Anda di halaman 1dari 82

CBD I SEORANG ANAK DENGAN HIV-SEROPOSITIF, DIARE KRONIK DEHIDRASI SEDANG, TUBERKULOSIS, ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROM DAN STATUS

GIZI KURANG

Pembimbing: dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A dr. Hartono, Sp.A dr. Slamet Widi, Sp.A dr. Z. Hidajati, Sp.A

Disusun Oleh : Afifatul Hakimah (01.209.5822)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2013


1

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis Kelamin Agama Suku Alamat : An. E : 3 tahun : Perempuan : Islam : Jawa : Ngablak Indah Genuk, Semarang

Nama Ayah Umur Pekerjaan Pendidikan

: Tn. A : 32 tahun : Tukang potong rambut : SMA

Nama Ibu Umur Pekerjaan Pendidikan

: Ny. W : 22 tahun : Menyewakan sepatu roda di simpang lima : SD

Bangsal No CM Masuk RS

: Parikesit : 21.84.65 : 20 Oktober 2013

B. DATA DASAR 1. Anamnesis

Alloanamnesis dengan nenek penderita dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2013 pukul 14.00 WIB dan ibu penderita pada tanggal 25 Oktober 2013 Pukul 14.30 di ruang Parikesit dan didukung dengan catatan medis. Keluhan utama : Demam

Keluhan tambahan : Mencret, batuk berdahak, kulit gatal Riwayat Penyakit Sekarang : Sebelum masuk RS: + 2 minggu SMRS nenek pasien mengatakan anaknya panas. Panas naik turun, tidak mengigau, tidak menggigil, tidak kejang, dan pasien sering berkeringat saat malam. Nenek pasien lalu membawa anaknya ke Puskesmas 2 kali dan diberi obat penurun panas, tetapi keesokan harinya pasien kembali panas. Nenek pasien juga mengeluhkan pasien mencret sehari kurang lebih 6x, mencret sebanyak gelas belimbing, cair, warna kuning, tidak ada lendir, ada ampas, tidak nyemprot, tidak ada darah. Berbau amis dan tengik disangkal, dan anak tidak menangis sebelum dan sewaktu buang air besar dan saat membersihkan dubur tidak tampak kemerahan. Riwayat makan makanan basi disangkal oleh nenek pasien. Pasien rewel susah makan karena banyak sariawan pada mulutnya tetapi pasien masih mau minum banyak. Nenek pasien mengatakan kencing pasien sedikit tidak seperti biasanya. Selain itu pasien juga batuk kurang lebih sudah 3 minggu, batuk berdahak, dahaknya sulit bisa dikeluarkan, tidak berdarah, tidak ngekel, waktunya tidak menentu, bisa pagi, siang, sore atau malam, pasien tampak agak sesak nafas, tidak tampak hidung kembang kempis, tidak terlihat kebiruan di bibir dan ekstremitas. Nenek pasien juga mengatakan pasien sering gatal-gatal pada kulit seluruh tubuhnya, muncul gatal diakui sejak pasien umur 1,5 tahun, gatal bisa sembuh sendiri tetapi muncul lagi berulang-ulang walaupun sudah diobati. Karena panas dan diare tidak juga reda, akhirnya nenek pasien membawa pasien ke RSUD Kota Semarang.

Setelah masuk RS:

Minggu 20 Oktober 2013 pukul 14.00 WIB pasien datang ke IGD RSUD Kota Semarang, dan disarankan untuk mondok. Sehari setelah perawatan, demam belum juga turun, ibu pasien juga mengeluh anaknya masih mengalami BAB cair 3x dalam sehari berwarna kuning, ada ampas sedikit, volume sekitar 1/2 gelas belimbing. BAB diakui tidak nyemprot, tidak berlendir, dan tidak disertai darah. Bau amis dan tengik disangkal, dan anak tidak menangis sebelum dan sewaktu buang air besar dan saat membersihkan dubur tidak tampak kemerahan. Buang air kecil sudah seperti biasa. Nafsu makan pasien menurun, tetapi pasien mau minum. Siang harinya pasien muntah 2x. Muntah berupa apa yang dimakan, sebanyak +1/4 gelas belimbing. Pasien juga masih batuk berdahak, tidak tampak sesak. Pasien dikonsulkan ke spesialis kulit dan mendapatkan terapi.

3 hari setelah perawatan, nenek pasien mengatakan pasien masih demam,dan berak 3x dalam sehari berwarna kuning, ampas sudah lebih banyak, volume sekitar 1/4 gelas belimbing. BAB diakui tidak nyemprot, tidak berlendir, dan tidak disertai darah. Bau amis dan tengik disangkal, dan anak tidak menangis sebelum dan sewaktu buang air besar dan saat membersihkan dubur tidak tampak kemerahan. Buang air kecil sudah seperti biasa. Nafsu makan pasien menurun, tetapi pasien mau minum, pasien tidak muntah. Pasien masih batuk dan tidak tampak sesak. Gatal pada kulit sudah membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat sakit serupa : (+) Tanggal 5 April 2012 pasien dirawat inap pertama kali di RSUD Semarang selama 14 hari dengan diagnosa BRPN, miliria, diaper rash, impetigo krustosa. Tanggal 16 September 2012 pasien dirawat inap yang kedua di RSUD Semarang selama 7 hari dengan diagnose GEDS. Riwayat TB : disangkal

Riwayat alergi : disangkal Riwayat transfuse : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga : Sakit serupa disangkal


4

Riwayat batuk lama diakui kakek pasien Riwayat infeksi pada alat genital diakui ibu pasien

Riwayat Sosial Ekonomi : Ibu pasien bekerja menyewakan sepatu roda di simpang lima dengan penghasilan kurang lebih Rp 1000.000 per bulan. Ayah kandung pasien (pernikahan siri) tidak memberikan biaya hidup kepada pasien dan keluarganya. Biaya pengobatan ditanggung oleh Jamkesmas. Kesan : sosial ekonomi kurang.

Riwayat Pemeliharaan Prenatal Ibu tidak teratu dalam memeriksakan kandungannya ke bidan. Selama hamil ibu mengaku mendapat imunisasi TT 1x di bidan. Waktu kehamilan usia 4 bulan ibu pasien mengaku sakit pada alat kelaminnya, perih dan panas saat buang air kecil dan keputihan menjadi semakin banyak dan berbau tidak enak serta timbul benjolan pada bibir vagina. 1 tahun setelah kelahiran bayinya, ibu pasien dioperasi karena tumbuh daging seperti kembang kol pada kedua bibir vagina. Riwayat perdarahan saat hamil disangkal. Riwayat trauma saat hamil disangkal. Riwayat minum obat tanpa resep dokter ataupun minum jamu disangkal. Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal kurang baik.

Riwayat Kelahiran Persalinan Usia dalam kandungan Berat Badan Lahir Panjang Badan : Lahir secara spontan di rumah bersalin : 38 minggu : 2200 gr : 46 cm

Kesan : neonatus aterm dengan berat badan lahir rendah, kecil masa kehamilan

Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Pertumbuhan :

Berat badan lahir 2200 gram, panjang badan lahir 46 cm, lingkar kepala dan lingkar dada ibu tidak ingat. Berat badan sekarang 11 kg, tinggi badan sekarang 91 cm. Perkembangan : Senyum Miring Tengkurap Duduk Berdiri Berjalan Lari : ibu lupa : ibu lupa : 4 bulan : 7 bulan : 9 bulan : 15 bulan : 20 bulan

Kesan : pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan umur.

Riwayat Makan dan Minum Anak : Pasien tidak mendapatkan ASI sejak lahir karena ibu mengaku putingnya lecet serta menderita gatal-gatal. Susu formula diberikan sejak sejak umur 0 bulan dan pasien sering diberi minum teh dan air putih. Mulai usia 6 bulan diberikan makanan pendamping berupa bubur instant. Mulai usia 8 bulan diberikan nasi tim. Mulai usia 1 tahun sampai sekarang, anak makan nasi, lauk pauk, dan sayur. Jenis Makanan Nasi Sayur Tempe/tahu Telur Ayam Frekuensi dan Jumlah 3x/hari @1 mangkuk makan bayi 1-2x/hari, porsi tidak teratur 1x/hari @1 potong 1-2x/hari, porsi tidak teratur tidak teratur

Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan kurang. Riwayat Imunisasi :


6

BCG DPT Polio Hepatitis B Campak

: 1 x (1 bulan, scar + di lengan kanan atas) : 2 x (2, 4 bulan) : 4 x (0, 2, 4, 6 bulan) : 3 x (0, 2, 4 bulan) : 1x (9 bulan)

Kesan: Imunisasi dasar sesuai dengan umur dan tepat waktu.

Riwayat Keluarga Berencana : Ibu mengikuti program KB.

Data Keluarga : Ayah Perkawinan ke Umur saat menikah Agama Pendidikan terakhir Keadaan kesehatan 1 32 th Islam SMA Sehat Ibu 1 22 th Islam SD Sehat

Data Perumahan : Kepemilikan rumah : rumah orang tua pasien. Keadaan rumah : dinding rumah tembok, 3 kamar tidur, tiap kamar terdapat jendela dan lubang ventilasi, 1 kamar mandi, 1 ruang tamu, 1 dapur. Limbah dibuang ke selokan sekitar. Sumber air minum adalah air sumur. Sumber air untuk mandi dan mencuci adalah air sumur. Jarak sumur dengan selokan pembuangan limbah kurang lebih 3 meter. Keadaan lingkungan : rumah saling berhimpitan dengan tetangga lainnya.

2. Pemeriksaan Fisik Tanggal 24 Oktober 2013 pukul 15.30 WIB. Anak perempuan usia 3 tahun, berat badan 11 kg, panjang badan 91 cm.
7

Keadaan umum : Composmentis, kurang aktif, tanda-tanda dehidrasi (+), tampak sakit sedang, gizi kurang.

Tanda vital : Tekanan darah HR (Nadi) : tidak dilakukan : 112 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup : 37,1oC (axilla)

RR (Laju Nafas) : 44 x/menit, reguler Suhu

Status Internus o o o o o o o o o Kepala kepala Rambut Mata : kemerahan, jarang, terdistribusi merata, mudah rontok (-) : konjungtiva anemis +/+, mata cowong +/+, sclera ikterik : mesocephale, tampak gambaran dermatitis pada kulit

/- pupil bulat, isokor +/+, diameter 3mm/3mm, Hidung Telinga Mulut : simetris, sekret -/- , nafas cuping hidung : discharge -/-, nyeri tekan tragus -/-, nyeri tarik-/: bibir kering (+) , bibir sianosis (-), stomtitis (+), trush (-),

peridonitis sulit dinilai, sarcoma Kaposi (-) Tenggorokan : tonsil, mukosa faring, detritus, granulasi sulit dinilai

karena pasien rewel tidak kooperatif Leher : Leher normal simetris

Kelenjar getah bening : preaurikula, submandibula, cervical, supraclavicula, inguinal teraba membesar, kenyal, batas tegas, permukaan rata, dapat digerakkan, tidak nyeri tekan.

Thoraks o Jantung

Inspeksi Palpasi

: tidak terlihat pulsasi ictus cordis : ictus cordis teraba di ICS V 1 cm medial linea

midclavicula sinistra
8

Perkusi Auskultasi o Paru - paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi o

: batas jantung sulit ditentukan : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

: pergerakan dinding dada dalam keadaan statis dan

dinamis simetris, retraksi suprastenal (+) : stem fremitus kana dan kiri tidak dapat dinilai : sonor di seluruh paru : suara napas vesikuler di seluruh lapang paru,

rhonki +/+, wheezing -/-, hantaran +/+ Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi : cembung : bising usus (+) meningkat : pekak di kuadran kanan atas dan kiri atas, timpani di

kuadran lainnya Palpasi : supel, hepatosplenomegali (+), hepar teraba pembesaran

6cm dari arcus costa dextra, batas tegas, permukaan rata tidak berbenjol-benjol, konsistensi kenyal, tepi tajam ; lien teraba pada sufner II, batas tegas, tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal. o Alat kelamin o Anorektal o Ekstremitas : Jenis kelamin perempuan, tidak hiperemis, tidak

ditemukan adanya kelainan : hemoroid eksterna pada jam 6 : Superior Akral dingin Akral sianosis Kuku : -spoon nail -jari tabuh Oedem -/-/-/-/-/-/9

Inferior -/-/-

-/-/-

CRT o Kulit

<2

<2

: Turgor kembali lambat ( 2), gambaran miliaria pustule

pada wajah dan dermatitis atopic pada kulit seluruh tubuh, ikterik (-)

3. Pemeriksaan Penunjang Tanggal 20/10/13 Pemeriksaan Hematologi rutin Hb Ht Leukosit Trombosit 9,2 g/dL 28,8 % 19.200 /l 461.000 /l Hasil

Kimia Klinik GDS 90 mg/dL

Serologi Widal S typhi O S typhi H 21/10/13 Feses Rutin Makroskopis Warna Konsistensi Bau Lendir Darah Mikroskopis Protein faeces Karbohidrat

Negative Negative

Kuning Cair Khas Negative Negative

Negative Negative

10

Lemak Eritrosit Amoeba Telur cacing Leukosit Bakteri 22/10/13 Hematologi rutin Hb Ht Leukosit Trombosit 24/10/13 Hematologi rutin Hb Ht Leukosit Trombosit

Pos (+1) 0-1 Negative Negative 2-3 +2

8,2 g/dL 25,2 % 5.700 /l 351.000 /l

8,8 g/dL 28,7 % 8.100 /l 453.000 /l

Kimia Klinik Globulin Protein total Albumin 4,7 g/dL 7,8 g/dL 3,1 g/dL

Imunologi HIV (rapid test)

reaktif

Gambaran sel darah tepi (24/10/13) Gambaran morfologi eritrosit : Poikilositosis (+), hipokromasi (+), mikrosit (+), ovalosit (+) Kesan : Anemia mikrositik hipokromik DD : Anemia disebabkan penyakit kronis Perdarahan
11

Foto thorax AP (25/10/2013) Cor : Letak, bentuk, dan ukuran normal

Pulmo : Corakan bronkovaskular meningkat, tampak bercak-bercak di perihiler-perikardial paru kanan dan kiri. Diafragma & sudut costophrenicus kanan dan kiri baik. Kesan : Cor normal, pulmo bronkopneumonia

Pemeriksaan CD4 (26/10/2013) Hasil : 640 c/ l

4. Pemeriksaan Khusus Data Antropometri : Anak Perempuan, usia 3 Berat badan : 11 kg

Panjang badan :` 91 cm Pemeriksaan status gizi (Z score) : WAZ = BB median = 11 14,1 = - 2,06 berat badan rendah (gizi kurang) SD 1,5 HAZ = PB median = 91 93,9 = - 0,78 (normal) SD 3,7 WHZ = BB median = 11 13,2 = -1.83 (normal) SD 1,2

Kesan : status gizi baik dan perawakan normal seusianya. Scoring TB Parameter Kontak TB Uji Tuberkulin BB/Keadaan Gizi Demam Idiopatik 2 minggu Skor 2 0 1 1

12

Batuk kronik 3 minggu Limfadenopati colli, axilla, inguinal: 1 cm, jumlah > 1, tidak nyeri Bengkak tulang/sendi panggul, lutut, phalang Foto thorax TOTAL Kesan : hasil scoring TB = 6 tanpa tes tuberkulin

1 1 0 0 0

C. RESUME + 2 minggu SMRS nenek pasien mengatakan anaknya panas. Panas naik turun, pasien sering berkeringat saat malam. Pasien mencret sehari kurang lebih 6x, mencret sebanyak gelas belimbing, cair, warna kuning, ada ampas. Pasien rewel susah makan karena banyak sariawan pada mulutnya tetapi pasien masih mau minum banyak. kencing pasien sedikit tidak seperti biasanya. Pasien juga batuk kurang lebih sudah 3 minggu, batuk berdahak, pasien tampak agak sesak nafas. Pasien sering gatal-gatal pada kulit seluruh tubuhnya, muncul gatal diakui sejak pasien umur 1,5 tahun, gatal bisa sembuh sendiri tetapi muncul lagi berulang-ulang walaupun sudah diobati. Karena panas dan diare tidak juga reda, akhirnya nenek pasien membawa pasien ke RSUD Kota Semarang.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat sakit serupa : (+) Tanggal 5 April 2012 pasien dirawat inap pertama kali di RSUD Semarang selama 14 hari dengan diagnosa BRPN, miliria, diaper rash, impetigo krustosa. Tanggal 16 September 2012 pasien dirawat inap yang kedua di RSUD Semarang selama 7 hari dengan diagnose GEDS.

Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat batuk lama diakui kakek pasien Riwayat infeksi pada alat genital diakui ibu pasien
13

Pemeriksaan Fisik Anak perempuan usia 3 tahun, berat badan 11 kg, panjang badan 91 cm.

Keadaan umum : Composmentis, kurang aktif, tanda-tanda dehidrasi (+), tampak sakit sedang, gizi kurang.

Tanda vital : HR (Nadi) : 112 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup : 37,1oC (axilla)

RR (Laju Nafas) : 44 x/menit, reguler Suhu

Status Internus o o o o o Kepala kepala Rambut Mata Mulut : kemerahan, jarang, terdistribusi merata, mudah rontok (-) : konjungtiva anemis +/+, mata cowong +/+ : bibir kering (+), stomatitis (+) : mesocephale, tampak gambaran dermatitis pada kulit

Kelenjar getah bening : preaurikula, submandibula, cervical, supraclavicula, inguinal teraba membesar, kenyal, batas tegas, permukaan rata, dapat digerakkan, tidak nyeri tekan.

Thoraks o

Paru - paru Inspeksi Auskultasi : retraksi suprastenal (+) : rhonki +/+, hantaran +/+

Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi : cembung : bising usus (+) meningkat : pekak di kuadran kanan atas dan kiri atas, timpani di

kuadran lainnya
14

Palpasi

: supel, hepatosplenomegali (+), hepar teraba pembesaran

6cm dari arcus costa dextra, batas tegas, permukaan rata tidak berbenjol-benjol, konsistensi kenyal, tepi tajam ; lien teraba pada sufner II, batas tegas, tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal. o Anorektal o Kulit : hemoroid eksterna pada jam 6 : Turgor kembali lambat ( 2), gambaran miliaria pustule

pada wajah dan dermatitis atopic pada kulit seluruh tubuh

Pemeriksaan Penunjang Hematologi rutin : Tanggal 20/10/13 Pemeriksaan Hematologi rutin Hb Ht Leukosit Trombosit 9,2 g/dL 28,8 % 19.200 /l 461.000 /l Hasil

22/10/13

Hematologi rutin Hb Ht Leukosit Trombosit 8,2 g/dL 25,2 % 5.700 /l 351.000 /l

24/10/13

Hematologi rutin Hb Ht Leukosit Trombosit 8,8 g/dL 28,7 % 8.100 /l 453.000 /l

Imunologi : Rapid test reaktif


15

Gambaran sel darah tepi (24/10/13) Gambaran morfologi eritrosit : Poikilositosis (+), hipokromasi (+), mikrosit (+), ovalosit (+) Kesan : Anemia mikrositik hipokromik DD : Anemia disebabkan penyakit kronis Perdarahan

Foto thorax AP (25/10/2013) Cor : Letak, bentuk, dan ukuran normal

Pulmo : Corakan bronkovaskular meningkat, tampak bercak-bercak di perihiler-perikardial paru kanan dan kiri. Diafragma & sudut costophrenicus kanan dan kiri baik. Kesan : Cor normal, pulmo bronkopneumonia

Pemeriksaan CD4 (26/10/2013) Hasil : 640 c/ l

Pemeriksaan Khusus Status Gizi Skoring TB : status gizi kurang : hasil scoring TB = 6 tanpa tes tuberkulin

D. DIAGNOSIS BANDING 1) HIV/AIDS 2) Febris > 7 hari o TBC o Tifoid o Malaria o Leptospirosis o ISK 3) Gastro Enteritis Dehidrasi Sedang o Menurut Patofisiologi
16

Diare Osmotik Diare Sekretorik

o Menurut Onset Akut Kronik

o Menurut derajat dehidrasi Gastroenteritis tanpa tanda dehidrasi Gastroenteritis dengan dehidrasi ringan-sedang Gastroenteritis dengan dehidrasi berat

o Menurut Etiologi Infeksi Parenteral : OMA, ISPA Enteral (gastroenteritis) : 4) Anemia 1. anemia hikpokrom mikrositer i. anemia defisiensi besi ii. anemia akibat penyakit kronik iii. talasemia mayor iv. anemia sideroblastik 2. anemia normokrom mikrositer I. anemia paska perdarahan akut II. anemia aplastik III. anemia hemolitik didapat
17

Jamur : Kandida Parasit : Entamoeba Histolytica, Giardia Lamblia Bakteri : E. Coli, Salmonella, Shigella Virus : Rotavirus, Adenovirus

Non Infeksi Psikis Makanan

IV. anemia pada gagal gagal ginjal kronik V. anemia pada sindrom mielodisplastik VI. anemia pada keganasan hematologi 3.anemia makrositer I. megaloblastik 1. anemia defisiensi asam folat 2. anemia defisiensi B12 II. non megaloblastik 1. anemia pada penyakit hati kronik 2. anemia pada hipotiroidisme 3. anak pada sindrom mielodisplastik

5) Status Gizi Kurang

E. DIAGNOSIS SEMENTARA I. HIV/AIDS

II. Diare Kronik Dehidrasi Sedang III. Tuberkulosis IV. Anemia Mikrositik Hipokromik et causa Penyakit kronis V. Status Gizi Kurang

F. TERAPI (MEDIKAMENTOSA DAN DIETETIK) Tx/ Infus RL 15 tpm Inj. Cefotaxim 3 x 250 mg iv Inj. Gentamicyn 2x25 mg iv

Po.

Paracetamol syr 4 x 1 cth Ambroxol syr 3x cth Zink kid 2 x 1 cth Imunomodulator syr 1x1 cth Multivitamin 1x1
18

CTM tab 3x 1/4

Topikal

Gentamicyn salep

Diet :

Diet tinggi besi, kalori, protein Perbanyak minum BBI : 14 kg Kal : 1200 kkal/hari Prot : 28 gram/hari

Program : Rawat bersama bagian kulit dan penyakit dalam Usul : Pemberian OAT

G. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad sanam Quo ad fungsionam : ad bonam : ad bonam : ad bonam

H. USULAN Pemberian OAT Cek Elektrolit (Na, K, Ca) Cek SGOT / SGPT Cek ureum kreatinin Serum Cek HbsAg Cek Gula darah Konsul bagian gizi

NASEHAT

1.

Menjelaskan kepada ibu atau keluarga pasien tentang penyakit yang diderita oleh pasien
19

2. 3.

Edukasi kepada orang tua agar lebih menjaga kebersihan Jika panas, minum obat penurun panas, jika panas tidak turun, segera bawa ke pelayanan kesehatan.

4. 5. 6.

Minum obat yang diberikan sesuai anjuran dokter. Jaga kebersihan anak dan lingkungan. Biasakan mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan minuman, dan setelah buang air besar dan buang air kecil.

7.

Memberikan makan-makanan yang bergizi dalam jumlah kecil dan frekuensi sering, terutama pada pagi hari ketika nafsu makan anak mungkin lebih baik

8. 9.

Biasakan mencuci botol dengan air mengalir,sikat kemudian direbus. Makan makanan yang bergizi

10. Kontrol secara rutin di fasilitas kesehatan minimal 2x setahun, untuk memantau kondisi klinis, pertumbuhan, asupan gizi, dan status imunisasi 11. Membersihkan mulut setiap setelah makan, jika timbul luka dimulut bersihkan mulut minimal 4x sehari dengan menggunakan dengan kain bersih yang digulung seperti sumbu dan dibasahi dengan air bersih atau larutan garam.

20

HIV/AIDS

Pendahuluan

Di seluruh dunia kejadian HIV menyebar luas. Pada akhir tahun 2004, program HIV/AIDS di US memperkirakan 2,5 juta anak dibawah usia 15 tahun terkena HIV/AIDS. Ditambah lagi sekitar 500.000 anak pada kelompok yang sama meninggal karena penyakit tersebut setiap tahunnya. Di US 90% infeksi HIV/AIDS yang dialami anak merupakan infeksi yang didapatkan saat lahir. Efek dari penyakit ini pada anak-anak berbeda bila dibandingkan dengan orang dewasa, dilaporkan dari hasil penelitian Juli/Agustus 2006 dalam General Dentisrty, Journal AGD clinical.Tipe, keparahan dan progresi gejalanya pun berbeda, tergantung dari usia saat mereka menderita sakit (Chika, 2007). Anak-anak tidak menunjukkan gejala spesifik dari HIV, berbeda dengan orang dewasa, dikatakan Kishore Shetty, DDS, pemimpin penelitian ini. Tubuh mereka akan lebih menunjukkan adanya infeksi atau kelemahan daripada tanda HIV nya sendiri (Chika, 2007). Selama kurun waktu 3,5 tahun terakhir, terdapat 11 pasien HIV anak di RS Dr Sardjito Jogja, tiga di antaranya meninggal. Usia penderita HIV anak ini 1- 4 tahun. . Ibarat gunung es, fenomena ini hanya bagian puncaknya saja. Masih banyak kasus yang belum terlaporkan dan masuk ke rumah sakit. Selain juga terjadi di beberapa rumah sakit daerah dan swasta, diperkirakan ada pasien-pasien lain yang belum terdeteksi. Mengutip data WHO, pada tahun 2005 lalu, terdapat 540 ribu kasus baru anakanak penderita HIV di seluruh dunia. Sebagian besar kasus-kasus ini mendapatkan infeksi melalui transmisi ibu-anak (MTCT: Mother to Child Transmition). Kondisi ini dapat terjadi pada saat kehamilan, persalinan atau selama masa menyusui. Untuk pencegahannya, diperlukan langkah-langkah strategis dan secara komprehensif. Antara lain dengan pencegahan secara primer. Pencegahan kehamilan pada wanita yang tinggal dengan penderita HIV, pencegahan penularan dari ibu HIV kepada bayinya, dan perawatan, pendampingan serta terapi kepada ibu, anak dan keluarga penderita.
21

Sementara, untuk anak di bawah umur 15 tahun yang telah terinfeksi jumlahnya mencapai 55 orang. Dari data Departemen Kesehatan, 2, 7 persen anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia sudah terinfeksi HIV. Steorotipe buruk pada penyakit HIV/AIDS membuat sebagian penderitanya memilih menutup diri dan merahasiakan penyakitnya. Data yang diketahui masyarakat hanya 10 persen dari jumlah riil pengidap. Sebab, diduga ada 230 ribu masyarakat Indonesia yang terinfeksi. Ancaman HIV/AIDS terus meningkat. Jika tak ditanggulangi, jumlah orang meninggal karena penyakit ini bisa meledak. Di China, misalnya, AIDS menjadi penyebab utama kematian (Kristianti, 2009).

Landasan Teori
o

Anatomi dan Fisiologi

1. Sistem Limfoid Sistem limfoid terdiri dari berbagai sel, jaringan dan organ yang merupakan tempat prekursor dan turunan limfosit berasal,

berdiferensiasi, mengalami pematangan dan tersangkut. Semua sel darah berasal dari prekursor bersama, yaitu sel bakal pluripotensial. Sel bakal pluripotensial adalah sel-sel embrionik yang dapat membentuk bermacam-macam sel hematopoetik dan dapat membelah diri. Sel-sel ini ditemukan dalam sumsum tulang dan jaringan hematopoetik lain serta menghasilkan semua komponen darah (misalnya, eritrosit, trombosit, granulosit, monosit dan limfosit). 2. Organ Limfoid Primer Walaupun terdapat di semua bagian tubuh, namun limfoid cenderung terkonsentrasi di beberapa organ limfoid, termasuk sumsum tulang, timus, limpa, kelenjar getah bening dan jaringan limfoid terkait organ. Sumsum tulang dan timus dianggap sebagai organ limfoid primer. 3. Organ Limfoid Sekunder Organ limfoid sekunder mencakup limpa, kelenjar getah bening dan jaringan tidak berkapsul. Contoh-contoh jaringan tidak berkapsul adalah tonsil, adenoid dan bercak-bercak jaringan limfoid di lamina
22

propria (jaringan ikat fibrosa yang terletak tepat di bawah epitel permukaan selaput lendir) dan di sub mukosa saluran cerna. 4. Imunitas Selular Peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi utama : fungsi regulator dan fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T penolong (CD4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan fungsi oleh sel-sel sistem imun) sel untuk CD4

melaksanakan

regulatornya.

Sitokin

dari

mengendalikan proses imun seperti pembentukan imunoglobulin oleh sel B, pengaktivan sel T lain dan pengaktifan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (sel CD8). Sel-sel CD8 ini mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor dan jaringan transplantasi dengan menyuntikkan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran "asing". Baik sel CD4 dan CD8 menjalani pendidikan timus di kelenjar timus untuk belajar mengenal fungsi. Fungsi utama imunitas selular adalah : 1. Sel T CD8 memiliki fungsi sitotoksik. 2. Sel T juga menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat saat menghasilkan berbagai limfokin yang menyebabkan peradangan. 3. Sel T memiliki kemampuan untuk mengingat. 4. Sel T juga memiliki peran penting dalam regulasi atau pengendalian sel. 5. Imunoglobulin Imunoglobulin (antibodi) , yang membentuk sekitar 20% dari semua protein dalam plasma darah, adalah produk utama sel plasma. Selain di plasma darah, imunoglobulin juga ditemukan di dalam air mata, air liur, sekresi mukosa saluran napas, cerna dan kemih-kelamin, serta kolostrum. Fungsi imunoglobulin adalah : 1. Menyebabkan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel yang dependen antibodi.
23

2. Memungkinkan terjadinya imunisasi pasif 3. Meningkatkan opsonisasi (pengendapan komplemen pada suatu antigen sehingga kontak lekat dengan sel fagositik menjadi lebih stabil). 4. Mengaktifkan komplemen (kumpulan glikoprotein serum) 5. Menyebabkan anafilaksis. 1. Imunitas : Alami Dan Didapat Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan didapat (akuisita). Imunitas alami yang merupakan kekebalan non spesifik sudah ditemukan pada saat lahir. Sedangkan imunitas di dapat atau imunitas spesifik terbentuk sesudah lahir. Imunitas alami akan memberikan respon nonspesifik terhadap setiap penyerang asing tanpa memperhatikan komposisi penyerang tersebut. Dasar pertahanan alami semata-mata berupa kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh atau antara "diri sendiri" dan "bukan diri sendiri". Mekanisme alami semacam ini mencakup sawar (barier) fisik dan kimia, kerja sel-sel darah putih dan respon inflamasi. Imunitas di dapat biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang bersifat protektif. Beberapa minggu atau bulan sesudah seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi akan timbul respon imun yang cukup kuat untuk mencegah terjadinya penyakit atau jangkitan ulang. Ada dua tipe imunitas yang di dapat, yaitu aktif dan pasif. Pada imunitas yang didapat aktif, pertahanan imunologi akan dibentuk oleh tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini umumnya berlangsung selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup. Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang ditransmisikan dari sumber lain yang sudah memiliki kekebalan setelah menderita sakit atau menjalani imunisasi.
24

Definisi Penyakit Menurut Judarwanto (2008) infeksi HIV adalah penyakit yang

diakibatkan oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV. Suati kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus HIV yang dapat menyebabkan acquired immune deficiency syndrome (AIDA) (Barhers, 2008). HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virusyang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun (Qodam, 2006). HIV (AIDS (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu penyakit yang menghancurkan sistem kekebalan tubuh manusia. Infeksi HIV dengan cepat akan melumpuhkan sistem kekebalan manusia. Setelah sistem kekebalan tubuh lumpuh, seseorang penderita HIV biasanya akan meninggal karena suatu penyakit (disebut penyakit sekunder) yang biasanya akan dapat dibasmi oleh tubuh seandainya sistem kekebalan itu masih baik (Pustekkom, 2005).

Infeksi HIV

Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV.

Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya (mother-tochild transmission (MTCT). Namun demikian setiap hari terjadi 1800 infeksi baru
25

pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di negara berkembang atau terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral (ARV) untuk anak dan bayi yang terinfeksi karenanya menjadi satu jalan untuk menanggulangi pandemi HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah penularan infeksi HIV pada anak dan bayi. Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang tergolong ke dalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus, seperti virus Visna pada biri-biri, sapi, dan feline serta Simian Immunodeficiency Virus (SIV). Lentivirus mampu menyebabkan efek sitopatik yang singkat dan infeksi laten dalam jangka panjang, juga menyebabkan penyakit progresif dan fatal termasuk wasting syndrom dan degenerasi susunan saraf pusat.

Perjalanan penyakit HIV

Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV. Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa. Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang
26

diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel. Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama. Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.

27

Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV. Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).

28

29

MNAIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh

mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun,

30

anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali (Judarwanto, 2008). Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang (Judarwanto, 2008). Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum (Judarwanto, 2008). Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran

ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal (Judarwanto, 2008). Seperti dengan orang dewasa, ada beberapa tanda dan gejala yang seharusnya menimbulkan kecurigaan bahwa anak terinfeksi HIV. Ini termasuk: berat bada menurun, atau gagal tumbuh; diare lebih dari 14 hari; demam lebih dari satu bulan; infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang parah atau menetap; batuk kronis; dan infeksi oportunistik sama yang dialami oleh orang dewasa. Tes
31

HIV umum akan menunjukkan hasil positif selama beberapa bulan jika ibunya terinfeksi HIV, walaupun anak mungkin tidak terinfeksi. Jadi, jika hasil tes anak adalah positif, ini bukti bahwa ibunya HIV, dan karena itu, penting ibu diberi konseling sebelum anaknya dites (Anonim, 2008). Menurut Hidayat (2008) secara umum perjalanan infeksi HIV dan AIDS dalam empat stadium antara lain : 1. Stadium HIV Dimulai dengan maksuknya HIV yang dikuti terjadinya perubahan serologis ketoika antibody terhadap virus tersebut dari negative menjadi positif. Waktu masuknya HIV ke dalam tubuh hingga dapat diteksi HIV positif adalah 1-3 bulan atau bias sampai 6 bulan (window period) 2. Stadium Asimtomatis (tanpa gejala) Menunjulkan didalam organ terdapat HIV tetapi belum menunjukkan gejala-gejala dan berlangsung 5-10 tahun 3. Stadium pembesaran kelenjar limfe Menunjukkan adanya pembesaran kelenjar linfe secara menetap dan merata (persistent generalized lymphadenophaty) dan berlangsung lebih 1 dari bulan 4. Stadium AIDS Merupakan tahap akhir infeksi HIV. Keadaan ini disertai dengan bermacam-macam penyakit infeksi sekunder dengan gejala mayor: 1. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan 2. Diare kronis lebih dari 1 bulan berulang atau terus menerus 3. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 bulan Dan ada beberapa gejala minor antara lain: 4. Batuk kronis selama 1 bulan 5. Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida albicans 6. Pembengkakan kelenjar linfe betah bening yang menetap di seluruh tubuh
32

7. Munculnya herpes zoster berulang 8. Bercak-bercak dan gatal-gatal di seluruh tubuh 5. Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV a, b 6. Stadium klinis 1 7. Asimtomatik Limfadenopati generalisata persisten 8. Stadium klinis 2 9. Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana 10. Erupsi pruritik papular 11. Infeksi virus wart luas 12. Angular cheilitis 13. Moluskum kontagiosum luas 14. Ulserasi oral berulang 15. Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan 16. Eritema ginggival lineal 17. Herpes zoster 18. Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis ) 19. Infeksi kuku oleh fungus 20. Stadium klinis 3 21. Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap terapi standara 22. Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a 23. Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau konstan, > 1 bulan) a 24. Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan) 25. Oral hairy leukoplakia 26. Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut 27. TB kelenjar 28. TB Paru 29. Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
33

30. Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik 31. Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk

bronkiektasis 32. Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/ mm3) 33. Stadium klinis 4b 34. Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standara 35. Pneumonia pneumosistis 36. Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia) 37. Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun) 38. TB ekstrapulmonar 39. Sarkoma Kaposi 40. Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru) 41. Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus) 42. Ensefalopati HIV 43. Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan 44. Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis 45. Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) 46. Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea) 47. Isosporiasis kronik 48. Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata 49. Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik 50. Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral 51. Progressive multifocal leukoencephalopathy

MASA INKUBASI DAN PENULARAN


34

Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahuntahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia sudah dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunistik sudah dapat dilihat ketika usia 2 bulan. Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan. Penularan lain yang juga penting adalah dari transfusi produk darah yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau perkosaan anak oleh penderita HIV, prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang buktinya sangat sedikit. Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HIV seperti air ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang atau kontak sosial seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah merupakan cara untuk penularan. Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan gejala AIDS tidak perlu dikucilkan dari sekolah atau pergaulan. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung HIVselama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat terjadi pada 20-50% kasus. Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar Limfosit T CD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan per vaginam dan dilakukannya prosedur invasif pada bayi. Selain itu prematuritas akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi. HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya baik dari cairan ASI maupun
35

sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA yang terlarut berperan dalam proses pengurangan antigen. WHO menganjurkan untuk negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke bayinya belum pernah dilaporkan. Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah yang mengandung HIV atau produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah dilakukannya skrining darah donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara ini menjadi jauh berkurang. Penularan melalui cara ini terutama ditemukan pada penyalahguna obat intravena yang menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka seorang pengguna akan dapat menulari pasangannya melalui hubungan seksual. Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka penyakit melalui cara ini, di banyak negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi pengguna narkoba dengan membagikan jarum suntik steril pada pemakai. Penularan cara ini ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti pasangan seksual, atau korban perkosaan, atau prostitusi anak. Penderita AIDS yang berumur 20-an mendapat infeksi HIV pada masa remaja.

Penularan HIV dari ibu kepada bayinya dapat melalui: 1) Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum) Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu. 2) SElama persalinan (intrapartum)

36

Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir. 3) Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan. 4) Bayi tertular melalui pemberian ASI. Transmisi pascapersalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel, partikel virus ini dapat ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai factor yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat.

Pemeriksaan Penunjang Diagnostik

Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
37

Voluntary Counseling Test (VCT)

Definisi Voluntary Counseling Test (VCT):

Proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV. Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang HIV & manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue HIV yang akan dihadapi. Konseling post testing membantu seseorang untuk mengerti & menerima status (HIV+) dan merujuk pada layanan dukungan. Voluntary Counseling Test (VCT) : Merupakan pintu masuk penting untuk pencegahan dan perawatan HIV Konseling HIV/AIDS Dialog yang terjaga kerahasiaan

antara konselor dan klien ".

Konseling membantu orang mengetahui statusnya lebih dini, menekankan kepada aspek perubahan perilaku, peningkatan kemampuan menghadapi stress, ketrampilan pemecahan masalah.

Konseling HIV juga menekankan pada issue HIV terkait seperti bagaimana hidup dengan HIV, Pencegahan HIV ke pasangan, dan issueissue HIV yang berkelanjutan.
38

Konseling Bukanlah :

Memberitahu atau mengarahkan Menasehati Membuat gosip Melaksanakan interogasi Membuat pengakuan Mendoakan

Elemen Penting dalam VCT


Tersedia waktu Penerimaan klien dan berorintasi kepada klien Mudah di Jangkau (Accessibility) Confidentiality ( rasa nyaman)

Siapa yang disebut Konselor HIV?

Full time counselor yang berlatar belakang psikologi&ilmuwan psikologi (psychiatrists, family therapist, psikologi terapan) yang sudah mengikuti pelatihan VCT dengan standart WHO.

Profesional dari kalangan perawat, pekerja sosial, & dokter. Community-based dan PLWHA yang sudah terlatih (Peer).

Konselor HIV 1. Konselor Dasar (Lay Counselor)


o o o

Berangkat dari kebutuhan sebaya Dekat dengan komunitas Lebih mempromosikan VCT dan konseling dukungan.

2. Konselor Profesional (Profesional Counselor)


o o

Pre dan post konseling Issue Psikososial

3. Konselor Senior/pelatih (Senior Counselor)


o

Memberikan dukungan untuk konselor dan petugas managemen kasus

Mendampingi, supervisi dan memberikan bantuan teknis kepada konselor


39

Tahapan Konseling Pre Test


Alasan Test Pengetahuan tentang HIV & manfaat testing Perbaikan kesalahpahaman ttg HIV / AIDS Penilaian pribadi resiko penularan HIV Informasi tentang test HIV Diskusi tentang kemungkinan hasil yang keluar Kapasitas menghadapi hasil / dampak hasil Kebutuhan dan dukungan potensial - rencana pengurangan resiko pribadi Pemahaman tentang pentingnya test ulang. Memberi waktu untuk mempertimbangkan. Pengambilan keputusan setelah diberi informasi. Membuat rencana tindak lanjut. Memfasilitasi dan penandatanganan Informed Consent

Konseling Pasca Test

Dokter & Konselor Mengetahui Hasil Untuk Membantu Diagnosa Dan Dukungan Lebih Lanjut.

Hasil diberikan dalam amplop tertutup . Hasil Disampaikan Dengan Jelas Dan Sederhana Beri Waktu Untuk Bereaksi Cek Pemahaman Hasil Test Diskusi Makna Hasil Test Dampak pribadi , keluarga , sosial terhadap odha , kepada siapa & bagaimana memberitahu.

Rencana pribadi penurunan resiko Menangani reaksi emosional. Apakah segera tersedia dukungan ? Tindak lanjut perawatan & dukungan ke layanan managemen kasus atau layanan dukungan yang tersedia di wilayah.

40

Alur Vct Konseling Individual pra-testing - Periksa Darah dg Rapid Testing - Terima hasil & konseling Pasca Tes - Konseling Dukungan dan rujukan pelayanan Kesehatan & MK - Rujukan untuk dukungan proses yang sedang berjalan, termasuk Support group.

Penatalaksanaan Medis dan Perawatan 1. Perawatan Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain: 1. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi 2. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada 3. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV 4. Mengatasi dampak psikososial 5. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis 6. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)

2. Pengobatan

41

Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS. Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi dan status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002). Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujuan terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti Kandidiasis dan pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks dan Zalcitacin (DDC) adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah, Videks dan DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit sistem saraf pusat. Trimetoprin sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan Pentamadin digunakan untuk pengobatan dan profilaksi pneumonia cariini setiap bulan sekali berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin poliovirus (OPV), anak-anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV) (Betz dan Sowden, 2002).

Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak?

Proses pengambilan keputusan untuk mulai ART pada bayi dan anak tergantung pada penilaian klinis dan imunologis. Agar memudahkan peningkatan pada akses universal terhadap ART, WHO menekankan pentingnya parameter klinis. Pendekatan ini bertujuan untuk memungkinkan ketersediaan pengobatan untuk semua anak yang membutuhkannya, walau diagnosis HIV adalah presumptif dan bila CD4 tidak tersedia. Namun, bila mungkin, penggunaan hasil pengukuran CD4 bermanfaat, terutama untuk keputusan mengenai permulaan terapi pada anak yang tidak begitu sakit, dan WHO mendorong program nasional
42

untuk meningkatkan akses pada teknologi tes CD4. Pengambilan keputusan mengenai permulaan terapi terutama penting untuk anak berusia di bawah 12 bulan karena kemungkinan kematian pada anak terinfeksi HIV yang tidak diobati adalah tinggi: angka mortalitas sampai dengan 40 persen pada usia 1 tahun pernah dilaporkan (2 ,3, 39, 40). Keputusan mengenai kapan mulai ART juga harus meliputi penilaian lingkungan sosial anak yang mungkin membutuhkan terapi. Hal ini harus termasuk mengidentifikasikan seorang pengasuh yang jelas, yang mengerti prognosis HIV dan implikasi ART (yaitu terapi seumur hidup, ketidakpatuhan, pemberian obat, toksisitas dan penyimpanan obat). Akses pada dukungan gizi) dan kelompok dukungan untuk keluarga, terutama termasuk mengidentifikasikan pengasuh sekunder (cadangan) yang diberikan informasi juga diusulkan.Status pengungkapan pada anak dan di antara keluarga juga penting saat membuat keputusan mengenai permulaan ART.

Penilaian klinis anak terinfeksi HIV Klasifikasi Klinis Pediatrik WHO untuk penyakit terkait HIV

Stadium klinis adalah untuk digunakan bila infeksi HIV sudah dikonfirmasi (yaitu bukti serologis dan/atau virologis infeksi HIV). Stadium ini menginformasikan penilaian pada awal atau saat masuk perawatan HIV dan juga dapat dipakai untuk membantu pengambilan keputusan mengenai kapan harus mulai profilaksis kotrimoksazol pada anak terinfeksi HIV atau tindakan lain terkait HIV, termasuk kapan mulai, mengubah atau berhenti ART pada anak terinfeksi HIV, terutama bila CD4 tidak tersedia. Usulan untuk mulai ART pada bayi dan anak terinfeksi HIV tergantung pada stadium klinis dan
43

ketersediaan tanda imunologis

Kriteria CD4 untuk kerusakan kekebalan yang berat

Kriteria TLC untuk kerusakan kekebalan yang berat yang membutuhkan permulaan ART

44

45

GASTROENTERITIS Definisi Gastro Enteritis adalah radang pada lambung dan usus yang memberikan gejala diare, dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai peningkatan suhu tubuh. Diare adalah penyakit yang ditandai dengan betambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (>3x perhari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah dan atau lendir. Etiologi Diare 1. Faktor infeksi Infeksi enternal yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi enternal ini meliputi : Infeksi bakteri (10-20%): vibrio, E.coli, salmonella, shigella, campylobacter, yersenia, aeromonas Infeksi virus (70%) : enterovirus , adenovirus, rotairus, astrovirus Infeksi parasit : cacing (ascaris , trichiuris, oxyuris, strongyloides Protozoa (10%) : entamoeba histolytica, giardia lamblia, trichomonas homonis Jamur : candida albicans

2.

Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan seperti otitis mdia akut, tonsilofaringitis, bronkopnemonia, ensefalitis. Keadaan teruta pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.

3.

Faktor malabsorbsi : Malabsorbsi Karbohidrat (Gula). Malabsorbsi karbohidrat atau gula adalah ketidakmampuan untuk mencerna dan menyerap (absorb) gulagula. Malabsorbsi gula-gula yang paling dikenal terjadi dengan
46

kekurangan lactase (juga dikenal sebagai intoleransi lactose atau susu) dimana produk-produk susu yang mengandung gula susu, lactose, menjurus pada diare. Lactose tidak diurai dalam usus karena ketidakhadiran dari enzim usus, lactase, yang normalnya mengurai lactose. Tanpa diurai, lactose tidak dapat diserap kedalam tubuh. Lactose yang tidak tercerna mencapai usus besar dan menarik air (dengan osmosis) kedalam usus besar. Ini menjurus pada diare. Meskipun lactose adalah bentuk yang paling umum dari malabsorbsi gula, gula-gula lain dalam diet juga mungkin menyebabkan diare, termasuk fructose dan sorbitol. Malabsorbsi Lemak. Malabsorbsi lemak adalah ketidakmampuan untuk mencerna atau menyerap lemak. Malabsorbsi lemak mungkin terjadi karena sekresi-sekresi pankreas yang berkurang yang adalah perlu untuk pencernaan lemak yang normal (contohnya, disebabkan oleh pankreatits atau kanker pakreas) atau oleh penyakit-penyakit dari lapisan dari usus kecil yang mencegah penyerapan dari lemak yang telah dicerna (contohnya, penyakit celiac). Lemak yang tidak tercerna memasuki bagian terakhir dari usus kecil dan usus besar dimana bakter-bakteri merubahnya kedalam senyawa-senyawa (kimia-kimia) yang menyebabkan air disekresikan oleh usus kecil dan usus besar. Lintasan melalui usus kecil dan usus besar juga mungkin lebih cepat ketika ada malabsorbsi dari lemak.

Epidemiologi Setiap tahun diperikirakan lebih dari satu milyar kasus diare di dunia dengan 3,3 juta kasus kematian sebagai akibatnya.4 Diperkirakan angka kejadian di negara berkembang berkisar 3,5 7 episode per anak pertahun dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 2 5 episode per anak per tahun dalam 5 tahun pertama kehidupan. Hasil survei oleh Depkes. diperoleh angka kesakitan diare tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk angka ini meningkat bila dibanding survei pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk. Diare masih merupakan penyebab
47

utama kematian bayi dan balita. Hasil Surkesnas 2001 didapat proporsi kematian bayi 9,4% dengan peringkat 3 dan proporsi kematian balita 13,2% dengan peringkat 2. Diare pada anak merupakan penyakit yang mahal yang berhubungan secara langsung atau tidak terdapat pembiayaan dalam masyarakat. Biaya untuk infeksi rotavirus ditaksir lebih dari 6,3 juta poundsterling setiap tahunya di Inggris dan 352 juta dollar di Amerika Serikat.

Patofisisologi Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah : Gangguan osmotik : akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. Gangguan sekresi : akibat rangsangan tertentu (toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus

48

Manifestasi klinis Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainya bila terjadi komplikasi ekstraintestinal termasuk manifestasi neurologic. Gejala gastrointestinal bias berupa diare, kram perut, dan munth. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga akan meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolic, dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskular dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisistas plasma dapat berupa dehidrasi isotonic, dehidrasi hipertonik ( hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bias tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dehidrasi berat.
49

Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enteric pathogen antara lain : vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomyelitis, meningitis, pneumonia, hepatitis, peritonitis dan septic tromboplebitis. Gejala neurolgik dari infeksi usus bias berupa parestesia ( akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamate), hipotoni dan kelemahan otot. Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang lebih hebat dan tenesmus terjadi pada perut bagian bawah serta rectum menunjukan terkenanya usus besar. Mual dan muntah adalah symptom yang nonspesifik akan tetapi muntah mungkin disebabkan oleh karena mikroorganisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seprti:enteric virus, bakteri yang memproduksi enteroroksin, giardia, dan cryptosporidium. Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas atu hanya subfebris, nyeri perutperiumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukan bahwa saluran makan bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit.

50

Tatalaksana Diare menurut WHO a. Rehidrasi b. Dukungan nutrisi c. Suplementasi Zinc d. Antibiotik Selektif e. Edukasi orang tua Rehidrasi 1. Rencana terapi A : penanganan diare di rumah Jelaskan kepada ibu tentang 4 aturan perawatan di rumah: Beri cairan tambahan (sebanyak anak mau) Jelaskan pada ibu: pada bayi muda, pemberian ASI merupakan pemberian cairan tambahan yang utama. Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian. jika anak memeperoleh ASI eksklusif, beri oralit, atau air matang sebagai tambahan

51

jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan berikut ini: oralit, cairan makanan(kuah sayur, air tajin) atau air matang

Anak harus diberi larutan oralit dirumah jika: anak telah diobati dengan rencana terapi B atau dalam kunjungan anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah berat

Ajari pada ibu cara mencampur dan memberikan oralit. Beri ibu 6 bungkus oralit (200ml) untuk digunakan dirumah. Tunjukan pada ibu berapa banyak cairan termasuk oralit yang harus diberikan sebagai tambahan bagi kebutuhan cairanya sehari-hari: <2 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali BAB >2 tahun : 100 samapai 200 ml setiap kali BAB

Katakan pada ibu agar meminumkan sedikit-sedikit tetapi sering dari mangkuk/ cangkir/gelas jika anak muntah, tunggu 10 menit. kemudia lanjutkan lagi dengan lebih lambat. lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.

Beri tablet Zinc Pada anak berumur 2 bulan keatas, beri tablet zinc selama 10 hari

dengan dosis : umur <6 bulan : tablet (10 mg) perhari umur >6 bulan : 1 tablet (20 mg) perhari

Lanjutkan pemeberian makanan Kapan harus kembali

2. Rencana terapi B Penanganan dehidrasi sedang/ ringan dengan oralit. Beri oralit di klinik sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam.

52

Usia

<4 bulan

4-11 bulan

12-23 bulan

5-4 tahun

5-14tahun

>15 tahun

Berat badan Jumlah (ml)

<5 kg

5-7,9 kg

8-10,9 kg

11-15,9 kg

16-29,9 kg

>30 kg

200-400

400-600

600-800

800-1200

1200-2200

2200-4000

Jumlah oralit yang diperlukan 75 ml/kgBB. Kemudian setelah 3 jam ulangi penilaian dan klasifikasikan kemabali derajat dehidrasinya, dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan. Jika ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai tunjukan cara menyiapkan oralit di rumah, tunjukan berapa banyak larutan oralit yang harus diberikan dirumah untuk menyelesaikan 3 jam pertama. Beri bungkus oralit yang cukup untuk rehidrasi dengan menambah 6 bungkus lagi sesuai yang dainjurkan dalam rencana terapi A. Jika anak menginginkan oralit lebih banyak dari pedoman diatas, berikan sesuai kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Untuk anak berumur kurang dari 6 bulan yang tidak menyusu, beri juga 100-200 ml air matang selama periode ini. Mulailah member makan segera setelah anak ingin amkan. Lanjutkan pemberian ASI. Tunjukan pada ibu cara memberikan larutan oralit. berikan tablet zinc selama 10 hari. 3. Rencana terapi C (penanganan dehidrasi berat dengan cepat) Beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui mulut, sementara infuse disiapkan. Beri 100 ml/kgBB cairan ringer laktat atau ringer asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl)yang dibagi sebagai berikut. Umur Pemberian pertama Pemebrian berikut

30ml/kgBB selama Bayi (bibawah umur12 1 jam* bulan) Anak (12 bulan sampai 30 menit*

70ml/kgBB selama 5 jam

2 jam
53

5 tahun)

*ulangi sekali lagi jika denyut nadi sangat lemah atau tidak teraba Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan intravena lebih cepat. Juga beri oralit (kira-kira 5ml/kgBB/jam) segera setelah anak mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri anak tablet zinc sesuai dosis dan jadwal yang dianjurkan. Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam (klasifikasikan dehidrasi), kemudian pilih rencana terapi) untuk melanjutkan penggunaan. Prinsip pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan untuk memberikan pada penderita: 1. Kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari cairan dan elektrolit 2. Mengganti cairan kehilangan yang terjadi 3. Mencukupi kehilangan abnormal dari cairan yang sedang berlangsung. Dukungan Nutrisi Makanan diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat, untuk mengganti nutrisi yang hilang serta mencegah agar tidak terjadi gizi buruk. Suplementasi Zinc Zinc termasuk mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang optimal. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan absorbs air dan elektrolit oleh usus halus meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen di usus. Pengobatan dengan zinc cocok ditetapkan di negara-negara berkembang seprti Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitasnya yang kurang memadai.
54

Pemberian zinc dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Dosis zinc untuk anak-anak: anak dibawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari anak diatas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari

Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anka telah sembuh dari diare. Untuk bayi tablet zinc diberikan dalam air matang, ASI atau oralit. Untuk anak lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit Antibiotik Selektif Antbiotik apda umunya tidak diperlukan pad semua daire akut oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotic. Hanya sebagian kecil (10-20%) yang disebabkan oleh bakteri pathogen seperti V,cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.coli, Salmonella, Campilobacter, dan sebagainya,

Penyebab Kolera

Antibiotik pilihan Tetracycline mg/kgBB 4x sehari selama 3 hari 12,5

Alternatif Erythromycin mg/kgBB 4x sehari selama 3 hari Pivmecillinam 20 mg/kg BB 4x sehari selama 3 hari Ceftriaxone mg/kgBB 1x sehari IM selama 2-5 hari 50-100 12,5

Shigella Disentri

Ciprofloxacin mg/kgBB

15

2x sehari selama 3 hari

Amoebiasis

Metronidazole mg/kgBB

10

3xs ehari selama 5 hari (10 hari pada kasus


55

berat) Edukasi Orang tua Nasihat pada orang tua untuk segera kembali bila ada demam, tinja berdarah, muntah berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering atau belum membaik.

Komplikasi pada Diare Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai macam komplikasi seperti : Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik). Renjatan hipovolemik. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah,

bradikardi, perubahan pada elektrokardiogram). Hipoglikemi Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa usus halus. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik. Malnutrisi energi protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan. Prognosis Secara umum prognosis untuk diare akut pada anak bergantung pada penyakit penyerta/komplikasi yang terjadi.Jika diarenya segera di tangani sesuai dengan kondisi umum pasien maka kemungkinan pasien dapat sembuh.Yang paling penting adalah mencegah terjadinya dehidrasi dan syok karena dapat berakibat fatal.jika terdapat penyakit penyerta yang memberatkan keadaan pasien maka perlu di lakukan pengobatan terhadap penyakitnya selain penanganan terhadap diare.10Oleh karna itu perlu di lakukan diagnosa pasti berdasarkan pemeriksaan penunjang lain yang membantu, sehingga dapat di lakukan penanganan yang tepat sesuai Penyebab/kausal dari diare yang di alaminya.
56

TUBERKULOSIS

Definisi Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh hidup lainnya yang mempinyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terjadipada malam hari. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun diluar paru.

Epidemiologi

Organisasi kesehatan dunia memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia (2 triliyun manusia ) terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika latin. Tuberculosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stress, nutrisi jelek, penuh sesak, perawatan kesehatan yang kurang dan perpindahan penduduk. Di Amerika Serikat kebanyakan anak terinfeksi dirumahnya oleh seorang yang dekat padanya, tetapi wabah Tuberculosis anak juga terjadi pada sekolah-sekolah dasar serta penitipan anak. Penularan Tuberculosis adalah dari orang ke orang, droplet (tetes) lendir berinti yang dibawa udara. Penularan jarang terjadi dengan kontak langsung atau barang-barang yang terkontaminasi. Orang dewasa yang terinfeksi tuberkulosis dapat menularkan Mycobacterium tuberculosis ke anak.

PENYEBAB

Faktor resiko tertinggi dari tuberculosis paru adalah : Berasal dari negara berkembang Anak-anak dibawah umur 5 tahun atau orang tua Pecandu alcohol atau narkotik
57

Infeksi HIV Diabetes mellitus Penghuni rumah beramai-ramai Imunosupresi Hubungan intim dengan pasien yang mempunyai sputum positive Kemiskinan dan malnutrisi

Penularan kuman terjadi melalui udara dan diperlukan hubungan yang intim untuk penularannya. Selain itu jumlah kuman yang terdapat pada saat batuk adalah lebih banyak pada tuberculosis laring dibandingkan dengan tuberculosis pada organ lainnya. Berdasarkan penularannya maka tuberculosis dapat di bagi menjadi 3 bentuk,yakni:

Tuberkulosis Primer Terdapat pada anak-anak. Setelah usian 6-8 minggu kemudian mulai dibentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga tes tuberculin menjadi positif. Reaktifasi dari tuberculosis primer 10% dari infeksi tuberculosis primer akan mengalami reaktifasi, terutama setelah 2 tahun dari infeksi primer.

Tipe reinfeksi Infeksiyang baru terjadi setelah infeksi primer adalah jarang terjadi. Mungkin dapat terjadi apabila terdapat penurunan dari imunitas tubuh atau terjadi penularan secara terus menerus oleh kuman tersebut dalam suatu keluarga.

Gejala klinis Permulaan tuberkulosis primer biasanya sukar diketahui secara klinis karena penyakit mulai secara perlahan-lahan. kadang kadang tuberkulosis juga ditemukan pada anak tanpa gejala atau keluhan. Gejala tuberkulosis pada anak dibagi menjadi 2, yaitu: Gejala umum/non spesifik, berupa :
58

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dengan penanganan gizi. 2. Anoreksia dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik. 3. Demam lama/berulang tanpa sebab jelas, dapat disertai keringat malam. 4. Pembesaran kelenjar limfe superfisial multiple dan tidak nyeri. 5. Batuk lebih dari 30 hari 6. Diare persisten tidak sembuh dengan pengobatan diare. Gejala spesifik sesuai organ yang terkena, yaitu: 1. Tbc kulit/ skofuloderma. 2. Tbc tulang dan sendi a. Tulang punggung (spondilitis ) : gibbus / bungkuk b. Tulang panggul (koksitis) : pincang c. Tulang lutut: pincang dan bengkok d. Tulang kaki dan tangan, dengan gejala pembengkakan sendi dan pincang. 3. Tbc otak dan syaraf : meningitis dengan gejala iritabel, kaku kuduk muntah dan kesadaran menurun 4. Tbc mata : conjungtivitis, tuberkel khoroid. 5. Tbc organ lainnya. Tuberkulosis juga dapat menunjukan gejala seperti bronkopneuomonia, sehingga pada anak dengan gejala bronkopneumonia yang tidak menunjukan perbaikan dengan pengobatan bronkopneuomonia harus dipikirkan juga kemungkinan menderita tuberkulosis. Tanda-tanda klinis dari tuberculosis adalah terdapatnya keluhan-keluhan berupa: Batuk (lebih dari 3 minggu) Sputum mukoid atau purulen Nyeri dada Hemoptisis Dispne
59

Demam dan berkeringat, terutama pada malam hari Berat badan menurun Anoreksia Malaise Ronki basah di apeks paru

Cara penularan Penyakit ini dapat tertular kepada orang yang melalui udara yang mengandung kuman tbc. Kewaspadaan Masyarakat Bila masyarakat menjumpai anggota keluarga atau tetangga dilingkungan dengan gejala diatas segera dibawa ke Puskesmas untuk pemeriksaan dahak si penderita. Pencegahan Penyakit Pencegahan dilakukan dengan: Perbaikan gizi Pengadaan rumah sehat denagn ventilasi yang memadai Perilaku hidup bersih dan sehat

Pengobatan Pengobatan tergantung pada tipe respirasi Diagnosis Diagnosis Tuberkulosis paling tepat didasarkan adanya basil Tuberculosis pada bahan yang diambil dari pasien berupa sputum, bilasan lambung, biopsi dan lain lain tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat sehingga diagnosis berdasarkan atas: 1. Gambaran klinis. 2. Gambaran radiologis. 3. Uji tuberkulin. Gambaran klinis pada anak menunjukan gejala yang tidak spesifik, seperti:
60

1. Setiap anak yang kurang gizi / berat badan tidak mau naik, nafsu makan menurun, sering sakit, batuk, pilek, mencret, keringat malam, harus dicurigai terinfeksi basil tuberkulosis. 2. Kontak dengan penderita Tbc dewasa. 3. Pemeriksaan fisik biasanya anak kurus dan lemah. 4. Limfadenopati supraklavikuler atau leher yang multiple. 5. Pemeriksaan darah tepi : LED meningkat. Limfositosis dan monositosis.

Sedangkan gambaran radiologis menunjukan adanya pembesaran kelenjar hilus, pembesaran kelenjar para trakeal. Gambaran radiologis lain dapat ditemui yaitu efusi pleura, milier, atelektasis, emfisema lobus, kavitasi jarang pada anak dan penebalan pleura. Diagnosis lain pada Tbc dapat ditegakan dengan Uji Tuberkulin. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting, dan lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila diketahui konversi dari negatif. Pada anak dibawah umur 5 tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif meskipun tidak menunjukan kelainan klinis dan radiologis, demikian pula halnya bila terdapat konversi uji tuberkulin. Uji tuberkulin dilakukan berdasarkan timbulnya hipersensivitas terhadap tuberkuloprotein karena adanya infeksi. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu cara moro dengan salep, dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara mantoux dengan menyuntikkan intrakutan dipermukaan voler lengan bawah sebanyak 0,1 ml. Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukan dapat diketahui banyaknya. Reaksi lokal yang terdapat pada uji mantoux terdiri atas : Eritema karena vasodilatasi perifer. Edema karena reaksi antigen yang disuntikan dengan antibodi. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
61

Pembacaan uji tuberkulin dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Tuberkulin yang biasanya dipakai ialah old tuberkulin (OT) dan Purified Protein Derivative tuberculin (PPD), biasanya PPD RT 23 TU atau PPD S 5TU, dengan dosis baku 0,1ml. Kriteria uji positif bila indurasi lebih 10mm, lebih 15 mm pada anak yang telah mendapat vaksinasi BCG dan lebih 5 mm pada anak kontak erat dengan penderita Tbc aktif. Uji mantoux negatif belum tentu mengesampingkan adaya infeksi atau penyakit Tbc. Uji mantoux dapat positif atau negatif palsu, misalnya pada penderita tuberkulosis dengan malnutrisi energi protein, tuberkulosis berat, morbilli, varisela, pertusis, difteri, tifus abdominalis dan pemberian kortikosteroid yang lama, vaksin virus misalnya poliomyelitis, dan penyakit ganas misalnya penyakit Hodgkin, uji tuberkulin dapat menjadi negatif untuk sementara. Diagnosis pasti ditegakan berdasarakan basil Tbc yang positif pada biakan. Kriteria Tbc menurut Smith dan Marquis (1981) Uji tuberkulin positif Gambaran klinis sesuai dengan Tbc Riwayat kontak dengan penderita Tbc dewasa Gambaran rongten paru sesuai Tbc Ditemukan basil Tbc pada pemeriksaan PA kelejar limfe, tulang, sumsum tulang , lesi dikulit dan pleura. Ditemukan basil Tbc pada pemeriksaan Tbc ( Ditegakan diagnosa Tbc bila terdapat 2 kriteria positif). Petunjuk diagnosis Tbc anak menurut WHO : Dicurigai Tbc Riwayat kontak dengan penderita Tbc Anak dengan : o Klinis tidak membaik setelah campak , batuk rejan o BB turun, batuk mengi tidak baik dengan antibiotic o Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit
62

Mungkin Tbc Anak dicurigai Tbc ditambah : o Uji tuberkulin positif o Foto rontgen paru sugestif Tbc o Pemeriksaan histopatologis biopsi sugestif Tbc o Respon baik pada OAT Pasti tuberculosis : Ditemukan basil Tbc pada pemeriksaan langsung atau biakan Identifikasi basil Tbc pada karakteristik biakan.

Pengobatan Prinsip pengobatan tuberkulosis adalah harus membunuh semua kuman tuberkulosis dengan cepat. Kuman yang pertama kali di bunuh adalah kuman yang aktif membelah. Penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) sebaiknya disesuaikan dengan 3 sifat kuman tuberkulosis yaitu ketergantungan akan oksigen, pertumbuhan lambat dan cepatnya timbul muatan resesif. Kuman tuberculosis memerlukan waktu untuk pembelahan sekitar 20 jam, oleh karena itu pemberian OAT cukup diberikan dosis sekali sehari. Berdasarkan sifat-sifat kuman tersebut OAT dibagi dalam beberapa kelompok diantaranya : o Kelompok A Kuman yang pertumbuhannya cepat OAT yang dipakai INH (palingkuat) , rifampisin dan streptomisin.

o Kelompok B Kuman semi dormant/persisten, kadang metabolisme aktif dalam waktu singkat OAT yang cocok adalah rifampisin dan tidak bisa oleh OAT lain. o Kelompok C Semi dormant, pertumbuhan dengan lambat, lingkungan PH asam
63

OAT yang cocok hanya pirazinamid

o Kelompok D Dormant Tidak bisa dibunuh oleh OAT apapun.

Secara nasional pengobatan tuberkulosis berpedoman pada petunjuk pengobatan tuberkulosis dari WHO . Pengobatan tuberkulosis dibagi dalam 4 kategori yang merupakan kombinasi dari beberapa OAT. Kategori I ditujukan untuk kasus-kasus baru dengan apusan positif, tuberkulosis pulmoner berat, meningitis tuberkulosis, tuberkulosis desiminata dan sebagainya. Kategori II di indikasikan untuk kasus-kasus relaps dan kegagalan pengobatan (apusan positif). Sedangkan kategori III ditujukan untuk tuberkulosis paru apusan negatif dengan keterlibatan parenkim terbatas, dan tuberkulosis ektra pulmoner lain yang tidak termasuk kategori I. Pengobatan dengan kategori IV diajukan dalam kasus tuberkulosis kronik. Dengan metode pengobatan ini, apabila dilaksanakan dengan benar dan kontrol serta evaluasi yang tepat pada umumnya sudah memadai. Pengobatan Tbc anak dipilih OAT yang dapat menembus berbagai organ termasuk selaput otak, karena pada anak resiko Tbc ektra pulmo lebih besar khususnya Tbc diseminata dengan meningitis. Farmakokinetik OAT anak berbeda dengan dewasa, toleransi anak terhadap dosis obat perkilogram berat badan lebih tinggi. Obat anti tuberkulosis yang sering digunakan adalah INH dengan dosis 1015 mg/kgBB/hari (maksimal 400mg/hari), Rifampisin dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari (maksimal 600mg/hari) , Pirazinamid 25-35mg/kgBB/hari

(maksimal 2g/hari ), Streptomisin dengan dosis 15-30 mg/kgBB/hari (maksimal 750-1g/hari), obat lainnya adalah Etambutol dengan dosis 15-20mg/kgBB/hari (maksimal 2,5g/hari). Untuk pengobatan Tbc menggunakan rumus 2HRZ 4H2R2, artinya selama 2 bulan INH, Rifampisin diminum setiap hari, dilanjutkan 2 kali seminggu selama 4 bulan. Sedang Pirazinamid selama 2 bulan diminum setiap hari. Dalam
64

pengobatan Tbc ada 2 fase yang perlu diperhatikan, yaitu Fase Intensif dan Fase Pemeliharaan. INH (isoniazid) bekerja bakterisidal terhadap basil yang berkembang aktif ektra seluler dan basil dalam makrofag, diberikan peroral selama 18-24 bulan. Streptomisin bekerja bakterisidal hanya terhadap basil yang tumbuh aktif \ ekstraseluler, diberikan tiap hari selama 1-3 bulan kemudian dapat dilanjutkan 2-3 kali seminggu selama 1-3 bulan lagi. Obat yang lain adalah Rifampisin diberikan sekali sehari peroral saat lambung kosong, rifampisin biasanya diberikan selama 6-9 bulan. Sedangkan pirazinamid diberikan dua kali sehari selama 4-6 bulan. Etambutol diberikan selama satu tahun. Obat- obat Tbc mempunyai beberapa efek samping yang perlu diperhatikan, diantaranya hepatoxic pada semua jenis OAT, sedangkan yang spesifik menimbulkan efek samping adalah Etambutol yaitu Neoritis Optika, sehingga pada anak-anak obat ini tidak dianjurkan

65

Anemia Mikrositik Hipokrom

Anemia mikrositik hipokrom dapat disebabkan karena a. Kehilangan besi (perdarahan menahun) b. Asupan yang tidak adekuat / absorbsi besi yang kurang c. Kebutuhan besi yang meningkat (pada masa kehamilan dan prematuritas)

Kemungkinan yang terjadi pada anemia mikrositik hipokrom adalah a. anemia defisiensi besi (gangguan besi) b. anemia pada penyakit kronik (gangguan besi) c. thalasemia (gangguan globin) d. anemia sideroblastik (gangguan protoporfirin)

Patofisiologi anemia mikrositik hipokrom Tergantung dari penyebabnya 1. Anemia defisiensi besi terjadi dalam 3 tahap Tahap 1 (tahap prelaten), dimana yang terjadi penurunan hanya kadar feritin (simpanan besi) Tahap 2 (tahap laten), dimana feritin dan saturasi transferin turun (tetapi Hb masih normal) Tahap 3 (tahap def. besi), dimana feritin, saturasi transferin dan Hb turun (eritrosit menjadi mikrositik hipokrom) PATOFISIOLOGI Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi yang berkurang. Ada tiga tahap dari anemia defisiensi besi, yaitu: 1. Tahap petama. Tahap ini disebut iron depletion atau iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
66

fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.

2. Tahap kedua Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erytropoietin atau iron limited erytropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratoium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erytrocyt porphyrin (FEP) meningkat. 3. Tahap ketiga Tahap inilah yang disebut sebagagi iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb.

67

Tabel tahapan kekurangan besi. Hb Tahap Normal 1 Tahap 2 sedikit menurun Cadangan besi (mg) <100 Fe serum (ug/dl TIBC (ug/dl) Saturasi tansferin(%) Feritin (ug/dl) Sideroblas (%) FEP(Ug/dl SDM MCV normal 360-390 20-30 <20 serum 40-60 >30 Normal 0 <60 >390 <15 <12 <10 <100 Normal 0 <40 >410 <10 <12 <10 >200 Menurun Tahap 3 menurun jelas (mikrositik/hipokrom)

68

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan

laboratorim yang meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit, ditambah pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, FEP, feritin), dan apus sumsum tulang. Menentukan adanya anemia dengan pemeriksaan kadar Hb dan atau PCV merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukaan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikolisitiosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen). Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama terjadi granulositopenia. Pada keadaan ini disebabkan infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal, trombositosis hanya dapat terjadi pada penderita dengan perdarahan yang massif. Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositpenia 28%. Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan TIBC meningkat, Pemeriksaan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang terikat pada transferin , sedangkan TIBC untuk mengetahui jumah transferin yang berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum:TIBC x 100% merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Bila saturasi transferin
69

(ST) <16 menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoisis. ST < 7% diagnosis ADB dapat ditegakkan, sedangkan pada kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya. Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang dapat diketahui kadar Free Erytrcyte Protopoephyrin (FEP). Pada pembentukan eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin di dalam sel. Nilai FEP >100 ug/dl eritrosit menunjukan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menurun merupakan tanda ADB yang progresif. Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar feritin serum. Bila kadar feritin < 10-12ug/dl menunjukan telah terjadi penurunan cadangan besi dalam tubuh. Pada pemeriksaan apusan tulang dapat ditemukan gambaran yang khas ADB yaitu hiperplasia sistem ertropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Unutuk mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.

70

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB: Kriteria diagnosis ADB menurut WHO: 1. Kadar HB kurang dari normal sesuai usia 2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N:32-35%) 3. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N:80-180ug/dl) 4. Saturasi Transferin <15% (N:20-50%)

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen 1. 2. 3. 4. Anemia hipokrom mikrositik Saturasi transferin < 16% Nilai FEP > 100 % Ug/dl eritrosit Kadar feritin serum<12 ug/dl

Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria ( ST, feritin serum dan FEP ) harus dipenuhi. Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui: 1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar MCV, MCH dan MCHC yang menurun Red cell

distribution width (RDW) > 17% 2. FEP meningkat 3. Feritin serum menurun 4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST <16% 5. Respon terhadap pemberian preparat besi Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV mmeningkat 1%/hari

71

6.

Sumsum tulang Tertundanya maturasi sitoplasma Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 34 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.

PENATALAKSANAAN Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi.

Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian parenteral, pemberian secara parentertral dilakukan pada pendertita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan. Pemberian preparat besi peroral Garam ferrous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri, preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat, yang sering dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah, ferrous glukonat, ferrous fumarat dan ferrous suksiant diabsorpsi sama baiknya tetapi lebih mahal. Untuk bayi preparat besi berupa tetes (drop). Untuk dapat mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi elemental/kgBB/hari. Dosis yang diajurkan untuk remaja dan orang dewasa adalah 60 mg elemen zat besi perhari pada kasus anemia ringan,

72

dan 120 mg/hari (2 60 mg) pad anemia sedang sampai berat. Dosis yang dianjurkan untuk bayi dan anak-anak adalah 3 mg/kgBB/hari. Efek samping pemberian zat besi peroral dapat menimbulkan keluhan gastrointestinal berupa rasa tidak enak di ulu hati, mual, muntah dan diare.Sebagai tambahan zat besi yang dimakan bersama dengan makanan akan ditolelir lebih baik dari pada ditelan pada saat peut kosong, meskipun jumlah zat besi yang diserap berkurang.2 Pemberian preparat besi parenteral Pemberian besi secara intra muscular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Oleh karena itu, besi parenteral diberikan hanya bila dianggap perlu, misalnya : pada kehamilan tua, malabsorpsi berat, radang pada lambung. Kemampuan untuk menaikan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral.Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dapat dihitung berdasarkan: Dosis besi (mg) = BB (kg) kadar Hb yang diinginkan (g/dl ) 2,5 Transfusi darah Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, lebih akan membahayakan kerana dapat menyebabkan hipovolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikan kadar Hb sampai tingkat aman sampai menunggu respons terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretic seperti furesemid. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar mengguanakan PRC yang segar.

73

2. Anemia pada penyakit kronis Anemia ini biasanya bersifat sekunder, dalam arti ada penyakit primer yang mendasarinya. Perbedaan anemia ini dengan anemia defisiensi besi tampak pada feritin yang tinggi dan TIBC yang rendah

3. Anemia sideroblastik Terjadi karena adanya gangguan pada rantai protoporfirin. Menyebabkan besi yang ada di sumsum tulang meningkat sehingga besi masuk ke dalam eritrosit yang baru terbentuk dan menumpuk pada mitokondria perinukleus.

4.Thalasemia Terjadi karena gangguan pada rantai globin. Thalasemia dapat terjadi karena sintesis hb yang abnormal dan juga karena berkurangnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta yang normal.

Sintesa, Fungsi, dan Cara Kerja Hb

Hb (hemoglobin) terdiri dari Heme dan Globin. Heme terdiri dari Fe dan protoporfirin sedangkan Globin terdiri dari sepasangang rantai a dan non-a. Fungsi dan cara kerja Hb adalah berikatan dengan O2 membentuk oksihemoglobin untuk dikirim ke jaringan. Reduce hemoglobin (hemoglobin yang melepaskan ikatannya dengan O2) merupakan bentuk ikatan hemoglobin yang normal. Ikatan hemoglobin yang abnormal misalnya sulfhemoglobin,

methemoglobin, carboksihemoglobin.

Pemeriksaan Laboratorium yang mendukung Untuk anemia mikrositik hipokrom, dilakukan pemeriksaan NER (Nilai eritrosit rata-rata) yang terdiri dari VER, HER, KHER

74

1. VER (Volume Eritrosit Rata-rata). Yaitu perbandingan nilai hematokrit dengan jumlah eritrosit (dalam juta) x 10. Satuannya fL. Nilai normalnya 80-98 fL. Jika lebih besar dari pada normal : eritrositnya makrositer

Jika lebih kecil dari pada normal : eritrositnya mikrositer. 2. HER (Hemoglobin Eritrosit Rata-rata). Yaitu perbandingan nilai hemoglobin dengan jumlah eritrosit (dalam juta ) x 10 . Satuannya pg. Nilai normalnya 27-32 pg Jika lebih kecil dari normal biasanya eritrosit hipokrom 3. KHER (Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata). Yaitu perbandingan nilai hemoglobin dengan nilai hematokrit x 100. Satuannya g/dL. Nilai normalnya 31-35 g/dL. Jika lebih kecil dari normal biasanya eritrosit hipokrom. Kalau perhitungan sudah menunjukan bahwa eritrosit mikrositik hipokrom, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan apus darah tepi untuk melihat morfologi darah tepi. Pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan ialah SI, TIBC, Saturasi transferin, feritin serum dan elektroforesis Hb. Biasanya elektroforesis Hb lebih menunjukan untuk sindrom talasemia.

Penatalaksanaan Anemia Mikrositik Hipokrom 1. Anemia defisiensi besi a. terapi besi oral Ferro sulfat, mengandung 67mg besi Ferro glukonat, mengandung 37 mg besi. b. terapi besi parenteral biasa digunakan untuk pasien yang tidak bisa mentoleransi penggunaan besi oral. Besi-sorbitol-sitrat diberikan secara injeksi intramuskular Ferri hidroksida-sukrosa diberikan secara injeksi intravena lambat atau infus c. Pengobatan Lain
75

a. Diet, diberikan makanan bergizi tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani. b. Vitamin C diberikan 3 x 100mg per hari untuk meningkatkan absorpsi besi. c. Transfusi darah, pada anemia def. Besi dan sideroblastik jarang dilakukan (untuk menghindari penumpukan besi pada eritrosit) 2. Anemia pada penyakit kronik. Tidak ada pengobatan khusus yang mengobati penyakit ini, sehingga pengobatan ditujukan untuk penyakit yang mendasarinya. Jika anemia menjadi berat, dapat dilakukan transfusi darah dan pemberian eritropoietin. 3. Anemia sideroblastik. Penatalaksanaan anemia ini dapat dilakukan dengan veneseksi dan pemberian vit b6 (pyridoxal fosfat). Setiap unit darah yang hilang pada veneseksi mengandung 200-250 mg besi. 4. Thalasemia. Transfusi darah dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar Hb >10 g/dL. Tetapi transfusi darah yang berulang kadang mengakibatkan penimbunan besi, sehingga perlu dilakukan terapi kelasi besi.

76

GIZI

A. Pengertian Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absobsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi. Tidak ada satu jenis makanan yang mengandung semua zat gizi, yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang dan produktif. Oleh karena itu, setiap orang perlu mengkonsumsi anekaragam makanan; kecuali bayi umur 0-4 bulan yang cukup mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI) saja. Bagi bayi 0-4 bulan, ASI adalah satu-satunya makanan tunggal yang penting dalam proses tumbuh kembang dirinya secara wajar dan sehat. Makan makanan yang beranekaragam sangat bermanfaat bagi kesehatan. Makanan yang beraneka ragam yaitu makanan yang mengandung unsur-unsur zat gizi yang diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantintasnya, dalam pelajaran ilmu gizi biasa disebut triguna makanan yaitu, makanan yang mengandung zat tenaga, pembangun dan zat pengatur. Apabila terjadi kekurangan atas kelengkapan salah satu zat gizi tertentu pada satu jenis makanan, akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari makanan yang lain. Jadi makan makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. Makanan sumber zat tenaga antara lain: beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, roti dan mi. Minyak, margarin dan santan yang mengandung lemak juga dapat menghasilkan tenaga. Makanan sumber zat tenaga menunjang aktivitas sehari-hari. Makanan sumber zat pembangun yang berasal dari bahan makanan nabati adalah kacang-kacangan, tempe, tahu. Sedangkan yang berasal dari hewan adalah telur, ikan, ayam, daging, susu serta hasil olahan, seperti keju. Zat pembangun

77

berperan sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan seseorang. Makanan sumber zat pengatur adalah semua sayur-sayuran dan buahbuahan. Makanan ini mengandung berbagai vitamin dan mineral, yang berperan untuk melancarkan bekerjanya fungsi organ-organ tubuh. Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang mendapatkan makanan cukup bergizi dalam waktu lama. B. 1. Etiologi Jumlah makanan yang di makan kurang. Asupan makanan yang kurang diantara lain disebabkan oleh : a. Tidak tersedianya makanan secara adekuat b. Anak tidak cukup mendapat gizi seimbang c. Pola makan yang salah 2. Penyakit. Menjadi penyebab terpenting kedua kekurangan gizi, apalagi di negara negara terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan / personal hygine yang masih kurang, serta ancaman endemisitas penyakit tertentu. C. Patofisiologi Gizi kurang biasanya terjadi pada anak balita dibawah usia 5 tahun. Gizi kurang umumnya terjadi pada balita dengan keadaan lahir BBLR (bayi berat lahir rendah) atau dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Tidak tercukupinya makanan dengan gizi seimbang serta kondisi kesehatan yang kurang baik dengan kebersihan yang buruk mengakibatkan balita atau anak-anak menderita gizi kurang yang dapat bertambah menjadi gizi buruk atau kurang energi kalori. Pada akhirnya anak tersebut akan mengalami gangguan pertumbuhan dan

perkembangan. D. Manifestasi Klinis


78

Kekurangan gizi ini secara umum mengakibatkan gangguan diantaranya: 1. Pertumbuhan Pertumbuhan anak menjadi terganggu karena protein yang ada digunakan sebagai zat pembakar sehingga otot-otot menjadi lunak dan rambut menjadi rontok 2. Produksi tenaga Kekurangan energi yang berasal dari makanan mengakibatkan anak kekurangan tenaga untuk bergerak dan melakukan aktivitas. Anak menjadi malas, dan merasa lemas 3. Pertahanan tubuh Sistem imunitas dan antibodi menurun sehingga anak mudah terserang infeksi seperti batuk, pilek dan diare 4. Struktur dan fungsi otak Kurang gizi pada anak adapt berpengaruh terhadap perkembangan mental. Kekurangan gizi dapat berakibat terganggunya fungsi otak secara permanen seperti perkembangan IQ dan motorik yang terhambat 5. Perilaku Anak yang mengalami gizi kurang menunjukkan perilaku yang tidak tenang, cengeng dan apatis. 6. Perubahan rambut dan kulit Rambut kepala mudah dicabut dan tampak kusam, kering, halur, jarang dan berubah warna. Sedangkan pada kulit terapat garis-garis kulit yang lebih dalam dan lebar, hiperpigmentasi serta bersisik. 7. 8. 9. Pembesaran hati Anemia Kelainan kimia darah Kadar albumin serum rendah, kadar globulin normal atau sedikit meninggi, dan kadar kolesterol serum rendah. E. Komplikasi Malnutrisi Energi Protein (MEP) berat yang dikenal dengan: 1. Kwashiorkor
79

2. 3. F.

Marasmus Marasmik-kwashiorkor Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan keperawatan klien dengan gizi kurang : 1. Pemberian makanan yang mengandung protein, tinggi kalori, cairan, vitamin dan mineral. 2. Penanganan segera penyakit penyerta (misalnya diare) 3. Berikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak pada orang tua dan anggota keluarga 4. Sebaiknya tidak memberikan makanan kecil seperti permen, cokelat dan susu menjelang waktu makan 5. Pada permulaan, makanan jangan diberikan sekaligus banyak, tetapi dinaikkan bertahap setiap hari (makan dalam porsi kecil tetapi sering) 6. Anjurkan keluarga untuk memberikan makanan yang beraneka ragam untuk meningkatkan selera makan 7. Anjurkan keluarga untuk membawa anak ke Posyandu atau fasilitas kesehatan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak.

80

DAFTAR PUSTAKA 1. Betz, C.L, Sowden, L.A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2. Betsy. (2009). Derita Anak-anak HIV Positif http://betsyhr.multiply.com/journal /item/40 3. Chika. (2007). Luka di mulut tanda adanya gejala HIV pada anak www.indoforum.org/showthread.php?t=12873 47. 4. Doengoes, M.E, Moorhouse, M.F, dan Geissler, A.C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC . 5. Judarwanto.W .(2008). Manifestasi Klinik dan Diagnosis HIV Pada Anak. http://aidshivchildren.blogspot.com/2008/06/.html. 6. Kristanti. E.Y. (2009). Penyebaran HIV/AIDS Anak Dibawah Lima Tahun Mengidap HIV/AIDS. http://nasional.vivanews.com/news/read/ 7. Nursalam dan Kurniawati, N.D. (2007). Asuhan Keperawatam Pada Pasien Terifeksi HIV/AIDS. Cetakan I. Jakarta : Penerbit salemba Medika 8. Nusalam, Susilaningrum, R. Utami, S. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Cetakan I. Jakarta : Penerbit Salemba Medika 9. Pustekkom, (2005). HIV/AIDS. Diakses tanggal 16 Maret 2009 10. Current pediatric; Blood; Medical Diagnosis & Treatment 2000, 30th

edition; Lange Medical Books/Mc Graw-Hill; 2000; page 449-517.


11. Harrisons; Anemia; Principles of Internal Medicine, 16th edition;

International edition; 1998; page 335-339.


12. Soeparman, Sarwono Waspadji; Ilmu Penyakit Dlaam Jilid II, Balai

Penerbit FKUI Jakarta; 1990; hal. 393-441.


13. Behman R, at al. Anemia. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson Volume 3.

Jakarta. EGC
81

14. Prie S.A, dkk. Hematologi. Patofisiologi buku 2 Konsep Klinis Proses

Proses Penyakit . jakarta : EGC 195. Cetakan I.


15. http://yahoo.com@anemiadefisiensiFe 16. Artikelkedokteran,Pediatrik.http://medlinux.blogspot.com/2007/08/tuberkulo sis-pada anak.html 17. Mansjoer Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius 18. Speer, morgan, kathleen. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik Dengan Clinical Pathaway. Edisi ke-3. Jakarta : EGC 19. Suriadi, Yulliani, rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak.Edisi ke-2. Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya 20. Tim Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2: Cetakan Ke-11. Jakarta : Percetakan Infomedika 21. Wong, L.donna, dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Vol : 2. Jakarta : EGC.

82

Anda mungkin juga menyukai