Anda di halaman 1dari 5

Ibunda Guru Bahasa Indonesiaku

Yunita membetulkan posisi duduknya yang sejak 30 menit yang lalu belum berubah. Perpustakaan sekolahnya ini terlihat sepi, mengingat sudah dua jam berlalu sejak bel pulang berdering. Ia melihat sekeliling, hanya terlihat beberapa senior yang sedang duduk berkelompok di karpet dengan laptop yang dikendalikan oleh orang yang paling besar kelihatannya dia adalah ketuanya. Yunita bangkit menuju meja depan. Ingin menghampiri Bu Sulaiman, sang penjaga perpustakaan. Bu Sulaiman mengenalnya, karena Yunita sering sekali berkunjung ke perpustakaan. Hari itu Yunita hanya ingin melanjutkan novel yang menarik perhatiannya kemarin Ella Enchanted judulnya yang tidak disangka akan muncul filmnya minggu depan di RCTI. Selagi ia berjalan menuju meja depan, ada seorang siswi yang menyerahkan amplop cokelat besar ke Bu Sri Masrifah yang tadinya tak terlihat dari pandangan jauh Yunita. Siswi itu bernama Anin. Untuk beberapa detik Anin menatap Yunita cuek. Memang begitu watak Anin. Sombong dan angkuh. Tapi Yunita tidak peduli. Yunita memandangi Bu Sri. Ia mengingat-ingat cemoohan, keluhan, dan komentar buruk yang dilontarkan seniornya tentang guru Bahasa Indonesia yang satu ini. Ia belum pernah diajar beliau, maka ia penasaran seperti apa sosok guru yang sering disingkat Bu SM ini. Merasa dipandangi oleh seseorang yang belum familiar dengannya, Bu Sri memecah kekakuan. Ada apa, nak? Yunita menjadi kikuk. Ia tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Masa iya dia bertanya apakah ibu menyebalkan, atau apakah yang dilontarkan para senior tentang ibu itu benar. Hm...ibu tidak pulang? Bukankah sudah bel dari dua jam yang lalu? Sang Ibunda Guru pun menghela napas panjang. Ibu menunggu cerpen anak-anak yang belum mengumpulkan untuk lomba cerpen. Yah siapa tahu menang... Yunita tertegun. Ia tidak menyangka ada seseorang yang rela menunggu sampai sore hanya dan cuma untuk menunggu cerpen-cerpen dari anak didiknya. Hilanglah sudah

prasangka-prasangka buruk tentang Bu Sri. Bu Sri bawel lah, Bu Sri sering memberi tugas yang super ribet lah, Bu Sri yang suka merepotkan orang lah, dan segala ocehan dari seniorseniornya. Mungkin akan worth it kalau yang mengumpulkan banyak. Tapi Yunita tidak yakin akan jumlah cerpen yang sudah terkumpul. Sore ini sudah berapa yang mengumpulkan cerpen, Bu? Baru yang tadi. Kemaren sih kayaknya sudah ada dua yang mengumpulkan. Hati Yunita teriris mendengarnya. Sudah sesore ini baru satu yang mengumpulkan? Dan yang mengumpulkan adalah siswi yang super menyebalkan itu. Yunita menjadi merasa bersalah karena dari dulu sudah berburuk sangka kepada Bu Sri. Pasti pilu hati sang ibunda guru yang satu ini. Ia hanya menanti cerpen-cerpen dari anak didiknya. Aku yakin pasti ia menunggu produktif, menunggu sambil melakukan sesuatu yang bermanfaat. Namun, tidakkah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk menyenangkan hatinya? Kok ibu nungguin sampai sore? Memangnya deadline pengumpulan cerpen ini kapan? Lusa sih, nak. Tapi kalau tidak ibu tungguin biasanya anak-anak males mengumpulkan. Nanti ibu yang mengumpulkan ke redaksi. Kalau saya juga ikut boleh tidak, Bu? Saya kumpul besok. Yunita tidak percaya dia melontarkan kalimat itu. Ia bukan penulis, namun ia menawarkan diri untuk ikut lomba cerpen itu dan menyelesaikannya esok hari. Cerita apa yang harus ia tulis? Bagaimana kalau tidak selesai dalam satu malam? Candi Prambanan memang selesai dalam satu malam, tapi itu hanya dongeng. Secercah cahaya terlihat dari raut wajah Bu Sri. Oh boleh. Boleh banget. Syaratnya apa saja, Bu? Yunita mengambil buku agendanya, lalu menulis segala persyaratan dengan hati masygul. Ia masih memikirkan cerita apa yang harus ia tulis dalam jangka waktu 24 jam kedepan.

Di kamarnya, Yunita membuka laptopnya. Meng-klik Microsoft Word 2010 dengan sedikit ragu. Setelah muncul kertas putih di layar laptopnya, barulah ia memutar otaknya. Aku memang tidak mengharapkan aku menang dalam lomba ini. Tetapi setidaknya aku tidak ingin membuat cerpen yang asal-asalan. Setidaknya sedikit worth it. Aku hanya ingin menyenangkan hati Bu Sri. Jujur hanya itu tujuanku. Tapi apakah aku ini tidak sadar diri telah menawarkan sesuatu yang sama sekali bukan keahlianku? Tidak ada salahnya mencoba sih. Namun apa yang harus aku ceritakan? Tentang hebohnya diriku saat speech contest, kah? Tentang hancurnya hatiku saat aku bertengkar hebat dengan mamaku, kah? Tentang bahagianya aku masuk ekskul PMR, kah? Tentang aku bertemu seorang teman di sebuah perlombaan, kah? Oh iya. Dean. Aku bertemu dengannya di lomba menggambar poster, setahun yang lalu. Dan sekarang oh astaga betapa cepatnya waktu berjalan. Aku dan Dean sudah menjadi teman dekat. Sering berbagi cerita, sering beraktivitas bersama.......... Aku masih ingat saat dia diperlakukan tidak baik oleh seseorang yang tidak kukenal di lokasi perlombaan. Aku masih ingat aku merobek bajuku sendiri untuk menahan darah yang keluar dari luka yang dibuat oleh orang yang tak kukenal itu. Aku masih ingat aku begitu tergesa-gesa melarikan Dean ke klinik terdekat dan begitu khawatir akan keselamatan Dean, padahal aku belum pernah mengenalnya karena pada saat ia diperlakukan tidak baik itulah aku baru bertemu dengannya. Dan akhirnya sampailah persahabatanku dengan Dean dimulai dari kalimat Dean, Kamu siapa? Kenapa kamu repot-repot menolongku, padahal kita tidak saling kenal.... Oke baiklah, aku akan menceritakan tentang bagaimana aku bertemu Dean, dan sampai akhirnya aku bisa bersahabat dengannya. Yunita memegang erat-erat cerpen dalam amplop cokelatnya itu. Agak takut-takut ia masuk perpustakaan. Dilihatnya Bu Sri yang terlihat lesu di meja depan bersama Bu Sulaiman. Yunita hanya berharap Bu Sri bisa tersenyum sedikit, atau tertawa terbahak-bahak melihat hasil begadangnya itu.

Ibu.... Bu Sri menoleh. Matanya yang tadinya menatap mata Yunita, sekarang langsung menatap ke arah amplop cokelat yang dipegang Yunita. Bagaimana, nak? Selesaikah, cerpenmu? Ehmm... Yunita menunduk sedikit, menatap rak buku yang penuh buku-bukuk baru dan Yunita berniat akan membacanya setelah mengumpulkan cerpennya. Selesai sih, Bu... Yunita menyerahkan cerpennya itu takut-takut sambil menghela napas panjang. Bu Sri tersenyum. Yunita merasa lega melihat senyuman itu walaupun 6 detik kemudian senyuman itu memudar, dan Yunita membalikkan badannya keluar perpustakaan. Ia tak jadi berlamalama di perpustakaan karena ia merasa awkward satu ruangan dengan Bu Sri. Setelah menyerahkan cerpen itu, Yunita merasa tak ada beban lagi. Ia merasa cukup puas dengan targetnya yang sederhana: Membuat Bu Sri Tersenyum. Atau lebih tepatnya menghibur Bu Sri. Menurut Yunita, hanya guru yang penuh cinta yang mau melakukan hal seperti menunggu hasil karya anak didikku. Menunggu sampai sore. Itu hal yang begitu menggelitik hati Yunita. Juga menawarkan sesuatu yang tak ada hubungannya dengan dirinya. Yunita tak pernah menulis cerpen sebelumnya, dia hanya sebatas membaca, membaca, dan membaca. Sebulan telah berlalu. Yunita sudah lupa akan cerpen tentang Dean yang ia buat. Sore ini, ia masih berada di sekolah. Ekskul PMR sedang berlatih membuat tandu darurat. Keringat bercucuran, karena membuat tandu butuh tenaga, ketangkasan, dan kekuatan yang tidak sedikit. Sekolah sudah sepi, hanya Yunita berenam dengan teman PMR-nya. Tiba-tiba gerbang terbuka, dan telihat Bu Sri memasuki lapangan sekolah, berjalan menuju ruang guru. Yunita bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan oleh guru uniknya yang satu ini. Ia teringat hari ini tanggal pengumuman lomba cerpen yang sedang ia ikuti. Yunita minta izin kepada teman PMR-nya untuk bertemu sebentar dengan Bu Sri.

Ia melangkahkan kakinya menuju ruang guru, dan mengintip ke dalam. Terlihat Bu Sri sendirian dengan wajah cerahnya yang belum pernah Yunita lihat sebelumnya sambil membereskan berkas yang barusan ia tenteng dari luar sekolah. Yunita berdehem. Bu Sri menoleh ke sumber suara. Yunita? Kok kamu belum pulang? Eh iya, Bu. Saya lagi latihan PMR tadi sama.... Belum selesai Yunita bicara, Bu Sri langsung berjalan ke arahnya sambil berkata dengan wajah berseri-seri. Selamat, nak! Mungkinkah aku diberi selamat karena cerpen perdanaku memenangkan sesuatu? Ah tidak mungkin. Aku hanya bercerita dengan majas hiperbola tentang pertemuanku dengan Dean, tidak kurang tidak lebih. Cerpen kamu menang. Cuma cerpen kamu dan cerpen ibu yang menang. Bu Sri melanjutkan. Bu Sri tertawa kecil. Yunita masih terbengong-bengong. Sejak kejadian itu, Yunita menjadi aktif menulis. Dan juga, Yunita menjadi dekat dengan Bu Sri. Memang ada benarnya keluhan senior-seniornya, tapi tak seburuk yang ia kira dulu. Bu Sri memang sering dicap buruk, tapi lebih sering dicap buruk oleh orang yang buruk juga. Sering pula Yunita dan Bu Sri memenangkan lomba cerpen lainnya, dan mengikuti seminar atau workshop menulis bersama. Sejak saat itu juga, dunia menulis adalah dunia Yunita, sampai Yunita sekarang ini. Yunita tak pernah melupakan guru yang bersejarah dalam hidupnya, guru yang mengubah jalan hidupnya, dan guru yang begitu luar biasa pengabdiannya serta cintanya untuk anak didiknya.

Anda mungkin juga menyukai