Anda di halaman 1dari 6

Relokasi Korban Bencana: Legalistik vs Kultural-Historis (Kajian Peno...

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/10/relokasi-korban-bencana-lega...

1 of 6

17/04/2012 11:21

Relokasi Korban Bencana: Legalistik vs Kultural-Historis (Kajian Peno...

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/10/relokasi-korban-bencana-lega...

Kompasiana

Kompas.com

Cetak

ePaper

Bola

Health

Entertainment

Games

Otomotif

Tekno

Female

Properti

Forum

Images

Mobile

More

Home

Hukum

Artikel

REGISTRASI | MASUK

Hukum Yakub Adi Krisanto


TERVERIFIKASI Jadikan Teman | Kirim Pesan

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Relokasi Korban Bencana: Legalistik vs Kultural-Historis (Kajian Penolakan Warga Lereng Merapi terhadap Kebijakan Relokasi)
OPINI | 10 July 2011 | 20:19 Dibaca: 530 Komentar: 0 Nihil

Relokasi Korban Bencana: Legalis k vs Kultural-Historis (Kajian Penolakan Warga Lereng Merapi terhadap Kebijakan Relokasi)
Yakub Adi Krisanto Pasca bencana erupsi Merapi pemulihan korban melipu aspek social, ekonomi, psikologi dan budaya. Ditengah upaya pemulihan korban yang dilakukan secara sinergis antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha muncul wacana mengenai relokasi korban bencana yang berada di lereng Merapi. Relokasi merupakan gagasan untuk menata ulang lokasi pemukiman di sekitar wilayah yang rawan bencana. Menata ulang pemukiman menjadi bagian dari upaya penanggulangan bencana untuk meminimalisasi korban apabila terjadi lagi bencana di kemudia hari. Penataan ulang didasarkan pada lokasi yang dikategorikan rawan bencana. Rawan bencana adalah kondisi karakteris k geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geogras, social, budaya, poli k, ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.[1] Gambar 1

TEREKOMENDASI
JK Dibuat Impotensi, Ical Kena
El Dahs

Kondisi rawan bencana dalam beberapa wilayah yang terkena bencana memicu gagasan untuk melakukan relokasi bagi warga yang berada di wilayah tersebut.[2] Relokasi didasarkan pada peta bencana baru yang dapat diketahui kawasan rawan bencana (KRB) di suatu wilayah. Rawan bencana dikaitkan dengan keinginan untuk melakukan relokasi dilakukan dalam hal menurunnya kemampuan menanggulangi bencana yang akan terjadi di kemudian hari. Ide atau gagasan relokasi korban bencana memperoleh legimasi legalis c, namun menges ampingkan per mbangan kultural-historis. Gagasan merelokasi korban bencana dapat dilihat dari perspek f sebagai berikut, [1] pemerintah mencari jalan pintas untuk melepaskan diri dari tanggung jawab penanggulangan bencana di kemudian hari; [2] pemerintah masih menggunakan kerangka berpikir mengetahui kebutuhan masyarakat daripada masyarakat itu sendiri. Per mbangan kultural-historis dapat terbaca pada pernyataan penolakan relokasi oleh warga Kalitengah (lihat box). Namun di satu sisi Pemerintah begitu mudah melontarkan ide relokasi dengan menyatakan warga yang berada di kawasan rawan bencana diberikan kebebasan untuk memilih daerah tujuan transmigrasi.[3] Relokasi berada pada pusaran tarik-ulur kepen ngan pemerintah yang mempunyai dasar hukum dan kepen ngan masyarakat yang memiliki legi masi kultural-historis dalam memp ertahankan tempat nggalnya. Legalisasi Relokasi Lontaran ide relokasi dari pemerintah mempunyai legi masi yuridis, meski dari perspek f HAM masih dapat diperdebatkan. Dalam kontruksi yuridis yang beraliran legalis k, peraturan perundang-undangan mempunyai daya pengabsah ter nggi. Se ap ndakan pemerintah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dipandang sebagai ndakan yang sah dan berdasarkan hukum. Dasar h ukum relokasi adalah Pasal 32 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Relokasi merupakan bagian dari mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana. Penyelenggaraan penangggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang melipu penetapan kebijakan pe mbangunan yang berisiko mbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.[4] Terdapat 3 aspek yang dicakup dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu [1] penetapan kebijakan pemerintah mengenai resiko mbulnya bencana; [2] kegiatan pencegahan; [3] tanggap darurat dan [4] rehabilitasi.

Indonesiaku Makmur: 1,7 Juta Org Daftar Tunggu


Muhammad Nur,se

Cougar: Fenomena Wanita yang Demen


Alexa

Ini Baru Polisi yang Super Sakti


Jack Soetopo

Dua Siswa Mesum di Kamar Kostnya Setelah


Mas Ragil

INFO & PENGUMUMAN

KONTAK KOMPASIANA INDEX

Pemenang Lomba Ekspedisi Cincin Api Pemenang iB Blogshop Negeri 5 Menara Stand Up Comedy Season 2 Behind The TERAKTUAL Andai Jokowi Admin Kompasiana

2 of 6

17/04/2012 11:21

Relokasi Korban Bencana: Legalistik vs Kultural-Historis (Kajian Peno...

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/10/relokasi-korban-bencana-lega...

Sebagai bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana, relokasi berada pada cakupan penetapan kebijakan pemerintah dan kegiatan pencegahan. Kebijakan pemerintah yang didesain untuk menjadi payung melaksanakan relokasi adalah kawasan rawan bencana (KRB) dan kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Penentuan KRB dan TNGM akan dilakukan dengan peraturan perundang-undangan. Kedua payung kebijakan tersebut pada akhirnya akan membatasi kesempatan warga untuk bertem pat nggal di wilayah yang dinyatakan sebagai KRB atau TNGM. Penentuan KRB didasarkan pada peta area terdampak erupsi lahar dingin gunung Merapi [5] yang disepaka oleh 5 Menteri. [6] Peta tersebut akan memuat KRB menunjukkan secara jelas wilayah yang masuk daerah rawan ancaman primer letusan Gunung Merapi yang berupa pyroclas c ow atau aliran awan panas, yaitu di KRB III.[7] Peta KRB ini akan menjadi bahan untuk diper mbangkan dan dimasukkan dalam desain Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah tertentu. Ar nya bahwa berbaga i kebijakan akan ditempuh untuk memberikan legi masi melakukan relokasi bagi warga yang berada pada kawasan rawan bencana dalam suatu RTRW. Peta area terdampak erupsi lahar dingin gunung Merapi juga digunakan dalam penentuan wilayah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Area Terdampak Erupsi dan Lahar Dingin di Kawasan Gunung Merapi terdiri atas:[8] 1. Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung; 2. Area Terdampak Langsung satu dan dua (area yang terdampak erupsi Gunung Merapi berupa awan panas dan material panas) berdampak pada manusia, permukiman dan infrastruktur yang dak dapat diiden kasi yang akan diperuntukkan sebagai Hutan Lindung/Pengembangan Taman Nasional serta bebas dari permukiman; 3. Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang peruntukkannya sebagai Hutan Lindung/Pengembangan Taman Nasional dengan catatan enclave permukiman (living in harmony with disaster/zero growth); 4. Kawasan Rawan Bencana (KRB) II yang peruntukkannya diatur sebagai permukiman dengan lokasi ditetapkan sesuai arahan RTRW/RRTR dan dikendalikan secara ketat (high control); 5. Kawasan Rawan Bencana (KRB) I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar dingin. Peta area tersebut akan menjadi bahan kebijakan dalam menentukan wilayah yang dapat membatasi pemukiman atau tempat nggal. Dampak dari pembatasan pemukiman yang memperoleh legi masi dari peraturan perundang-undangan adalah kewajiban untuk merelokasi penduduk yang berada di wilayah kawasan TNGM sampai dengan KRB III. Kewajiban akan menjadi kata kunci dalam memuluskan kehendak penguasa (baca: pemerintah). Pandangan hukum yang legalis c menempatkan kewajiban menjadi salah satu unsure selain perintah , larangan dan sanksi. Kewajiban menjadi sisi lain dari perintah, dan apabila dak ditaa perintah dan kewajiban tersebut sudah menunggu sanksi atau hukuman. Berbagai payung hukum dari berbagai ngkatan aka n menempatkan kaedah hukum yang mengatur kewajiban dan perintah untuk merelokasi penduduk yang termasuk dalam area yang ditentukan. Kebijakan pemerintah yang didesain untuk melegi masi relokasi memiliki payung hukum utama yaitu UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 32 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan sebagai berikut; Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat [a] menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman; dan/atau [b] mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan se ap orang atas suatu benda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dasar hukum utama relokasi yang terdapat dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dak memuat kaedah yang mewajibkan atau memberi kuasa perintah bagi pemerint ah melakukan relokasi. Kata kunci dari kaedah hukum relokasi pada Pasal 32 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah dapat. Kata dapat memiliki konsekuensi yaitu tersedianya pilihan kebijakan yang dapat ditempuh oleh Pemerintah. Pilihan kebijakan akan sangat tergantung dari berbagai per mbangan yang digunakan dalam memilih. Relokasi korban bencana adalah pilihan bukan kewajiban, dan dapat dimaknai sebagai pilihan terakhir yang dapat tempuh ke ka daerah atau kawasan dimaksud dak dapat digunakan atau berba haya untuk berak vitas. Namun pasca erupsi Merapi, relokasi seolah menjadi keharusan atau kewaj iban yang harus ditempuh. Keharusan tersebut dicarikan daya pengabsah agar warga diwilayah yang ditentukan dapat direlokasi. Hukum menjadi alat legi masi, dan alat rekayasa untuk mengosongkan wilayah yang ditentukan sebagai kawasan tertentu. Pasal 32 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana jangan dimaknai sebagai kaedah yang mengatur relokasi atau memindahkan penduduk dari suatu wilayah tertentu. Karena relokasi adalah sebuah pilihan yang bertolak dari kata dapat, ar nya terdapat pilihan selain relokasi yang dapat dilakukan. Ketersediaan pilihan sebagai konsekuensi logis dari konsep penanggulangan bencana selain kebijakan pemerintah yaitu pencegahan, tanggap darurat dan rehabilitasi. Pencegahan bencana dak harus ditempuh dengan cara melakukan relokasi. Pasal 1 angka 6 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memberikan deni si kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Berdasarkan denisi kegiatan pencegahan bencana juga mengemukakan pilihan kebijakan yang bisa diambil yaitu menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Menghilangkan ancaman bencana (alam) dengan mencegah mbulnya korban ke ka bencana terjadi. Relokasi menjadi langkah mutlak untuk menghindari potensi jatuhnya korban, yang didalamnya menunjukkan ke adaan opsi lain selain cara relokasi. Kata dan/atau juga mempunyai konsekuensi logis-yuridis yaitu pertama, sebuah alterna f dengan memilih salah satu diantara pilihan. Kedua, pilihan yang tersedia dilakukan secara berbarengan. Namun sebenarnya ar kata menghilangkan dan mengurangi adalah saling meniadakan. Maksudnya demikian, ke ka pilihan kebijakan adalah menghilangkan ancaman bencana, maka kebijakan tersebut merupakan langkah untuk mengurangi secara absolute alias menghilangkan. Demikian juga pilihan kebijakan meng urangi berar menghilangkan sebagian dari ancaman bencana. Untuk itu kegiatan pencegahan bencana dengan melakukan relokasi merupakan kegiatan menghilangkan (mengurangi secara absolute) ancaman bencana. Pilihan kebijakan yang menghilangkan ancaman bencana menjadi manifestasi kekurang-krea fan pemerintah dalam mengadopsi pilihan kebijakan. Kekurangkrea fan kebijakan tersebut berkaitan ke dakinginan memperha kan kondisi masyarakat yang direlokasi. Ar nya pemerintah menutup telinga dan mencari short cut dalam mengatasi dampak yan g mungkin mbul dari bencana (ancaman bencana). Tabel 1

Astaga! Sering Nonton Video Porno, Bocah Perkosa 2 Sepupunya Pembantu Naik Ranjang (18+-H) Benarkah Umat Kristen Menganggap Presiden SBY dan Wapres UN Bikin Siswa Percaya Takhyul? INSPIRATIF BERMANFAAT MENARIK Subscribe and Follow Kompasiana:

3 of 6

17/04/2012 11:21

Relokasi Korban Bencana: Legalistik vs Kultural-Historis (Kajian Peno...

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/10/relokasi-korban-bencana-lega...

About Kompasiana | Terms & Conditions | Tutorial | FAQ | Contact Us | Kompasiana Toolbar
2008-2011

Ke dakinginan memperha kan kondisi masyarakat dan mencari alterna ve lain selain rel okasi lahir dari ke dakmauan berpikir lateral dan bertolak dari ke dakmauan untuk membahagiakan rakyat. Ke dakmauan berpikir lateral dengan mencari atau mengeksplorasi pilihan yang ada didasarkan pada konsep penyelenggaraan penanggulangan bencana (lihat tabel disamping).[9] Berdasarkan konsep penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap prabencana dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana melipu kesiapsiagaan, peringatan dini dan mi gasi. Sehingga apab ila kebijakan relokasi menjadi bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana maka pemerintah perlu mempersiapkan masyarakat dalam konteks kesiapsiagaan, peringatan dan mi gasi. Pasca erupsi Merapi tahun 2010, gunung Merapi berada pada siklus pascabencana, sehingga penanganannya tentu lebih fokus pada penyelenggaraan penanggulangan bencana pascabencana.[10] Pasal 57 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana terdiri dari rehabilitasi [11] dan rekonstruksi[12]. Tabel 2 Rehabilitasi[13] Perbaikan lingkungan daerah bencana Perbaikan prasarana dan sarana umum Memberikan bantuan perbaikan rumah masyarakat pemulihan sosial psikologis Pelayanan kesehatan Rekonstruksi[14] Pembangunan kembali prasarana dan sarana Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat Pembangkitan kembali kehidupan social budaya masyarakat Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana Par sipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat Peningkatan kondisi social, ekonomi dan budaya Peningkatan fungsi pelayanan public Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat

Rekonsilisasi dan resolusi konik Pemulihan Pemulihan Pemulihan Pemulihan sosial ekonomi budaya keamanan dan keter ban fungsi pemerintahan fungsi pelayanan publik

Mengacu pada penyelenggaraan penanggulangan bencana, relokasi korban bencana dak termasuk kegiatan-kegiatan pada tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Relokasi yang merupakan pemindahan (pemukiman) penduduk pada suatu wilayah rawan bencana ke suatu wilayah la in yang dak termasuk pada wilayah rawan bencana karena ditetapkannya wilayah tersebut sebagai daerah rawan bencana dan terlarang untuk pemukiman. Ke daktercakupan relokasi pada tahapan penyel enggaraan penanggulangan bencana menjadi bentuk konsistensi dari kata dapat yang digunakan pada Pasal 32 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sebagaimana dijelaskan pada paragraph sebelumnya bahwa relokasi berdasarkan Pasal 32 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pertama, bukan merupakan kewajiban dari masyarakat yang diamanatkan oleh undang-undang atau adanya delegasi dari undang-undang yang mewajibkan pemerintah untuk melakukan relokasi. Kedua, tersedianya pilihan kebijakan yang dapat ditempuh oleh Pemerintah. Pilihan kebijakan harus dilakukan dalam kegiatan-kegiatan yang tercakup pada se ap t ahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pilihan kebijakan dilakukan dengan penentuan tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana, apakah pada suatu wilayah atau daerah rawan bencana termasuk pada tahan prabencana, saat tanggap darurat atau pasca bencana. Pada se ap tahapan, undang-undang sudah mengatur kegiata n yang dapat dilakukan. Dari se ap kegiatan dalam se ap tahapan yang dilakukan dak mengatur secara tegas adanya pilihan melakukan relokasi. Berdasarkan sistema ka UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 32 yang mengatur tentang kaedah hukum relokasi berada diluar ketentuan mengenai tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sehingga menegaskan bahwa relokasi merupakan pilihan ke ka dak ada pilihan lain yang dapat dilakukan untuk melakukan penanggulangan bencana. Ar nya kegiatan da lam penyelenggaraan penanggulangan bencana lebih mengutamakan kegiatan pada se ap tahapa nnya daripada melakukan relokasi. Relokasi dilakukan ke ka memang suatu daerah memang da k dapat ditoleransi rawan bencana atau potensi terjadinya bencana sangat besar yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam kurun waktu yang lama. Aspek Kultural-Historis yang termuat dalam ungkapan Sedumuk Batuk Senyari Bumi Relokasi korban bencana di lereng Merapai mendapatkan perlawanan dengan melakukan penolakan. Penolakan dilakukan dengan berbagai aksi baik unjuk rasa maupun pemasangan baliho yang memuat alasan penolakan warga (lihat box). Alasan penolakan dengan ungkapan atau pernyataan yang terungkap yang mewakili semangat perlawanan yang diinspirasi kebijakan local (local wisdom ) yaitu sedumuk batuk senyari bumi.[15] Ar ungkapan sedumuk batuk senyari bumi dalam konteks penolakan relokasi adalah sejengkal tanah yang dimiliki akan dipertahankan sampai k darah penghabisan. Pilihan kebijakan untuk melakukan relokasi perlu memper mbangkan dua aspek yaitu asp ek kulturalhistoris dan psiko-kultural. Kedua aspek tersebut didominasi oleh warna kultural yang menjadi pengikat warga dengan Merapi. Merapi dak hanya gunung tetapi juga budaya yang terbentuk dala m interaksinya dengan dinamika Merapi. Merapi adalah kesatuan kultural antara gunung yang menjadi symbol budaya dan masyarakat yang nggal dilereng Merapi. Gambar 2

Kesatuan kultural inilah yang membangun aspek kultural-historis masyarakat Merapi yang mempertahankan diri dari pemisahannya dengan tanah tempat mereka berpijak dan Merapi. Aspek kultural-historis berkaitan dengan pertama, Merapi membentuk budaya masyarakat. Merapi memberikan inspirasi dalam aneka budaya yang dihasilkan. Budaya yang terbentuk dalam perjalanan kehidupan keberadaan masyarakat di lereng Merapi adalah bagian dari ja diri masyarakat yang be rsangkutan. Manifestasi aneka budaya yang terbentuk mempengaruhi gaya hidup, menuntun pola perilaku dan kondisi kejiwaan masyarakat lereng Merapi.

4 of 6

17/04/2012 11:21

Relokasi Korban Bencana: Legalistik vs Kultural-Historis (Kajian Peno...

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/10/relokasi-korban-bencana-lega...

Keduasebagai tempat nggal tanah yang dipijak keterikatan dengan tanah sangat kuat. Tanah kelahiran dan sumber penghidupan membentuk ikatan kultural-historis yang kuat. Ikatan yang sulit untuk diputus, karena kehidupan mereka bersumber dari Merapi, dengan keyakinan ak vitas Merapi di masa lampau yang memberikan kesuburan bagi tanah tempat nggal dan sumber penghidupan mereka. Ke ga, keyakinan yang terbentuk dari proses menyejarah, nggal dalam benak masyarakat Merap i. Proses menyejarah yang dimulai sejak awal muncul peradaban yang menjadikan Merapi sebagai pusat kultural masyarakat. Proses menyejarah dan keberpengaruhannya dengan kondisi kejiwaan masyarakat Merapi membentuk aspek psiko-kultural. Budaya mempengaruhi karakter masyarakat, yang merasuk dalam kejiwaan warga dan bahkan karakteris k komunal. Psiko-kultural masyarakat lereng Merapi membentuk keter ikatan mul dimensional yang dak mudah untuk diputus dengan relokasi. Keterikatan mul dimen sional mengarah pada proses pembentukan karakter, ketergantungan atas tanah, dan nilai-nilai keberadaan Merapi yang sudah bertransformasi menjadi keyakinan local. Memindahkan penduduk (relokasi) ke tempat lain berar mencabut sebagian eksistensi dirinya yang dibentuk dalam proses menyejarah dan keyakinan yang di gulo-wentah selama pembentukan individu dari sisi individual maupun social. Aspek kultural-historis dan psiko-kultural terelaborasi dalam sikap penolakan relokasi sebagaimana termanifestasi pada pernyataan warga Kalitengah (lihat gambar 1). Elaborasi yang tertuang dalam pemilihan kata /kalimat yang digunakan merepresentasi suasana keba nan warga. Pertama, tanah Kalitengah adalah sumber kehidupan. Sumber kehidupan berar menempatkan tanah yang menjadi bagian dari lereng Merapi merupakan pusat kesadaran warga atas kondisi yang terberi dari dinamika Merapi yang menyejarah. Dinamika Merapi dengan letusan dan ketenangan yang dihadirkan memberi kesejahteraan ke ka mengolah dan hidup diatas tanah. Kedua, Merapi sebagai bagian dari proses menyejarah warga lereng Merapi yang melahirkan budaya telah mampu membentuk watak adap f dari warganya. Pilihan kalimat mampu hidup berdampinga n mewakili perasaan yang sudah berinteraksi dengan Merapi yang menyejarah. Interaksi yang turun-temurun memberi warisan kebijaksanaan ke ka berhadapan dengan ganas dan ke dakganasan Merapi. Warisa n kebijaksanaan yang menunjukkan penghayatan dan penghormatan terhadap Merapi muncul dalam penyebutan gunung Merapi dengan menggunakan is lah mbah. Is lah ini menunjukkan ke akraban bahkan kein man dalam berinteraksi dengan Merapi. Mbah Merapi diyakini akan mengayomi atau dak memberi penderitaan bagi warga di lereng Merapi. Kepercayaan sebagai bentuk membudaya dalam berinteraksi meyakinkan mereka untuk tetap nggal. Bahwa erupsi Merapi hanya bagian dari dinamika yang akhirnya akan memberi kesejahteraan bagi warga lereng Merapi. Keyakinan akan kesejahteraan yang terberi akan sulit diruntuhkan dan termasuk bagian dari aspek psiko-kultural yang nggal dibenak warga. Secara logika-rasional, dalam jangka panjang pasca erupsi Merapi tanah yang terkena abu vulkanik akan meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan tanah berar berbicara mengenai pengejawantahan dari pilihan frasa sumber kehidupan. Tanah adalah sumber kehidupan akan memberikan kontribusi kesejahteraan yang kesuburannya dijamin oleh Merapi pasca erupsi. Relokasi: legalis k vs historis kultural (pilihan kebijakan yang membahagiakan rakya t)[16] Kebijakan relokasi pilihan yang sudah ditentukan seolah mengabaikan aspek historis-kultural. Legi masi kebijakan dapat ditemukan dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulan Bencana. Namun perlu diketahui bahwa dalam undang-undang dak terdapat norma-impera f mengenai relokasi. Is lah relokasi yang digunakan pada kaedah norma ve adalah daerah terlarang dan penghilangan hak milik. Ke adaan norma-impera f berkonsekuensi pada pilihan yang harus diambil pemerintah adalah mengutamakan kegiatan-kegiatan yang diatur pada tahap penyelenggaraan penanggulangan bencana. Kewajiban relokasi dak diketemukan dalam undang-undang, namun menuntut sikap krea f-imajiner dari pemerintah dalam menata/mengelola kehidupan dalam rangka penanggulangan bencana. Sikap krea fimajiner mengutamakan pendekatan kemanusiaan daripada pendekatan hukum. Pendekatan kemanusiaan menimbang berbagai sisi kehidupan pembentuk masyarakat, masuk kedalam untuk mengetahui nilai-nilai kehidupan yang selama ini dihaya . Fakta bahwa erupsi Merapi sudah terjadi berulangkali dalam proses menyejarah gunung Merapi, tetapi warga tetap nggal dan bertahan bahkan mengalami pe rkembangan. Pembentukan pemukiman (perdusunan) dak terjadi secara instan, namun berproses bersama dengan gunung Merapi. Berproses berar ada interaksi dan kehidupan komunal dipengaruhi oleh proses interaksi yang termanifestasi pada se ap kebudayaan. Relokasi berar memotong proses menyeja rah sebuah komunitas warga. Dan pemotongan ini akan melahirkan ke dakbahagian, karena warga tercerabut dari akar budayanya yang dianggap sebagai sumber kehidupan yaitu Merapi. Tercerabutnya akar budaya masyarakat berar akan melahirkan budaya baru. Dan proses ini yang dak dikehendaki oleh warga ke ka terpisah dari induk semang budaya, yang telah mengilhami atau menginspirasi aneka budaya yang dihasilkan.

[1] Pasal 1 angka 14 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

[2] h p://www.antaranews.com/berita/1288927484/relokasi-korban-mentawai-merapi-harus-berdasarkanpeta-baru diunduh pada 01_07_2011

[3] Peta KRB Sudah Diparaf 5 Menteri, h p://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=240816&actmenu=36


diunduh pada 01_07_2011 [4] Pasal 1 angka 5 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

[5] Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kawasan Gunung Merapi Akan Mengacu Pada Peta Kesepakatan Bersama, h p://penataanruang.pu.go.id/detail_b.asp?id=1568 diunduh pada 01_07_2011 [6] Peta KRB Sudah Diparaf 5 Menteri, h p://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=240816& actmenu=36 diunduh pada 01_07_2011 [7] Peta KRB Rekomendasi Pembangunan Wilayah Rawan Bencana, h p://www.antaranews.com /print/1295760208 diunduh pada 01_07_2011

5 of 6

17/04/2012 11:21

Relokasi Korban Bencana: Legalistik vs Kultural-Historis (Kajian Peno...

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/10/relokasi-korban-bencana-lega...

[8] Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kawasan Gunung Merapi Akan Mengacu Pada Peta

Kesepakatan Bersama, h p://penataanruang.pu.go.id/detail_b.asp?id=1568 diunduh pada 01_07_2011


[9] Bab VII UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. [10] Pasal 33 huruf c UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. [11] Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan public atau masyarakat sampai
ngkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan, dan kehidupan masyarakat pada wilayah bencana (Pasal 1 angka 11 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).

[12] Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan, pada wilayah pascabencana baik pada

ngkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, social dan budaya, tegaknya hukum dan keter ban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana (Pasal 1 angka 12 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana)

[13] Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. [14] Pasal 59 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. [15] Ada peribasa Jawa sedumuk batuk, senyari bumi, ar
nya seujung jari yang mengenai dahi , dan selebar jari yang mengenai bumi, akan jadi sebab yang besar pada manusia. Mengibaratkan kemurkaan orang yang sebesar-besarnyalah orang yang berebut antara wanita dan bumi (h p://wayangku.wordpress.com/2008/11/05/ diupdate pada tanggal 10 Juli 2011). Peribahasa ini selengkapnya berbunyi sedumuk batuk, senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing ludiro, yang berar soal wanita dan tanah adalah soal sensi ve dan untuk itu dipertaruhkan dan dan tumpahnya darah, Sudargo, Hukum Agraria dalam Era Pembangunan, Prisma No. 6 Tahun 1973, hal. 47 diku p dari h p://ermanhukum.com /Makalah%20ER%20pdf/Pemahaman%20Rakyat%20Tentang%20Hak%20Atas%20Tanah.pdf) diupdate pada tanggal 10 Juli 2011).

[16] Kebijakan yang membahagiakan rakyat, terinsipirasi dari karya Prof. Satjipto Raharjo yang berjudul
Rakyatnya (Genta Publishing, Jogjakarta, 2009).

Negara Hukum yang membahagiakan

Tweet

Share

Laporkan Tanggapi Beri Nilai

KOMENTAR BERDASARKAN :

Tulis Tanggapan Anda

6 of 6

17/04/2012 11:21

Anda mungkin juga menyukai