Anda di halaman 1dari 5

i

LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN HIBAH PASCASARJANA TAHUN ANGGARAN 2009

PENGEMBANGAN

PATI SAGU INDONESIA:

KAJIAN KERUSAKAN DAN PEMANFAATAN UNTUK PRODUKSI BIOPLASTIK

Tim Peneliti: 1. Prof. Ir. S. Margino, Ph.D. (Ketua Peneliti) 2. Prof. Ir. Erni Martani, Ph. D. (Anggota) 3. Ir. Arief Budiman, MS., D.Eng. (Anggota) 4. Dra. Nur. Arfa Yanti, M.Si. (Anggota) 5. Drs. Tri Gunaedi, M.Si. (Anggota)

FAKUL TAS PERTANIAN UNIVERSITASGADJAH MADA NOPEMBER2009

RINGKASAN (Indonesia) dan Summary (English) Kajian kerusakan pati sagu di Indonesia. Terpinggirkannya peran sagu sebagai makanan pokok suku-suku di Papua dan beberapa kepulauan di Indonesia timur, akibat kebijakan pemerintah yang kurang bijak, yakni mengganti sagu dengan beras bagi PNS. Kebijakan ini terjadi setelah Indonesia mampu berswasembada beras tahoo 1984-an dan keadaan ini berkembang lanjut sehingga mendesak peran sagu sebagai makanan pokok menjadi hidangan tambahan pada acara tertentu. Kuantitas dan kualitas produksi pati sagu Indonesia sebagai bahan baku industri. Satu juta ha pohon sagu di daerah Papua dan ribuan ha di luar Papua, apabila hasilnya mencapai 11 ton kering sagutha/tahoo maka jumlah persediaan bahan baku industri sangat melimpah. Bagaimana kualitas hasil sagu Indonesia? Kebanyakan proses pemanenan sagu masih dilakukan secara tradisional sehingga kurang memperhatikan higienes dan sanitasi produknya alias kualitas, dampaknya, derajat kerusakan menjadi lebih tinggi (warna menjadi kecoklatan dan bau kemasaman, nilai pH rendah). Penyebab kerusakan banyak didominasi oleh keterlibatan mikroba (bakteri, jamur dan khamir) yang terikut serta dalam pemanenan sagu. Kerusakan biologis biasanya ditunjukkan oleh adanya produkasam-asam organik yang menyebabkab kemasaman (kecut : Jawa), dan perubahan wama menjadi tidak putih dan tidak menarik lagi. Kajian kerusakan sagu akan memberikan luaran bagaimana menangani, menyimpan dan menjaga sagu agar kualitas sebagai bahan baku industri tetap bagus. Beberapa genus mikroba kontaminan tepung sagu, diantaranya anggota genus bakteri Bacillus, Lactobacillus, Pseudomonas, Streptococcu, Lactococclls, Acetobacter dan Enterobacter; fungi Aspergillus awamori, Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Aspergillus terreus, Neurospora crassa, Rhizopus oligosporus dan Lentinula edodes; sedangkan khamir Saccharomyces cerevisiae yang semua ini dikelompokkan sebagai mikroba penghasil asamasam organik. Asam-asam penyebab tepoog sagu menjadi masam dan berbau "kecut", diantaranya adalah asam asetat, laktat, propionat, butirat, formiat dan lain-lain. Sagu basah yang disimpan beberapa hari sering juga berbau alkoholis, karena terkontaminasi oleh khamir dan beberapa bakteri penghasil alkohol. Tujuan penelitian adalah mendapatkan isolat dengan berbagai medium yang mampu menghasilkan berbagai asam organik penyebab kerusakan sagu. Langkah-Iangkah pencapaian tujuan penelitian adalah: a. Isolasi dan seleksi mikroba baru, b. Melakukan kajian optimasi dan enzimatik isolat unggul penyebab kerusakan, c. Karakterisasi isolat unggul penghasil asam organik. Penelitian tahoo pertama diperoleh 77 strain bakteri yang diisolasi dari sagu. Hasil seleksi atas dasar daya amilolitik dan produksi asam organik ditetapkan 3 isolat unggul penyebab kerusakan sagu yang disiapkan secara tradisional, yaitu TJ-2, TBSM-l dan SPH-3, kemudian diberikan kode baru sebagai TG-31, TG-19 dan TG-12. Peneltian tahun ke dua berhasil mengoptimaslisasi produksi asam organik isolat terpilih dan mengindentifikasinya sebagai Bacillus cereus
Langkah altematif pemanfaatan pati sagu Indonesia. Berbagai industri berbahan baku pati dapat dikembangkan, misalnya industri bioplastik, biofuel (ethanol, aseton, butanol), chemical stock (asam asetat, laktat) ataupun pangan, kesemuanya memerlukan bahan baku berkualitas tinggi (fisik, khemis atau biologis) agar memberikan produk akhir (end products) yang sempuma. Mengingat sagu merupakan tumbuhan penghasil pati terbesar dan jumlahnya melimpah maka perlu langkah altematif pemanfaatan berskala industri, karena industri pangan kurang menjajikan di sektor ekonomi, maka industri bioplastik berbahall baku pati sagu Ilampak lebih prospektus. III

Kebutuhan polimer plastik, pencemaran dan penanganan. Kebutuhan plastik meningkat tajam { plastik polietilen (PE), polipropilen (PP), dan polivenil chlorida (PVC)}, tahun 1990811 sebanyak 717.000 ton dan tahun 1996 menjadi 1.580.000ton, dan memiliki sifat sulit didegradasi dan berpotensi mencemari lingkungan tanah dan perairan. Milyaran rupiah kerugian akibat dampak pencemaran plastik. Bagaimana mengendalikan pencemaran plastik? Penanganan limbah plastik banyak dilakukan dengan pembakaran, pembenaman ke dalam tanah, dan memanfaatkan mikroba perombak plastik. Pembakaran menghasilkan efek negatif senyawa kimia beracun (ion CI ataupun dioxin yang toksik). Penanganan terbaik dan banyak dikembangkan oleh negara maju adalah "memproduksi bioplastik pengganti plastik non-degradable", misalnya poli-p-hidroksi butirat (PHB), senyawa ini merupakan bahan dasar plastik terdegradasi, termostabil dan tleksibel. Pengembangan bioplastik kebanyakan berbasis glukosa sehingga biaya produksinya mahal, oleh karena itu, perlu altematif subtrat yang lebih murah, diantaranya adalah pati (sagu, kentang, j agung, singkong), tetes atau limbah pabrik susu, laktosa Pati sagu memiliki ni/ai kompetitif dan komparatif diantara substrat yang tersedia di beberapa daerah Indonesia. Mengapa tepung pati sagu memenuhi persyaratan untuk memproduksi biopolimer khususnya poli-p-hidroksibutirat (PHB)? Bahan ini memiliki kandungan sumber karbon (C) tinggi dan sejumlah kecil unsur N(nitrogen), P (fosfat), dan K (kalium). Komposisi C tinggi dan salah satu unsur N, P atau K terbatas dalam medium, kondisi ini lebih mudah memicu dan memacu produksi granula PHB di dalam sel sebagai makanan cadangan. Semakin banyak granula PHB yang terbentuk maka semakin tinggi produksi PHB per satuan berat sel. Sejumlah bakteri amilolitik Bacillus amiloliquefaciens, B. subtilis, B. amilolyticus, B. polymixa, Agrobacterium tumefaciens dan genera yang lain mampu mengkonversipati menjadi glukosa. Beberapa genera bakteri Alcaligenes, Azotobacter, Micrococcus dan Pseudomonas mampu memetabolisme glukosa menjadi bahan dasar plastik terdegradasi (poli laktat, poli hidroksibutirat, poli hidroksialkanoat). Belum banyak penelitian yang melaporkan kemampuan bakteri yang memetabolisme pati secara langsung menjadi bioplastik, untuk menekan biaya produksi. Basil penelitian pendahuluan, 65 iso/at berl,asil diisolasi dari lillgkullgan tallal, tercemar limbah tapioka namun be/um diuji kemampuan amilolitik dan produksi PBB-nya (Margino, dkk., 2000b) dan 20 isolat ami/o/itik asal sagu (Margino, 2006, data tidak dipublikasikan) Ditemukannya bakteri amilolitik yang mampu mengkonversi pati langsung menjadi bioplastik (seperti polihidroksi butirat, polihidroksi alkanoat, polilaktat, atau polihidroksi valerat) merupakan keberhasilan, tujuan utama penelitian ini. Jangka panjang, lewat penelitian ini dapat dikembangkan teknologi bioplastik berbahan baku murah dan proses industrialisasinya juga murah sehingga produk bioplastiknya mampu berkompetisi dengan plastik-plastik yang disintesis dari minyak bumi. Selain menghemat devisa, pengembangan industri bioplastik dapat menopang program pemerintah dalam mencanangkan pembangunan industri berwawasan lingkungan dan dapat mengatasi polusi plastik di Indonesia. Tujuan penelitian: mendapatkan isolat bakteri amilolitik penghasil polihidroksibutirat (PHB) dan memanfaatkan pati sebagai substrat agar biaya produksi dalam industrialisasinya dapat menjadi lebih murah dibandingkan menggunakan substrat lain, misalnya glukosa ataupun plastik yang disintesis dari minyak bumi. Langkah-Iangkah pencapaian tujuan adalah: a. Isolasi dan seleksi mikroba bam, b. Kajian optimalisasi produksi (PHB) pada skala l~boratorium dan "scaling up", c. Karakterisasi isolat unggul penghasil PHB, dan d. Pengembangan teknik separasi/ purifikasi, biodegradasi dan polimerisasi (blending). Penelitian kerusakan dan bioplastik ini memiliki orisinalitas dan aktualitastinggi.

IV

Luaran penelitian adalah iptek berwawasan lingkungan untuk memecahkan masalah penyebab kerusakan sagu dan pencemaran plastik. Pertama, pengembangan teknologi bioplastik berbasis pati memberikan sumbangan bagi kelestarian alam/ lingkungan hidup; dan meningkatkan nilai tambah pati sagu dan limbahnya. Penelitian tahun pertama berhasil memperoleh tiga isolat yakni PPK-5, ALD-6, dan PSA-I0 mampu memproduksi PHB terbanyak dari substrat sagu. Ke dua, masalah kerusakan sagu dapat dacarikan solusinya dengan lebih dahulu mengetahi penyebab utama kerusakan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga isolat bakteri amilolitik memegang peran penting dalam kecepatan kerusakan sagu yang diproses secara tradisional, yaitu TG-12, TG-19, dan TG-31 (kode awal berturut-turut adalah SPH3, TBSM1, dan TJ2). Selain itu, UGM dapat meluluskan doktor dan master lewat penlitian ini. Penelitian tahun ke dua berhasil mengoptimasi dan mengidentifikasi isolat unggul penghasil PHB dari substrat sagu dan isolat unggul perusak sagu. Isolat-isolat yang diteliti lebih lanjut adalah PSA-I0 dan PPK-5, terkait dengan PHB, sedangkan TG-12, TG-19 dan TG31 terkait dengan kerusakan sagu. Hasil optimasi produksi PHB terbaik dicapai oleh isolat PSA-I0 pada jam ke 48, produk 69% (pHB/berat kering sel), dan diidentifikasi pada aras fenotipik dan molekuler sebagai Bacillus megaterium PSA-I0. Hasil optimasi kerusakan sagu tercepat dicapai oleh isolat TJ2 atau TG-31, dan yang diidentifikasi pada aras fenotipik dan molekuler sebagai Bacillus cereus TG-31 SUMMARY Study on the deteriorationof sago starch in Indonesia. Marginalisation of sago starch as food stuff in Papua and East Indonesia's tribe because of unwise of government policy by changing of sago starch to be rice. This moment accured" in 1884 when Indonesian goverment had ability to be self supporting in rice production, this situation made sago becoming the second food on especially event, party. Quantity and quality of sago production in Indonesia. One million ha of sago trees in Papua and outside Papua produced more than 11 tons dry sago/ha/year, so stock of sago for food industries is more than enough. How the quality of sago Indonesia? Generally sago starch prepared traditionally methodes so the sanitaries is not enough for mantain contaminant of microbes producing organic acid which causing deteriration of sago and the impact of product become changing in colour, aroma, taste. Many microbes producing organic acid and could deteriorate of sago, i.g. genera ofbakteri: Bacillus, lactobacillus, Pseudomonas, Streptococcus, Lactococcus, Acetobacter, and Enterobacter; fungi: sme of Aspergillus, Neurospora, Rhizopus and Lentinula, while yeast was Saccharomyces cerevisiae. This microbes ussualy produce organic acid, like acetic, lactate,fromic, propionic, butyric, valeric etc. Formerly rsesearch found 52 strain of bacteria isolated from raw sago, so needed more isolates for this research. The purpose of deterioration research of sago is to find out the number of bacteria which have ability to produce those organic acids by isolation, selection, optimization and characterization measures. Other alternatives measure for utilization of sago in Indonesia. This raw materials sago has a content which can be utilized as raw material ofbiofuel production (ethanol, aceton, butanol, etc.), chemical stock (acetic acid, lactic acid, propionic acid, citric acid, etc.), and food. All of the products need raw materials with high standard of hygienes. Food and fed production using sago as raw material is less prospectus so other alternative utilization is converting sago to bioplastics. v

Plastics demand globally (pE, PVC, and PP) in 1990 more than 717.000 tons and increased becoming 1.580.000 tons in 1996, these kinds of plastic were really undegradable and caused environmental pollution in the agricultuallands, water-rivers, lakes, etc. How many millions $ US losses because of impact undegradable plastics? How to control of plastic pollutions in the environments? Generally measures are burning, land fill, and recycle, the cheapest and simples one is burning, but negative impact burning process is producing carcinogenic toxin like dioxin and CI ion. Development of producing bioplastics based on the sago starch is one of alternative measures solving the of undegradable plastics problem. Sago starch has competitive and comaparative values others than available substrates in several provincies in indonesia. What the features of sago for bioplastics production? The content of sago like high content ofC (carbone), andsmall amount ofN (nitrogen), P (phosphate), and K (potassium) elements could stimulate and becoming the triger of accumulating granules in the cell of microbes. High content of granules in the cell of bacteria analog with high production of poly-~-hydroxybutyrate(PHB). The numbers of bakteria PHB producer that are Bacillus amiloliquifaciens, B. Amylolyticus, B. Subtilis, B. Polymixa from starch as a substrate and Alcaligenes, Azotobacter, Micrococcus and Pseudomonas which converting glucose to PHB, PL (poly lactate, PHA, etc.). generally hese bacteria convert starch to be PHB through saccharification process becoming glucose, then the next step glucose was assimilated to be bioplastics. Formerly rsearch found out 62 isolates from soil environments polluted tapioca wastes and they have ability to degrade amylum and produce PHB (Margino, et aI., 2000b) and 20 isolates from sago starch (Margino, 2006, unpublished data). If this research succeed in find out amylolytic bateria and converting stach to be PHB directly, so we can create the cheapest packet technology producing PHB in the near future and it has competitiveness with synthetic plastic from petroleum. This packet technology can support the government program to solve the plastics's pollution in Indonesia. The purpose of research is to find out amylolytic bacteria converting sago starch to PHB directly to suppres highly cost production industrially. Reaching the purpose to be done: isolation and selection of new amylolytic bacteria, optimization PHB production in the laboratorium scale and "scale up", characterization of selected isolates, and development of purification, blending and biodegradation methods. Output of research are to solve the causing of deterioration of sago starch and pollution of undegradable plastics. First, development of bioplastic based on the starch will support the cleaner of environment; increase the added values of sago starch and its waste. The first year research resulted in a). three PHB producing isolates from sago starch, that were PPK-5, ALD6 and PSA-I0, b) found out three sago starch deteriorating isolates that were TG-12, TG-19 and TG-19 (formely code were SPH3, TBSM1, and TJ2, respectively). Finally UGM could graduate doctor and master degree result of this research program. The second year research rsulted in a). optimaization ofPHB producing ioslates and sago starch deterioratingisolates, b). Characterization and identification those selected isolates up to spesies level. Results showed that optimization of PSA-l 0 isolate could produce PHB up to 69% (pHB/DCW) for 48 hours incubation but PKK-5 produced less than PSA-IO for 84 hours incubation, while both of them were characterized on phenotypic and molecular level and identified as Bacillus sbti/is PKK-5 and Bacillus megaterium PSA-IO, respectively. Isolates TG-12, TG-19 and TG-31 were chracterized on phenotypic and molecular level, then identified as Bacillus subti/is TG-12, Bacillus cereus TG-19, and Bacillus subti/is TG-3, respectively.
.

VI

Anda mungkin juga menyukai