Anda di halaman 1dari 18

Maaf untuk Yunita

Satu jam setelah euforia diterimanya Yunita di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian di Institut Teknologi Bandung lewat SNMPTN undangan, Yunita terpikir akan sesuatu yang mengganjal selama tiga tahun ini. Sebuah dosa, sebuah pengakuan yang belum dia lakukan di hadapan seseorang. Lebaran sudah lewat tiga kali dan Yunita belum menghubungi sekalipun orang yang bersangkutan. Setelah sholat maghrib, Yunita langsung menyerbu rak buku yang ada di kamarnya. Mencari-cari buku yang tiga tahun sudah ia abaikan. Buku yang menyimpan gambar-gambar teman-temannya selama di SMP Negeri 73 Jakarta. Ia sisir rak demi rak, buku demi buku. Nihil. Kenihilan buku tahunan SMP-nya itu membuat gatal tangannya untuk mengambil buku yang lain, dan membacanya di tempat. Tapi tidak. Rasa keharusan untuk mencari buku tahunannya itu mengalahkan egonya. Ia bangkit menuju rak buku yang ada di ruang tamu. Ia sisir lagi dengan cermat. Kali ini godaannya sedikit berkurang, karena kebanyakan adalah buku kuliah kedokteran kakaknya. Pelajaran yang berhubungan dengan biologi kurang ia sukai, ia lebih suka tentang kebumian. Sungguh beruntung dan bahagianya Yunita diterima di kebumian ITB. Sampai akhir baris rak di ruang tamu itu Yunita masih belum menemukannya. Ia frustasi. Apakah ia harus mengobrak-abrik gudang yang penuh debu demi informasi tentang seseorang itu? Ia coba untuk mengulangi pencariannya ke rak pertama. Dan ketemu. Ternyata terlewat di paling awal rak. Tanpa ba-bi-bu lagi, ia langsung mengambil buku tahunan SMP-nya itu. Seseorang itu, seorang pria yang baik hati. Seseorang itu, si pemurah senyum dan rendah hati. Seseorang itu, sering memberikan senyum dan perhatiannya kepada Yunita. Dan yang paling penting untuk menunjang pencarian info, seseorang itu, teman sekelasnya di tahun terakhir Yunita di SMP. Achmad Fauzi 085711441525 fauzi-achmad@gmail.com Pinang Ranti Mansion Blok D2-18 Kecamatan Makasar, Jak-Tim

Senangnya Yunita tak perlu bertanya kesana kemari untuk bertemu dengan orang yang dituju. Ia mengambil blackberry-nya dan mulai menekan keyboardnya. Tangan Yunita terasa bergetar. Ia merasa takut. Takut akan reaksi Fauzi. Takut akan caci-maki Fauzi. Ia takut karena kesalahannya yang dulu pada Fauzi. Apa yang harus aku katakan? Apakah ia masih ingat padaku? Mungkin ada sedikit kebaikan yang pernah ku lakukan padanya, tapi menurutku kesalahanku padanya jauh lebih besar. Aku yakin Fauzi pasti mengingat yang buruk itu. Bagaimana kalau aku malah dibentak, dicaci, dimaki? Ditanya siapa kamu dan apa maumu. Atau masih berani lo menghubungi gue?. Sejuta pikiran negatif mengurungkan Yunita menekan tombol hijau. Ia urung untuk menelpon Fauzi. Ia pandangi buku tahunannya lagi, mencari alternatif penguhubungan. Kalau e-mail butuh waktu yang cukup lama. Belum request, belum accept, belum onlinenya...... Coret opsi email. Pilihan terakhirnya adalah alamatnya. Alamat rumah. Bagaimana kalau aku tersesat nanti dalam pencarian rumahnya? Bagaimana kalau aku diculik karena rumahnya dekat dengan daerah rawan bahaya? Bagaimana kalau aku diusir di depan pintu rumahnya sebelum aku mengucapkan salam? Bagaimana kalau aku.......... Ia lirik jam dinding. Sudah jam 7 lewat 10 menit. Besok ia harus mengurus berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran ulang. Tetapi daftar ulang masih 2 minggu lagi. Bisalah diundur mengurus berkasnya. Besok berarti jadwal Yunita kosong. Akan ia manfaatkan untuk mencari alamat Fauzi. Ia membulatkan tekad. Apapun yang terjadi, ia harus bertemu Fauzi. Kalau besok gagal, ia akan coba lagi esok harinya. Nita! Ayo makan! Terdengar teriakan ibunya dari arah dapur untuk makan malam, ia segera beranjak dari duduk bersilanya di depan rak buku ruang tamu. Iya, Ma! Terdengar adzan subuh. Terbangunlah Yunita. Ia lirik jam dinding Barbie peninggalan kakaknya yang sudah merantau duluan ke Bandung. Masih jam

setengah 5. Teringat ia akan rencananya hari ini, ia langsung bangun untuk mengambil air wudhu dan sholat berjamaan dengan ayah dan ibunya. Setelah sholat subuh ia berdoa agar kelancaran dalam perjuangan meminta maaf kepada teman lama ini. Doa demi doa, dzikir demi dzikir... membuatnya lebih tenang. Nita? Hari ini mau kemana? tanya ibunya yang masih berbalutkan mukena di sebelahnya. Yunita merasa canggung untuk menjawab pertanyaan ibunya ini. Masya Allah. Apa yang harus aku katakan pada ibuku? Pasti akan terasa aneh jika aku menjawab, Aku ingin bertemu teman lamaku untuk meminta maaf akan kesalahanku 3 tahun yang lalu, Ibu. Haruskah aku berbohong? Aku tidak bisa dan tidak mau berbohong. Apa aku bilang saja kalau aku akan pergi mencari rumah seorang teman? Aku yakin ibu takkan setuju kalau aku berkata seperti itu. Yunita berusaha untuk menjawabnya santai tanpa terbata-bata agar tidak dicurigai. Hm, aku mau ketemu teman besok. Boleh kan, Ibu? Oh ketemu temen? Oh ya sudah. Asal berkas untuk daftar ulangmu kelar ya. Minggu depan kan daftar ulangnya? Dua minggu lagi kok, Ibu. Tenang saja akan aku urus. Yunita lega sekali mendengarnya. Ia hanya berkata secukupnya saja, namun juga tidak berbohong. Sehabis sholat subuh ia langsung mengganti bajunya, dan melakukan jogging pagi. Sungguh deg-deg-an Yunita akan rencananya hari ini. Embun pagi yang menerpa wajahnya, udara bersih di pagi hari yang menyelimuti paruparunya, sungguh anugrah yang luar biasa. Jam 8 pagi, seusai sholat dhuha dan ayah ibunya sudah berangkat kerja, Yunita menyalakan mesin mobilnya. Bersiap untuk melakukan perjalanan panjang. Yunita sih inginnya perjalanan pendek. Yunita berharap Fauzi masih beralamatkan sesuai dengan yang tertera dalam buku tahunan SMP-nya. Ia hanya membawa uang secukupnya, buku tahunan, dan telepon genggamnya. Meluncurlah Yunita menuju Pinang Ranti Mansion.

Sampailah Yunita di depan gerbang Perumahan Pinang Ranti Mansion. Ada 4 satpam yang berjaga di gerbang depan. Terlihat ramah. Yunita memutar stirnya dan membuka kacanya. Dengan senyum-salam-sapa-nya Pertamina, Yunita disapa. Selamat pagi, Mbak. Yunita mengeluarkan kepalanya sedikit. Selamat pagi, Pak. Blok D2 nomor 18 dimana ya? Mau bertemu dengan siapa ya, Mbak? Mau bertemu dengan teman saya. Achmad Fauzi namanya. Apakah ia masih tinggal di sini? Sedikit Yunita melirik nama yang tertera di dada kanan Pak Satpam yang sedang ia ajak bicara ini. Iman Salman. Waduh saya kurang tahu ya. Kami Cuma tau nama pemilikn ya. Di daftar penghuni, blok D2 nomor 18 dihuni dengan Bapak Abdurrahman. Deg. Dada Yunita tersentak. Apakah Fauzi sudah pindah? Kalau sudah pindah, kemana lagi aku harus mencari? Namun, mungkinkah Bapak Abdurrahman yang disebutkan Pak Satpam tadi adalah ayahnya Fauzi? Mungkin itu nama ayahnya. Ada daftar nama anak-anaknya tidak, Pak? Kami tidak punya datanya, Mbak. Kalau begitu saya minta KTP mbak saja, lalu mbak masuk. Blok D2 itu tinggal lurus, lalu belokan kedua di kiri langsung belok saja. Nomor 18 kalau tidak salah paling pojok dekat taman. Yunita mengambil KTP-nya dan menyerahkan kepada Pak Iman. Baiklah terima kasih banyak, Pak. Gerbang terbuka. Yunita menginjak gas dengan perlahan lalu memutar stir ke arah kiri pada belokan kedua di kiri. Matanya melirik ke kiri dan kanan mencari-cari nomor 18. Untunglah di sepanjang jalan tidak ada apapun yang berkemungkinan untuk ditabrak. Ah! Dapat! Benar kata Pak Iman tadi, nomor 18 ada di pojok dekat taman. Ia memarkirkan mobilnya di tepi taman, lalu bercermin di cermin spion tengah mobilnya membenarkan kerudungnya dan kemejanya.

Apakah Fauzi masih tinggal disini? Kalau dia masih tinggal disini, kirakira apakah dia masih mengenalku? Aku harus bicara apa ya?

Astaghfirullahaladzim aku terlalu khawatir. Baiklah, bismillahirrahmaanirrahim. Ia keluar dari mobilnya. Ia memasuki rumah yang bernomor 18 ini. Ada mobil BMW hitam mengkilat parkir di garasi yang terbuka. Ia mengetuk pintu. Assalamualaikum...... GUK! GUK! Sungguh terkejut Yunita seekor anjing membalas salamnya. Ternyata ada seekor anjing di pojok halaman rumah. Alhamdulillah anjing itu sedang diikat oleh majikannya. Yunita ketakutan. Mata anjing itu begitu tajam. Yunita memang menyukai binatang, termasuk anjing. Namun bukan anjing galak seperti yang dipakai polisi untuk melacak sesuatu seperti yang ada di hadapannya ini. Yunita jadi tidak yakin ini rumah Fauzi. Terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Namun ia mencoba tenang dan menunggu penghuninya keluar. Ternyata yang keluar adalah pembantunya yang sudah berumur. Waalaikumsalam, Non. Mau bertemu dengan siapa, ya? Saya ingin bertemu dengan Achmad Fauzi. Ada Fauzinya tidak, Bu? Air muka ibu yang ada di hadapannya ini berubah. Achmad? Penghuni rumah ini non-Islam, Mbak. Yunita kecewa. Fauzi sudah tidak tinggal di sini lagi. Kemana lagi ia harus mencari? Mungkin Yunita bisa menelponnya, tapi ia ingin bertemu langsung. Tanpa telepon. Pokoknya langsung. Bukannya penghuninya Bapak Abdurrahman? Bukannya nama Abdurrahman nama seorang muslim? Mbak tahu dari mana pemilik rumah ini Pak Abdur? Pak Abdur itu nomor 17. Di sini Pak Stevan. Salah rumah mungkin, Mbak? Masya Allah. Saya tahu dari Pak Satpam. Sejak kapan Pak Stevan menghuni rumah ini? Setahun yang lalu, Mbak. Memangnya ada apa ya? Ibu tahu tidak penghuni rumah yang lama ini pindah ke mana? Yah ibu kurang tahu, Mbak....

Yunita menghela nafas panjang. Baiklah terima kasih, Bu. Maaf mengganggu. Assalamualaikum... Waalaikumsalam.... Yunita membalikkan badannya, keluar dari pekarangan rumah nomor 18 sambil diiringi gonggongan anjing galak tadi. Kemana lagi ia harus melangkahkan kaki? Kemana lagi ia harus membawa mobilnya? Yunita menyalakan mesin mobilnya lagi. Duduk termenung sebentar di hadapan stir. Ia mengeluarkan telepon genggamnya lalu menghubungi salah satu temannya yang bersekolah di SMA 14 juga, Ari Hidayat. Ada secercah harapan, Ari di seberang sana mengangkat teleponnya. Halo assalammualaikum? Waalaikumsalam, Ari. Ini Yunita. Oh, ada apa, Nit? Kamu kenal Achmad Fauzi? Dia SMA 14 juga. Yah aku kenalnya Fauzi Ramadhan. Aku tau sih Achmad Fauzi. Dia anggota OSIS. Tapi aku ga kenal sama dia. Cuma sekadar tahu saja. Maaf, Nit. Astaghfirullahaladzim. Sekali lagi Yunita terpukul mendengarnya. Baiklah Ari. Terima kasih. Assalamualaikum. Waalaikumsalam... Telepon terputus. Yunita memandangi layar blackberry-nya. Sun, May 27, 2012. Ya Allah sudah tanggal 27 Mei. Aku belum bayar sedekah ke Panti Asuhan dan Yatim Piatu Mekar Sari. Yunita rutin mengeluarkan sedekah ke panti asuhan setiap bulannya. Namun bulan ini bulan sibuk persiapan SNMPTN, ia jadi lupa dengan sedekah yang sudah biasa ia lakukan. Langsung saja ia transfer uang ke rekening panti lewat blackberry-nya. Tak tahu lagi harus bagaimana, ia keluar perumahan itu. Tak lupa ia ambil KTP-nya dari Pak Satpam. Ingin sekali ia menegur Pak Satpamnya karena salah memberi informasi, tapi ia menahannya.

Bagaimana, Mbak? Ketemu? Yunita menghentikan mobilnya sejenak. Tidak, Pak. Sudah pindah. Terima kasih banyak, Pak. Yunita tersenyum simpul. Gerbang dibuka. Mobil Yunita berjalan pelan karena langsung berhadapan dengan jalan raya. Diberhentikannya mobilnya itu, dan dilihatnya kanan dan kiri. BRAK!! Mobil Toyota Vios dari arah kiri menuju ke arah kanan, ditabrak oleh mobil Jazz merah yang melaju sangat kencang dari arah kanan. Yunita menolehkan kepalanya menuju sumber suara. Terlihat mobil Jazz merah melayang dari kanan. Yunita spontan menginjak rem, belum masuk ke jalan raya. GUBRAK! Mobil Jazz merah itu terbanting dengan posisi terbalik persis 2 meter di hadapan mobil Yunita. Jantung Yunita berdebar kencang. Baru saja Yunita mengalami near death experience. Astaghfirullahalazim. Astaghrifullahaladzim. Astaghfirullahaladzim. Apa jadinya aku kalau tidak diajak bicara sebentar oleh Pak Satpam tadi? Terlihat asap mengepul dari mesin yang terlihat jelas karena kap mobilnya rusak dan posisi mobilnya terbalik. Ya Allah. Kalau 4 detik yang lalu aku mengabaikan Pak Satpam yang sudah ramah membantuku walaupun salah aku pasti sudah tertimpa mobil Jazz merah ini. Astaghfirullahaladzim... Para Satpam yang berjaga di depan langsung menghampiri mobil Jazz merah dengan asap yang mengepul ke atas. Warga yang berada di sekitar ikut turun tangan. Tangan Yunita bergetar. Ia langsung keluar mobilnya ikut menghampiri. Mungkin masih ada kesempatan hidup bagi siapapun yang berada di dalam mobil yang terbalik ini, jadi ia bisa membawanya ke rumah sakit terdekat. Di tengah kerumunan yang sedang berusaha mengeluarkan pengemudi mobil Jazz merah ini, Yunita memilih menyingkir dahulu. Bapak-bapak sekalian, saya bersedia mengantar korban ke rumah sakit terdekat. Yunita berseru dengan suara lantang.

Ke Rumah Sakit Haji saja! Tinggal lurus, lalu belok kiri! sahut seorang pemuda yang ada di sebelahnya. Sang korban berhasil dikeluarkan dari mobil. Berlumuran darah di bagian dahi dan bahunya. Masih bernafaskah, bapak? Yunita maju mendekati sang korban. Sang korban tak menjawab. Sudah bawa saja ke rumah sakit. Dia masih bernafas! Ditemani Pak Satpam Pak Iman tentunya Yunita membawa sang korban ke UGD Rumah Sakit Haji. Setelah menurunkan korban, ia memarkirkan mobilnya. Parkiran Rumah Sakit Haji sedang penuh. Ia perlu berputar 2 kali untuk mendapatkan parkir. Jok mobilnya terkena bercak-bercak darah. Tapi tak apa, joknya dilapisi bahan kulit. Bisa dibersihkan. Mungkin seharusnya Yunita melanjutkan pencariannya. Namun ia urung. Tiba-tiba ia mengkhawatirkan sang korban. Ia memutuskan untuk masuk ke UGD lagi. Di dalam lobby rumah sakit, ia mendapati Pak Iman menunggu di pojokan. Saat mata mereka saling bertemu, Pak Iman bergegas menghampiri Yunita. Mbak, saya harus pulang. Anak saya demam mendadak. Tidak apa-apa kan, Mbak saya tinggal? Oh astaga. Oh Allahku. Ini benar-benar aku yang mengurus sang korban sendirian. Oh ya, ini dompet korban. Ada identitasnya di dalamnya. Susternya minta penanggung jawab administrasi. Mungkin Mbak yang lebih bisa membantu. Saya permisi dulu ya. Oh astaga. Oh tidak. Masya Allah. Aku sih ada uang, tapi apa kata ibuku kalau aku begini? Oke ini alasannya baik, tapi aku yakin aku bisa dimarahi karena terkesan membuang uang. Tapi jika dibandingkan dengan hancurnya mobiku, luka yang aku derita, dan waktu yang tersita untuk pemulihan di rumah sakit, mungkin biaya

administrasinya tak ada apa-apanya. Sungguh alhamdulillah aku bisa terhindar dari kecelakaan itu. Baiklah, saya yang akan mengurusnya. Terima kasih, Pak Ya, sama-sama. Ucapnya sambil lalu. Yunita langsung menuju loket administrasi. Sembari mengantri untuk urusan administrasi, Yunita membuka dompet yang tadi diberikan Pak Iman. Matanya langsung tertuju pada KTP pemilik dompet ini. Irvan Trihadi Geofari ternyata namanya. Dari fotonya, terlihat sebaya dengan ayahnya. Yah tak ada salahnya lah, sekali-kali menolong orang. Kalau ada rejeki ya siapa tahu balik lagi..... Terlihat Pak Irvan yang dibalut dengan perban keluar dari UGD dengan tempat tidur dorong. Yunita menghampiri perawat yang mendorong tempat tidur Pak Irvan dan mengikuti ke ruang rawat Pak Irvan. Anda siapanya pasien? tanya perawat yang di dada kirinya bertuliskan Eka Erlinda singkat. Eh.....saya keponakannya. Saya yang mengantarnya ke UGD tadi. Sampai di ruang rawat Yunita ditinggal berdua dengan Pak Irvan. Yunita memandangi Pak Irvan yang matanya tertutup, dan dengan perban di sana sini. Tiba-tiba mata Pak Irvan terbuka cepat dan memandang Yunita empat mata. Yunita terkejut. Terima....kasih, Mbak. Sama-sama, Pak. Bapak tidak terkena luka berat kan, Pak? Alhamdulillah tidak. Alhamdulillah saya masih sadar dan masih bisa berbicara lancar. Mbak ini siapa kok mau menolong saya? Saya sampai masuk ruang VIP begini? Pasti pakai uang Mbak. Kalau saya sudah sembuh akan saya ganti. Pak Irvan terlihat meraba-raba kantong celananya mencari dompetnya. Tenang, Pak. Ini dompet Bapak. Isinya terjamin, kecuali KTP-nya. Lagi ditahan di loket administrasi.

Ya Allah masih ada orang baik di dunia ini. Kembali ke pertanyaan saya tadi, Mbak ini siapa? Yunita tersenyum simpul. Saya hamba Allah yang sedang tersesat, Pak. Kebetulan Bapak butuh pertolongan, yaa tidak ada salahnya saya menolong. Tersesat mencari apa? Mencari alamat seorang teman lama. Aku sudah berdosa padanya, namun 3 lebaran telah berlalu dan aku belum pernah sekalipun meminta maaf padanya, karena lost contact. Siapa teman Mbak? Teman SMA, kah? Teman SMP. Saya kelas 3 SMA, tapi sudah mau menuju ke jenjang yang lebih tinggi setelah pengumuman SNMPTN undangan kemarin. Loh? Anak saya juga kemarin diterima di SNMPTN undangan. Dapat Teknik Kimia UI. Kalau mbak kemana? Ke Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Pak. Anak bapak SMA mana? SMA yang ada di daerah Halim apa ya....lupa. Oh ya di SMAN 14! Ah! Fauzi di SMA 14 juga! Dengan bibir yang bergetar, Yunita bertanya, Kalau boleh tahu, nama anak Bapak siapa ya? Achmad Fauzi. Subhanallah. Subhanallah. Sungguh berkah hari ini. Alhamdulillah aku langsung diberi petunjuk. Langsung. Setelah aku mentransfer sedekah bulananku, setelah aku menahan amarahku kepada Pak Iman, setelah aku memutuskan untuk menyedekahkan sebagian uangku untuk mengurus biaya administrasi Pak Irvan..... Pertolongan Allah langsung datang begitu saja. Subhanallah. Tahukah Bapak siapa teman lama yang sedang kucari itu? Achmad Fauzi. Anak bapak. Pak Irvan tertegun mendengarnya. Yang namanya Achmad Fauzi kan banyak. Kamu yakin? Dulu kamu SMP mana? SMPN 73 Pak, yang di Tebet.

Subhanallah. Saya yakin anak saya benar-benar Achmad Fauzi yang kamu cari. Di balik foto saya bersama istri saya di dompet saya itu, ada foto keempat anak-anak saya. Coba kamu lihat. Maaf ya Pak, saya buka-buka dompetnya. Ternyata benar. Ada foto Fauzi di antara tiga orang lainnya. Yunita sampai tak bisa berkata-apa apa lagi. Alhamdulillah benar, Pak. Ini Fauzi yang saya maksud. Bapak tahu Fauzi sedang berada di mana? Tadi pagi sih dia izin mau mengajar di panti asuhan. Mengajar Bahasa Inggris katanya. Panti asuhannya apa ya? Mekar Asri kalau tidak salah. Eh Mekar Sari. Itu loh yang ada di daerah Tebet. Yunita tersentak. Tiba-tiba ia merasa dunia sangat sempit. Dan pertolongan Allah sungguhlah dekat. Bapak saya tinggal sebentar ya Pak? Saya ingin bertemu dengan Fauzi. Nanti saya akan meminta Fauzi kesini. Oh, mau bicara ya? Ya tak apa-apa. Mbak sudah nolongin saya saja saya sudah alhamdulillah. Saya permisi dulu ya, Pak. Assalamualaikum... Waalaikumsalam... Terima kasih banyak ya, Mbak. Yunita mengangguk dan tersenyum, sembari tangannya menarik pintu dan berlari keluar menuju parkiran. Sampailah Yunita di Panti Asuhan Mekar Sari. Turunlah ia dengan bibir dan jari yang gemetar. Terdengar suara ramainya anak-anak yang sedang belajar. Eh, Mbak Juni! Juni. Ia menyamarkan namanya kepada komunitas panti. Ibu Risma, selaku pengelola panti, dengan wajah berserinya menyambut kedatangan Yunita. Yunita mengembangkan senyumnya. Ia bersalaman dengan Bu Risma di halaman depan panti. Assalamualaikum Ibu, apakabar? Bagaimana kabar panti?

Waalaikumsalam, Mbak Jun. Alhamdulillah donatur semakin banyak. Anak-anak semakin sejahtera, alhamdulillah... Ada juga relawan dari anak-anak SMA yang mau mengajar di sini... Pintu kelas terbuka. Anak-anak berhamburan ke luar. Sebagian ke toilet, sebagian ke taman, sebagian ke kamar masing-masing, sebagian keluar ke depan sembari memberikan cium tangan kepada Yunita. Mbak Juni!! Anak-anak panti memang sering dikunjungi Yunita. Namun karena beberapa bulan ini Yunita sibuk persiapan SNMPTN, Yunita jadi sangat jarang berkunjung. Mbak Juni kemana saja kok nggak pernah ke panti lagi? protes Gisa, salah satu anak panti yang kenal dekat dengan Yunita. Yang lain juga mulai protes. Yunita senang dan terasa bahagia mendengar celotehan mereka lagi. Mbak Juni sibuk persiapan ujian buat nyari kuliah. Maaf ya temanteman.... Oh jadi ini Mbak Juni yang terkenal itu? Sosok pria mendatangi Yunita yang sedang dikerumuni anak-anak. Yunita menolehkan kepalanya ke sumber suara. Fauzi. Achmad Fauzi. Teman yang sedang ia cari selama ini, sekarang tepat berada di hadapannya. Yunita terdiam. Hanya matanya saja yang terpaku memandang teman lamanya yang sekarang menjadi lebih tinggi 20cm. Yunita memandang Fauzi datar. Tak tahu harus bicara apa. Ada mungkin sekitar 5 detik ia memandang Fauzi datar. Anak-anak yang mengelilinginya tadi sudah meninggalkannya, sudah sibuk bermain dengan teman-temannya. Yunita? Astaga. Dia masih mengenalku. Apakah ia masih mengingat dosaku? Fa....Fauzi...? Yunita masih berdiri, terpaku. Ada jutaan kalimat yang ingin ia lontarkan pada teman lamanya ini, namun rasanya ada yang menahan tenggorokannya. Jadi Yunita toh yang namanya Mbak Juni? Kok bengong? tanya Fauzi memecah keheningan. Mimik mukanya terlihat ceria.

Jadi kalian saling mengenal? Bu Risma menengahi. Fauzi begitu luwes membawa suasana. Dia kan namanya Yunita, Bu. Dari mana asalnya Juni? Ada berbagai alasan aku meminta orang panti untuk memanggilku Juni. Akhirnya Yunita angkat suara. Bu Risma, boleh pinjam Fauzi sebentar? Apakah setelah ini ada jadwal mengajar lagi? Ada sih sebenarnya, tapi bisa diatur kok. Dan relawannya juga bukan Fauzi saja. Memangnya ada apa nih kok pakai minjem segala, Mbak? Sebenarnya aku ke panti ini untuk mencari Fauzi, Bu Ris. Ingin bicara 4 mata. Dan ada sesuatu yang harus aku katakan pada Fauzi. Fauzi mengerutkan keningnya. Loh ada apa, Nit? Ada perlu apa sama Fauzi? Tiba-tiba muncul dan langsung minta waktu buat ngomong 4 mata? Nanti Yunita jelaskan, pokoknya masuk mobilku dulu ya. Ibu Risma, aku permisi dulu. Assalamualaikum.... Waalaikumsalam... Yunita dan Fauzi berjalan keluar panti. Mereka berdua masuk mobil, dan pergi. Di sebuah kedai bakso Yunita memulai tujuannya. Dah, Nit. Sekarang mau cerita apa? Yunita menunduk. Maafkan aku, Fauzi. Fauzi tertegun. Memangnya kamu salah apa? Tidakkah kau ingat perlakuan burukku padamu waktu kita masih kelas 3 SMP? Tidakkah kau ingat betapa baiknya dirimu dan betapa brengseknya diriku? Dulu kau adalah teman yang sungguh baik, dan aku telah menyia-nyiakanmu. Aku sering jutek dan sering ketus padamu. Ingat waktu perpisahan kelas 3? Ingat waktu aku meninggalkanmu di bus tidak mengajakmu bermain bersama? Ingatkah kamu waktu aku memberikan pandangan yang tajam saat kau memberiku senyum terbaikmu? Tidakkah kau..... Stop.

Maaf aku terlalu banyak berbicara. Tapi rasa bersalahku ini sering menghantuiku selama ini. Aku merasa berdosa, Fauzi. Kamu tau aku kesulitan mencari alamatmu, tapi yaa beruntung aku bertemu ayahmu tadi pagi di jalan. Ayahku? Soal ayahmu akan kuceritakan nanti. Kembali ke pengakuan dosaku, Zi. Maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud.... Oke... oke. Cukup sampai disitu, Nit. Fauzi sudah melupakan semuanya. Maksudnya, Fauzi sudah melupakan semua perlakuan buruk Yunita.... Dada Yunita nyeri. Sungguh bodoh ia telah menyia-nyiakan teman yang luar biasa seperti yang sedang berada di hadapannya ini. Fauzi tadinya membenci Yunita. Yunita itu pintar. Awalnya baik pada Fauzi. Tapi lama-lama menjadi galak. Tadinya Fauzi kesal dan muak pada Yunita. Namun setelah mendengar cerita dari Lisa kalau Yunita benar-benar terpuruk pada masa itu, Fauzi mengerti. Fauzi yakin Yunita masih ingat Lisa. Kalau Fauzi berada di posisi Yunita, mungkin Fauzi sudah pakai narkoba kali. Tapi naudzubillah min dzalik deh, Nit. Untungnya kamu yang mendapatkan ujian itu, bukan aku. Wajah Yunita cemberut. Ih jahat banget. Eh dengerin Fauzi dulu. Itu semua karena Allah tau, Cuma Yunita yang bisa mengatasi semua masalah itu. Yunita menunduk. Tersenyum kecil. Lihat diri Yunita sekarang. Lancar dan sejahtera, bukan? Badai sudah berlalu, bukan? Fauzi senang pernah bisa membantu Yunita. Yah walaupun Cuma menjadi pelampiasan emosi, Fauzi tetap senang... Subhanallah Fauzi. Kamu semakin membuat diriku semakin merasa bersalah. Sungguh brengsek sekali diriku dulu. Mungkin sekarang masih... Masya Allah Yunita. Jangan ngomong gitu. Kalau brengsek, panti mungkin tak semaju sekarang. Sering Fauzi iri dengan Mbak Juni. Ingin bertemu hebatnya Mbak Juni yang sering dibicarakan anak-anak panti. Ah mereka hanya berlebihan. Aku ya kalau ada rejeki ya bisa lah berbagi. Mumpung masih ada umur...

Ngomong-ngomong, Yunita makin cantik.... Yunita mengangkat wajahnya. Kok jadi keluar dari topik pembicaraan. Aku yakin matamu minus, Zi. Aku ini tidak cantik. Biasa aja. Tidak seperti Megan Fox. Fauzi tersenyum simpul. Ia mengambil dompetnya, mengeluarkan selembar foto, dan menunjukkannya kepada Yunita. Lihat deh. Kalau dulu cantik sih. Tapi lebih cantik yang sekarang.... Yunita tertegun. Ia memandangi Fauzi dengan mimik poker face. Bagaimana bisa fotoku ada di dalam dompetmu, Zi? Fauzi terkejut. Astaghfirullahaladzim. Fauzi merebut fotonya dari Yunita. Astaga, aduh. Ketahuan deh.... Ketahuan apa? Fauzi benci aku ya? Fauzi nyantet aku ya, sampai bawabawa foto aku di dompet Fauzi? Fauzi menghelan nafas panjang. Ia menjadi tertunduk, tak berani memandang wanita yang berada di hadapannya. Sebenarnya, Nit. Fauzi dulu menyukai Yunita. Yunita tersentak. Bagaimana bisa seorang pria menyukai wanita galak? Ah kamu lebih....pokoknya lebih dari kamu menilai dirimu sendiri. Menurutmu kamu brengsek, menurut Fauzi kamu mulia. Menurutmu kamu tidak cantik, tapi menurut Fauzi kamu cantik. Kamu tidak galak, kamu tegas. Sudah 3 tahun tidak bertemu ya kita, Nit. Aku terkejut sekali loh melihatmu muncul di depan panti. Nggak nyangka Mbak Juni adalah dirimu... Yunita memandang ke luar. Tak berani memandang Fauzi. Kalau kau memang menyukaiku, kenapa tidak ada telepon, sms, atau e-mail yang kau kirimkan padaku? Kau tau, perjuangan sekali untuk bertemu denganmu. Fauzi malu, Nit. Selama SMA Fauzi mencari pengganti Yunita. Ada tiga wanita lain. Tetapi Fauzi tidak pernah sreg, seperti yang Fauzi rasakan bersama Yunita dahulu. Susah deh mencari pengganti Yunita. Makanya foto Yunita masih ada di dompet. Di balik foto lain. Yah intinya foto Yunita selalu ada di dompet.. Yunita menghela nafas panjang. Complicated ya, kamu. Yunita tersenyum sambil mengaduk-aduk bakso di hadapannya. Jadi, kamu memaafkanku, kan?

Tentu saja, Nit. Fauzi mulai menyantap baksonya yang tadi tertunda karena pengakuan dosa Yunita. Makan dulu deh, nanti keburu dingin. Tumben ya Jakarta dingin. Mau hujan ini. Enak banget ya makan bakso mendungmendung kayak begini... Satu lagi, Zi. Soal ayahmu. Tadi pagi mobil papamu terpental, dan terbanting pas di hadapanku. Astaghfirullahaladzhim! Lalu ayahku sekarang ada di mana? Fauzi terlihat panik. Ia berseru dengan mulut yang masih terisi makanan. Ayo telan dulu, Zi. Aku sudah membawa ayahmu ke UGD rumah sakit terdekat. Itu loh di Rumah Sakit Haji. Alhamdulillah Cuma luka robek, dan memar sedikit. Sungguh keajaiban ayahmu bisa selamat. Ayahmu tetap sadar kok, makanya aku bisa mengobrol dan akhirnya bisa menemuimu sekarang. Kondisinya baik-baik saja terakhir aku bertemu dengannya satu jam yang lalu. Benar-benar terpelentang loh mobil Jazz merahnya. Di hadapanku. Tadi pagi pas aku keluar dari rumahmu yang lama, di Pinang Ranti Mansion. Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Nit, sudah menolong ayahku. Oh ya, aku belum pindah kok dari Pinang Ranti Mansion. Tapi aku datangi rumahmu di blok D2 nomor 18, sudah dihuni oleh Pak Sevan. Eh Stevan deng. Pasti Yunita lihat di buku tahunan SMP ya? Itu salah ketik. Harusnya B2 nomor 18. Ah ya ampun. Aku sudah frustasi tadi. Mana rumah Pak Stevan ada anjing super galaknya lagi... Ngomong-ngomong gimana kabar mobil Jazz-nya? Setelah aku membawa ayahmu, mobil Jazz-nya diderek. Kayaknya rusak berat deh. Itu mobil ayahmu kan? Aduuh. Masya Allah. Memang mobil itu dibawa ayahku, tapi mobil itu hasil jerih payahku untuk memenangkan undian berhadiah bulan lalu itu.... Yunita tersenyum kecil. Hebat sekali, mobil itu hasil keringatmu sendiri. Biasanya mobil ayahnya yang dirusak oleh anak laki-lakinya yang nakal, tapi ini

malah kebalikannya. Allah tahu, hanya kamu yang bisa mengatasi ini, Zi. Syukurlah aku tidak mengalaminya. Ih Yunita meledek Fauzi ya? Tidak. Aku hanya meniru dirimu. Kau tau, aku sangat senang hari ini. Doa pagi ini benar-benar terkabul. Walaupun awalnya penuh dengan pilihan sulit, tapi pada akhirnya berujung manis. Aku senang sekali bertemu lagi denganmu, Zi. Yunita menyilangkan sendok dan garpunya pertanda baksonya sudah habis. Mobil Yunita sudah berada di depan Rumah Sakit Haji Jakarta. Yah sudah sampai. Padahal Fauzi masih ingin mengobrol banyak dengan Yunita. Boleh kan kalau kapan-kapan kita bertemu lagi? Boleh saja. Tapi kamu sudah ke UI ya? Iya alhamdulillah. Jadi tidak usah pusing-pusing lagi memikirkan ujian. Gimana pengumuman SNMPTN undangannya kamu? Alhamdulillah dapet di kebumian ITB. Yah, nggak sekampus dong... Keduanya saling terdiam, dan tersenyum satu sama lain. Terima kasih banyak ya sudah memaafkanku. Aku kira aku akan dicaci, dimaki, pokoknya aku sudah membayangkan yang buruk-buruk saja deh. Sama-sama, Nit. Fauzi juga terima kasih. Terima kasih telah menolong ayah Fauzi. Fauzi membuka pintu mobil, lalu menutupnya. Sebelum Yunita menekan gas mobilnya, ia membuka kaca jendelanya dan melambaikan tangannya. Assalamualaikum Fauzi.... Waalaikumsalam, Nit. Hati-hati di jalan ya.... Salam buat ayahmu ya..... Mobil Yunita perlahan berlalu. Fauzi memandangi mobil Yunita yang sedang antri di Secure Parking. Fauzi berlari kencang menyusul mobil Yunita. Masih ada 7 mobil di depan mobil Yunita.

Yunita!!! Yunita yang sedang memperhatikan bensin-meter, terkejut mendengar seseorang meneriakkan namanya. Ia memandang spion tengah, terlihat Fauzi sedang berlari ke arahnya. Yunita membuka kaca jendelanya. Ada apa, Zi? Sambil tersengal-sengal, Fauzi bertanya, Bolehkah aku meminta nomor teleponmu, Nit?

Anda mungkin juga menyukai