Anda di halaman 1dari 33

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA ( UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA ) Jl. Terusan Arjuna No.

6 Kebon jeruk Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA Hari / Tanggal : 30 April 2013 SMF ILMU PENYAKIT SARAF RS PANTI WILASA DR. CIPTO SEMARANG

Nama NIM

: Winda Anastesya : 11-2012-199

Dokter pembimbing : dr. Endang Kustiowati, Sp.S (K), Msi.Med

I. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin : Nn. Lu : 22 tahun : Perempuan

Status perkawinan : Belum Menikah Pendidikan Pekerjaan Alamat No CM Dirawat diruang : SMA : Swasta : Jl. Kapas VII RT05/01 No.5 Gebong Sari : 37 35 70 : Beta

Tanggal masuk RS : 26 April 2013

II. SUBJEKTIF Auto Anamnesis dan Allo Anamnesis: Ibu dan teman pasien, 29 April 2013 Jam 19.00 1. Keluhan utama : Penurunan kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Unit Gawat Darurat RS PWDC dibawa temannya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Menurut teman pasien, ia dan temannya sedang pergi dengan menggunakan sepeda motor masing-masing, lalu ditabrak motor dari arah samping kiri. Teman pasien mengatakan pada saat jatuh, pasien pingsan dan langsung kejang di tempat kejadian dengan posisi masih tertindih kendaraannya, dan pasien di bawa ke RS PWDC dengan menggunakan motor. Selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 10 menit, pasien masih dalam keadaan pingsan. Setiba di rumah sakit, 5 menit kemudian pasien meronta-ronta dan mengerang kesakitan, pasien masih dapat membuka mata, 10 menit kemudian pasien bisa menjawab pertanyaan saat ditanya namanya, namun terus berteriak-teriak dan memberontak pada saat dilakukan penanganan pertama. Teman pasien mengatakan, kepala pasien terbentur di atas aspal jalan tanpa memakai helm. Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mengingat kejadian saat terjadi kecelakaan yang berlangsung 1/2 jam. Setelah tejadi kecelakaan, pasien muntah, mengeluh mual, pusing dan nyeri kepala, dari telinga dan hidung tidak ada keluar cairan ataupun darah. Dan pada lengan kanan, dan lutut kanan terdapat luka lecet. Pada hari ketiga perawatan, pasien masih terasa nyeri kepala, pusing, masih ada rasa mual dan tidak muntah. Pasien tidak demam, Buang air besar belum ada sejak hari pertama kecelakaan. Buang air kecil warna kuning, lancar dan tidak nyeri. Pada hari keempat perawatan, pagi hari masih merasakan pusing, tidak ada nyeri kepala, masih mual namun tidak ada muntah. tidak ada keluhan sakit ataupun nyeri pada bagian tangan dan kaki.masih terdapat bekas luka lecet pada bagian tangan dan kaki kanan. Pasien baru dapat buang air besar pagi hari, dan buang air kecil lancar dan tidak nyeri.

Riwayat Peyakit Keluarga

Hipertensi(-), DM(-), Alergi(-), Migrain(-), Trauma(-).

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien menyangkal mempunyai riwayat hipertensi dan Diabetes Melitus dan riwayat alergi.

3. Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi: Baik. Os seorang anak yang masih kuliah sambil bekerja. Os juga beraktivitas seperti pada umumnya.

III. OBJEKTIF 1. Status presens (Tanggal 26 April 2013, pukul 19.00) a. Kesadaran b. TD c. Nadi : Delirium, E2M5V2 = 9 : 120/80 mmHg : 114 kali/menit

d. Pernafasan : 18 kali/menit e. Suhu f. Kepala g. Mata h. THT i. Leher j. Paru k. Jantung l. Perut : 36 C : normosefali, simetris : pupil isokor, 2mm/2mm, racoon eye (-) : rinorhea (-), otorhea (-) : simetris, tidak teraba pembesaran KGB : suara dasar: vesikuler +/+, wheezing -/- , ronkhi -/: BJ I II murni regular, murmur (-), gallop (-) : supel, BU (+) normal, tidak teraba pembesaran hepar atau lien m. Ekstremitas : oedem -/-

2. Status psikikus Cara berpikir Perasaan hati Tingkah laku Ingatan Kecerdasan : realistik, sesuai umur : eutim : pasien sadar : baik : sesuai tingkat pendidikan

3. Status neurologikus a. Kepala

Bentuk Nyeri tekan Simetris Pulsasi

: normosefali : (+) : (+) : (-)

b. Leher Sikap Pergerakan : simetris : bebas

c. Tanda-tanda perangsangan meningen Kaku kuduk Kernig Lasegue Brudzinki I Brudzinki II : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan

d. Pemeriksaan saraf kranial N. I (olfaktorius) Penciuman: tidak dilakukan

N. II (optikus) Kanan Tajam penglihatan Pengenalan warna Lapang pandang Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Tidak dilakukan Kiri Tidak dilakukan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Tidak dilakukan

N. III (okulomotorius) Kanan Kelopak mata Gerakan mata: Superior Inferior Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Terbuka Kiri Tidak terbuka

Medial Endoftalmus Eksoftalmus

Tidak ada kelainan Tidak ada Tidak ada

Tidak ada kelainan Tidak ada Tidak ada

Pupil Diameter (5 menit I ) ( 5 menit II ) Bentuk Posisi Refleks cahaya langsung Refleks langsung Strabismus Nistagmus cahaya tidak 5 mm 2 mm Bulat Sentral + + 5 mm 2 mm Bulat Sentral + +

N. IV ( trochlearis ) Gerak mata ke lateral Bawah Strabismus Diplopia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan -

N. V ( trigeminus) Membuka mulut Sensibilitas atas Sensibilitas bawah Refleks kornea Refleks masseter Mengunyah Tidak ada kelainan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak ada kelainan

N. VI ( abdusens ) Gerak mata ke lateral Strabismus divergen Diplopia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan -

N.VII ( fasialis ) Mengerutkan dahi Kerutan kulit dahi Menutup mata Meringis Memperlihatkan gigi Bersiul Perasaan lidah bagian 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak ada kelainan Kerutan (+) Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Tidak dilakukan Tidak ada kelainan Kerutan (+) Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Tidak dilakukan

N. VIII ( vestibulokoklearis ) Mendengar suara berbisik Test Rinne Test Weber Test Shwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. IX ( glosofaringeus ) Arkus faring Daya mengecap 1/3 belakang Refleks muntah Sengau Tersedak Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. X ( vagus ) Arkus faring Menelan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. XI ( asesorius ) Menoleh kanan, kiri, bawah Angkat bahu Trofi otot bahu Tidak ada kelaianan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

N.XII ( hipoglosus ) Julur lidah Tremor Fasikulasi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

d. Badan dan anggota gerak 1. Badan a. Motorik Respirasi: simetris dalam keadaan statis dan dinamis Duduk : tidak dapat dilakukan Bentuk columna verterbralis: tidak dapat dinilai Pergerakan columna vertebralis: Tidak dapat dilakukan kanan Tidak dilakukan (-) Tidak dilakukan Tidak dilakukan kiri tidak dilakukan (-) tidak dilakukan tidak dilakukan

b. Sensibilitas Taktil Nyeri Thermi Diskriminasi

c. Refleks Refleks kulit perut atas Refleks kulit perut bawah Refleks kulit perut tengah Refleks kremaster : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan : tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan

2. Anggota gerak atas a. Motorik Pergerakan Kekuatan Tonus Atrofi b. Sensibilitas Taktil Nyeri kanan bebas 5,5,5 normotonus (-) kanan Tidak dilakukan (-) kiri bebas 5,5,5 normotonus (-) kiri tidak dilakukan (-)

Thermi Diskriminasi c. Refleks Biceps Triceps Radius Ulna Tromner-hoffman 3. Anggota gerak bawah a. Motorik Pergerakan Kekuatan Tonus Atrofi

Tidak dilakukan Tidak dilakukan kanan + + Tidak dilakukan Tidak dilakukan (-)

tidak dilakukan tidak dilakukan kiri + + tidak dilakukan tidak dilakukan (-)

kanan bebas 5555 N (-)

kiri bebas 5555 N (-)

b. Sensibilitas Taktil Nyeri Thermi Diskriminasi

kanan Tidak dilakukan (+) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

kiri tidak dilakukan (+) tidak dilakukan tidak dilakukan

c. Refleks Patella Achilles Babinski Chaddock Schaefer Oppenheim Klonus paha Tes lasegue Tes kernig

kanan + + (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

kiri + + (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

Koordinasi, gait, dan keseimbangan Cara berjalan : Tidak dapat dilakukan

Tes Romberg Disdiadokokinesia Ataksia Rebound phenomenon Dismetria

: Tidak dapat dilakukan : Tidak dapat dilakukan : Tidak dapat dilakukan : Tidak dapat dilakukan : Tidak dapat dilakukan

d. Gerakan-gerakan abnormal Tremor Miokloni Khorea : (-) : (-) : (-)

e. Alat vegetatif Miksi Defekasi Ereksi : Tidak dilakukan : Tidak dapat dilakukan : Tidak ditanyakan

f. Tes tambahan Tes Nafziger : Tidak dilakukan Tes valsava : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium (26 April 2013): Hematologi Hasil Satuan Nilai normal

Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit LED 1 jam LED 2 jam MCV MCH MCHC

13,1 18,7 H 38 287 12 30 H 81 28 34

g/dl ribu/mm % Ribu/mm mm/jam mm/jam Fl Pg g/dl

12-16 5-10 38-47 150-450 0-20 0-20 80-100 26-34 32-36

Basofil Eusinofil Neutrofil Limfosit Monosit Golongan darah

0,10 0,50 86,10 H 8,00 L 5,30 AB

% % % % %

0-1 2,00-4,00 50-70 25-40 2-8

Kimia klinik Gula darah sewaktu 151 H Mg/dl 70-150

Pemeriksaan Radiologi (26 April 2013) o CT Scan Hasil : Sulcus kortikolis dan fissura normal Differensiasi substansi alba dan grisea baik Tak ada lesi hipodens maupun lesi hiperdens pada parenkim otak Ada kalsifikasi ganglia basalis kanan kiri Sistem basalis dan permensefalika normal Sistem ventrikel masih baik Tidak ada midline shifting Serebellum dan batang otak tidak ada kelainan Pada bone windows tidak tampak fraktur

Kesimpulan: Brain CT Scan masih normal Tak ada gambaran kontusio / perdarahan intra serebral maupun ekstraserebral Tak ada tanda peninggian intra kranial

IV. RINGKASAN Subjektif : Nn. LU, 22 tahun, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dibawa oleh temannya datang ke UGD RS PWDC dalam keadaan tidak sadarkan diri, pasien tidak sadarkan diri kurang lebih 10 menit setelah sampai di rumah sakit. Setiba di RS, pasien dalam keadaan gaduh gelisah, mengerang, berteriak-teriak dan sulit diajak berkomunikasi. Pasien masih dapat membuka mata bila dipanggil masih dapat menjawab pertanyaan apabila ditanya namanya. Menurut teman pasien, kepalanya terbentur di atas aspal jalan karena helm pasien terlepas dari kepalanya pada saat jatuh ditabrak orang. Tidak ada muntah. Didapatkan luka lecet pada lengan dan kaki serta lutut kanan. Di IGD pasien tampak mengantuk namun masih bisa membuka matanya saat dibangunkan dan orientasi berbicara masih kurang baik ketika diberikan penjelasan oleh dokter. Pasien menyangkal mempunyai riwayat hipertensi, DM, alergi obat, migraine sebelumnya, trauma maupun stroke.

Objektif : Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang Kesadaran Delirium, E2M5V2 = 9 Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 114x/menit, suhu 36C, pernapasan 18x/menit Pemeriksaan Nervus Kranialis: N.III: Pupil Isokhor 5 menit pertama, pupil midriasis dengan diameter 5 mm/ 5 mm, 5 menit berikutnya pupil mengecil 2 mm/2mm Pemeriksaan badan dan anggota gerak : Inspeksi Wajah : Terdapat Vulnus laseratum di daerah tangan kanan, lengan kanan, dan lutut kanan. Kekuatan motorik kesan : Normal Reflek fisiologis: + + + + Refleks patologis: -- ----

Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan Brain CT Scan masih normal, tak ada gambaran kontusio / perdarahan intra serebral maupun ekstraserebral, tak ada tanda peninggian intra kranial.

V.

DIAGNOSIS 1. 2. 3. Diagnosis klinik Diagnosis topik Diagnosis etiologik : cedera kepala sedang : serebral : Trauma kapitis

VI.

PENATALAKSANAAN i. Non Medikamentosa Nasal Canul 02 3 liter Pasang EKG Foto CT Scan Kepala Cek Laboratorium DL Lengkap Konsul Saraf

ii. Medikamentosa IVFD RL/8jam Inj. Ceftriaxone 2x1gr Citicholin amp 2 x 500mg Inj. Neulin 3x20 mg

VII.

PROGNOSIS Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam : Bonam : Bonam : Bonam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Trauma Kapitis A. Definisi Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.1 B. Epidemiologi Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki.2 C. Patofisiologi Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak. Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difus berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis.2 Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran penderita.

Penyebab cedera kepala sekunder antara lain seperti penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intrakranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi. Aspek patologis dari cedera kepala antara lain hematoma epidural (perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan duramater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara duramater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara duramater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan di dalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.2 Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contrecoup dan coup. Contrecoup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contrecoup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.2 D. Klasifikasi Trauma Kapitis Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan patologi.3 1. Mekanisme Cedera Kepala Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan. 2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS)

digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya

penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 13-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. 3. Morfologi Cedera kepala dapat meliputi patah tulang tengkorak, kontusio, perdarahan dan cedera difus. Lesi Intrakranial Lesi intracranial dapat diklasifikasikan pada lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi secara bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu: perdarahan epidural, subdural, kontusio, dan perdarahan intraserebral. Berdasarkan Morfologi Cedera Kepala a. Hematom Epidural Letak epidural yaitu antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi akibat pecahnya arteri meningea media atau cabang-cabangnya. Epidural hematom merupakan akumulasi darah (hematoma) di antara duramater dan tulang tengkorak/cranium. Cedera yang terjadi biasanya berupa laserasi dari arteri meningeal media yang memiliki tekanan tinggi. Perdarahan dapat berkembang mencapai puncaknya dalam 68 jam pasca trauma mencapai 25-75 cc. Hematoma ini dapat memisahkan dura dari bagian dalam tulang, sehingga menimbulkan sakit kepala yang hebat. Tekanan intrakranial yang meninggi mengakibatkan otak mengalami pergeseran posisi, kehilangan suplai darah atau terdesak menuju tulang. Penekanan pada batang otak menyebabkan pasien mengalami kehilangan kesadaran, postur abnormal dan respons pupil yang abnormal. Pemeriksaan dengan CT Scan/MRI memperlihatkan ekspansi

hematom berbentuk konveks. Sebanyak 20% pasien dengan gangguan kesadaran diketahui mengalami epidural hematom dengan bantuan CT Scan.2,4

Gambar 1. Hematom epidural Gejalanya yaitu setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang bersifat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.2,4 Kejadiannya biasanya akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam) dengan adanya lucid interval, peningkatan TIK dan gejala lateralisasi berupa hemiparese.2,4 Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan. Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik positif.2,4 Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan ada bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS biasanya jernih. Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh darah.2,4 b. Hematom subdural Hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan duramater dan di atas lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran

kumpulan darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang menimbulkan permukaan otak di bawah tekanan lebih besar.2,4 Subdural hematom terjadi karena robekan bridging vein yang menghubungkan antara korteks serebri (dilapisi arachnoid mater) dan dura mater. Biasanya dihubungkan dengan trauma korteks serebri dan prognosis tidak lebih baik dari epidural hematom. Subdural hematom dibagi menjadi akut dan kronik. Subdural hematom akut umumnya terjadi akibat cedera kecepatan tinggi dan dihubungkan dengan kontusio serebri.2,4 Perdarahan ini memiliki prognosis lebih buruk dibanding epidural hematom, yaitu angka kematian sekitar 60-80%. Sedangkan subdural hematom kroni terjadi akibat trauma minor kepala yang sering tidak terindetifikasi. Perdarahan terjadi dalam waktu lambat (hitungan hari) dan dapat tidak ditemukan hingga berbulan-bulan sampai terlihat gejala klinis. Perdarahan pada subdural hematom kronis umumnya lebih lambat dibanding akut, dan dapat berhenti dengan sendirinya. Sering terjadi pada orang tua.2,4 Penekanan akibat akumulasi perdarahan menyebabkan kompresi jaringan otak. Pada beberapa kasus dapat terjadi robekan arachnoid mater dan kebocoran cairan serebrospinal sehingga lebih meningkatkan tekanan intrakranial. Iskemia menyebabkan terjadinya kematian sel otak.2,4 Onset gejala subdural hematom lebih lambat dibanding perdarahan epidural, karena aliran vena memiliki tekanan yang lebih rendah dibanding arteri. Gejala yang tumbul antara lain: penurunan kesadaran, iritabel, kejang, sakit kepala, disorientasi, amnesia, lethargi, mual/muntah, gangguan kepribadian, ataxia, pandangan kabur, dll.2,4 Selain akibat cedera yang disebabkan oleh perubahan kecepatan

(akselerasi/deselerasi), juga dapat terjadi akibat rotasi, pada shaken baby syndrome, dan peminum alkohol (pada alkoholik terjadi atrofi serebral sehingga meningkatkan panjang vena emisaria, yang meningkatkan risiko terjadinya subdural hematom), dan pengguna antikoagulan (aspirin, warfarin).2,4

Gambar 2. Perdarahan subdural Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.2,4 Subdural hematom dibagi menjadi, yaitu: 1. Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. 2,4 Gejala klinis subdural hematom akut tergantung dari ukuran hematom dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom biasanya bersifat unilateral. Gejala neurologis yang sering muncul, yaitu: 2,4 Perubahan tingkat kesadaran, dalam hal ini terjadi penurunan kesadaran Dilatasi pupil ipsilateral hematom Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahaya Hemiparesis kontralateral Papil edema

2. Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. 2,4

Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. 2,4 Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan

menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak. 2,4 3. Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrana fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.2,4 Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan, selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.2,4 Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.2,4 Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: a. sakit kepala yang menetap b. rasa mengantuk yang hilang-timbul c. linglung d. perubahan ingatan

e. kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. c. Perdarahan Subarachnoid Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang memisahkan antara membrana arachnoid dan pia mater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara spontan akibat aneurisma (Saccular Berrys Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala yang timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak (thunderclap headache), penurunan kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi otak akibat peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul. Defisiensi neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta tidak mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan perdarahan berasal dari a.communicating posterior.2,4 Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan meningkatkan tekanan darah dan aritmia. Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral; kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu trauma cedera otak juga dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang sekitar atau kontusio intraserebral. Diagnosis dapat ditegakkan melalui CT Scan atau punksi lumbal untuk melihat cairan serebrospinal.2,4 d. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut. Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral.2,4 e. Cedera difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi yang merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.2,4 Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah cedera). Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversibel.2,4 Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun pada beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difusi (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.2,4 Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderitapenderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.2,4

Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:1 Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri o Skor GCS 13-15 o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologist. Cedera Kepala Sedang (CKS) o Skor GCS 9-12 o Ada pingsan lebih dari 10 menit o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak. Cedera Kepala Berat (CKB) o Skor GCS <8 o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas. Menurut Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal 2006 klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :

Minimal

Pingsan (-), deficit neurologik (- CT Scan otak = normal ) GCS = 15

Ringan

Pingsan < 10 menit Deficit neurologik (-) Amnesia post traumatik <1jam GCS = 13 15

CT Scan otak = normal

Sedang

Pingsan > 10 menit s/d 6 jam Amnesia post traumatik jam GCS = 9 - 12 1-24

CT Scan otak = abnormal

Berat

pingsan > 6 jam Amnesia post traumatik > 7 hari GCS = 3 8

CT Scan otak = abnormal

Tabel. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury E. Gambaran Klinis Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Movement).1

Catatan :1 Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor verbalnya tidak dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal tersebut. Pasien dengan intubasi, skor SKG maksimal adalah 10 T dan minimal 2 T.

Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi tanda C (eye closed) untuk komponen mata. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada komponen motoriknya. Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup

pemeriksaan neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat darurat, yaitu:2 1. Tingkat kesadaran 2. Kekuatan fungsi motorik 3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya 4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler) Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera sistemik penyerta (lebih dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu:2 1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre, racoons eyes (ekhimosis periorbital), atau Battles sign (ekhimosis retroaurikuler). 2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). 3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal. Adanya perdarahan ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif. 4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya tidak jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang okult. 5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal dapat terjadi secara bersamaan. 6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh darah). F. Diagnosa2 1. Anamnesis

Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)

2. Pemeriksaan neurologis: Kesadaran berdasarkan GCS Tanda-tanda vital Otorrhea/rhinorrhea Ecchymosis periorbital bilateral / eyes / hematoma kacamata Gangguan fokal neurologis Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot Refleks patologis Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, dolls eye phenomen Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic hyperventilation, apneusitic breath, ataxic breath. Gangguan fungsi otonom Funduskopi

3. Pemeriksaan penunjang: Foto polos kepalaAP/lateral Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur linier, impresi, terbuka/tertutup CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa Gambaran kontusio, gambaran edema otak, gambaran perdarahan(hiperdens), hematoma epidural, hematoma subdural, hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal.

G. Penatalaksanaan Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kepitis (ringan, sedang, berat) berdasarkan ututan:1

1. Survei Primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien, meliputi tindakantindakan sebagai berikut: A= Airway (jalan nafas) Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah, gigi yang patah, muntahan, dsb. Bila perlu lakukan intubasi (waspadai

kemungkinan adanya fraktur tulang leher) B= Breathing (pernafasan) Pastikan pernafasan adekuat. Perhatikan frekuensi, pola nafas dan pernafasan dada atau perut dan kesetaraan pengembangan dada kanan dan kiri (simetris). Bila ada gangguan pernafasan, cari penyebaba apakah terdapat gangguan pada central (otak dan batang otak) atau perifer (otot pernafasan atau paru-paru0. Bila perlu, berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi O2 > 92% C= Circulation (sirkulasi) Pertahankan tekanan darah sistolik > 90 mmHg. Pasang sulur intravena. Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9% atau Ringer. Hindari cairan hipotonis. Bila perlu berikan obat vasopressor dan inotropik. D= Disability (yaitu untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan cepat status umum dan neurologi) Tanda Vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu Skala koma Glasgow Pupil: ukuran, bentuk, dan refleks cahaya. Pemeriksaan neurologi cepat: hemiparesis, refleks patologis Luka-luka Anamnesa: AMPLE (Allergies, Medications, Past Illnesses, Last Meal, Events/ Environment related to the injury)

2. Survei Sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien stabil.1 E= Laboratorium Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit. Urine: perdarahan (+)/(-) Radiologi: Foto polos kepala, posisi AP, lateral, tangensial CT Scan otak Foto lainnya sesuai indikasi (termasuk foto servikal)

F= Manajemen Terapi Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi Siapkan untuk masuk runag rawat Penanganan luka-luka Pemberian terapi obat-obatan sesuai kebutuhan.

Terapi Medikamentosa untuk cedera otak Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan sel tersebut dapat berfungsi normal kembali. Namun bila suasananya dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka akan mengalami kematian. Terapi medikamentosa antara lain cairan intravena, hiperventilasi, steroid, barbiturat dan antikejang.3 Cairan Intravena Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan

mempertahankan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan. Jangan

diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan edema otak sehingga harus dicegah.3 Hiperventilasi Untuk sebagian besar pasien, keadaan normokarbia lebih diinginkan. Perlakuan hiperventilasi akan menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalau lama dan agresif dapat menyebabkan isquemia otak akibat vasokonstriksi berat pembuluh darah cerebral sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PaCO2 dibiarkan turun sampai di bawah 30 mmHg (4,0 kPa).3 Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat dilakukan jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut, sementara pengobatan lainnya baru mau dimulai.3 Antikonvulsan Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) Perdarahan intrakranial, atau (3) Fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda atau doubl blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak.3

Manitol Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat. Sedian yang tersedia cairan manitol dengan konsentrasi 20%. Dosis yang diberikan 0,251 g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Manitol dosis tinggi jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol merupakan diuretik osmotik yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut , seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1g/kgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu 5 menit) dan pasien segera dibawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui.3 Steroid Berbagai penelitian tidak menunjukan manfaat steroid untuk mengendalikan kenaikan TIK maupun memperbaiki kesudahan terapi pasien cedera otak berat. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan adanya peningkatan angka mortalitas dan komplikasi penggunaan steroid pada cedera orak. Oleh karenanya penggunaan steroid pada pasien cedera akut tidak direkomendasikan.3 Barbiturat Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang sulit diturunkan oleh obat-obat lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaan hipotensi atau hipovolemia. Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Oleh karena itu barbiturat tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.3 Consensus di ruang rawat- Trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:2 a. Lanjutkan penanganan ABC b. Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien sedar (pantauan dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15). Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai berikut: 1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg 2. Suhu > 38C 3. Frekuensi nafas > 20x/m c. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan cara: 1. Elevasi kepala 30

2. Hiperventilasi 3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam-1jam, drip cept, dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian pertama. 4. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek d. Mengatasi komplikasi 1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure pada kasus risiko tinggi 2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis infeksi intrakranial selama 10-14 hari. 3. Gastrointestinal-pendarahan lambung 4. demam 5. DIC e. pemberian cairan dan nutrisi adekuat. Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut, yaitu:2 1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial 2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat 3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat 4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm 5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg 6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan 7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak 8. Terjadi kompresi atau obliterasi sisterna basalis

ALGORITME 1. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN Definisi: penderita sadar dan berorientasi (GCS: 13-15).3

1. Riwayat: a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan b. Mekanisme cedera dan waktu cedera c. Tidak sadar segera setelah cedera d. Tingkat kewaspadaan e. Amnesia: Retrograde, Antegrade f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat g. Kejang 2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik 3. Pemeriksaan neurologis terbatas 4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi 5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine 6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera kepala ringan, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal Observasi atau dirawat di RS 1. CT scan tidak ada 2. CT scan abnormal Semua cedera tembus 3. Riwayat hilang kesadaran 4. Kesadaran menurun Sakit kepala sedang-berat Intoksikasi alkohol/obat-obatan Fraktur tengkorak 5. Rhinorea-otorea 6. Cedera penyerta yang bermakna 7. Tak ada keluarga di rumah 8. Tidak mungkin kembali ke RS segera 9. Amnesia Dipulangkan dari RS 1. Tidak memenuhi kriteria rawat 2. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan lembar observasi 3. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1 minggu

ALGORITME 2. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS: 9-12).3 1. Pemeriksaan awal: a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah sederhana b. Pemeriksaan CT scan kepala c. Dirawat untuk observasi 2. Setelah dirawat a. Pemeriksaan neurologis periodik b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita akandipulangkan Bila kondisi membaik (90%) 1. Pasien dapat pulang 2. Pasien dapat mengkontrol di poliklinik Bila kondisi memburuk (10%) Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

ALGORITME 3. PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT Definisi: penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8).3 Pemeriksaan dan penatalaksaan o ABCDE o Primary Sunny dan resusitasi o Secondary Survey dan riwayat AMPLE o Re-evaluasi neurologic: GCS Respon buka mata Reaksi Cahaya pupil Respon motorik Respon verbal

o Obat-obatan (diberikan setelah konsultasi dengan bedah saraf)

Manitol Antikonvulsan Hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg)

CT Scan

Anda mungkin juga menyukai