder volume. Acta Obstet Gynecol Scand 1997;76:667--72. 10. Yip SK, Sahota D, Chang A, et al. Four-year follow-up of women who were diagnosed to have postpartum urinary retention. Am J Obstet Gynecol 2002;187:648--52. 11. Liang CC, Chang SD, Tseng LH, et al. Postpartum urinary retention: Assessment of contributing factors and long-term clinical impact. Aust N Z J Obstet Gynaecol 2002;42:367--70. 12. Carley ME, Carley JM, Vasdev G, et al. Factors that are associatedwith clinically overt postpartum urinary retention after vaginal delivery.AmJ Obstet Gynecol 2002;187:430--3. 13. Teo R, Punter J, Abrams K, et al. Clinically overt postpartum urinary retention after vaginal delivery: A retrospective case-control study. Int Urogynecol J 2007;18:521--4. 14. Glavind K, Bjork J. Incidence and treatment of urinary retention postpartum. Int Urogynecol J 2003;14:119--21. 15. Groutz A, Gordon D, Wolman I, et al. Persistent postpartum urinary retention in contemporary obstetric practice. Definition, prevalence and clinical implications. J Reprod Med 2001;46:44--8. 16. Yip SK, Sahota D, Pang MW, et al. Postpartum urinary retention. Acta Obstet Gynecol Scand 2004;83:881--91. 17. Duenas Garcia OF, Rico H, Gorbea V, et al.Bladder rupture caused by postpartum urinary retention. Obstet Gynecol 2008;112:481--2.

12

Anda mungkin juga menyukai