Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Di era globalisasi ini banyak tantangan memang bagi negeri kita, namun kesadaran berbangsa dan bernegara sudah selayaknya rakyat dan pemerintah untuk bersama sama memberikan pemahaman bagi rakyatnya, khususnya kaum muda. Pemerintah ikut bertanggung jawab mengemban amanat untuk memberikan kesadaran berbangsa dan bernegara bagi warganya, bila rakyat bangsa Indonesia sudah tidak memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara, maka ini merupakan bahaya besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mengakibatkan bangsa ini akan jatuh ke dalam kondisi yang sangat parah bahkan jauh terpuruk dari bangsa-bangsa yang lain yang telah mempersiapkan diri dari gangguan bangsa lain. Mengingat kondisi bangsa kita sekarang, merupakan salah satu indikator bahwa warga bangsa Indonesia di negeri ini telah mengalami penurunan kesadaran berbangsa dan bernegara. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai daerah sering bergejolak diantaranya tawuran antar warga, perkelaian pelajar, ketidakpuasan terhadap hasil pilkada, perebutan lahan pertanian maupun tambang, dan lain-lain. Kesadaran Berbangsa dan Bernegara mempunyai makna bahwa individu yang hidup dan terikat dalam kaidah dan naungan di bawah Negara Kesatuan RI harus mempunyai sikap dan perilaku diri yang tumbuh dari kemauan diri yang dilandasasi keikhlasan/kerelaan bertindak demi kebaikan Bangsa dan Negara Indonesia. Berbagai masalah yang berkaitan dengan kesadaran berbangsa dan bernegara sebaiknya mendapat perhatian dan tanggung jawab kita semua.Sehingga amanat pada UUD 1945 untuk menjaga dan memelihara Negara Kesatuan wilayah Republik Indonesia serta kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan. Gejala kesadaran berbangsa dan bernegara yang belum baik itu dapat kita lihat dalam perilaku individu sebagai rakyat maupun pejabat yang masih menunjukan tindakan-tindakan yang melanggar kaidah hukum, seperti mafia hukum, merusak hutan, pencemaran lingkungan, tindak kriminalitas, lebih mementingkan diri dan kelompok, korupsi, bersikap kedaerahan yang berlebihan (daerahisme) atau etnisitas yang berlebihan,
1

bertindak anarkhis, penggunaan narkoba, kurang menghargai karya bangsa sendiri, mendewakan produk bangsa lain, dan sebagainya. Benarkah bahwa kesadaran berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia melemah? Berbagai peristiwa di tanah air yang terjadi di negeri kita, dapat kita saksikan di media massa, bagaimana tingkah laku para wakil rakyat, pelajar, mahasiswa dan juga kelompok masyarakat yang menunjukan tanda- tanda bahwa mereka masih kurang memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara. Berbangsa dan bernegara merupakan suatu konsep atau istilah yang menunjukkan seseorang individu terikat dan atau menjadi bagian dari suatu bangsa dan negara tertentu. Masa reformasi telah berakhir, namun krisis yang melanda negeri ini sangat lambat perubahannya, sangat berbeda dengan Negara- Negara lain yang begitu cepat dapat mengatasi krisis, Hal ini yang perlu mendapatkan perhatian bagi kita semua, bahwa kesadaran

berbangsa dan bernegara sangat diperlukan. Konsep atau makna kesadaran dapat diartikan sebagai sikap perilaku diri yang tumbuh dari kemauan diri dengan dilandasai suasana hati yang ikhlas/rela tanpa tekanan dari luar untuk bertindak yang umumnya dalam upaya mewujudkan kebaikan yang berguna untuk diri sendiri dan lingkungannya. Kesadaran Berbangsa dan Bernegara Indonesia mempunyai makna bahwa individu yang hidup dan terikat dalam kaidah dan naungan di bawah Negara Kesatuan RI harus mempunyai sikap dan perilaku diri yang tumbuh dari kemauan diri yang dilandasasi keikhlasan/kerelaan bertindak demi kebaikan Bangsa dan Negara Indonesia. Membangun Kesadaran Berbangsa dan Bernegara kepada pemuda merupakan hal penting yang tidak dapat dilupakan oleh bangsa ini, karena pemuda merupakan penerus bangsa yang tidak dapat dipisahkan dari perjalan panjang bangsa ini. Kesadaran berbangsa dan bernegara ini jangan ditafsir hanya berlaku pada pemerintah saja, tetapi harus lebih luas memandangnya, sehingga dalam implementasinya, pemuda lebih kreatif menerapkan arti sadar berbangsa dan bernegara ini dalam kehidupannya tanpa menghilangkan hakekat kesadaran berbangsa dan bernegara itu sendiri. Politik, uang, dan kekuasaan, tiga hal yang sepertinya sangat erat hubungannya satu sama lain. Tiga kata yang Contoh Spanduk Pilkada setali tiga uang. Mungkin itu pula yang beranggapan bahwa politik tanpa uang ibarat orang yang lumpuh dan lemah, hanya bisa
2

berkoar koar tanpa bisa melangkah dan bergerak. Begitu juga antara politik dan kekuasaan, orang tak bisa menyampaikan tujuan politiknya tanpa memiliki otoritas dan kekuasaan, sedangkan kekuasaan saat ini, hanya dapat dicapai dengan uang. Jadi ketiga tiganya begitu erat, dan bahkan sulit presentasinya untuk dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, akhir akhir ini seiring perkembangan zaman, kampanye - kampanye yang dilakukan di dunia perpolitikan di Indonesia sangat identik dengan uang dan kekuasaan. Kampanye media dari Pemilu Presiden, Gubernur, Bupati, bahkan sampai tingkat RW pun begitu getolnya menggunakan media seperti spanduk, MMT, dan sejenisnya. Dan hal itu tidak sedikit presentasenya. Jadi sangat jelas dengan banyaknya pemasangan media kampanye yang jumlahnya sangat banyak tersebut sangat identik dengan uang. Seperti halnya di kampung saya di pacitan beberapa waktu lalu, untuk sekedar memilih kepala desa saja, berbagai atribut kampanye berupa media MMT, spanduk, dan lans sebagainya menghiasi jalanan, dan bahkan di beberapa tempat terkesan terlihat kumuh dan kotor akibat kondisi tersebut. Selanjutnya Penulis akan mengkaji permasalahan-permasalahan diatas dari segi filsafat hukum.

B.

Pengertian Filsafat Ilmu dan Filsafat Hukum Adakalanya orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk dapat berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan filsafat. Sesungguhnya, istilah filsafat merupakan suatu istilah dari bahasa Arab yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia.1 Secara etimologis, kata filsafat berasal dari kata majemuk, yakni: filo dan sofia. Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya kebijaksanaan. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah pandai: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat dimaknakan: Ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan. Dengan demikian, rumusan tersebut di atas dapat disebut sebagai suatu definisi atau pembatasan yang semata-mata berdasarkan atas keterangan nama atau pembatasan nama. Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin dalam berbagai

I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 1.

pepatah, slogan, lambang dan sebagainya.2 Filsafat dapat juga diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat. Menurut Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada dan mungkin ada. Pada intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia. Barangkali, objek materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang membedakan adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari keterangan sampai sedalamdalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga terdapat kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.3 Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok, yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.4 Menyeluruh, artinya cara berfikir filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar, artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan ilmu biasa. Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkah-langkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi harus memiliki dasardasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.5 Refleksi berarti pengendapan dari pemikiran yang dilakukan
2

Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 4. 3 I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9. 4 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998. 5 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 7.

secara berulang-ulang dan mendalam (contemplation). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang lebih jauh lagi dan dilakukan secara terusmenerus. Kritis berarti analisis yang dibuat filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab, jika yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut baru melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala semata. Lain halnya, jika yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan gejala-gejala melainkan hakikat. Ada beberapa sarjana penulis filsafat yang mengemukakan pendapatnya tentang filsafat, antara lain: a. Plato yang asli. b. Aristoteles : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran

terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. c. Al Farabi : Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud bagaimana hakekat

yang sebenarnya. d. Descartes : Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan

manusia menjadi pokok penyelidikan. e. Immanuel Kant : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama, dan antropologi.6

Dari perumusan filsafat sebagaimana dikemukakan oleh para penulis filsafat tersebutdapat ditarik intisarinya bahwa filsafat merupakan karya manusia tentang hakikat sesuatu. Untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 5.

dikatakan bahwa filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat hukum sebagai subspecies.7 Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini: Umum Ada Ada Khusus Ada Tidak Mutlak Manusia Ada Mutlak Alam Anthropologia Etika Filsafat Hukum Logika Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan memberikan definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung dari sudut pandang para ahli hukum melihatnya seperti yang dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam uraian di bawah ini. J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi hukum tersebut menunjukkan betapa luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.

Lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 10. Bandingkan juga dengan Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, halaman 4.

Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis tentang masalah-masalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum, dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het systematisch nadenken over alle fundamentele kwesties en grensproblemen het verschijnsel recht samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de realisatie van de rechtsidee).8 Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab pertanyaanpertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.

C.

Identifikasi Masalah Bagaimanakah pengaruh politik, uang dan narkoba dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dilihat dari sisi filsafat hukum ?

Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.

BAB II PEMBAHASAN

Ketika persoalan masyarakat sipil (civil society) menjadi sentral perbincangan dan pembahasan dalam perkembangan politik dan demokratisasi.9 Penulis justru melakukan analisis terhadap keberadaan negara. Mungkinkah Penulis mencoba untuk mengalihkan diskursus civil society ke arah pembahasan terhadap negara (state), karena alasan-alasan tertentu serta fenomena politik kontemporer yang masih dominan ditentukan negara? Misalnya saja semakin terlihat bahwa gerakan masyarakat sipil tidak mampu melakukan tawar-menawar kepentingan dan kekuasaan dengan pihak negara. Sementara itu negara semakin menunjukkan kekuatannya sebagai sentrum kekuasaan yang tidak mungkin tertandingkan dan terbantahkan. Atau, kemungkinan pula Penulis ingin menunjukkan struktur bangunan negara, baik dalam tataran fisik-material maupun abstrak-filosofis, untuk melakukan perombakan terhadap kecenderungan terciptanya etatisme yang semakin menguat. Meskipun pembahasan terhadap keberadaan negara ini tidak dalam konteks Indonesia, tetapi dari gagasan utama yang disampaikan dapat dibaca bahwa melakukan pembingkaian analisisnya dalam situasi negara Orde Baru. Jelas, penulis sendiri sama sekali tidak menyebutnyebut identitas nama Orde Baru. Tetapi, dari identifikasi serta berbagai proposisi yang dikemukakannya, penulis mencoba melakukan pembedahan secara implisit terhadap negara Orde Baru dalam semangat teori negara yang lebih universal dan sama sekali bebas konteks. Arief melakukan pembahasan dengan gaya karambol, yang berarti menembak sasaran secara tidak langsung, namun pada akhirnya nanti juga mengena pada target yang dituju. Sehingga dapat dikatakan (dengan menggunakan paradigma Derridean) bahwa teks pembahasan Arief terhadap negara haruslah dibaca secara intertekstual: kelahiran suatu teks pastilah karena ada teks lain yang telah mendahului. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa Arief membahas negara dengan berbagai aspeknya, karena negara Orde Baru pada
9

Muhammad A.S. Hikam, Demokratisasi Melalui Civil Society: Sebuah Tatapan Reflektif atas Indonesia, Prisma No. 6 Tahun XXII 1993. Gejala menguatnya pembahasan terhadap masyarakat sipil dapat juga dilihat dari terbitnya sejumlah buku, seperti misalnya: F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 1993); Ellyasa K.H. Darwis (ed.), Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1994); dan Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, penerj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995).

pertengahan dekade 1990-an ini justru semakin memperlihatkan kekuatannya (powerfull), sehingga semakin mempersempit ruang gerak masyarakat sipil. Ini dapat ditunjukkan dengan pernyataan Arief bahwa buku yang ditulisnya berfungsi sebagai pengantar dalam membicarakan teori-teori negara dan dapat dijadikan sebagai alat analisis sederhana terhadap keadaan negara di berbagai negeri. Namun, yang paling penting adalah pernyataan Arief bahwa bagi para praktisi politik dan aktivis lainnya, buku ini semoga bisa m ereka pakai untuk merancang strategi dan taktik yang lebih baik dalam memperjuangkan perubahan negara dan masyarakat ke arah yang lebih baik. Mereka akan lebih memahami aspek negara mana yang harus mereka ubah, dan perubahan apa yang realistik bisa diharapkan (hal. 124). Bahkan Penulis sendiri menyatakan bahwa analisis yang dikemukakannya tidak sekedar teks yang memberikan deskripsi mengenai berbagai teori negara, melainkan Arief juga akan menunjukkan sikapnya terhadap teori negara yang dianggap ideal (hal. 4). Tentu nuansa yang diciptakan dengan nada keberpihakan semacam itu sangat berbeda dengan analisis Arief yang netral terhadap perkembangan teori-teori pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga.10 Hubungan antara negara dan kekuasaan sama sekali tidak dapat dipisahkan. Negara merupakan lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi, dan dengan kekuasaan itu pula negara melakukan pengaturan terhadap masyarakatnya. Dalam kaitan ini Arief menyatakan bahwa kekuasaan negara yang sedemikian besar akibat negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum (hal. 3). Sejumlah teoritisi juga menyatakan bahwa negara berhak serta mempunyai kekuasaan penuh terhadap masyarakatnya. Hal ini, misalnya, diwakili oleh pandangan Plato dan Aristoteles, agama Kristen (yang diwakili oleh institusi gerejanya), Grotius dan Hobbes, serta Hegel. Dalam berbagai analisis terhadap pemikiran para teoritisi tersebut, seringkali, muncul suatu tendensi untuk melakukan kecaman. Thomas Hobbes seringkali dikecam karena pandangan-pandangannya yang ekstrem dalam mendudukkan negara untuk mendapatkan otoritas tertinggi. Bahkan Hobbes sendiri menyatakan secara tegas bahwa ketakutan yang diciptakan oleh kekuasaan (negara) akan menjadikan penguasaan semakin efektif. Sebab, dengan cara demikian, masyarakat yang diliputi oleh berbagai ketakutan secara otomatis bergerak bagaikan jarum jam. Di sinilah Hobbes mendambakan negara sebagaimana layaknya Leviathan. Namun, pandangan Hobbes yang sangat ekstrem itu haruslah diketahui konteks kelahirannya. Karena, apabila membaca
10

Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia, 1995)

pikiran-pikiran Hobbes sama sekali tercerabut dari peristiwa yang mendahuluinya, akan melahirkan berbagai penilaian yang sangat a-historis.11 Demikian juga pendapat Hegel mengenai negara integral yang seolah-olah bersifat totaliter serta mengungkung masyarakat tanpa memberikan ruang gerak sedikit pun. Bayangan Hegel mengenai keberadaan negara adalah suatu lembaga kekuasaan yang rasional. Dalam lembaga negara tersebut haruslah didukung oleh aparat-aparat yang bersih, terutama dari tindak korupsi. Bahkan, dalam pandangan Hegel, negara menjadi sarana bagi masyarakat untuk menemukan kebebasannya yang hakiki. Maka negara menjadi institusi yang menuntun masyarakat ke arah kesempurnaan sejarah. Negara mempunyai kedudukan sebagai roh obyektif yang mampu mewadahi roh-roh subyektif dalam masyarakat.12 Kalau teori negara Hegelian ini kemudian diterapkan secara fasistik oleh Hitler, barangkali inilah salah satu strategi penguasaan di mana filsafat dijadikan ideologi pembenaran. Bukankah Hegel yang secara brilian mengajarkan persoalan dialektika sejarah, yang intinya justru pada pandangan yang bersifat negativisme, yakni selalu mempertanyakan keadaan yang serba mapan? Demikian juga pandangan negara integralistik Soepomo yang secara dominan dipengaruhi oleh Hegelianisme, sehingga memunculkan pandangan manunggaling kawulaGusti (menyatunya Tuan-hamba). Agaknya Soepomo memadukan secara eklektik antara filsafat negara Hegel dengan pandangan kekuasaan Jawa yang sangat feodalistis. Konklusi yang dapat dipahami dari berbagai pandangan teoritisi yang memposisikan negara sebagai lembaga kekuasaan tertinggi adalah bahwa negara dipandang selalu dapat bertindak netral. Negara secara inheren di dalam dirinya mempunyai tujuan-tujuan baik bagi masyarakat, serta tidak mungkin akan merugikan kehidupan warganya. Inilah pandangan teori Negara Organis. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Teori Marxisme-Leninisme di mana negara merupakan perwujudan dari diktatur proletariat. Dalam kondisi ini, negara berfungsi sebagai perealisasi dari masyarakat yang egaliterian untuk menuju sebuah akhir sejarah, yaitu masyarakat komunisme yang tanpa kelas. Artinya adalah kemutlakan negara sangat dibutuhkan pada saat berlangsungnya peralihan dari sosalisme ke komunisme. Apabila masyarakat yang sama-rata sama-rasa sudah tercipta, maka lembaga negara tidak lagi diperlukan.
11 12

Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia, 1995). A. Widyarsono, Paham Negara Rasional Hegel dalam Filsafat Hukumnya, Driyarkara No. 3 Tahun XVIII 1992, dan Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1993).

10

Namun dalam proses selanjutnya, justru acapkali negara menjadi lembaga yang sangat otonom serta sama sekali telah mengabaikan berbagai kepentingan masyarakatnya. Negara bahkan selalu difungsikan sebagai alat serta mesin pembenar bagi aparatusnya untuk melakukan represi. Maka, hubungan negara dengan masyarakat tidak selalu dalam kondisi yang harmonis dan saling mengisi. Justru antara negara dan masyarakat berdiri dalam posisi yang saling berlawanan. Relasi yang tercipta adalah keinginan untuk saling menundukkan. Karena, negara tidak lagi menjadi kendaraan bagi masyarakat untuk mencapai proses progresivitas sejarah pada titik kemuliaan. Namun, justru sebagai lembaga kekuasaan yang menciptakan relasi-relasi konfliktual. Di sinilah muncul relevansi Teori Negara Marxis yang menyatakan bahwa negara tidak lebih sebagai alat bagi kelas yang berkuasa untuk melakukan penindasan terhadap masyarakat. Netralitas negara pun menjadi tidak akan pernah terwujud. Apabila dilihat secara lebih komprehensif, Arief sendiri sudah mengemukakan pendapat bahwa bentuk negara berdasarkan netralitasnya dapat dibagi menjadi empat, yaitu: (1) Negara Pluralis, negara dalam kedudukan tidak mandiri, karena mempunyai sifat demokratis. Yaitu, menerima partisipasi dan usulan-usulan secara penuh dari kalangan masyarakat; (2) Negara Marxis, negara yang juga tidak otonom, karena digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk mewujudkan berbagai kepentingannya; (3) Negara Organis, negara sama sekali otonom, karena berinisiatif sendiri untuk mengambil berbagai kebijakannya; (4) Negara Korporatis, kedudukan negara relatif mandiri, karena mendengarkan berbagai usulan dari wakil masyarakat. Dalam bentuk negara ini, negara menentukan kelompok-kelompok tertentu yang boleh memberikan usulan. Hal lain yang juga pantas untuk dipahami adalah terciptanya kecnderungan lahirnya negara otorier atau demokratis. Dalam hal ini, Arief mengemukakan beberapa faktor, yaitu: 1. Ekonomi, bahwa kebijakan ekonomi yang diambil negara sangat menentukan sistem politik yang dijalankan. Dalam hal ini, Arief menolak adanya anggapan yang sudah populer bahwa sistem ekonomi kapitalisme pastilah menciptakan demokrasi. Sebab, dalam kenyataannya, justru kapitalisme yang dikembangkan di negara-negar Dunia

11

Ketiga menunjukkan sifat otoriter. Kapitalisme yang demokratis hanya akan terjadi pada negara-negara yang sudah kaya;13 2. Sosial, yang merupakan berbagai kombinasi dan interaksi dari kekuatan-kekuatan sosial yang terdapat dalam masyarakat, yang mempunyai pengaruh bagi terbentuknya suatu rezim tertentu; dan 3. Budaya, adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan gagasan-gagasan atau pun nilainilai yang dihayati oleh seseorang atau masyarakat dalam alam pikirannya. Sebenarnya sangat wajar, wajar antara politik, uang, dan kekuasaan. Ketiga tiganya penting dan perlu agar untuk mencapai kehendak dan tujuan tertentu yang diinginkan, kita memerlukan kekuasaan, sedangkan untuk mencapai kekuasaan, kita memerlukan strategi politik dan finansial yang kokoh untuk menggapainya. Dan itu sah sah saja. Tak ada yang salah. Yang salah sebenarnya terletak dalam prosesnya. Proses menuju kekuasaan tersebut, dan proses pasca kekuasaan digapai tersebut. Sehingga tak jarang, beberapa atau banyak wakil rakyat di negeri ini, seringkali dalam proses menuju kekuasaan itu, sering menggunakan cara cara yang bertentangan dengan nilai keluhuran dan norma kemanusiaan, alias menghalalkan segala cara untuk menggapai kekuasaan. Dan lebih parah lagi pasca memperoleh kekuasaan yang diinginkan justru kekuasaan yang diperoleh itu tak membawa signifikansi efek kebermanfaatan bagi rakyat dan masyarakatnya. Saya ingin mengambil sampel bahwa ternyata politik, uang dan kekuasaan memiliki korelasi yang sangat erat. Tidak jauh jauh, saya mencontohkan pemilihan kepala desa di kampung di desa Kasihan pada tahun 1999. Kala itu si X turut mencalonkan menjadi salah satu kandidat kepala Desa Kasihan. Kebetulan waktu itu ada lima calon yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilihan kepala Desa. Si X memilih lambang nanas dan mendapatkan nomor urut tiga. Singkat cerita, setelah dilakukan beberapa survey kecil kecilan oleh lembaga survei kampung, orang ini memiliki rating tertinggi dan memiliki kemungkinan yang tinggi untuk memenangkan pemilihan Kepala Desa tersebut. Selain si X memiliki ketokohan yang tinggi di kampung, juga beliau mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh adat dan masyarakat setempat, dan diprediksi beliau akan memenangkan pertarungan kepala Desa.

13

Arief Budiman, Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan (Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas, 1991)

12

Bahkan sampai penghitungan dimulai pun, beliau sudah mengungguli kandidat nomor dua yang lambangnya ketela sampai selisih 200an. Akan tetapi lambat laun dan pada akhirnya beliau tersalip perolehan suaranya sampai akhirnya beliau kalah dengan selisih 5 angka saja. Kalau tidak salah waktu itu si X memperoleh 887 suara sedangkan kandidat terdekatnya yang akhirnya memenangkan kursi Kasihan 1 memperoleh 892 suara. Selisih yang sangat tipis dan akhirnya si X yang menurut survei itu diunggulkan memenangkan pertarungan, ternyata kalah. Setelah diteliti lebih lanjut seperti yang sesuai dengan tema tadi, bahwa sekali lagi uang lah yang menentukan keberhasilan karir politik dan memperoleh kekuasaan seseorang. Dan ini juga terjadi dengan si X waktu itu. Ceritanya, ini sih menurut sumber yang sangat bisa dipercaya, waktu sebelum penutupan waktu pencoblosan, sebenarnya masih ada satu truk yang berisikan 25 orang yang belum mencoblos, dan 25 orang itu terhitung masih kerabat dengan si X. Karena pada waktu itu belum ada kendaraan motor yang banyak seperti sekarang, ke 25 orang tersebut mencarter truk L300, dengan biaya 50.000 untuk sampai ke tempat pencoblosan yang secara medan memang sulit. Dan benar, akhirnya sekelompok orang yang apabila mereka melakukan pencoblosan itu akan memenangkan si X, dicegat oleh seseorang dan sopirnya ditawari uang 100 ribu dengan syarat tidak usah mengantarkan ke 25 orang tersebut mencoblos, dengan diminta berpura pura untuk melakukan alasan ban mobil bocor. Dan pada akhirnya tidak jadilah mereka mencoblos, karena sang supir mendapatkan 100 ribu, daripada 50 ribu mengantar jauh, dia memilih 100 ribu tapi tidak mengeluarkan tenaga sama sekali. Pada akhirnya, uanglah yang menang, nurani pun kalah. Si X tersebut kalah dengan selisih tipis 5 angka dari rival. Pada akhirnya hal ini, atau contoh ini membuktikan bahwa korelasi antara politik, uang, dan kekuasaan, dimanapun, kapanpun waktunya, itu selalu berkaitan erat. Nah, dari kondisi dan kebiasaan yang terus menerus seperti inilah yang pada akhirnya membentuk paradigma banyak orang yang menganggap bahwa dunia politik itu kotor, penuh dengan orang orang busuk didalamnya. Inilah yang terjadi di negeri ini, dan beberapa negara lainnya sehingga beberapa atau banyak kalangan sudah mulai berpikiran pragmatis dan apatis. Mereka mau memilih calon tertentu kalau dikasih imbalan uang, dan kalau tidak tidak akan memilih, apapun alasannya. Rata rata mereka menggeneralisir bahwa semua calon, dari partai dan afiliasi politik manapun berhati kotor dan hanya mementingkan
13

perutnya sendiri, tanpa mempedulikan nasib masyarakat. Dan bahkan tak jarang pasca memperoleh kekuasaan, mereka berbuat seenaknya, dan bahkans ering terjerat kasus yang hal itu semakin memperkuat persepsi masyarakat bahwa politik dan kekuasaan itu kotor, kecuali kalau ada imbalannya. Mungkin kondisi inilah, yang terbaru, juga terjadi. Tepatnya saat pemilu tahap kedua Mesir yang mempertarungkan antara loyalis Mubarak dengan Sipil. Trauma sejarah yang berkepanjangan membuat rakyat Mesir cenderung apolitis terhadap kedua calon tersebut. Hal ini terbukti dengan sepinya jumlah pemilih pada pemilu periode kedua tersebut. Menurut analisis berbagai media, hal ini erat kaitannya dengan persepsi masyarakat bahwa ketika memilih loyalis Mubarak, mereka akan dibayang bayangi rezim represif otoriter ala Mubarak, sedangkan kalau memilih sipil islamis, mereka dibayang bayangi negara Islam Mesir. Fakta inilah yang terjadi. Sekali lagi antara politik, kekuasaan, dan uang. Dan hal tersebut wajar dengan pengecualian. Kalau kemudian kita masih berpijak pada nurani, ketiga tiganya dapat dimanajemen dengan baik. Politik tak selamanya busuk. Mungkin benar banyak orang orang yang berjiwa busuk dalam berpolitik. Tetapi kalau kemudian kita malah bersikap apatis dengan dunia perpolitikan, sementara dunia perpolitikan semakin banyak dikuasai oleh orang orang busuk, tentu kita tak akan pernah menyaksikan negeri ini kembali ke puncak kejayaannya. Analoginya begitu. Harus ada orang orang baik yang terjun kedalam kotornya dunia politik kita, agar dunia politik kita tidak semakin menghitam. Harus ada orang orang putih yang menghapus persepsi hitam masyarakat terhadap dunia politik, lalu pelan pelan membuat dunia politik abu abu, dan akhirnya kembali ke warna politik dan kekuasaan yang putih dan menjadi rahmat bagi semua. Memang benar kalau kemudian tidak ada manusia yang sempurna, karena yang sempurna itu hanyalah Allah dan lagunya Andra and the backbone J, akan tetapi kita tetap harus memberikan kepercayaan kepada mereka yang mencoba dan berikhtiar untuk menghapus noda hitam politik dan kekuasaan yang identik dengan kebusukan dan kebejatan dari para politikus berhati tikus. Lalu bagaimana caranya? Sebenarnya sih gampang saja, tentu yang paling gampang adalah dengan melihat track record calon pemimpin tersebut, dengan melihat kapasitas intelektual, moral, dan kapasitas nurani yang dimiliki mereka. Kalau dalam track record kepemimpinannya, baik dalam sekala kecil, ditingkat kecil, seperti keluarga, RT, RW, dan
14

sebagainya dia bagus, dia layak dikategorikan menjadi calon pemimpin ideal. Itu saja untuk saat ini. Sebenarnya kalau kita mau melihat contoh pemimpin Ideal yang mampu meletakkan konstitusi negara yang ideal, dengan semua bentuk yang mensejahterakan, mari kita berkaca kepada rasulullah dan para khilafah rasyidah. Akan tetapi tentu hal itu sangat tak mungkin, dalam konteks kekinian kita menyamakan pemimpin ideal seperti halnya rasulullah saat memimpin Madinah. Tetapi yang perlu adalah melihat dan mencermati bahwa selalu ada pemimpin atau figur pemimpin yang mengidolakan rasulullah, lalu membiasakan kesehariannya untuk berpola hidup seperti rasulullah, mengkaji kebenaran, lalu sedikit sedikit mengamalkannya. Inilah pemimpin ideal kita. Mereka adalah orang orang yang kesehariannya hidup teratur, termanajemen dengan baik, dan terpola. Sehingga, kalau kemudian mereka berkuasa, kemungkinan kemungkinan buruk itu bisa diminimalisir, bahkan dihilangkan. Kalau dalam konteks Mesir mungkin kita mendapatkan itu pada figur Dr. Mursi, dalam konteks Turki kita mendapatkan pada sosok Erdogan, atau yang lainnya. Sebenarnya yang menjadi masalah dalam dunia politik itu, ketika seseorang tak pandai mengelola nafsu kekuasaan dan finansial tersebut, nafsunya menjadi liar ketika berkuasa dan memiliki uang. Sehingga tak jarang banyak politisi kita terjebak pada kebusukan politik. Sehingga bisa disimpulkan adalah bahwa yang dibutuhkan saat ini untuk mengelola negara dengan kekuasaan adalah mereka yang memiliki kapasitas ideal pemimpin, yaitu kapasitas ketaqwaan, kapasitas intelektualitas, dan kapasitas jaringan yang kokoh. Itu yang kemudian harusnya ada dalam konteks keindonesiaan. Dan saya sendiri sangat yakin bahwa masih ada orang orang dengan kapasitas tersebut. Dan saya yakin suatu saat, Indonesia akan kembali ke puncak kejayaannya, dan negaranya dikagumi oleh negara negara lain di dunia. Tentunya ditangan mereka yang memiliki jiwa politik yang bersih lagi membersihkan, mampu mengendalikan dan memanajemen kuasa dan finansial demi kebermanfaatan bagi rakyat banyak. Begitulah, politik, uang, dan kekuasaan. Selalu menghadirkan pesona, yang mau tidak mau harus kita lalui, dan kita pun harus berada di dalamnya.

15

BAB III PENUTUP

A.

Kesimpulan Dari semua penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa politik dan uang belum tentu menimbulkan efek negatif terhadap negara selama dapat dimanage dengan baik. Yang bermasalah adalah para pemimpin kita banyak diisi oleh orang-orang yang tidak jujur, korupsi sehingga politik terkesan kotor. Disini harus ada orang-orang baik yang merubah kesan politik kotor tersebut menjadi positif agar terjadi keseimbangan terhadap negara. Seperti apa yang telah dikatakan sebelumnya oleh Lili Rasjidi bahwa Filsafat hukum berusaha mencari suatu cita hukum yang dapat menjadi dasar hukum dan etis bagi berlakunya system hukum positif suatu masyarakat. Dari kondisi dan kebiasaan yang terus menerus seperti inilah yang pada akhirnya membentuk paradigma banyak orang yang menganggap bahwa dunia politik itu kotor, penuh dengan orang orang busuk didalamnya. Inilah yang terjadi di negeri ini, dan beberapa negara lainnya sehingga beberapa atau banyak kalangan sudah mulai berpikiran pragmatis dan apatis. Mereka mau memilih calon tertentu kalau dikasih imbalan uang, dan kalau tidak tidak akan memilih, apapun alasannya. Rata rata mereka menggeneralisir bahwa semua calon, dari partai dan afiliasi politik manapun berhati kotor dan hanya mementingkan perutnya sendiri, tanpa mempedulikan nasib masyarakat. Dan bahkan tak jarang pasca memperoleh kekuasaan, mereka berbuat seenaknya, dan bahkans ering terjerat kasus yang hal itu semakin memperkuat persepsi masyarakat bahwa politik dan kekuasaan itu kotor, kecuali kalau ada imbalannya. Jadi, bila hukum dan kekuasaan dipergunakan untuk kepentingan penguasa sangat jauh menyimpang dari tujuan dan cita hukum.

B.

Saran

16

DAFTAR PUSAKA

17

Anda mungkin juga menyukai