Anda di halaman 1dari 2

Pria di Balik Genteng Waktu menunjukkan pukul 10 malam.

Lisa selesai belajar ia menutup buku kalkulusnya, lalu keluar menggelar matras merahnya di atap rumahnya. Ada lahan kosong berukuran 8x2 meter yang landai di atap rumahnya. Di situ lah Lisa menggelar matrasnya. Sering kali Lisa berdiam diri menatap langit malam. Sekadar untuk melepas penat, untuk mengisi kebutuhan dirinya akan waktu untuk sendirian, atau bercerita sendirian kepada bintang-bintang. Lisa sering merasa dirinya gila karena suka berbicara sendiri, tapi Lisa sangat menikmatinya. Dear bintang yang berada 40o di kananku. Malam ini aku akan memanggilmu... Dean. Oke, Dean. Hari ini aku lelah sekaligus senang sekali. Aku lelah sekali karena tadi overtraining. Tugas kelompok juga belum selesai. Kotak pensilku hilang di ruang K3929. Tidak hilang sih, cuma ketinggalan. Takutnya hilang kalau mau diambil besok. Ya sudahlah. Dan yang membuatku senang hari ini adalah... akhirnya masalahku dengan ibu dosen yang paling galak itu selesai. Tugasku terselip di map gado-gado beliau yang beliau buang. Tega sekali Bu Miranda. Untung ada Billy yang begitu baiknya menemukan tugasku. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Billy. Bagaimana dia bisa ingat kalau tugasku ada pita merahnya di kawat jilidnya? Bagaimana dia bisa notice di tempat sampah? Bagaimana dia mau mengorek-orek tempat sampah hanya untuk menemukan makalah tugasku? Semilir angin malam yang dingin menghentikan cerita Lisa yang beranjak menutupi badannya dengan selimut tipis. Di balik genteng rumah Lisa, terdengar suara nafas panjang dan detak jantung yang tidak karuan. Entahlah Dean. Rasanya senang sekali memiliki sahabat seperti Billy. Kau tau, Dean? Aku benci sekali melihat anak-anak berandal itu menjahili Billy. Ingat sekali perkataan Dirga yang menyayat hati. Untung lo cewe, Lis. Aku yakin kalau aku laki-laki pasti sudah dihajar habis. Tapi mau bagaimana lagi, Dean? Aku kesal mereka seperti itu. Setelah insiden aku versus anak-anak berandal, aku jadi tahu bahwa apa yang dikatakan orang-orang tentang Billy itu salah besar. Aku semakin dekat dengan Billy. Dia...super sekali. Kami jadi berteman baik juga. Dan salah aku juga sih terlalu mendengar omongan orang-or... Terdengar suara pensil terjatuh. Lisa menghentikan ceritanya. Ia menajamkan telinganya. Hening. Di balik genteng rumah Lisa, seseorang menutup mulut dan hidungnya untuk menghilangkan suara nafasnya. Aku senang sekali memiliki teman seperti Billy. Dia hebat, Dean. Aku bangga sekali mendengar dia mendapa juara pertama lomba speech contest minggu lalu. Aku senang sekali bisa membantu dia. Senang bisa menjadi seseorang di balik kesuksesan seseorang. Ya tentu saja aku sendiri pun ingin sukses juga. Tapi pokoknya aku senang. Entah siapa ya yang nanti bisa menjadi pendamping dirinya..... Jantung seseorang di balik genteng rumah Lisa itu berdetak kencang. Seorang pria, dengan notebook dan pensil di tangannya. Kenapa ya aku bisa kepikiran seperti itu. Sejak kusuruh dia shaving, mengganti kacamata, mengubah tatanan rambutnya, dan sering memberikan masukan soal berpakaian, banyak teman-teman perempuanku yang menghubungiku. Seringkali mereka menanyakan apakah dia single atau tidak, apakah aku berpacaran dengannya atau tidak. Aku yakin sekali mereka tertarik dengan Billy. Ih, kemana mereka saat Billy terpuruk? Maunya gantengnya doang. Eh emang iya sih, Billy selama ini gantengnya ketutupan. Dia macam orang dari hutan yang nggak pernah cukuran jenggot atau kumis. Eh kok aku jadi ngomongin Billy sih? Siapa aku di matanya ya, Dean? Pacarnya? Tidak mungkin. Aku tidak secantik Citra. Atau seperti model macam Alisha. Ah sedihlah. Sahabatnya? Ah jadi sahabat sudah lebih dari cukup ternyata. Ngomong-ngomong Billy pacarnya siapa ya sekarang? Kok dia nggak pernah cerita ya? GROSAK. Terdengar suara aneh lagi. Lisa langsung sigap bangun dan beranjak menuju sumber suara. Di balik genteng rumahnya, ia dapati seorang pria dengan kaki yang tersangkut karena genteng yang ia pijak jeblos. Billy?! Tanpa basa-basi lagi ia lompati genteng rumahnya dan membantu pria itu mengeluarkan kakinya. Terima kasih, Lisa. Kini mereka berdua duduk di atap genteng rumah belakang. Agak bersandar. Tak berani memandang satu sama lain. Terlihat wajah Lisa yang sedikit memerah. Kamu ngapain sih malem-malem di atas genteng? Genteng rumah siapa sih ini? Bukannya rumah kamu di...? Sebenarnya rumahku di belakang rumah kamu, Lis. Loh kok sering aku lihat kamu pulang tidak sejalan dengan arah pulangku? Karena aku.......aku......ya gitu deh. Ih fine ya sekarang main rahasia-rahasiaan. Oh pasti kamu udah punya pacar ya jadi mau ngapel dulu ya? Eh enggak kok, kamu mikirnya negatif terus soal aku. Iya deh. Sejak kapan kamu berada di sini? Apakah kau mendengar omongan sampahku tadi? Bukan omongan sampah yang kudengar tadi, Lis. Tapi orasi yang sesuatu banget. Eh bukan orasi deng, curhat lebih tepatnya. Lisa terdiam. Billy juga terdiam. Canggung. Lisa malu sekali Billy mendengar curhatannya tadi. Dari awal sampai akhir, kah? tanya Lisa sambil membalik-balikkan notebook yang tadi dipegang Billy. Iya, dari awal sampai akhir. Dan tak ada yang aku lewatkan. Lisa diam. Matanya terbelalak melihat tulisan yang ada di notebook Billy. Kamu ngapain nulis.......semua curhatanku setiap malam? Biar aku bisa berguna sebagai sahabatmu. Kamu jarang cerita sepenuhnya soal kesulitanmu sih. Terpaksa aku harus begini. Aku pulang agak memutar jalan biar kamu tetap leluasa curhat setiap malam tanpa peduli siapa yang dengar. Ah, sekarang sudah ketahuan. Aku senang punya sahabat seperti kamu bukan karena kamu sering membantuku, tapi.... aku merasa nyaman dekat denganmu. Jadi tak perlu repot-repot seperti ini.... Jantung Lisa berdegup kencang. Lupain ya yang barusan aku bicarakan. Kenapa? Kau tau, Lis? Aku ingin menjawab pertanyaanmu tadi. Tentang apakah Billy Mahardhika sudah punya pacar. Jawabannya belum. Nungguin Lisa Rahadiani single. Lalu pertanyaan kedua soal siapa Lisa Rahadiani di mata Billy Mahardhika. Lisa Rahadiani adalah orang terpenting non-keluarga bagi Billy Mahardhika. Lisa menatap Billy tidak percaya, selama 7 detik. Lisa mengalihkan tatapannya ke Dean. Astaga, Billy. Kata siapa aku lagi sama orang lain? Yang sering jemput kamu itu siapa? Yang ganteng itu. Yang sering mesra sama kamu. Yang sering ngacak -ngacak rambut kamu. Terlihat raut muka kesal Billy. Billy menggaruk-garuk kepalannya yang tidak gatal itu karena kesal, atau lebih tepatnya cemburu. Lisa menganga. Jadi selama ini kamu nggak tau kalau yang sering jemput aku itu abangku? Ngacak-ngacak rambut itu bukan mesra, tapi penindasan. Dari aku kecil, si abang suka banget nindas aku. Dan kamu ga pernah nanya Lis lo single, ga? gitu? Oh jadi itu abangmu? Wajah Billy terlihat cerah lagi. Aku takut nanya seperti itu sama kamu, Lis. Beneran aku takut. Terus kenapa kamu ingin aku melupakan curhatanmu itu tadi?

Lisa menghela nafas panjang. Wajahnya menjadi murung seakan ingin menangis. Aku dengar, kita tidak boleh jatuh cinta sama sahabat sendiri, nanti bisa....... Tanpa ragu-ragu, Billy memeluk sahabatnya itu dari samping. Sontak Lisa menghentikan ocehannya dan menoleh ke hadapan Billy. Jarak antara wajah mereka sekarang dekat sekali. Perlahan Billy mendekatkan wajahnya pada Lisa dan mengecup dahi Lisa. Mereka saling diam. Pelukan Billy masih belum renggang, masih erat. Dan Lisa ingin tetap seperti itu terus. Jakarta, 20 Agustus 2012

Anda mungkin juga menyukai