Anda di halaman 1dari 18

BAB I LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi Nama Jenis Kelamin Usia Kebangsaan Agama Status Pekerjaan Alamat : Tn. Herman Madsiki : Laki-laki : 30 tahun : Indonesia : Islam : Menikah : Jasa Fotokopi : Perum Pondok Palem Indah Blok A No 12 Kel. Talang Kelapa MRS : 23 September 2013

1.2 Anamnesis Keluhan Utama Nyeri Perut kanan bawah :

Riwayat Perjalanan Penyakit

2 hari SMRS penderita mengeluh nyeri perut kanan bawah, demam (+), mual disangkal, muntah disangkal. Riwayat nyeri di ulu hati yang berpindah ke kanan bawah disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.

1.3 Pemeriksaan Fisik Status Generalis (18 November 2012) Keadaan Umum Kesadaran Gizi Pernafasan Nadi Tekanan Darah Suhu Kepala : Tampak sakit : Compos mentis : Cukup : 22x/menit : 88x/menit : 120/70 mmHg : 37,7C : Konjungtiva palbebra pucat -/Sklera ikterik -/Pupil Leher Kelenjar-kelenjar Thorax Abdomen Genitalia Eksterna Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior : Isokor, refleks cahaya +/+ : tidak ada kelainan : tidak ada pembesaran : tidak ada kelainan : lihat status lokalis : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan : tidak ada kelainan

Status Lokalis Regio Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi : Datar : Lemas, nyeri tekan (+) pada titik Mc Burney : Tympani

Auskultasi : Bising Usus (+) / Normal

Rectal Toucher : TSA baik, mukosa recti licin, feces (+), darah (-).

1.4 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Darah Rutin ( tanggal 18 November 2012) Hemoglobin LED Leukosit Hitung jenis : 14,2 gr/dl : 20 mm/jam : 18.400 /mm3 : 0/0/1/70/13/16

Kimia Klinik (tanggal 18 November 2012) BSS Natrium Kalium : 106 mg/dl : 143 mmol/l : 4,5 mmol/l

Urinalisa ( tanggal 18 November 2012) - sel epitel : (+) - leukosit : 3-5 / LPB - eritrosit : 0-1 / LPB

b. Pemeriksaan Radiologi USG Abdomen (tanggal 18 November 2012) :

Interpretasi USG: tampak gambaran sausage sign pada kwadran kanan bawah abdomen

1.5 Diagnosis Banding - Limfadenitis Mesenterika - Urolitiasis/ Ureter Kanan

- Gastroenteritis

1.6 Diagnosis Kerja Appendisitis akut

1.7 Penatalaksanaan Bed rest Antibiotik Ceftriaxone 2 x 1 gr Injeksi metronidazole 3 x 500 mg Ranitidin 2x 1 amp Ketorolac 3 x 1 amp Observasi

1.8 Prognosis Quo ad vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad functionam : Dubia ad Bonam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks 2.1.1. Anatomi apendiks Saluran pencernaan (traktus digestivus) pada dasarnya adalah suatu saluran (tabung) dengan panjang sekitar 30 kaki (9m) yang berjalan melalui bagian tengah tubuh dari mulut sampai ke anus (sembilan meter adalah panjang saluran pencernaan pada mayat; panjangnya pada manusia hidup sekitar separuhnya karena kontraksi terus menerus dinding otot saluran). Saluran pencernaan mencakup organ_organ berikut: mulut, faring, esophagus, lambung, usus halus, (terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum), usus besar (terdiri dari sekum, apendiks, kolon dan rectum), dan anus (Lauralee Sherwood, 2001). Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan

melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit pada ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks

penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Wim De Jong, 2004).

Gambar 2.2. Posisi anatomi apendiks

2.1.2. Fisiologi Apendiks Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Wim De Jong, 2004). Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendik tidak memengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limf di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Wim De Jong, 2004).

2.2.

Definisi Apendisitis Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus

buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, apendiks itu bisa pecah. Apendiks merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (sekum). Apendiks besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian

usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu/apendiks (Defa Arisandi, 2008). 2.3. Klasifikasi

2.3.1 Appendicitis Akut a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub

mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa. b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks memperberat dan menimbulkan iskemia dan trombosis. edema Keadaan ini

pada

apendiks.

Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler

dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum. c. Appendicitis Akut Gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

2.3.2. Appendicitis Infiltrat Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya. 2.3.3. Appendicitis Abses Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk

berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic. 2.3.4. Appendicitis Perforasi Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

2.3.5. Appendicitis Kronis Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia

mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

2.4.

Etiologi dan Patofisiologi

2.4.1. Etiologi Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai factor pencetus disamping hiperplasia jaringan limf, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab yang lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamoeba histolytica. Para ahli menduga timbulnya apendisitis ada

hubungannya dengan gaya hidup seseorang, kebiasaan makan dan pola hidup ayang tidak teratur dengan badaniah yang bekerja keras. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan apendisitis. pengaruh

konstipasi terhadap timbulnya menaikkan

Konstipasi akan

tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.

2.4.2.

Patofisiologi Apendisitis akut pada dasarnya adalah suatu proses

obstuksi (hiperplasia jaringan limfoid, fecolith, benda asing, striktur, tumor). Kemudian disusul dengan proses infeksi sehingga gejalanya adalah mula-mula suatu obstruksi ileus ringan yakni: kolik, mual, muntah, anoreksia dan sebagainya yang kemudian mereda karena sudah jadi paralitik ileus. Kemudian disusul oleh gejala keradangan yakni: nyeri tekan, defans muscular, subfebril dan sebagainya. Faktor obstruksi pada anak-anak terutama hiperplasia dari kelenjar limfe

submucosal. Pada orang tua adalah fecolith, dan sedikit corpus alineum, strictura dan tumor. Tumor pada orang muda adalah cacinoid dan pada orang tua adalah Ca caecum. Fecolith diduga terbentuk bila ada serabut sayuran terperangkap masuk ke dalam apendiks, sehingga keluar mucous berlebihan. Cairan mucous ini mengandung banyak calcium sehingga bahan tersebut mengeras dan dapat menimbulkan

obstruksi,dan peregangan lumen apendiks, hambatan venous return dana aliran lymphe yang berakibat oedema apendiks dimulai dengan diapedesis dan gambaran ulcus mukosa. Hal ini merupakan tahap dari akut fokal apendisitis. karena apendiks dan usus halus mempunyai tekanan intra luminal dengan akibat

obstruksi vena dan thrombosis sehingga terjadi oedema dan ischemi apendiks. Invasi bakteri malalui dinding apendiks. Phase ini disebut akut supurative apendisitis. lapisan serosa apendiks berhubungan dengan peritoneum parictalis.

Nyeri somatis timbul dari peritoneum karena terjadi kontak dengan apendiks yang meradang, dan ini tampak

sebagai perubahan yang klasik dalam bentuk nyeri yang terlokalisir di kwadrant kanan bawah perut. Seterusnya proses patologis mungkin mengenal sistim arterial apendiks. Apendiks dengan vaskularisasi yang sangat kurang akan mengalami gangrene dan terlihat. Sekresi yang terus menerus dari mukosa apendiks yang masih baik serta peningkatan intra luminal berakibat perforasi apendisitis perforasi. Jika apendisitis tidak terjadi secara progresif, terbentuk perlekatan pada lubang usus, peritoneum dan omentum yang mengelilingi apendiks. Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tentunya tergantung pada : virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale bahkan organ lain seperti bulibuli, uterus, tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses keradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum dan sudah terjadi perforasi maka timbul peritonitis. Walaupun proses melalui gangrenous infark. Timbul

melokalisir sudah selesai tetapi belum cukup kuat menahan tarikan/tegangan dalam cavum abdominalis, karena itu pasien harus benar-benar tirah baring. Kadang-kadang apendisitis akut terjadi tanpa adanya obstruksi, ia terjadi karena adanya penyebaran infeksi dari organ lain secara hematogen ke apendiks. Terjadi abscess multiple kecil pada apendiks dan pembesaran lnn.mesentrica regional. Karena terjadi tanpa

obstruksi maka gambaran klinis tentunya berbeda dengan gejala obstruksi tersebut diatas.

2.5.

Gejala klinis Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang

terdiri dari : Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai diperut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8 Celsius. Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok. 2.6. Diagnosis apendisitis

2.6.1. Gejala-gejala 1. Rasa sakit di daerah epigastrium, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau di kuadran kanan bawah. Ini merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini samar-samar, ringan samapai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah 4 jam biasaya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilangkemudian beralih ke kuadran bawah kanan dan disini rasa nyeri itu menetap dan secara progresif bertambah hebat, dan semakin hebat apabila pasien bergerak. 2. Anoreksia, mual dan muntah yang timbul selang beberapa jam sesudahnya merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan. 3. Gejala-gejala lain adalah demam tidak tinggi dan konstipasi.

4. Bayi yang mengalami apendisitis gelisah, mengantuk dan anoreksia. 5. Mereka yang sudah lanjut usia gejala-gejalanya tidak senyata mereka yang lebih muda. 2.6.2. Tes laboratorium Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm dengan pergeseran ke kiri (lebih dari 75 persen neutrofil) pada 75 persen kasus yang ada. 96 persen diantaranya leukositosis atau hitung jenis sel darah putih yang abnormal. Tetapi beberapa pasien dengan apendisitis memiliki jumlah leukosit yang normal. Pada urinalisis tampak sejumlah kecil eritrosit atau leukosit.

2.6.3. Foto sinar-X Tak tampak kelainan spesifik pada foto polos abdomen. Barium enema mungkin dapat untuk diagnosis tetapi tindakan ini dicadangkan untuk kasus yang meragukan (Theodore R. Schorock, MD). 2.6.4. Appendikogram Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram di expertise oleh dokter spesialis radiologi.

2.6.5. Radiologi Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan

ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta

adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas sedangkan CT-Scan mempunyai yaitu 85% tingkat akurasi dan 92%, 94-100%

dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.

2.7

Komplikasi

Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis. Perforasi usus buntu dapat mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan nanah yang terinfeksi) atau peritonitis difus (infeksi selaput perut dan panggul). dan perawatan. Alasan utama untuk perforasi appendiceal adalah keterlambatan dalam diagnosis Secara umum, semakin lama waktu tunda antara diagnosis dan operasi, semakin besar kemungkinan perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah onset gejala setidaknya 15%. Oleh karena itu, setelah didiagnosa radang usus buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda-nunda. Komplikasi jarang terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus. Penyumbatan terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan otot usus untuk berhenti bekerja, dan ini mencegah isi usus yang lewat. Jika penyumbatan usus di atas mulai mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut, mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian mungkin perlu untuk mengeluarkan isi usus melalui pipa melewati hidung dan kerongkongan dan ke dalam perut dan usus. Sebuah komplikasi apendisitis ditakuti adalah sepsis, suatu kondisi dimana bakteri menginfeksi masuk ke darah dan perjalanan ke bagian tubuh lainnya. Kebanyakan komplikasi setelah apendektomi adalah: 1. Infeksi luka, 2. Abses residual,

3. Sumbatan usus akut, 4. Ileus paralitik, dan 5. Fistula tinja eksternal, 2.8. Pengobatan apendisitis Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah

apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi (Wim De Jong, 2004). Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun

dengan cara laparskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Wim De Jong, 2004).

BAB III ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki berusia 30 tahun beralamat di kota Palembang datang berobat ke RSMH dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Dari anamnesis lebih lanjut diketahui bahwa 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan nyeri ulu hati yang kemudian beralih dan menetap di perut kanan bawah. Pasien juga menderita demam dan rasa mual setiap habis makan namun tidak muntah. Pada pemeriksaan fisik status generalis, didapatkan pernapasan, nadi, dan tekanan darah dalam batas normal, sedangkan suhunya meningkat. Dari hasil pemeriksaan fisik status lokalis pada regio abdomen didapatkan adanya massa pada titik Mc Burney. Massa dengan konsistensi keras berukuran 5 cm x 4 cm, terfiksir, dan nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan rectal toucher tidak ditemukan adanya darah dan feces. Pasien ini mengeluh timbulnya nyeri pada perut kanan bawah. Nyeri pada daerah ini membuat kita berpikir tentang kemungkinan adanya penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan nyeri pada perut kanan bawah. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan rangsangan nyeri pada perut kanan bawah adalah apendisitis, endometriosis, dan divertikulitis meckel. Massa yang teraba pada perut kanan bawah menyingkirkan adanya kemungkinan penyakit divertikulitis meckel karena pada divertikulitis meckel tidak teraba massa. Pada pasien ini, nyeri perut kanan bawah yang dideritanya berada di daerah titik Mc Burney. Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), dan defans muskuler (-) menunjukkan adanya rangsangan peritoneum lokal di bawah titik Mc Burney. Tanda-tanda ini lebih mengarah pada apendisitis, karena pada apendisitis terdapat tanda-tanda rangsangan peritoneum lokal di bawah titik Mc Burney. Timbulnya demam pada pasien ini mendukung adanya proses infeksi yang terjadi. Demam yang lebih dari 48 jam menandakan bahwa appendicitis tersebut bukan akut. Massa yang teraba di bawah titik Mc Burney merupakan suatu bentuk pertahanan tubuh

untuk membatasi proses radang yang terjadi akibat infeksi dengan cara menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler (appendiccitis infiltrat). Berdasarkan pemeriksaan laboratorium terdapat leukositosis yang mendukung adanya proses infeksi, tidak terdapatnya urolitiasis eritrosituria ureter kanan. menyingkirkan Berdasarkan

kemungkinan

diagnosis

pemeriksaan USG, terlihat adanya suatu massa di appendiks. Hal ini lah yang menyingkirkan kemungkinan diagnosis, limfadenitis mesenterika, salpingitis kanan, dan urolitiasis ureter kanan. Tatalaksana pada pasien ini dilakukan tirah baring guna menekan metabolisme tubuh dan mengurangi rasa nyeri yang timbul. Pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Dilakukan observasi terhadap keluhan nyeri, suhu tubuh, ukuran massa, dan hasil laboratorium berupa LED dan leukosit. Prognosis quo ad vitam dan quo ad functionam adalah dubia ad bonam. Karena dengan diagnosis yang akurat, tingkat morbiditas dan mortilitas penyakit ini sangat kecil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Apendisitis. Hal 307313. Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius. 2. Tjindarbumi, 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Abdomen Akut. Hal 35-43. Editor: Reksoprodjo, S; Jakarta; Binarupa Aksara. 3. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC. 2004 4. Doherty, Gerard, Lawrane W.Way. Current Surgical Diagnosis & Treatment. Edisi11. International Edition. 5. Appendisitis. Available http://www.emedicine.com/appendicitis.htm from:

Anda mungkin juga menyukai