Anda di halaman 1dari 4

A.

Landasan Yuridis Perencanaan Pendidikan


Perencanaan pendidikan merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang terindependensi dengan kebijakan-kebijaakan publik lainnya. Fungsi dan setiap keputusan publik juga diintegrasikan dengan keputusan lainnya yang sudah bherlangsung sejak Indonesia merdeka. Secara politik, setiap keputusan pada tingkat tertentu akan melewati mekanisme konstitusi. Dalam hal ini fungsi legislatif DPR/MPR sangat menentukan terhadap keputusan mengenai pendidikan secara keseluruhan baik pada tingkat makro maupun mikro, karena kebijakan pada tingkat yang lebih rendah harus berdasarkan kebijakan di tingkat yang lebih atas. Proses perencanaan pendidikan di Indonesia diarahkan pada relevansi, efisiensi, dan efektivitas pendidikan, sehingga sasaran pendidikan akan tercapai sesuai dengan tujuan yang telah digariskan. Hanya saja dalam tataran implementasi apa yang telah digariskan seringkali berbeda dengan kenyataan di lapangan, sehingga optimalisasi kinerja manajemen pendidikan belum berjalan sesuai dengan harapan. Tujuan demokrasi yang dikehendaki masyarakat Indonesia saat ini sangat berpengaruh terhadap penerapan desentralisasi pendidikan sebagai wujud dan keinginan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Paradigma lama yang bersifat sentralisasi telah bergeser dengan lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 jo No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang memberikan kewenangan yang lebih luas pada provinsi, kabupaten, dan kota untuk mengelola daerahnya masing-masing sesuai dengan aspirasi masyarakat dan potensi yang dimilikinya.

B. Perencanaan Pendidikan dalam Sistem Pendidikan Nasional


Pelaksanaan di lapangan dalam rangka menyambut desentralisasi di bidang pendidikan salah satunya, adalah penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Selama ini sekolah yang dikontrol secara ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak dalam mengelola sumber dayanya, sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut disamping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, juga sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat ( stakeholders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah pendidikan. Manajemen merupakan komponen integral dan tidak dapat dipisahkan.dari proses pendidikan secara keseluruhan. Dalam kerangka inilah tumbuh kesadaran akan pentingnya MBS yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan dan pembelajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur, serta memimpin sumber daya manusia serta sarana lainnya dalam rangka membantu proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah. MBS juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik, guru-guru, serta kebutuhan masyarakat setempat. Untuk itu perlu dipahami fungsi pokok manajemen, yaitu: perencanaan, pejaksanaan, pengawasan, dan pembinaan ,

Implikasi desentralisasi manajemen pendidikan adalah pemberian kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan serta memberdayakan sumber daya manusia yang menekankan pada profesionalisme. Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu tujuan yang telah ditetapkan dapat dipapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya. Lahirnya kebijakan yang berhubungan dengan implementasi MBS juga didasari oleh hasil laporan Bank Dunia (1998), bahwa terdapat beberapa kendala institusional dalam pembangunan pendidikan, khususnya pada tingkat pendidikan dasar di Indonesia, yaitu: 1. Institusi pemerintah yang mengelola pendidikan dasar sangat rumit dan kurang terkoordinasi, yaitu antara Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Agama. 2. Pengelolaan SMP (di luar sekolah keagamaan seperti Madrasah Tsanawiyah berada di bawah Depertemen Agama), sepenuhnya dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, sehingga terjadi tanggung jawab ganda, di mata pihak sekolah, kebijakan pada jenjang SMP masih sangat sentralistik, sementara instansi vertikal di daerah hanya sekedar melaksanakan petunjuk pusat. 3. Anggaran pendidikan nasional dikelola secara kaku dan terkotak-kotak, baik jenis anggarannya maupun instansi yang menanganinya yaitu Departemen Keuangan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Dalam Negeri. 4. Manajemen pada tingkat sekolah belum efektif, karena para pimpinan/manajemen sekolah hanya berperan sebagai pelaksana tugas operasional belaka dan tidak berwenang membuat kebijakan yang diperlukannya. Dengan digariskannya kebijakan tentang Otonomi Daerah, termasuk di bidang penyelenggaraan pendidikan (dasar dan menengah), melalui penerapan MBS itu, maka imp1ikasinya telah berdampak pula pada perubahan sistem perencanaannya.

C. Perencanaan Pendidikan yang Efektif dalam Bingkai Sistem Pendidikan Nasional


Sistem pendidikan yang berlaku adalah organized effort yang sudah melembaga yang berperan sebagai aset dalam kegiatan pembangunan pendidikan. Melalui sistem pendidikan itulah segala kegiatan perencanaan seyogianya dilaksanakan, dan melalui sistem itu pulalah seluruh upaya pembangunan pendidikan diwujudkan. Kedudukan sistem sebagai Planning Mechanism dan Planning Basis mempunyai arti lain bila ditinjau dan segi metodologi. Penerapan metodologi perencanaan pendidikan harus merujuk kepada sistem kerja yang ada. Karena itu bila sistem tidak menunjang, maka penerapan metodologi ini pun akan mengalami kesukaran. Kedudukan sistem dalam upaya pembangunan nasional merupakan konsensus dan karenanya mempunyai arti politik yang penting. Secara umum sistem pendidikan setiap negara amat bervariasi, walaupun terdapat beberapa persamaan yang sifatnya universal. Karakteristik yang universal inilah yang memberikan kemudahan dalam menerapkan suatu metodologi yang dikembangkan dan dicobakan pada suatu sistem dan negara yang berbeda. Struktur sistem pendidikan nasional terdiri atas berbagai jenjang yang mencakup jenjang pertama atau Primary Basic Education, jenjang kedua disebut Secondary Education, dan jenjang ketiga atau Tertiary Education. Diukur dan segi tahun, setiap jenjang itu amat bervariasi ada yang mengambil model 6 tahun untuk Primary Basic Education, 6 tahun untuk Secondary Education dan yang mengambil pola 5-7-4 untuk ketiga jenjang, serta ada pula

yang mengambil 1-2-4 dengan menggabungkan jenjang pertama dan kedua. Di negara berkembang pola umum adalah 12 tahun untuk jenjang pertama dan kedua dan 4 tahun untuk jenjang ketiga guna memperoleh gelar sarjana muda. Asia Model mengemukakan pola 6-6-4 untuk ketiga jenjang dengan vaniasi pada jenjang kedua yaitu munculnya Technical dan Vocational Education. Di Indonesia variasi itu adanya Technical dan Vocational Education pada jenjang kedua, dan variasi adanya institut, universitas, akademi, dan politeknik pada jenjang ketiga, dengan variasi lama studi 4 tahun untuk masing-masing institut dan universitas, dan 3 tahun untuk akademi. Lama studi ini pada jenjang ketiga di Indonesia mengalami perubahan yaitu 4 tahun untuk segala jenis pendidikan pada jenjang ketiga dengan merubah nama akademik dan politeknik menjadi sekolah tinggi. Bila sistem perjenjangan ini dikaitkan dengan struktur kependudukan maka terdapat kaitan yang amat erat yaitu kelompok usia 6-15 tahun untuk jenjang Primary Basic Education, 1618 tahun untuk Secondary Education, dan 19- 25 tahun untuk jenjang Tertiary Education. Keterkaitan ini sangat arbitrary karena pada setiap negara usia populasi sekolah yang memasuki pendidikan bervariasi walaupun berkisar pada distribusi di atas. Umumnya distribusi tersebut dianggap sebagai General Accepted Standards dalam perencanaan pendidikan. Gambar di samping memberikan penjelasan yang komprehensif adanya keterkaitan antara struktur sistem pendidikan dan struktur kependudukan berdasarkan kelompok usia. Pada jenjang Secondary Education atau pendidikan menengah, di Indonesia terdapat pemisahan lagi yaitu jenjang pendidikan menengah pertama, UUSPN memasukkan SLTP ke pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah atas. Vocational dan Technical Schools terdapat pada jenjang pendidikan menengah atas saja, walaupun sebelumnya dimulai pada jenjang pendidikan menengah tingkat pertama.

Primary Basic Education

Secondary Education

Tertiary Education

Usia 6-15 tahun

Usia 16-18 tahun

Usia 19-25 tahun

GAMBAR 1.2 Sistem Persekolahan den Populasi Usia Sekolah


Tahapan-tahapan dalam perencanaan pendidikan pada prinsipnya pada semua tataran sistemnya (operasional, institusional, dan struktural) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Mendefinisikan permasalahan perencanaan pendidikan. 2. Analisis bidang telaah permasalahan perencanaan. 3. Mengkonsepsikan dan merancang rencana. 4. Evaluasi rencana. 5. Menentukan rencana. 6. Implementasi rencana. 7. Evaluasi implementasi rencana dan umpan baliknya.

Pendahuluan

Mendefinisikan Permasalahan Perencanaan Pendidikan a. Ruang lingkup permasalahan pendidikan b. Pengkajian sejarah perencanaan pendidikan c. Perbedaan antara kenyataan dan harapan pendidikan d. Sumber daya dan hambatan perencanaan pendidikan e. Menentukan bagianbagian dari perencanaan pendidikan besarta prioritasnya

Analisis Bidang Telaahan Permasalahan Perencanaan a. Bidang atau wilayah dan sistem-sistem sub bidang telaahan b. Pengumpulan data c. Tabulasi data d. Perkiraan perencanaan

Mengkonsepsikan dan Merancang Rencana a. Mengidentifikasi kecenderungan umum b. Menentukan tujuan dan sasaran c. Mendesain perencanaan

Menentukan Rencana a. Rumusan masalah b. Laporan hasil

Evaluasi Rencana a. Perencanaan melalui simulasi b. Evaluasi perencanaan c. Pemilihan perencanaan

Evaluasi Implementasi Rencana dan Umpan Baliknya a. Monitoring rencana b. Evaluasi rencana c. Menyelesaikan, mengubah, dan mendesain ulang rencana

Implementasi Rencana a. Persiapan program b. Persetujuan perencanaan c. Pengaturan unit-unit operasional perencanaan

Anda mungkin juga menyukai