Anda di halaman 1dari 15

Sasaran Belajar LI. 1 Memahami dan Menjelaskan eritropoiesis LO.1.

1 Definisi
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit yang terjadi di sumsum tulang hingga terbentuk eritrosit matang dalam darah tepi yang dipengaruhi dan dirangsang oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah hormon glikoprotein yang terutama dihasilkan oleh sel-sel interstisium peritubulus ginjal, dalam respon terhadap kekurangan oksigen atas bahan globulin plasma, untuk digunakan oleh sel-sel induk sumsum tulang. Eritropoietin mempercepat produksi eritrosit pada semua stadium terutama saat sel induk membelah diri dan proses pematangan sel menjadi eritrosit. Di samping mempercepat pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan pengambilan besi, mempercepat pematangan sel dan memperpendek waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam sirkulasi.

LO.1.2 Mekanisme eritropoiesis

Rubriblast Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan sel termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti. Prorubrisit Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Ukuran lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel berinti. Rubrisit Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak

teratur, di beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena hemoglobin. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %. Metarubrisit Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Ini sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10% Retikulosit Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5 2,5% retikulosit. Eritrosit Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5 mikron. Bagian tengan sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa.

LO.1.3 Faktor-faktor yang diperlukan dalam pembentukan darah Produksi eritrosit (eritropoesis) diatur oleh beberapa sitokin. Faktor pertumbuhan yang dikenal terlibat dalam eritropoesis yaitu granulocyte colonystimulating factor (G-CSF), interleukin (IL)-6, stem cell factor (SCF), IL-1, IL-3, IL-4, IL-9, IL-11, granulocytemacrophage (GM)-CSF, insulin growth factor-1 (IGF-1) dan EPO. EPO berperan pada tahap lanjut perkembangan sel progenitor eritroid. EPO terutama merangsang colony forming unit eritroid (CFU-E) untuk berproliferasi menjadi normoblas, retikulosit, dan eritrosit matur. Target primer EPO dalam sumsum tulang adalah CFU-E. EPO bersama dengan SCF, GM-CSF, IL-3, IL-4, IL-9, dan IGF-1 menyebabkan maturasi dan proliferasi dari tahap burst forming unit eritroid (BFU-E) dan CFU-E menuju tahap normoblas dari perkembangan sel eritroid. Selanjutnya EPOberperan pada proses apoptosis yaitu menurunkan laju kematian sel progenitor eritroid dalam sumsum tulang. SCF, IL-1, IL-3, IL6, dan IL-11 memberikan rangsang yang menyebabkan diferensiasi sel induk pluripoten menjadi sel induk mieloid dan CFU granulosit, eritroid, monosit, dan megakariosit (GEMM). Kemudian CFU-GEMM berkembang menjadi CFU yang spesifik untuk granulosit, eritroid, monosit, megakariosit, makrofag, dan eosinofil.2,4 LO.1.4 Morfologi, fungsi, sifat (normal&abnormal)

Morfologi:

Komponen eritrosit terdiri atas: - Membran eritrosit - Sistem enzim, yang terpenting: dalam Embden Meyerhoff pathway: pyruvate kinase; dalam pentose pathway: enzim G6PD (glucose 6-phosphate dehydrogenase) - Hemoglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen

- Eritrosit tidak memiliki inti, dipenuhi oleh protein hemoglobin pembawa O2. - Eritrosit dikelilingi oleh plasmalema. Membran ini terdiri atas lebih kurang 40% lipid (fosfolipid, kolesterol, glikolipid), 50% protein, 10% karbohidrat. - Diskus bikonkaf, bentuknya bulat dengan lengkungan pada sentralnya dengan diameter 7,65 m. - Bentuk bikonkaf menghasilkan luas permukaan yang lebih besar bagi difusi O2 menembus membran daripada yang dihasilkan oleh sel bulat dengan volume yang sama. - Tipisnya eritrosit memungkinkan O2 berdifusi secara lebih cepat antara bagian paling dalam sel dengan eksteriornya. - Kelenturan (fleksibilitas) membran memungkinkan eritrosit berjalan melalui kapiler yang sempit dan berkelok-kelok tanpa mengalami ruptur. - Luas daerah pucat biasanya tidak melebihi diameter eritrosit, besarnya sama dengan besar inti limfosit kecil. - Eritrosit dengan diameter 9m disebut makrosit, dan yang berdiameter 6m disebut mikrosit. Banyaknya eritrosit dalam berbagai ukuran disebut anisositosis. - Rouleaux merupakan suatu kelompok abnormal eritrosit yang saling melekat menyerupai setumpuk koin. Perubahan struktur eritrosit akan menimbulkan kelainan. Kelainan yang timbul karena kelainan membran disebut sebagai membranopati, kelainan akibat gangguan sistem ensim eritrosit disebut ensimopati, sedangkan kelainan akibat gangguan struktur hemoglobin disebut sebagai hemoglobinopati.

Fungsi:
Eritrosit mentranspor O2 ke seluruh jaringan melalui pengikatan Hb terhadap oksigen. Hemoglobin eritrosit berikatan dengan CO2 untuk ditranspor ke paru-paru, tetapi sebagian besar CO2 yang dibawa plasma berada dalam bentuk ion bikarbonat. Suatu enzim (karbonat anhidrase) dalam eritrosit memungkinkan sel darah merah bereaksi dengan CO2 untuk membentuk ion bikarbonat. Ion bikarbonat berdifusi keluar dari eritrosit dan masuk ke dalam plasma. Eritrosit berperan penting dalam pengaturan pH darah karena ion bikarbonat dan hemoglobin merupakan buffer asam-basa.

Ketika eritrosit berada dalam tegangan pembuluh darah yang sempit, eritrosit akan melepaskan ATP yang akan menyebabkan dinding jaringan untuk berelaksasi dan melebar. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosotiol saat hemoglobin terdeoksigenasi yang juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah dan melancarkan arus darah supaya darah menuju ke daerah tubuh yang kekurangan oksigen. Eritrosit juga berperan dalam sistem imun. Ketika sel darah mengalami proses lisis oleh akibat patogen atau bakteri, maka Hb pada eritrosit akan melepaskan radikal bebas yang akan menghancurkan dinding dan membran sel patogen, serta membunuhnya.

LI.2 Memahami dan Menjelaskan Hemoglobin LO.2.1 Biosintesis dan Fungsi Hemoglobin Sintesis heme tSintesis heme terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim A oleh kerja enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu asam aminolevulinat sintase membentuk asam aminolevulinat/ALA. Dalam reaksi ini glisin mengalami dekarboksilasi. Piridoksal fosfat adalah koenzim untuk reaksi ini yang dirangsang oleh eritropoietin. Dalam reaksi kedua pada pembentukan hem yang dikatalisis oleh ALA dehidratase, 2 molekul ALA menyatu membentuk pirol porfobilinogen. Empat dari cincin-cincin pirol ini berkondensasi membentuk sebuah rantai linear dan mengandung gugus asetil (A) dan propionil (P). Gugus asetil mengalami dekarboksilasi untuk membentuk gugus metil. Kemudian dua rantai sisi propionil yang pertama mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke gugus vinil, membentuk protoporfirinogen Akhirnya, Jembatan metilen mengalami oksidasi untuk membentuk protoporfirin IX. Protoporfirin bergabung dengan Fe2+ untuk membentuk heme. Masing- masing molekul heme bergabung dengan satu rantai globin yang dibuat pada poliribosom, lalu bergabunglah tetramer yang terdiri dari empat rantai globin dan heme nya membentuk hemoglobin. Pada saat sel darah merah tua dihancurkan, bagian globin dari hemoglobin akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin. Lalu sebagian besar biliverdin diubah menjadi bilirubin dan diekskresikan ke dalam empedu. Sedangkan besi dari heme digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Pada langkah terakhir jalur ini, besi (sebagai Fe 2+) digabungkan ke dalam protoporfirin IX dalam reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (dikenal sebagai heme sintase).

2.1 Fungsi Hemoglobin Hemoglobin berperan dalam memelihara fungsi transport oksigen dari paru-paru ke jaringan-jaringan. Sel darah merah dalam darah arteri sistemik mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan kembali dalam darah vena dengan karbon dioksida (CO2) ke paru-paru. Ketika molekul hemoglobin memuat dan melepas O2, masing-masing rantai globin dalam molekul hemoglobin mendorong

satu sama lain. Ketika O2 dilepas, rantai-rantai tertarik-pisah, memudahkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang mengakibatkan rendahnya afinitas molekul untuk O2. Pergerakan ini bertanggung jawab terhadap bentuk sigmoid kurve disosiasi O2 hemoglobin. P 50 (tekanan parsial O2 pada hemoglobin setengah jenuh dengan O2) darah normal adalah 26,6 mmHg. Dengan peningkatan afinitas untuk O2, kurve bergeser ke kiri (P 50 turun) sementara dengan penurunan afinitas untuk O2, kurve bergeser ke kanan (P 50 naik). Normal di dalam tubuh, pertukaran O2 bekerja diantara kejenuhan 95% (darah arteri) dengan tekanan O2 arteri rata-rata 95 mmHg dan kejenuhan 70% (darah vena) dengan tekanan O2 vena rata-rata 40 mmHg. Posisi kurve normal tergantung pada konsentrasi 2,3-DPG, ion H+ dan CO2 dalam sel darah merah dan pada struktur molekul hemoglobin. Konsentrasi tinggi 2,3-DPG, H+ atau CO2, dan adanya hemoglobin tertentu, misalnya hemoglobin sabit (Hb S) menggeser kurve ke kanan sedangkan hemoglobin janin (Hb F) yang tidak dapat mengikat 2,3-DPG dan hemoglobin abnormal tertentu yang langka berhubungan dengan polisitemia menggeser kurve ke kiri karena hemoglobin ini kurang mudah melepas O2 daripada normal. Jadi oksigen binding/dissosiasi dipengaruhi oleh pO2, pCO2, pH, suhu tubuh dan konsentrasi 2,3-DPG.

LO.2.2 Peran Zat Besi dalam Sintesis Hemoglobin Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+). Karena bersifat toksik di dalam tubuh, besi bebas biasanya terikat ke protein. Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe 3+ ) oleh protein, apotransferin. Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi transferin. Besi dioksidasi dari Fe 2+ menjadi Fe 3+ oleh feroksidase yang dikenal sebagai seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Besi dapat diambil dari simpanan feritin, diangkut dalam darah sebagai transferin dan diserap oleh sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis diperantarai oleh resptor (misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin). Apabila terjadi penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan sebagai hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi tambahan yang tidak mudah dimobilisasi segera.

LO.2.3 (Disosiasi) Ikatan Reaksi Oksigen dan Hemoglobin Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, oksigen menempel pada Fe2+ dalam heme. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul oksigen secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk ferro, sehingga reaksi pengikatan oksigen merupakan suatu reaksi oksigenasi. Dengan reaksi : Hb + O2 HbO2 Bila tekanan O2 tinggi, seperti dalam kapiler paru, O2 berikatan dengan hemoglobin. Sedangkan jika tekanan oksigen rendah, oksigen akan dilepas dari hemoglobin (deoksihemoglobin). Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah kurva yang menggambarkan hubungan % saturasi kemampuan hemoglobin mengangkut O2 dengan PO2 yang memiliki bentuk signoid khas yang disebabkan oleh interkonversi T-R. Pengikatan O2 oleh gugus heme pertama pada satu molekul Hb akan meningkatkan afinitas gugus heme kedua terhadap O2, dan oksigenase gugus kedua lebih meningkatkan afinitas gugus ketiga, dan seterusnya sehingga afinitas Hb terhadap molekul O2 keempat berkali-kali lebih besar dibandingkan reaksi pertama.

LI.3 Memahami dan Menjelaskan Anemia LO.3.1 Definisi Anemia Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan tubuh. Pada anemia terjadi penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Anemia dapat disebabkan oleh penurunan kecepatan eritropoiesis, kehilangan eritrosit berlebihan, atau defisiensi kandungan hemoglobin dalam eritrosit.

LO.3.2 Etiologi Anemia Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang (produksi eritrosit menurun), kehilangan eritrosit dari tubuh (perdarahan), proses peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).

LO.3.3 Klasifikasi Anemia Berdasarkan morfologi eritrosit - Anemia hipokromik mikrositer (MCV <80 fl; MCH <27 pg) a. Anemia defisiensi besi b. Thalassemia c. Anemia akibat penyakit kronik infeksi kronis, proses peradangan, dan keganasan dapat menimbulkan anemia hipokromik mikrositik. Defek dasarnya adalah pemakaian besi untuk eritropoiesis. Tampaknya terjadi hambatan penyaluran besi dari simpanan di retikuloendotel ke sel-sel darah merah yang sedang terbentuk. d. Anemia sideroblastik sekelompok gangguan yang ditandai oleh kelainan metabolisme heme. Adanya sel darah merah berinti dengan

granula besi (sideroblas bercincin) di sumsum tulang dan munculnya gambaran darah tepi dimorfik, yang terutama dijumpai pada tipe primer. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27 34 pg) a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik hipoplastik ditandai dengan penurunan sel darah merah secara besar-besaran. Hal ini dapat terjadi karena pajanan radiasi yang berlebihan, keracunan zat kimia, atau kanker. c. Anemia hemolitik terutama bentuk yang didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia mieloptisik f. Anemia pada gagal ginjal kronik g. Anemia pada mielofibrosis h. Anemia pada sindrom mielodisplastik i. Anemia pada leukemia akut Anemia makrositer (MCV > 95fl) a. Megaloblastik ~ Anemia defisiensi folat ~ Anemia defisiensi vitamin B12 b. Non megaloblastik ~ Anemia pada penyakit hati kronik ~ Anemia pada hipotiroid ~ Anemia pada sindroma mielodisplastik

Berdasarkan etiopatogenesis - Produksi eritrosit menurun a. Kekurangan bahan untuk eritrosit ~ Besi: anemia defisiensi besi ~ Vitamin B12 dan asam folat, disebut sebagai anemia megaloblastik b. Gangguan utilisasi besi ~ Anemia akibat penyakit kronik ~ Anemia sideroblastik c. Kerusakan pada jaringan sumsum tulang ~ Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak: anemia aplastik / hipoplastik ~ Penggantian oleh jaringan fibrotic / tumor: anemia leukoeritroblastik / mieloptisik d. Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui ~ Anemia diseritropoetik ~ Anemia pada sindrom mielodisplastik - Kehilangan eritrosit dari tubuh a. Anemia pascaperdarahan akut b. Anemia pascaperdarahan kronik - Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis) a. Faktor ekstrakorpuskuler ~ Antibodi terhadap eritrosit: autoantibody-AHA (autoimmune hemolytic anemia) dan isoantibodi-HDN (hemolytic disease of the newborn) ~ Hipersplenisme ~ Pemaparan terhadap bahan kimia ~ Akibat infeksi bakteri / parasit ~ Kerusakan mekanik

b. Faktor intrakorpuskuler ~ Gangguan membran: hereditary spherocytosis dan hereditary elliptocytosis ~ Gangguan enzim: defisiensi pyruvate kinase dan defisiensi G6PD (glucose-6 phosphate dehydrogenase) ~ Gangguan hemoglobin: hemoglobinopati structural dan thalassemia Bentuk Campuran Bentuk yang patogenesisnya belum jelas

LO.3.4 Gejala umum Anemia Gejala umum anemia Disebut juga sebagai sindrom anemia, atau anemic syndrome. Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut jika diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagai berikut: a. System kardiovaskular : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak nafas, angina pectoris dan gagaljantung b. System saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunangkunang, kelemahan otot, iritabel. c. Sistem urogenital : gangguan hadidan libido menurun d. Epitel : pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus Gejala khas masing-masing anemia a. b. c. d. Anemia defisiensi besi : disfagia, atropi papil lidah, stomatitis angularis Anemia defisiensi asam folat : lidah merah (buffy tongue) Anemia hemolitik : icterus dan hepatosplenomegali Amemia apalstik : pendarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi

Gejala akibat penyakit dasar Disebabkan karena penyakit yang mendasari anemia misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang

LO.3.5 Patofisiologi Anemia

LO.3.6 Diagnosis Ditemukan kejala klinis ditambah pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium Hematologik a. Tes penyaring Dikerjakan pada tahap awal pada tiap kasus anemia. Dalam pemeriksaan ini dapat dipastikan adanya anemia dan bentuk morfologinya. Pemeriksaannya meliputi : 1. Kadar Hb 2. Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) . Dapat mengetahui Hb, WBC, RBC, RDW 3. Apusan darah tepi b. Pemeriksaan rutin Untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit. Yang diperiksa adalah : 1. Laju endap darah 2. Hitung deferensial 3. Hitung leukosit c. Pemeriksaan sumsum tulang Jika dalam kasusnya terdiagnosis definitif d. Periksaan atas indikasi khusus Dikerjakan jika sudah mendapat diagnosis awal dan untuk mengkonfirmasi kebeneran dari diagnosis. Pemeriksaannya tergantung dari penyakitnya 1. Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi transferin dan feritin serum 2. Anemia megaloblastik : asam folat darah, vit B12 3. Anemia hemolitik: hitung retikulosit, tes Coombs, elektroforesis Hb Pemeriksaan laboratorium non-hematologik a. Faal ginjal b. Faal endokrin c. Asam urat d. Faal hati e. Biakan kuman Pemeriksaan penunjang lain a. Biopsi kelenjar dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi b. Radiologi : torak, bone survey, USG, skening, limfangiografi c. Pemeriksaan sitogenik d. Pemeriksaan biologi molekular (PCR dan FISH)

LO.3.7 Tatalaksana Anemia LO.3.8 Pencegahan Anemia

LI.4 Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi LO.4.1 Definisi Anemia Defisiensi Besi Anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan bentuk anemia yang paling sering ditemukan di dunia, terutama di Negara yang sedang berkembang. Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi.

LO.4.2 Etiologi Anemia Defisiensi Besi Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang. Kekurangan besi dapat disebabkan: - Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis a. Pertumbuhan Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi premature dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir. b. Menstruasi Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada perempuan adalah kehilangan darah lewat menstruasi. - Kurangnya besi yang diserap a. Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat b. Malabsorpsi besi Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami perubahan secara histology dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme. - Perdarahan Merupakan penyebab penting terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-4 ml/ hari (1,5-2 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan negative besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infestasi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necaor americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus. - Transfuse feto-maternal

Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonates. Hemoglobinuria Dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,87,8 mg/hari.

Iatrogenic blood loss Pada saat pengambilan darah vena (yang banyak) untuk pemeriksaan laboratorium. Idiopathic pulmonary hemosiderosis Jarang terjadi. Ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrate pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastic hingga 1,5-3g/dl dalam 24 jam. Latihan yang berlebihan Pada atlit yang berolahraga berat, sekitar 40% remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.

LO.4.3 Gejala umum Anemia Defisiensi Besi Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu: - Gejala umum anemia Disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa pucat, badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat. - Gejala khas akibat defisiensi besi a. Koilonychia: kuku sendok (spoon nail) kuku menjadi rapuh, bergarisgaris vertical dan menjadi cekung sehingga mirip sendok. b. Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang c. Stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan d. Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia. Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly: kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia. - Gejala penyakit dasar Dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, pada anemia akibat penyakit cacing

tambang dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning, seperti jerami.

LO.4.4 Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi Tahap pertama Disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal. Tahap kedua Dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TBIC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat. Tahap ketiga Disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

LO.4.5 Diagnosis Anemia Defisiensi Besi Ditemukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit: didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH menurun. MCV < 70fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW (red cell distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul perlahan-lahan. Apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mirkositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan dengan derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat > 350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.

Kadar serum feritin < 20 /dl (ada yang memakai < 15 /dl, ada juga < 12 /dl). Jika terdapat inflamasi maka feritin serum sampai dengan 60 /dl masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Protoporfirin eritrosit meningkat (> 100 /dl) Sumsum tulang: menunjukkan hyperplasia normoblastik dengan normoblast kecil-kecil (micronormoblast) dominan. Pada lab yang maju dapat diperiksa reseptor transferin: kadar reseptor transferin meningkat pada defisiensi besi, normal pada anemia akibat penyakit kronik dan thalassemia. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan cadangan besi yang negative (butir hemosiderin negatif) Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi: antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif (Kato-Katz), pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.

LO.4.5 Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral maupun parenteral. Setelah diagnosis ditegakkan maka akan dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah : a) Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan, misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh lagi. b) Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacement therapy) : o Terapi besi oral, merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphate (preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif). Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, ferrous succinate. o Terapi besi parenteral, sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu, seperti: Intoleransi terhadap pemberian besi oral, kepatuhan terhadap obat rendah, penyerapan besi terganggu, keadaan dimana kehilangan darah banyak, kebutuhan besi besar dalam waktu pendek, defisiensi besi fungsional relatif. Kebutuhan besi (mg) = (15 Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg c). Pengobatan lain

o Diet, sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama berasal dari protein hewani. o Vitamin C, diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan absorposi besi o Transfusi darah, ADB jarang memerlukan transfusi darah. Diberikan hanya pada keadaan anemia yang sangat berat atau disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi. Jenis darah yang diberikan adalah PRC untuk mengurangi bahaya overload. Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan: *pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum, dosis besi kurang, masih ada perdarahan cukup berat, ada penyakit lain seperti peny.kronik, ada defisiensi asam folat. Serta kemungkinan salah mendiagnosis ADB. Jika dijumpai keadaan tersebut, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat.

LO.4.6 Pencegahan Anemia Defisiensi Besi Meningkatkan konsumsi Fe dari sumber alami terutama sumber hewani yang mudah diserap. Juga perlu peningkatan konsumsi makanan yang mengandung vitamin C dan A. Pendidikan kesehatan, yaitu: a. Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, dan perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki. b. Penyuluhan gizi: untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi besi. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling sering di daerah tropic. Suplementasi besi: terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita cara paling tepat untuk menanggulangi ADB di daerah yang prevalensinya tinggi. Fortifikasi bahan makanan dengan cara menambah masukan besi dengan mencampurkan senyawa besi kedalam makanan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai