Bab 2 Peencanaan Pendidikan
Bab 2 Peencanaan Pendidikan
Implikasi desentralisasi manajemen pendidikan adalah pemberian kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan serta memberdayakan sumber daya manusia yang menekankan pada profesionalisme. Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu tujuan yang telah ditetapkan dapat dipapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya. Lahirnya kebijakan yang berhubungan dengan implementasi MBS juga didasari oleh hasil laporan Bank Dunia (1998), bahwa terdapat beberapa kendala institusional dalam pembangunan pendidikan, khususnya pada tingkat pendidikan dasar di Indonesia, yaitu: 1. Institusi pemerintah yang mengelola pendidikan dasar sangat rumit dan kurang terkoordinasi, yaitu antara Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama. 2. Pengelolaan SMP (di luar sekolah keagamaan seperti Madrasah Tsanawiyah berada di bawah Depertemen Agama), sepenuhnya dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, sehingga terjadi tanggung jawab ganda, di mata pihak sekolah, kebijakan pada jenjang SMP masih sangat sentralistik, sementara instansi vertikal di daerah hanya sekedar melaksanakan petunjuk pusat. 3. Anggaran pendidikan nasional dikelola secara kaku dan terkotak-kotak, baik jenis anggarannya maupun instansi yang menanganinya yaitu Departemen Keuangan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Dalam Negeri. 4. Manajemen pada tingkat sekolah belum efektif, karena para pimpinan/manajemen sekolah hanya berperan sebagai pelaksana tugas operasional belaka dan tidak berwenang membuat kebijakan yang diperlukannya. Dengan digariskannya kebijakan tentang Otonomi Daerah, termasuk di bidang penyelenggaraan pendidikan (dasar dan menengah), melalui penerapan MBS itu, maka imp1ikasinya telah berdampak pula pada perubahan sistem perencanaannya.
yang mengambil 1-2-4 dengan menggabungkan jenjang pertama dan kedua. Di negara berkembang pola umum adalah 12 tahun untuk jenjang pertama dan kedua dan 4 tahun untuk jenjang ketiga guna memperoleh gelar sarjana muda. Asia Model mengemukakan pola 6-6-4 untuk ketiga jenjang dengan vaniasi pada jenjang kedua yaitu munculnya Technical dan Vocational Education. Di Indonesia variasi itu adanya Technical dan Vocational Education pada jenjang kedua, dan variasi adanya institut, universitas, akademi, dan politeknik pada jenjang ketiga, dengan variasi lama studi 4 tahun untuk masing-masing institut dan universitas, dan 3 tahun untuk akademi. Lama studi ini pada jenjang ketiga di Indonesia mengalami perubahan yaitu 4 tahun untuk segala jenis pendidikan pada jenjang ketiga dengan merubah nama akademik dan politeknik menjadi sekolah tinggi. Bila sistem perjenjangan ini dikaitkan dengan struktur kependudukan maka terdapat kaitan yang amat erat yaitu kelompok usia 6-15 tahun untuk jenjang Primary Basic Education, 1618 tahun untuk Secondary Education, dan 19- 25 tahun untuk jenjang Tertiary Education. Keterkaitan ini sangat arbitrary karena pada setiap negara usia populasi sekolah yang memasuki pendidikan bervariasi walaupun berkisar pada distribusi di atas. Umumnya distribusi tersebut dianggap sebagai General Accepted Standards dalam perencanaan pendidikan. Gambar di samping memberikan penjelasan yang komprehensif adanya keterkaitan antara struktur sistem pendidikan dan struktur kependudukan berdasarkan kelompok usia. Pada jenjang Secondary Education atau pendidikan menengah, di Indonesia terdapat pemisahan lagi yaitu jenjang pendidikan menengah pertama, UUSPN memasukkan SLTP ke pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah atas. Vocational dan Technical Schools terdapat pada jenjang pendidikan menengah atas saja, walaupun sebelumnya dimulai pada jenjang pendidikan menengah tingkat pertama.
Secondary Education
Tertiary Education
Pendahuluan
Mendefinisikan Permasalahan Perencanaan Pendidikan a. Ruang lingkup permasalahan pendidikan b. Pengkajian sejarah perencanaan pendidikan c. Perbedaan antara kenyataan dan harapan pendidikan d. Sumber daya dan hambatan perencanaan pendidikan e. Menentukan bagianbagian dari perencanaan pendidikan besarta prioritasnya
Analisis Bidang Telaahan Permasalahan Perencanaan a. Bidang atau wilayah dan sistem-sistem sub bidang telaahan b. Pengumpulan data c. Tabulasi data d. Perkiraan perencanaan
Mengkonsepsikan dan Merancang Rencana a. Mengidentifikasi kecenderungan umum b. Menentukan tujuan dan sasaran c. Mendesain perencanaan
Evaluasi Implementasi Rencana dan Umpan Baliknya a. Monitoring rencana b. Evaluasi rencana c. Menyelesaikan, mengubah, dan mendesain ulang rencana
Implementasi Rencana a. Persiapan program b. Persetujuan perencanaan c. Pengaturan unit-unit operasional perencanaan