Anda di halaman 1dari 10

ENSEFALOPATI ROTAVIRUS

ENSEFALOPATI Ensefalopati adalah istilah untuk penyakit yang menyerang otak secara keseluruhan, yang dapat mengubah fungsi atau struktur otak. Ensefalopati dapat disebabkan oleh agen infeksi (bakteri, virus, atau prion), disfungsi metabolik atau mitokondria, tumor otak atau peningkatan tekanan intrakranial, paparan terhadap bahan-bahan beracun dalam waktu yang lama (pelarut, obat-obatan, radiasi, cat, bahan kimia industri, dan beberapa logam), trauma yang berlangsung secara kronis dan progresif, gizi buruk, atau kekurangan oksigen atau aliran darah ke otak. Ciri ensefalopati adalah perubahan status mental, tergantung pada jenis dan tingkat keparahan ensefalopati. Gejala neurologis pada umumnya adalah hilangnya memori dan

kemampuan kognitif secara progresif, perubahan kepribadian, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, lesu, dan hilangnya kesadaran. Gejala neurologis lain mungkin termasuk myoclonus (berkedutnya otot atau kelompok otot), nystagmus (gerakan mata yang cepat dan involunter), tremor, atrofi otot dan kelemahan, demensia, kejang, dan kehilangan kemampuan untuk menelan atau berbicara. Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh : 1. Invasi dan pengrusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang biak. 2. Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antign virus yang akan berakibat demielinisasi, kerusakan vaskuler dan paravaskuler. Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak. 3. Reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten. Tes darah, pemeriksaan cairan serebrospinalis, studi pencitraan, electroencephalograms, dan studi diagnostik yang lain dapat digunakan untuk membedakan berbagai penyebab ensefalopati. Pengobatan ensefalopati bersifat simtomatik, sesuai dengan jenis dan tingkat keparahan ensefalopati tersebut. Antikonvulsan untuk mengurangi atau menghentikan kejang, perubahan diet dan suplemen gizi dapat membantu beberapa pasien. Dalam kasus yang parah, dialisis atau operasi penggantian organ mungkin diperlukan. Mengobati penyebab yang mendasari gangguan

tersebut dapat memperbaiki gejala. Namun, ensefalopati dapat menyebabkan perubahan struktural dan kerusakan permanen pada otak. Pada beberapa kasus, ensefalopati dapat menyebabkan kematian.

ROTAVIRUS Rotavirus adalah virus yang menyebabkan gastroenteritis (peradangan pada lambung dan usus). Virus ini menyebabkan diare, sering dengan muntah, demam, dan nyeri perut. Pada bayi dan anak-anak, dapat menyebabkan dehidrasi. Rotavirus merupakan penyebab utama diare berat pada bayi dan anak-anak di seluruh dunia. Secara global, rotavirus menyebabkan satu setengah juta kematian tiap tahun pada anak kurang dari 5 tahun. Rotavirus memiliki penampilan seperti roda, jika dilihat dengan mikroskop elektron (nama rotavirus berasal dari bahasa Latin rota, yang berarti "roda"). Rotavirus yang tidak memiliki amplop, dengan cangkang ganda. Genomnya terdiri dari 11 segmen double-stranded RNA, yang mengkode untuk enam protein nonstruktural dan lima protein struktural.

Rotavirus menyebar dengan mudah di antara anak-anak. Anak-anak dapat menyebarkan virus sebelum dan setelah mereka mengalami diare. Mereka juga bisa menularkan rotavirus kepada anggota keluarga dan orang-orang lain yang dekat dengan mereka. Rotavirus terdapat dalam feses (tinja) dari orang yang terinfeksi. Virus ini menyebar melalui rute fekal-oral. Rotavirus dapat menyebar melalui tangan, benda-benda (termasuk mainan), makanan, dan air yang terkontaminasi. Rotavirus dapat menyebabkan diare pada orang dewasa yang merawat anak-anak, pada orang dewasa yang lebih tua, dan pada orang dewasa yang bepergian. Anakanak yang paling sering terinfeksi rotavirus pada musim dingin dan musim semi. Setelah seseorang telah terkena infeksi rotavirus, dibutuhkan sekitar 2 hari untuk gejala muncul. Gejala gejalanya meliputi : demam, muntah, diare, nyeri perut. Muntah dan diare cair dapat berlangsung selama 3-8 hari. Gejala tambahan mencakup hilangnya nafsu makan dan dehidrasi (kehilangan cairan tubuh), yang dapat sangat berbahaya bagi bayi dan anak kecil. Anak yang telah mendapat vaksinasi dan yang belum divaksinasi dapat terkena infeksi rotavirus lebih dari sekali karena ada banyak jenis rotavirus dan karena baik vaksin atau infeksi alami tidak memberikan kekebalan penuh terhadap infeksi selanjutnya. Biasanya infeksi pertama menyebabkan gejala yang paling parah. Namun, penyebaran rotavirus tidak terbatas pada enterocites saja, dan lesi yang diinduksi oleh rotavirus, isolasi dari partikel yang terinfeksi, atau deteksi rotavirus-spesifik antigen dan/atau asam nukleat pada ekstraintestinal telah dilaporkan baik pada hewan maupun pada manusia, pada anak immunokompeten maupun immunokompromised. Lokasi ini termasuk lamina propria, KGB pada mesenterika, paru-paru, liver, ginjal, dan kandung empedu. Diagnosis dapat dilakukan dengan deteksi cepat antigen rotavirus (Rapid Antigen Detection) dalam spesimen tinja. Selanjutnya strain dapat ditandai dengan enzim immunoassay atau Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction, namun pengujian tersebut tidak lazim dilakukan. Tidak ada obat antivirus untuk mengobati infeksi rotavirus. Obat antibiotik tidak akan membantu, karena antibiotik melawan bakteri bukan virus. Infeksi rotavirus dapat menyebabkan muntah dan diare. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi. Selama infeksi rotavirus, bayi dan anakanak, adalah yang paling berisiko untuk dehidrasi.

Gejala dehidrasi pada anak-anak termasuk : penurunan jumlah urin, mulut dan tenggorokan terasa kering, pusing ketika berdiri. Seorang anak yang mengalami dehidrasi juga bisa menangis dengan sedikit atau tanpa air mata dan menjadi luar biasa mengantuk atau rewel. Dehidrasi dapat menyebabkan masalah serius lainnya. Dehidrasi parah mungkin memerlukan rawat inap untuk pengobatan dengan cairan intravena (IV). Cara terbaik untuk melindungi diri terhadap dehidrasi adalah minum banyak cairan. Rotavirus dapat menyebar dengan mudah. Higiene yang baik (cuci tangan) dan kebersihan adalah penting, tetapi tidak cukup untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini. Vaksin rotavirus sangat efektif dalam mencegah gastroenteritis dan diare dan gejala lain yang menyertainya.

Rotavirus memiliki 2 protein capsid terluar, VP4 (yang menetukan type P) dan VP7 (yang menetukan tipe G). protein-protein ini berperan dalam menyebabkan resistensi pada infeksi. Tipe G1 dan P(8) mendominasi di seluruh dunia. G1P(8) rotavirus yang diisolasi dari CNS dan usus pada pasien ini secara mengejutkan mirip satu dengan yang lainnya dan dengan rotavirus yang beredar secara luas di komunitas dan berkaitan dengan gastroenteritis saja. Pada laporan sebelumnya, dimana data tersedia untuk gen VP7 dari G1 rotavirus yang berkaitan dengan gejala pada CNS, menunjukkan hasil yang mirip. Hasil ini menunjukkan bahwa transmisi

rotavirus ke ekstraintestinal lebih berkaitan dengan host daripada perubahan pada gen yang menetukan pathogenesis viral atau asal sel.

ROTAVIRUS ENSEFALOPATI Salmi et al. adalah yang pertama yang menggambarkan keterlibatan SSP dengan infeksi rotavirus pada tahun 1978. Sejumlah pasien yang memiliki keterlibatan rotavirus pada SSP, didiagnosis baik atas dasar adanya kandungan antibodies rotavirus-spesifik pada CSF atau kehadiran partikel rotavirus pada mikroskop elektron dari CSF. Penelitian lain menunjukkan adanya RNA genom rotavirus dengan menggunakan Reverse Transcriptase Polimerase Chain Reaction dari DNA produk. Belum diketahui apakah replikasi rotavirus berlangsung di CNS ataukah deteksi RNA rotavirus berasal dari limfosit yang beredar membawa RNA tersebut. Namun demikian, telah didapati bahwa rotavirus dapat melakukan replikasi in vitro secara terbatas pada sel neuron. Meskipun sebagian besar pasien dengan infeksi rotavirus dengan komplikasi pada CNS dapat pulih secara sepenuhnya, sejumlah kecil pasien mengalami sekuele yang parah atau bahkan meninggal. Isolasi dari rotavirus pada tenggorokan, serum, dan CSF pada pasien yang mengalami komplikasi pada CNS dan penampakan berupa rash exanthemous pada sejumlah pasien, mencerminkan episiode viremia setelah infeksi oleh rotavirus. Telah diperkirakan bahwa menembus blood brain barrier selama kejang atau saat virus menginfeksi sel-sel neuron dan melepaskan genome di CSF. Namun demikian, hingga sekarang masih belum jelas apakah episiode viremia selalu diikuti dengan keterlibatan CNS atau sebagai factor yang berkontribusi. Penelitian lebih jauh masih diperlukan untuk menentukan frekuensi dari viremia karena rotavirus dan penyakit CNS yang menyertai. Bukti keterlibatan rotavirus pada SSP telah diamati dalam kasus rotavirus gastroenteritis dengan atau tanpa kejang, kasus rotavirus gastroenteritis dengan sindrom Reye dan dengan kasus shock perdarahan dan sindrom ensefalopati. Kasus ke 2 membawa beberapa gambaran khas dari sindrom Reye, dengan peningkatan amonia darah (tapi tidak lebih 3x lipat dari kriteria yang normal) dan bukti hipoglikemia dan pembengkakan asimetris pada otak, tetapi tidak ada bukti

hepatomegali, meskipun didapati adanya peningkatan serum transaminase. Grimwood et al. dan Kovacs et al. secara terpisah telah menunjukkan adanya peningkatan (relatif sedikit) serum transaminase hati pada bayi dengan infeksi rotavirus. Tidak ada riwayat penggunaan salisilat. Frekuensi keterlibatan SSP dalam kasus rotavirus gastroenteritis tetap tidak diketahui, tetapi mungkin setinggi 2% berdasarkan survei retrospektif selama 2 tahun pada kasus lebih muda dari 2 tahun. Gangguan keseimbangan elektrolit karena dehidrasi atau rehidrasi yang tidak adekuat atau SIADHS ( Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion ) bisa menjelaskan terjadinya pembengkakan otak dan adanya gejala sisa neurologis pada beberapa kasus, tapi temuan rotavirus atau genom dalam CSF menunjukkan peran patogenetik untuk agen ini. Istilah 'rotavirus ensefalitis' atau 'ensefalopati' telah digunakan untuk kasus-kasus rotavirus gastroenteritis dengan keterlibatan SSP yang ditandai dengan adanya ensefalopati dengan atau tanpa CSF pleositosis. Patogenesis ensefalitis rotavirus terkait atau ensefalopati masih belum diketahui, namun diketahui bahwa rotavirus bisa, menginfeksi sel-sel saraf secara in vitro dan in vivo dan temuan RNA virus dalam CSF mendukung gagasan bahwa replikasi rotavirus dapat terjadi di SSP dan menyebabkan kerusakan. Bahwa toksin dari rotavirus memasuki aliran darah dari mukosa usus yang telah dirusak oleh rotavirus mempengaruhi SSP adalah suatu kemungkinan, tapi deteksi toxaemia bakteri dalam kasus-kasus diare karena rotavirus, belum pernah pernah dilaporkan. Anggapan bahwa protein non-struktural NSP4 rotavirus adalah enterotoksin virus pertama layak mendapatkan pertimbangan lebih lanjut, karena tampaknya NSP4 adalah agonis sekretori yang kuat, memobilisasi kalsium intraseluler. Sekarang masuk akal bahwa NSP4 atau turunan peptidanya dapat bertindak baik langsung, melalui infeksi langsung pada saraf (didukung dengan adanya rotavirus RNA dalam CSF seperti yang disebutkan sebelumnya), atau tidak langsung, melalui darah dari usus ke otak. Baru-baru ini, telah ditemukan bahwa diare rotavirus (dan, mungkin, kebanyakan diare pada bakterial exo-dan enterotoksin-based) dimediasi melalui sistem saraf enterik (ENS) dan diare terjadi sebagai akibat dari sekresi ENS oleh enterosit. Ini adalah penemuan menarik karena memberikan penjelasan yang memuaskan tentang bagaimana cairan bergerak dari satu kompartemen isotonik ke kompartemen isotonik yang lain. Masuk akal bahwa NSP4 atau turunan peptidanya dapat bertindak sebagai neurotransmitter mirip dengan berbagai peptida lain yang terlibat dalam fisiologi ENS dan usus yang dipasoknya. Pemikiran

bahwa ENS bisa menjadi titik masuk bagi rotavirus untuk menginfeksi SSP juga layak mendapatkan penyelidikan lebih lanjut. Lynch et al, mereview 2 register besar Rawat Inap AS dengan menggunakan ICD-9 CM, Kode untuk penyakit rotavirus, gastroenteritis dan nomor gejala SSP dan menemukan bahwa gejala neurologis yang merugikan yang dikaitkan dengan rotavirus gastroenteritis kurang dari 4%, namun jumlah sebenarnya mungkin lebih tinggi. Analisis retrospektif terhadap 984 kasus infeksi rotavirus dalam pengawasan 11 tahun di Skandinavia mengungkapkan tingkat komplikasi keseluruhan sebesar 16,5% dengan perawatan intensif sebesar 1,7%, kematian 0,1%, dehidrasi hipertonik 9,1%, 4,0% untuk kejang, dan ensefalitis dengan EEG normal sebesar 1,7%. Telah dicatat bahwa usia anak yang mengalami kejang dan ensefalitis adalah jauh lebih tinggi dari usia anak-anak tanpa komplikasi. Tidak semua kasus diare rotavirus mungkin diakui dan dikodekan seperti itu. Meskipun laporan kasus mencerminkan presentasi yang tidak biasa atau serius, studi prospektif sistematis diperlukan untuk menggambarkan spektrum klinis secara utuh. Meskipun tidak ada pengobatan antivirus spesifik yang tersedia pada saat ini, infeksi rotavirus baru-baru ini menjadi penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Vaksinasi rotavirus telah dimasukkan dalam jadwal imunisasi di Amerika Serikat, dengan tujuan untuk mengurangi infeksi rotavirus terkait mortalitas dan rawat inap. Kasus ini dilaporkan terjadi sebelum pengenalan pentavalent Vaksin rotavirus reassortant di Amerika Serikat dan menggaris bawahi manfaat tambahan penanggulangan penyebarluasan infeksi rotavirus yang berpotensi menjadi komplikasi serius pada SSP. Tada et al mengidentifikasikan Mild Ensefalopati with a Reversible Splenial Lesion (MERS) sebagai ensephalopathy akut tipe baru dengan karakteristik berupa lesi splenial yang sesaat dengan high-signal intensity in diffusion-weighted MRI, perjalanan penyakit yang ringan dengan outcome yang bagus pada tahun 2004. MERS telah dilaporkan dalam encephalitis atau ensefalopati yang disebabkan tidak hanya oleh rotavirus, tapi juga oleh virus influenza, adenovirus dan virus mumps. Meskipun penderita MERS biasanya pulih kembali, MERS yang disebabkan oleh Rotavirus harus mendapat perhatian ekstra karena kemungkinan progresifitas ke arah cerebelitis. Telah ada beberapa hipotesa mengenai MERS yang disebabkan oleh infeksi rotavirus. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa MERS karena rotavirus disebabkan oleh invasi langsung oleh virus pada sistem saraf pusat. Namun beberapa laporan menyanggah hipotesis ini.

Lebih jauh, MERS dapat disebabkan oleh virus lain. Jadi sangat wajar bila disimpulkan bahwa mekanisme pathogenic dari MERS tidaklah spesifik karena rotavirus. Pada kasus ini, rotavirus tidak terdeteksi pada CSF dengan pemeriksaan nested-reverse transcription PCR. Di sisi lain, telah diusulkan bahwa MERS dapat disebabkan oleh edema axonal intramielinic (berhubungan dengan hiponatremia) atau infiltrasi oleh sel inflamasi local (peningkatan sitokin seperti interleukin-6). Namun demikian, hiponatremia ataupun peningkatan level IL-6 pada CSF tidak selalu ditemukan pada MERS. Bila disimpulkan, mekanisme terjadinya MERS karena infeksi rotavirus masih belum jelas sampai saat ini.

Gambar A : Diffusion-weighted MRI pada otak dilakukan pada hari ke-3 setelah onset penyakit menunjukkan adanya intensifikasi sinyal dalam splenium dari korpus kalosum. Gambar B : Pemetaan Apparent diffusion coefficient (ADC) pada hari ke 3 menunjukkan nilai ADC menurun pada kelainan. Gambar C : Diffusion-weighted MRI pada hari ke 9 mengungkapkan hilangnya lesi secara lengkap dari keadaan awal. Gambar D : Pemetaan Apparent diffusion coefficient (ADC) pada hari ke 9.

DAFTAR PUSTAKA

Iturriza-Gomara, M.; Auchterlonie, I. A.; Zaw, W.; Molyneaux, P.; Desselberger, U.; Gray, J. 2002. Rotavirus Gastroenteritis and Central Nervous System (CNS) Infection : Characterization of the VP7 and VP4 Genes of Rotavirus Strains Isolated from Paired Fecal and Cerebrospinal Fluid Samples from a Chilld with CNS Disease. Journal of Microbiology, Dec.2002, p. 4797-4799 Yokoyama, T.; Yamada, S.; Doichi, N.; Kato, E. 2013. Rotavirus-infected children with clinically mild ensefalopati with a reversible splenial lesion (MERS). BMJ Publishing Group. Goldwater, P. N.; Rowland, K.; Power, R.; Thesinger, R.; Abbot, K.; Grieve, A.; Palombo, E.A.; Masendycz, P.J.; Wilkinson, I.; Bear, J. 2001. Rotavirus ensefalopati : Pathogenesis reviewed. J. Paediatric Child Health (2001) 37, 206-209. Rath, B.; Gentsch, J.; Seckinger, J.; Ward, K.; Deputy, S. 2013. Rotavirus Encephalitis With Basal Ganglia Involvement in an 8-Month-Old Infant. Clinical Pediatrics (2013) 52, 260264. Gulli, L.F.; Mori, A. 2005. Gale Encyclopedia of Neurological Disorders. Gale Encyclopedia of Public Health.

Anda mungkin juga menyukai