Anda di halaman 1dari 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pengertian Biohidrogen Biohidrogen adalah gas hidrogen yang dihasilkan oleh aktivitas

mikroorganisme seperti ganggang hijau, cyanobacteria, atau mikroorganisme fermentasi. Ganggang hijau dan cyanobacteria menggunakan energi sinar matahari untuk menghasilkan H2 dari air, sementara bakteri fermentasi bersifat heterotrof (Das dan Veziroglu, 2001). Produksi hidrogen dari sumber daya terbarukan dengan fermentasi adalah metode yang lebih menjanjikan di antara alternatif proses produksi hidrogen yang lain. Sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dan masalah minimisasi limbah, produksi hidrogen biologis, yang dikenal sebagai "teknologi hijau" telah menerima banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir dikarenakan membutuhkan energi yang sedikit dan dapat dikombinasikan dengan proses pengolahan limbah cair. Hidrogen tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak beracun ketika digunakan sebagai bahan bakar karena tidak menghasilkan polutan tetapi menghasilkan air sebagai produk tunggal. Dibandingkan dengan bahan bakar fosil, hidrogen menghasilkan energi sebesar 122 kJ/g, 2,75 kali lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar hidrokarbon (Mei Ling Chong dkk.,2009). Adapun beberapa keuntungan dari penggunaan hidrogen ialah pembakaran hidrogen pada automobile 50% lebih efisien dari pada bensin (Reith dkk., 2003). Kemudian hidrogen mempunyai efisiensi konversi sebesar 55-60% (Nilai pembakaran gas H2) dibandingkan dengan gas metana yang hanya 33% (Van Groenestijn dkk., 2002) . Hidrogen dapat dijual sebagai metal hydride (Dong dkk., 2007) serta transmisi hidrogen melalui perpipaan gas akan lebih efisien daripada transmisi electricity down power line (Kloeppel dan Rogerson, 1991). Selain itu gas H2 mempunyai aplikasi industri yang lebih luas dibandingkan gas metana (Li dan Fang, 2007). Di antara metode produksi hidrogen, metode yang paling menjanjikan dan ramah lingkungan adalah fermentasi gelap dari limbah organik karena menggabungkan proses produksi hidrogen dengan pengolahan limbah (Benemann 1996). Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

2.2

Sejarah Biohidrogen Hidrogen pertama kali diisolasi pada pertengahan tahun 1600 oleh Robert

Boyle, yang menjatuhkan paku besi ke dalam asam sulfat, disebut gas H2 dikenal sebagai udara buatan (Busby,2005). Kurang lebih 100 tahun kemudian, pada tahun 1766, Henry Cavendish mengidentifikasi hidrogen sebagai elemen kimia ( disebut sebagai udara yang mudah terbakar) dan menjelaskan sifat-sifat dari gas tersebut, seperti densitas dan berat molar. Cavendish juga menunjukkan bahwa pembakaran H2 di udara menghasilkan air mengoreksi kesalahan dari ide yang menyatakan air sebagai elemen dasar. Pada tahun 1783, Antoine-Laurent Lavoisier mengenal oksigen sebagai komponen dari air, dan memberikan hidrogen nama modernnya (penghasil air). Pada akhir tahun 1700 dan awal tahun 1800, hidrogen digunakan pada udara panas balon penerbangan, dan sebagai bahan bakar pada salah satu mesin pembakaran internal yang pertama. Hidrogen juga merupakan komponen yang kaya pada kota gas digunakan untuk tujuan pemanasan dan penerangan (Busby, 2005). Pada tahun 1920 dan 1930, penelitian hidrogen sangat aktif dan beberapa aplikasi utilitas pemindahan H2 dikembangkan, dari zeppelin dirigibles hingga kereta api , bus dan kapal laut (Hoffmann, 2002). Kemajuan teknologi H2 dihentikan setelah perang dunia kedua disebabkan rendahnya harga minyak dan bensin. Perhatian pada energi H2 kembali meningkat pada tahun 1970 selama krisis energi, tetapi berkurang setelah harga minyak merosot tajam (Hoffmann, 2002). Pada tahun 1990, perhatian H2 kembali meningkat dengan pertumbuhan kecemasan publik pada dampak negatif bahan bakar fosil terhadap lingkungan dunia (Benemann, 1996). Produksi hidrogen oleh mikroorganisme terungkap pada akhir tahun 1800. Penelitian dasar bakteri penghasil H2 ditemukan pada akhir tahun 1920 (Benemann,2002) dan ganggang mikro pada awal tahun 1940 (Homann, 2003). Meskipun produksi H2 secara mikrobiologi tidak dipertimbangkan sebagai kemungkinan yang mudah dilaksanakan hingga tahun 1970 (Benemann,1996). Pada tahun 1970 dan 1980 penelitian biohidrogen kebanyakan berkonsentrasi pada produksi H2 secara biologis menggunakan cahaya (Asada and Miyake,1999). Penelitian mengenai produksi H2 dengan fermentasi gelap memperoleh perhatian lebih pada akhir tahun 1990 dengan meningkatnya jumlah studi hingga sekarang (Perttu Koskinen, 2008). Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

2.3 faktor: 2.3.1

Faktor yang Mempengaruhi Proses Anaerobik Aktivitas metabolisme mikroorganisme penghasil hidrogen tergantung pada Temperatur Temperatur mempengaruhi aktivitas bakteri penghasil hidrogen dan laju

produksi (Nath et al, 2006). Reaksi fermentasi gelap hidrogen dapat dioperasikan pada temperatur yang berbeda : mesofilik (25-40oC), termofilik (40-65 oC), ekstrim termofilik (65-80 oC), atau hipertermofilik (>80 oC) (Levin et al,2004). Kebanyakan percobaan fermentasi gelap menggunakan temperatur sebesar 35-55 oC. Proses ekstrim termofilik memberikan sejumlah keuntungan dibandingkan dengan termofilik dan mesofilik. Pertama, produksi hidrogen lebih tinggi pada kondisi ekstrim termofilik daripada kondisi mesofilik dan termofilik. Telah dilaporkan bahwa fermentasi anaerobik hidrogen secara ekstrim termofilik dapat menghasilkan produksi hidrogen yang lebih banyak dan laju produksi hidrogen yang lebih tinggi daripada fermentasi hidrogen secara mesofilik (Van Groenestijin dkk., 2002). Telah dilaporkan juga bahwa pada kondisi ekstrim termofilik (70 oC), hasil hidrogen mencapai maksimum secara teoritis yaitu 4 mol hidrogen per mol glukosa, sedangkan pada kondisi mesofilik dan termofilik normalnya adalah kurang dari 2 mol hidrogen per mol glukosa (Van Niel dkk., 2002). Kedua, ekstrim termofilik memiliki kemampuan memusnahkan patogen yang lebih baik pada digested residu yang ditunjukkan pada temperatur tinggi (Sah Istrom, 2003). Ketiga, meminimalisasi kontaminasi oleh pengkonsumsi hidrogen, seperti metanogen. Hellenbeck (2005), melaporkan bahwa pada fermentasi dengan temperatur tinggi lebih disukai secara termodinamik bagi reaksi penghasil hidrogen karena temperatur yang tinggi menghasilkan peningkatan entropi, dan menjadikan fermentasi gelap hidrogen lebih berenergi sementara utilitas proses hidrogen berdampak negatif dengan kenaikan temperatur (Amend dan Shock, 2001). Bakteri ekstrim termofilik menunjukkan toleransi yang lebih baik pada tekanan parsial hidrogen yang tinggi yang akan menyebabkan pergantian metabolik pada cara penghasil nonhidrogen, seperti produksi pelarut (Niel dkk., 2003). Pada kondisi mesofilik, Lay dkk. (2003) melaporkan produksi hidrogen sebesar 50 ml/gVSyang ditambahkan pada HSW batch fermentation. Okamoto dkk. (2000) Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

menemukan produksi hidrogen sebesar 19,3-96,0 mL/ gVSyang

ditambahkan

dari fraksi

individu HSW seperti nasi dan wortel oleh pengolahan batch secara mesofilik. Valdez- Vazquez dkk. (2005) melaporkan bahwa 95 ml H2/ gVSyang
ditambahkan

diperoleh secara berturut-turut dengan menggunakan CSTR semi kontinyu. Dawei Liu (2008) menemukan produksi hidrogen sebesar 43 ml H2/ gVSyang ditambahkan dari fermentasi HSW secara mesofilik, dan juga menemukan bahwa produksi hidrogen sebesar 100-250 ml H2/ gVSyang termofilik.
ditambahkan

dapat dipenuhi pada kondisi ekstrim

2.3.2

Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi enzim mikroorganisme,

karena setiap enzim aktif hanya pada kisaran pH yang bersifat spesifik dan mempunyai aktivitas maksimum pada pH optimalnya (Lay dkk., 1997). Penelitian hidrogen telah mengakui bahwa pH adalah salah satu kunci faktor yang mempengaruhi produksi hidrogen. Fermentasi hidrogen bersifat sensitif terhadap pH dan pokok dari produk akhir (Craven, 1998). Telah banyak penelitian untuk memproduksi hidrogen dari limbah padat. Hasilnya mengindikasi bahwa kontrol pH merupakan hal yang sangat penting untuk memproduksi hidrogen. Telah dilaporkan juga bahwa dibawah pH yang tidak optimal proses fermentasi hidrogen digantikan oleh produksi pelarut (Temudo dkk., 2007), atau memperlama fasa lag (Liang, 2003). Produksi laktat selalu diobservasi bersamaan dengan perubahan parameter lingkungan yang terjadi secara tiba-tiba, seperti pH, HRT, dan temperatur, yang mengindikasikan biakan bakteri tidak beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru (Temudo dkk., 2007). Liu dkk. (2006) menemukan bahwa pada fermentasi gelap hidrogen secara mesofilik memiliki pH optimal sekitar 5-5,5. Sementara itu, fermentasi hidrogen pada temperatur ekstrim termofilik pada semua publikasi menggunakan pH 6,5-7,5. Van Niel dkk. (2002) menggunakan biakan murni dari Caldicellulosiruptor saccharolyticus dan Thermatoga elfii untuk fermentasi gelap hidrogen menggunakan bahan baku sukrosa dan glukosa pada temperatur 70oC. pH yang utama adalah 7 dan 7,4 melalui eksperimen tersebut. Schroder et al (1994) menggunakan biakan murni dari Thermatoga maritime dengan menggunakan substrat glukosa pada temperatur 80oC dan kontrol pH 6,5. Kadar et al. Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

(2004) melaporkan produksi hidrogen dari sludge hidrolisat kertas dengan biakan murni Caldicellulosiruptor saccharolyticus pada pH 7,2. Dari keseluruhan penelitian ini mengindikasi bahwa kebanyakan bakteri ekstrim termofilik penghasil hidrogen lebih menyukai pH netral sebagai pH optimum. Penelitian biakan campuran bakteri ekstrim termofilik yang diadaptasi dari pupuk juga melaporkan bahwa pH optimum adalah 7 (Yokoyama dkk., 2007). Dawei Liu (2008) juga menemukan bahwa biakan campuran bakteri ekstrim termofilik penghasil hidrogen yang diadaptasi dari pupuk dan pengolahan substrat HSW mempunyai pH optimum 7.

2.3.3

HRT HRT juga merupakan parameter yang penting bagi proses fermentasi gelap.

Pada sistem CSTR, HRT yang singkat digunakan untuk membersihkan metanogen yang tumbuh lambat dan memilih bakteri penghasil asam (Chen dkk., 2001), sementara laju cairan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan hidrolisis limbah organik yang buruk (Han dan Shin, 2004). Pada sistem CSTR, Kim dkk. (2004) melaporkan bahwa HRT yang singkat (< 3 hari) akan menghasilkan produksi hidrogen karena metanogen membutuhkan lebih dari HRT 3 hari. Normalnya pada proses anaerobik, pH dan HRT adalah pasangan parameter : HRT yang singkat menghasilkan pH yang rendah. Antara pH dan HRT telah didemonstrasikan sebagai cara yang efektif untuk memisahkan bakteri penghasil hidrogen dan archaea pengkonsumsi hidrogen pada kondisi mesofilik dan termofilik (Oh dkk., 2004). Meskipun efek pH dan HRT saling berhubungan tidak ada penelitian resmi yang telah mengisolasi efek dari kedua parameter ini secara terpisah (Dawei Liu, 2008). Bagi fermentasi HSW pada temperatur ekstrim termofilik, HRT harus tidak boleh kurang dari 2 hari, jika tidak akan dihasilkan hidrolisis dan pembersihan bakteri metanogen yang buruk. Diindikasi juga bahwa metanogen masih dapat tumbuh dan mengkonsumsi hidrogen (Dawei Liu, 2008).

2.3.4 Tekanan Parsial Hidrogen dan Karbondioksida Akumulasi hidrogen dan karbondioksida dapat menyebabkan penekanan produksi dan formasi dari produk yang berkurang secara berturut-turut.

Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

a. Tekanan Parsial Hidrogen Konsentrasi hidrogen pada fasa cair berhubungan dengan tekanan parsial hidrogen yang merupakan salah satu kunci faktor yang mempengaruhi produksi hidrogen (Hawkes dkk., 2002). Tekanan parsial H2 (pH2) adalah faktor yang sangat penting terutama bagi sintesis H2 secara kontinyu (Hawkws dkk., 2007). Alur sintesis hidrogen bersifat sensitif bagi konsentrasi H2 dan merupakan penghambat produk akhir karena meningkatnya konsentrasi H2 menyebabkan sintesis H2 berkurang dan alur metabolik berganti menjadi produksi substrat seperti laktat, etanol, aseton, butanol, atau alanin (Tamagnini et al., 2002). Sintesis H2 secara kontinyu membutuhkan pH2 sebesar 50 kPa pada temperatur 60oC (Lee dan Zinder, 1998). 20 kPa pada temperatur 70oC (Van Niel

dkk., 2002), dan 2 kPa pada temperatur 98 oC dibawah kondisi standart (Levin dkk.,
2004). b. Tekanan Parsial Karbondioksida Pada kasus karbondioksida, konsentrasi H2 yang tinggi dapat menyebabkan produksi fumarat atau suksinat, yang berkontribusi mengkonsumsi elektron, sehingga produksi hidrogen berkurang (Tanisho dkk., 1998). Tanisho et al. Juga melaporkan bahwa penghilangan CO2 dapat meningkatkan produksi hidrogen pada fermentasi gelap. Setelah CO2 dihilangkan, produksi hidrogen meningkat dua kali semula. Terlebih lagi ketika CO2 dihilangkan dari cairan dengan sparging gas argon dan gas hidrogen, dibandingkan tekanan parsial hidrogen, tekanan parsial CO2 memiliki efek penghambat yang lebih besar pada proses fermentasi gelap. Belakangan ini gas CH4 digunakan sebagai sparging gas untuk menghilangkan hidrogen dan karbondioksida dari cairan. Gas sparging menghasilkan peningkatan yang signifikan terhadap produksi hidrogen (88%). Mizuno dkk. (2000) melaporkan bahwa produksi hidrogen meningkat sebesar 68% setelah mengalami sparging dengan gas N2.

2.3.5

Konsentrasi Asam Organik


Konsentrasi asam organik yang tinggi telah dilaporkan menghasilkan penurunan

gradien pH dan menyebabkan penghambatan total dari fungsi keseluruhan metabolik sel (Jones dan Woods,1986). Konsentrasi total antara asam asetat atau butirat dan bentuk tidak terpisahkan dari asam-asam ini dapat menghambat proses fermentasi gelap hidrogen (Van Niel dkk., 2003).

Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

Suatu pendekatan yang lengkap mengenai penghambatan produksi H2 diobservasi oleh Van Ginkel dan Logan (2005) dengan menambahkan asam asetat untuk memberikan konsentrasi asam yang tak terpisahkan pada reaktor 63 mM, yang terjadi pada pH 5,5 dan penambahan 165mM asetat. Mereka melaporkan bahwa alur fermentasi berubah dari asam organik dan hidrogen menjadi pelarut yang tidak terdeteksi.Dilaporkan juga bahwa konsentrasi keseluruhan asetat adalah inhibitor yang kuat pada fermentasi hidrogen. Van Niel dkk. (2003) melaporkan bahwa konsentrasi asetat tak terpisah tidak serius menghambat produksi hidrogen pada pH 6,5 dan 7,2 serta pada temperatur 70oC oleh biakan murni Caldicellulosiruptor saccharolyticus, dan konsentrasi total asetat adalah penghambat utama bagi fermentasi ekstrim termofilik hidrogen. Huang dkk. (1998) menggunakan Coltridium formicoaceticum untuk memfermentasi fruktosa pada pH 7,6 dan temperatur 37oC. Mereka menemukan konsentrasi asetat keseluruhan (bukan konsentrasi asetat tak terpisah) memiliki efek penghambatan nonkompetitif bagi fermentasi hidrogen. Nakashimada dkk. (1999) menemukan bahwa fermentasi hidrogen dihambat secara keseluruhan oleh konsentrasi total asetat sebesar 25mM pada pH 6,5 pada bakteri hiper termofilik penghasil hidrogen. 2.3.6 Senyawa Anorganik

a. Konsentrasi Fe Hidrogenase adalah enzim yang penting karena mereka terlibat langsung dalam produksi hidrogen hidrogen selama proses fermentasi. Telah dilaporkan bahwa seiring meningkatnya konsentrasi besi, produksi hidrogen meningkat secara signifikan (Lee dkk., 2001). Dalam proses produksi fermentasi hidrogen, Fd, sebuah protein besibelerang, fungsi utamanya adalah sebagai pembawa elektron dan terlibat dalam oksidasi piruvat untuk asetil-Ko A dan CO2 dan pengurangan proton molekul H2 (Lee dkk., 2001). Vanacova et dkk. (2001) menunjukkan bahwa besi dapat menginduksi perubahan metabolik dan menjadi terlibat dalam ekspresi protein Fe-S dan non-Fe-S yang beroperasi dalam hidrogenase.

b. C/N Ratio Karbon / nitrogen (C / N) rasio juga penting untuk stabilitas proses fermentasi gelap (Tanisho et al., 1998). Telah dilaporkan bahwa rasio C/N yang tepat dapat Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

meningkatkan produksi hidrogen dalam fermentasi hidrogen mesofilik dari limbah lumpur. Pada rasio C/N 47, produksi hidrogen adalah 5 kali lebih tinggi dari yang di C/N rasio 40 (Lin dan Lay 2004). 2.4 2.4.1 Tahapan-Tahapan Pembentukan Biohidrogen Pretreatment Pretreatment mengurangi membantu mempercepat tahapan hidrolisis, sehingga untuk

laju tahapan dan meningkatkan pencernaan anaerobik

memperbesar produksi gas hidrogen (H. Koku dkk., 2002). Beberapa prosedur pre treatment di antaranya ialah dengan pemanasan, penggunaan bahan kimia seperti asam atau alkali, pembekuan, dan sebagainya dilakukan terhadap biakan campuran untuk menyeleksi bakteri asidogenik penghasil H2 (S.M. Kotay dan D. Das, 2010). 2.4.2 Hidrolisis Bahan organik secara enzimatis diuraikan oleh enzim ekstraselular (selulosa, amilase, proteinase, dan lipase) mikroorganisme. Bakteri mendekomposisi rantai panjang karbohidrat, protein dan lemak menjadi bagian yang lebih pendek. Sebagai contoh, polisakarida diubah menjadi monosakarida. Protein dibagi menjadi peptida dan asam amino (Aryati, 2010). 2.4.3 Asidifikasi Bakteri penghasil asam, terlibat dalam langkah kedua, menkonversi hasil fermentasi menjadi asam asetat (CH3COOH), hidrogen (H2) dan karbon dioksida (CO2). Bakteri ini bersifat anaerobik dan dapat tumbuh di bawah kondisi asam. Untuk menghasilkan asam asetat, mereka membutuhkan oksigen dan karbon. Untuk ini, mereka menggunakan oksigen larut dalam larutan atau oksigen terikat.. Setelah itu, terjadi penguraian senyawa dengan berat molekul yang rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbon dioksida, hidrogen sulfida, dan metana (Aryati,
2010).

2.5

Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Selama proses ekstraksi crude palm oil (CPO), pabrik akan menghasilkan

limbah cair yang disebut dengan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS). LCPKS umumnya bersuhu tinggi (60-75oC), berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan residu minyak dengan kandungan biological oxygen demand (BOD) yang tinggi. Bila limbah tersebut langsung Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

dibuang ke perairan, maka akan sangat berpotensi mencemari lingkungan, sehingga harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang (Santoso, 2009). Komposisi kimia limbah cair POME dan komposisi asam amino limbah cair segar disajikan pada Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.1 Komposisi Kimia Limbah Cair POME Komponen Ekstrak dengan ether Protein (N x 6,25) Serat Ekstrak tanpa N Abu P K Ca Mg Na Energi (kkal / 100 gr) Sumber : Siregar, 2009 % Berat Kering 31.60 8.20 11.90 34.20 14.10 0.24 0.99 0.97 0.30 0.08 454.00

Parameter yang menggambarkan karakteristik limbah terdiri dari sifat fisik, kimia, dan biologi. Karakteristik limbah berdasarkan sifat fisik meliputi suhu, kekeruhan, bau, dan rasa, berdasarkan sifak kimia meliputi kandungan bahan organik, protein, BOD, chemical oxygen demand (COD), sedangkan berdasakan sifat biologi meliputi kandungan bakteri patogen dalam air limbah (Siregar, 2009). Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup ada 6 (enam) parameter utama yang dijadikan acuan baku mutu limbah meliputi : a. Tingkat keasaman (pH), ditetapkannya parameter pH bertujuan agar

mikroorganisme dan biota yang terdapat pada penerima tidak terganggu, bahkan diharapkan dengan pH yang alkalis dapat menaikkan pH badan penerima. b. BOD, kebutuhan oksigen hayati yang diperlukan untuk merombak bahan organik. Semakin tinggi nilai BOD air limbah, maka daya saingnya dengan mikroorganisme atau biota yang terdapat pada badan penerima akan semakin tinggi. c. COD, kelarutan oksigen kimiawi adalah oksigen yang diperlukan untuk merombak bahan organik dan anorganik, oleh sebab itu nilai COD lebih besar dari BOD. Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

d. Total suspended solid (TSS), menggambarkan padatan melayang dalam cairan limbah. Pengaruh TSS lebih nyata pada kehidupan biota dibandingkan dengan total solid. Semakin tinggi TSS, maka bahan organik membutuhkan oksigen untuk perombakan yang lebih tinggi. e. Kandungan total nitrogen, semakin tinggi kandungan total nitrogen dalam cairan limbah, maka akan menyebabkan keracunan pada biota. f. Kandungan oil and grease, dapat mempengaruhi aktifitas mikroba dan merupakan pelapis permukaan cairan limbah sehingga menghambat proses oksidasi pada saat kondisi aerobic (Siregar, 2009). Adapun karakteristik dari limbah POME yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini: Tabel 2.2 Karaktersitik Limbah POME dan Baku Mutu Limbah Parameter Komposisi BOD5 (mg/L) 23000-26000 COD (mg/L) 42500-55700 Soluble COD (mg/L) 22000-24000 TVFAs (mg acetic acid/l) 2500-2700 SS (mg/L) 16500-19500 Oil and grease (mg/L) 4900-5700 Total N (mg/L) 500-700 pH 3,8-4,4 Sumber : Zinatizadeh, dkk., 2007 Berdasarkan data di atas, ternyata semua parameter limbah cair POME berada diatas ambang batas baku mutu limbah. Jika tidak dilakukan pencegahan dan pengolahan limbah, maka akan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti pencemaran air yang mengganggu bahkan meracuni biota perairan, menimbulkan bau, dan menghasilkan gas metan dan CO2 yang merupakan emisi gas penyebab efek rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan (Siregar, 2009).

2.6

Perusahaan Yang Memproduksi Hidrogen Sejumlah sistem transportasi sedang beralih ke mesin-mesin berbahan bakar

hidrogen sebagai alternatif bahan bakar gas, tetapi hingga kini gas hidrogen masih diproduksi dari bahan bakar fosil seperti gas alam. Oleh karena itu, sampai saat ini biohidrogen masih dalam proses penelitian yang terus-menerus dikembangkan dan berbeda dengan biogas yang sudah di produksi dalam skala besar. Hal ini disebabkan Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

biohidrogen merupakan gas alternatif yang dikembangkan dari biogas dan lebih ramah lingkungan. Adapun salah satu perusahaan yang memproduksi hidrogen yaitu Mahler AGS dengan 4.500 cabang dan dibangung di seluruh dunia sejak 1950. Mahler AGS adalah produsen yang sangat dihormati untuk generasi pembuatan hidrogen, oksigen dan nitrogen. Mahler AGS memproduksi sistem generasi yang hemat biaya, aman dan terpercaya dan menyediakan teknik untuk pemurnian dan pemulihan gas dan limbah dari proses gas tersebut. Mahler gas ini terletak di Stuttgart, Jerman. Untuk memproduksi hidrogen, perusahaan ini menggunakan 2 proses teknologi yaitu HYDROFORM-C dan HYDROFORM-M. HYDROFORM-C berdasarkan pada proses steam reforming gas alam, LPG atau nafta. Proses ini menawarkan pelanggan kualitas dan keamanan yang maksimum, serta kemampuan efisien untuk memenuhi kebutuhan hidrogen 100-10.000 Nm3/jam pada kemurnian hingga 99,999 + persen volum (Mahler AGS, tanpa tahun).

Gambar 2.1 Flowsheet proses HYDROFORM-C Mahler Gas (Mahler AGS, tanpa tahun) Mahler AGS telah berhasil mengoperasikan selama bertahun-tahun di bidang methanol reforming untuk pembentukan hidrogen. Pemurnian bahan baku hidrogen dilakukan oleh sistem HYDROFORM-M dan dilakukan sistem HYDROSWING Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

yang memberikan langkah pemurnian secara terpisah. Perusahaan ini menawarkan proses yang efisien untuk methanol reforming dalam kuantitas 100-4.000 Nm3/jam hidrogen dengan kemurnian 99,999 + persen volume.

Gambar 2.2 Flowsheet proses HYDROFORM-M Mahler Gas (Mahler AGS, tanpa tahun)

Proses pemurnian hidrogen dilakukan secara terpisah dengan sistem HYROSWING.

Gambar 2.3 Flowsheet proses HYDROSWING Mahler Gas (Mahler AGS, tanpa tahun) Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

2.7

Aplikasi Gas Hidrogen Sejumlah besar H2 diperlukan dalam industri petrokimia dan kimia.

Penggunaan terbesar H2 adalah untuk memproses bahan bakar fosil dan dalam pembuatan ammonia. Konsumen utama dari H2 di kilang petrokimia meliputi hidrodealkilasi, hidrodesulfurisasi, dan penghidropecahan (hydrocracking). H2 memiliki beberapa kegunaan yang penting. H2 digunakan sebagai bahan hidrogenasi, terutama dalam peningkatan kejenuhan dalam lemak tak jenuh dan minyak nabati (ditemukan di margarin), dan dalam produksi metanol. Ia juga merupakan sumber hidrogen pada pembuatan asam klorida. H2 juga digunakan sebagai reduktor pada bijih logam (Chemistry Operation, 2003). Selain digunakan sebagai pereaksi, H2 memiliki penerapan yang luas dalam bidang fisika dan teknik. Ia digunakan sebagai gas penameng di metode pengelasan seperti pengelasan hidrogen atomic (Ahmet,2003; Specialty Welds, 2007). H2 digunakan sebagai pendingin rotor di generator pembangkit listrik karena ia mempunyai konduktivitas termal yang paling tinggi di antara semua jenis gas. H2 cair digunakan di riset kriogenik yang meliputi kajian superkonduktivitas (Walter, 2003). Oleh karena H2 lebih ringan dari udara, hidrogen pernah digunakan secara luas sebagai gas pengangkat pada kapal udara balon (Mathew, 2004). Baru-baru ini hidrogen digunakan sebagai bahan campuran dengan nitrogen (kadangkala disebut forming gas) sebagai gas perunut untuk pendeteksian kebocoran gas yang kecil. Aplikasi ini dapat ditemukan di bidang otomotif, kimia, pembangkit listrik, kedirgantaraan, dan industri telekomunikasi (Mathias, 2004). Hidrogen adalah zat aditif (E949) yang diperbolehkan penggunaanya dalam ujicoba kebocoran bungkusan makanan dan sebagai antioksidan (European Union, tanpa tahun).

Gambar 2.4 Perbandingan Biaya Energi Sekarang dan Masa Depan Menggunakan Biohidrogen di Jerman (Sirosiris, 2010) Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

Hidrogen sebagai bahan bakar memiliki kemampuan mendorong kendaraan yang setara dengan bensin. Hanya saja, kelemahannya terletak pada biaya yang tinggi untuk memproduksi sel bahan bakar itu sendiri serta investasi untuk menyiapkan stasiun bahan bakar untuk menyalurkan bahan bakar hydrogen (Pamungkas, 2012).

Gambar 2.5 Mobil Toyota Konsep Bahan Bakar Hidrogen (Pamungkas, 2012)

2.8

Proses Integrasi Produksi Biohidrogen Terdapat 5 macam sistem biohidrogen yaitu :

2.8.1

Biofotolisis Langsung Fotosintesis memproduksi hidrogen dari air adalah suatu proses secara

biologi yang memanfaatkan cahaya matahari, menghasilkan energi kimia dengan reaksi sebagai berikut : 2H2O 2H2 + O2 Alga hijau, di bawah kondisi anaerob, dapat menggunakan H2 sebagai suatu donor elektron di dalam proses fiksasi CO2 atau meningkatkan H2. Produksi hidrogen oleh mikroalga hijau membutuhkan waktu beberapa menit hingga beberapa jam dari inkubasi anaerob dalam kondisi gelap untuk menginduksi pengaktifan dan/atau sintesa enzim yang dilibatkan dalam metabolisme H2, termasuk reversible enzim Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

hidrogenase. Hidrogenase mengkombinasi proton (H+) dalam medium dengan elektron untuk membentuk dan menghasilkan H2. Dengan begitu, mikroalga hijau mampu secara genetik, enzimatik, metabolik, dan transport elektron menuju ke photoproduce gas H2. Sintesis H2 memungkinkan elektron melalui rantai transport elektron, yang mendukung sintesis ATP. Proses fotosintesis alga mengoksidasi H2O dan meningkatkan O2. Energi cahaya diabsorbsi oleh fotosistem II (PSII) menghasilkan electron yang ditransfer ke ferredoxin, lalu menggunakan energi cahaya diabsorbsi oleh fotosistem I (PSI). Hidrogenase reversible menerima elektron secara langsung dari ferredoxin yang telah dikurangi untuk menghasilkan H2. Karena enzim hidrogenase yang bertanggung jawab pada evolusi molekuler H2 adalah sangat sensitive terhadap O2, produksi fotosintesis dari H2 dan O2 haruslah sementara dan/atau terpisah. Dalam 2 fase proses, selama fotosintesis normal (fase1),CO2 pertama tercampur dalam substrat yang kaya H2, diikuti dengan generasi cahaya tengah dari molekuler H2 saat mikroalga dierami di bawah kondisi anaerob (fase 2). Fase 2 dari dua tahap proses dapat dicapai dengan inkubasi mikroalga dalam medium yang tidak mengandung sulfur. Contoh kultur alga hijau adalah Chlamydomonas reinhardtii. 2.8.2 Biofotolisis Tak Langsung Cyanobacteria dapat juga mensintesis dan meningkatkan H2 melalui jalur fotosintesis mengikuti proses sebagai berikut : 12H2O + 6CO2 C6H12O6 + 6O2 C6H12O6 + 12H2O 12H2 + 6CO2 Cyanobacteria (disebut juga blue-green algae, cyanophyceae, or cyanophytes) adalah suatu grup besar dari mikroorganisme photoautotrophic. Cyanobacteria mengandung pigmen fotosintesis, seperti klorofil, karotenoid, dan fikobiliprotein, serta dapat menyuguhkan fotosintesis oksigenik. Nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme ini cukup sederhana yakni udara (N2 dan O2), air, garam mineral, dan cahaya. Spesies ini memiliki beberapa enzim yang secara langsung meningkatkan metabolisme H2 dan sintesis molekuler H2. Termasuk nitrogenase yang mengkatalis produksi H2 sebagai by-product dari reduksi nitrogen menjadi ammonia, pengambilan hidrogenase yang mengkatalis oksidasi dari sintesis
H2

oleh

nitrogenase, dan bi-directional hydrogenases yang mempunyai kemampuan untuk Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

mengoksidasi dan sintesis H2. Produksi hidrogen dengan Cyanobacteria telah diteliti lebih dari 3 dekade dan terungkap bahwa efisien fotokonversi dari H2O menjadi H2 dipengaruhi oleh banyak faktor (Sirosiris, 2010). 2.8.3 Photo Fermentation (Fermentasi Cahaya) Langkah photo fermentation (PHF) adalah proses yang berbasis cahaya, yang mengubah asam-asam organik menjadi hidrogen dan CO2. Foto-sintetik bakteri Rhodobacter sphaeroides OU 001 digunakan untuk fermentasi cahaya. Reaktor beroperasi dengan kondisi terbaik sekitar 30C dan bekerja pada konsentrasi substrat 40 mM dengan konversi 60% dari hasil teoritis sesuai dengan reaksi berikut: (

Konsentrasi yang sangat rendah dan sangat tinggi adalah pada waktu retensi (10 hari) yang diperlukan untuk mengoperasikan fermentor secara kontinu. Kondisi ini menyebabkan volume besar yang diperlukan untuk fermentor. Karena dimensi, variasi pH tidak dapat dikontrol secara lokal, sehingga buffer yang tinggi (garam fosfat kalium) konsentrasi 20 mM diperlukan dalam kaldu fermentasi (Foglia dkk., 2011).

Gambar 2.6 Flowsheet Proses Pembentukan hydrogen dengan PHF (Foglia dkk., 2011)

Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

2.8.4

Dark Fermentation (Fermentasi Gelap) Fermentasi termofilik (THF) atau gelap merupakan langkah fermentasi

anaerobik di mana bakteri termofilik ekstrim (Caldicellulosiruptor saccharolyticus) bekerja pada suhu 70 C. Pada langkah ini, gula diubah menjadi hidrogen, CO2 dan asam organik, menurut reaksi di bawah ini: Untuk pentosa: (

Untuk heksosa: (

Untuk sukrosa: (

Fermentasi yang terbaik terus beroperasi pada konsentrasi substrat yang rendah dari 10/l g gula dan pH 6,5. Air pengenceran diasumsikan pada 20 C. Untuk mempertahankan pH konstan, pH controller otomatis digunakan, dengan menggunakan basa (KOH) sebagai dasar untuk menyesuaikan perubahan pH, yang disebabkan oleh pembentukan asam organik selama langkah fermentasi. Untuk menghindari penghambatan hidrogen vakum diterapkan pada fermentor termofilik (0,55 bar) untuk menurunkan tekanan parsial hidrogen dan meningkatkan desorpsi hidrogen dari kaldu fermentasi. Flowsheet dari model dari fermentor termofilik ditunjukkan pada Gambar. 5 . Unit operasi TH-DIL digunakan untuk menggabungkan aliran substrat yang berasal dari PTR (TH-Prec), air pengenceran aliran dan bahan kimia (KOH, buffer).

Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.7 Flowsheet Proses Pembentukan hydrogen dengan THF (Foglia dkk., 2011) 2.8.5 Proses HYVOLUTION Proses ini terdiri dari empat langkah utama yaitu : pre-treatment (PTR),PHF, THF dan gas upgrade. Berikut skema dari proses HYVOLUTION.

Gambar 2.8 Skema Proses HYVOLUTION (Foglia dkk., 2011) Dari berbagai proses teknologi yang ada, maka metode fermentasi gelap (THF) yang paling cocok untuk diterapkan. Hal ini disebabkan keunggulan produksi H2 melalui fermentasi gelap adalah : 1. Tidak memerlukan energi matahari 2. Berbagai limbah/tanaman energi dapat digunakan 3. Teknologi reaktor yang sederhana (Hallenbeck & Ghosh 2009) Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

2.9 Deskripsi Proses dan Sifat-Sifat Bahan Baku dan Produk 2.9.1 Deskripsi Proses Pembuatan Biohidrogen dari fermentasi limbah cair pabrik kelapa sawit Berdasarkan kajian literatur yang telah dipaparkan sebelumnya, berikut ini dijelaskan deskripsi proses atau rancangan pembuatan biohidrogen dari fermentasi limbah cair pabrik kelapa sawit. Pertama, LCPKS ditampung di bak penampung (Bk101). Lalu, dilakukan pre treatment (M-103) yang juga berfungsi untuk menonaktifkan aktivitas bakteri metanagenasi yang menghasilkan metana, sehingga dapat memperbesar produksi hidrogen. Banyak metode yang digunakan untuk pre treatment ini, diantaranya dengan penambahan bahan kimia berupa 1 M H 2SO4 10% ke dalam LCPKS (acid pre-treatment), 1 M NaOH 10% (alkaline pre-treatment) ataupun menggunakan heat treatment dengan cara LCPKS dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam tanpa penambahan bahan kimia. Berdasarkan penelitian, hidrogen yang paling tinggi diperoleh dengan perlakuan yang efektif untuk LCPKS adalah menggunakan alkaline-heat pre-treatment (chemical heat) (Syafawati dkk., 2012). Oleh karena itu, pre treatment yang akan dilakukan pada rancangan ini dengan menggunakan 1 M NaOH 10% dan dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam. Selanjutnya LCPKS yang sudah dilakukan pre treatment dimasukkan ke dalam tangki pencampur (M-107), dimana LCPKS akan ditambahkan nutrisi. Penambahan nutrisi berfungsi sebagai strategi untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri yang menghasilkan hidrogen. Berdasarkan penelitian, dengan penambahan nutrisi N,P dan Fe meningkatkan produksi hidrogen. Konsentrasi Fe yang diperlukan adalah 257 mg/L LCPKS, rasio C/N yaitu 74 dan rasio C/P yaitu 559 (Sompong dkk., 2007). Namun, penambahan ini juga harus disesuaikan dengan karakteristik dari LCPKS yang akan diumpankan. Jika rasio C:N:P sudah memenuhi berdasarkan yang disebutkan diatas, maka tidak perlu ditambahkan lagi. Hal ini disebabkan, kelebihan nutrisi juga menyebabkan keracunan, sehingga bisa menyebabkan mikroorganisme tidak bisa berfungsi untuk memproduksi hidrogen. Tahap selanjutnya yaitu fermentasi. Reaktor yang digunakan yaitu Continue Stirred Tank Reactor (CSTR). CSTR dianggap praktis dan ekonomis untuk industri yang memproduksi hidrogen, khususnya melalui fermentasi kultur campuran (van Groenestijn dkk., 2002; Hawkes dkk., 2007). CSTR dapat dibuat secara sederhana, Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

mudah mengatur keasaman dan suhu serta memberikan pencampuran yang homogen antara substrat dan biomassa aktif (Li dan Fang, 2007; Hawkes dkk., 2007). Pada sistem CSTR, Kim dkk., (2004) melaporkan bahwa HRT yang singkat (< 3 hari) akan menghasilkan produksi hidrogen karena metanogen membutuhkan lebih dari HRT 3 hari. Normalnya pada proses anaerobik, pH dan HRT adalah pasangan parameter : HRT yang singkat menghasilkan pH yang rendah. Antara pH dan HRT telah didemonstrasikan sebagai cara yang efektif untuk memisahkan bakteri penghasil hidrogen dan archaea pengkonsumsi hidrogen pada kondisi mesofilik dan termofilik (Oh dkk., 2004). Oleh karena itu, kondisi yang digunakan pada rancangan ini yaitu kondisi termofilik dengan temperatur 60oC, pH 5,5 dan HRT 2 hari (Sompong dkk., 2007). Reaksi yang terjadi pada reaktor yaitu : (C5H10O5)n

mikroba

H2(g) + CO2(g) + H2S(g) + C2H4O2(i)+ C4H8O2(l) Hidrogen

(Dawei Liu,2008) H2S yang terbentuk dari hasil pembusukan oleh mikroorganisme pada fasa cair terionisasi menjadi fasa gas (Speece, R.E., 1996). Selain gas yang dihasilkan, akan diperoleh juga beberapa asam terutama asam asetat dan asam butirat pada effluent. Nilai COD yang dihasilkan juga masih tinggi (Sompong dkk., 2007). Oleh karena itu, dapat dilakukan proses anaerobik untuk menghasilkan biogas di bioreaktor biogas (R-203) dengan HRT 6 hari, suhu 55oC dan tekanan atmosfer. Biogas yang terbentuk langsung bisa dimanfaatkan untuk energi listrik pembuatan biohidrogen, sedangkan effluent ditampung di bak penampung (BK-205). Biohidrogen yang dihasilkan terdiri dari 61% H2, 85 ppm H2S dan selebihnya adalah CO2 (Sompong dkk., 2007). Maka, harus dilakukan pemurnian hidrogen. Proses pemurnian yang pertama kali dilakukan yaitu desulfurisasi. Untuk merancang proses yang ekonomis, maka rancangan ini menggunakan biodesulfurisasi. Biodesulfurisasi ini mempunyai beberapa keuntungan diantaranya prosesnya aman karena semua H2S terserap, tidak menggunakan bahan kimia yang mahal, menggunakan tekanan atmosfer dan produk akhirnya adalah elemen sulfur yang dapat dimanfaatkan kembali. Inokulum yang digunakan yaitu Thioalkalivibrio dan Thioalkalimicrobium. Lalu ditambahkan medium yang terdiri dari 0,66 mol/L Na+ dan 1,34 mol/L K+ sebagai karbonat. Selanjutnya, medium juga terdiri dari (dalam Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

g/L dari air demineralisasi) : 1 K2HPO4; 0,83 NaNO3; 6 NaCl ; 0,2 MgCl2.6H2O. Inokulum dan medium dimasukkan kedalam bioreaktor desulfurisasi (R-303) yang beroperasi pada suhu 35oC dan tekanan atmosfer serta diumpankan juga oksigen (O2) sehingga terjadi reaksi berikut ini : H2S(l) +
1 O2(g) S(s) + H2O(l) (Van den Bosch,2007) 2 Sebelum diumpankan ke absorber (T-301), gas harus masuk pada tekanan

tinggi yaitu 85 bar (83,89 atm) agar gas H2S menjadi cair. Oleh karena itu gas dinaikkan tekanannya oleh kompressor (JC-206). Suhu keluar dari compressor yaitu 149,78oC. Sedangkan kondisi mikroba berada pada suhu 35 oC, oleh karena itu campuran gas dan cairan didinginkan terlebih dahulu oleh cooler (E-207). Campuran gas dan cairan tersebut diumpankan ke bagian bawah absorber sedangkan medium dan mikroba yang sudah dibiakkan dari bioreaktor masuk dari bagian atas absorber. Sehingga H2S terserap sempurna, maka pada bagian atas absorber menghasilkan H2 dan CO2 sedangkan produk bagian bawah yang berfase cairan dan mengandung sulfur dikembalikan ke reaktor dan dilanjutkan ke clarifier (S-306), dengan tujuan mengendapkan sulfur yang terbentuk. Cairan akan diumpankan kembali ke reaktor (Van den Bosch dkk., 2007). Untuk memperoleh H2 dalam konsentrasi yang tinggi, gas yang dihasilkan dari absorber biodesulfurisasi dialirkan ke unit pemisahan CO2 yaitu ke absorber (T-308) untuk memisahkan sebagain besar gas CO2 dengan larutan K2CO3. Unit ini terdiri atas 2 bagian, yaitu: CO2 absorber yang berfungsi untuk mengabsorbsi CO2 dan beroperasi pada tekanan 1 atm 72 oC, serta unit CO2 stripper yang berfungsi untuk melepaskan CO2 dan beroperasi pada tekanan 1 atm 112 0C. Pada CO2 absorber, campuran gas keluaran dialirkan menuju bagian bawah tangki. CO2 diserap menggunakan larutan K2CO3 30% berat untuk mengabsorpsi gas CO2 yang masuk pada bagian atas kolom tangki. Pada CO2 absorber pertama-tama gas CO2 akan berikatan dengan larutan K2CO3 membentuk larutan KHCO3 (Reina, 2011). Reaksi yang terjadi pada absorber : CO2 + K2CO3 + H2O 2KHCO3 Hr = -6,43 kkal/mol ( Reina,2011)

Larutan yang banyak mengandung CO2 akan keluar pada bagian bawah kolom absorber dengan temperatur 51,863oC, kemudian dipanaskan hingga Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

temperatur 112oC dan dialirkan menuju stripper (T-313). Pada kolom stripper menggunakan steam karena reaksi yang terjadi bersifat endotermik dan temperaturnya dijaga konstan pada 112oC dan tekanan 1 atm. Pada kolom stripper terjadi reaksi yang berlawanan pada absorber yaitu melepaskan CO2. 2KHCO3 CO2 + K2CO3 + H2O Hr = 6,43 kkal/mol ( Reina,2011)

Gas CO2 yang terlepas akan keluar menuju CO2 plant dari bagian atas stripper, sedangkan larutan K2CO3 (benfield) yang telah dipisahkan dipompakan kembali menuju bagian atas absorber. Gas keluaran kolom absorber yang mengandung H2 dan CO2 dalam jumlah sangat kecil akan melewati kolom (Pressure Swing Absorption) PSA (T-316) untuk menghasilkan gas hidrogen dengan kemurnian tinggi. Pada purifikasi/pemurnian hidrogen, unit PSA digunakan untuk memisahkan hidrogen dari komponen lainnya dalam aliran gas yang diubah, yang terdiri atas CO2. Kemurian hidrogen yang dihasilkan dari unit PSA dapat lebih besar mencapai 99,99%. Perbandingan tekanan minimum diantara gas umpan dan pemurnian dari PSA adalah sekitar 4:1. Tekanan mutlak dari gas umpan dan pemurniannya juga merupakan hal yang penting dalam hubungannya untuk menghasilkan gas hidrogen. Tekanan umpan yang optimum untuk aplikasi penyulingan adalah sekitar 215 415 psia. Tekanan gas pemurnian pada umumnya adalah sekitar 17 30 psia untuk memperoleh produksi yang tinggi dari hidrogen (Leiby, 1994). Dalam rancangan untuk analisis ini, tekanan gas umpan PSA adalah 294 psia atau 20 atm dan tekanan off-gas adalah 29,38 psia atau 2 atm. Pada akhirnya, hidrogen akan dikirim menuju saluran pipa dan kemudian produk hidrogen akan dikompresi dari tekanan 20 atm menuju 30 atm dan disimpan pada suhu 40 oC (Yolanda, 2011).

2.9.2

Sifat-Sifat Bahan Baku dan Produk

2.9.2.1 Natrium Hidroksida (NaOH) Fungsi : sebagai alkali treatment untuk menonaktifkan aktivitas bakteri metanogenesis dan sebagai agen penetral pH. 1. Berat molekul : 39,9971 gr/mol 2. Titik lebur : 318 0C 3. Titik didih : 13880C Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

4. Kelarutan dalam air : 111 gr/100 ml pada 20 0C 5. Densitas : 2,1 gr/cm3 6. Larut dalam air, etanol dan metanol 7. Padatan putih 8. Tidak berbau (Atkins dan Paula, 2006 ; MSDS Certified lye, 2008)

2.9.2.2 Ferro Klorida (FeCl2) Fungsi: sebagai sumber Fe untuk nutrisi mikroba. 1. Berat molekul : 126,751 gr/mol 2. Titik lebur : 677 0C 3. Titik didih : 10230C 4. Kelarutan dalam air : 64,4 gr/100 ml pada 10 0C 5. Densitas : 3,16 gr/cm3 6. Agen flokulan dalam pengolahan air limbah buangan 7. Tidak larut dalam tetrahidrofuran 8. Merupakan padatan paramagnetik berwarna putih (Wilkinson, 1963; Egon, 2005; Lide, 2005)

2.9.2.3 Natrium Posfat Anhidrat (Na2HPO4.2H2O) Fungsi: sebagai sumber P nutrisi mikroba. 1. Berat molekul : 177,99 gr/mol 2. Titik lebur : 243 0C 3. Kelarutan dalam air : 100 gr/100 ml pada 50 0C 4. Tidak berbau 5. Padatan berwarna putih 6. Mudah terlarut dalam air dingin dan air panas 7. Reaktif dengan agen oksidasi, asam dan alkali (MSDS Sciencelab, 2010)

2.9.2.4 Dikalium Posfat (K2HPO4) Fungsi: sebagai salah satu komponen medium dari mikroba desulfurisasi. Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

1. Berat molekul : 174,2 gr/mol 2. Titik lebur : >465 0C 3. Kelarutan dalam air : 149,25 gr/100 ml pada 20 0C 4. Tidak berbau 5. Padatan berwarna putih 6. Mudah larut dalam air garam 7. pH larutan dikalium posfat hampir netral (Lide, 2005)

2.9.2.5 Natrium Nitrat (NaNO3) Fungsi: sebagai salah satu komponen medium dari mikroba desulfurisasi. 1. Berat molekul : 84,9947 gr/mol 2. Titik lebur : 308 0C 3. Kelarutan dalam air : 91,2 gr/100 ml pada 25 0C 4. Tidak berbau 5. Padatan berwarna putih 6. Mudah larut dalam air garam 7. pH larutan dikalium posfat hampir netral (Lide, 2005)

2.9.2.6 Natrium Klorida (NaCl) Fungsi: sebagai salah satu komponen medium dari mikroba desulfurisasi. 1. Berat molekul : 58,44 gr/mol 2. Titik lebur : 8010C 3. Titik Didih : 14130C 4. Kelarutan dalam air : 359 g/L 5. Tidak berbau 6. Padatan berwarna putih 7. Larut dalam ammonia dan gliserol 8. Tidak Larut dalam HCl (MSDS Sciencelab, 2008)

Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

2.9.2.7 Magnesium Diklorida Heksahidrat (MgCl.6H2O) Fungsi: sebagai salah satu komponen medium dari mikroba desulfurisasi. 1. Berat molekul : 203,31 gr/mol 2. Titik lebur : 1180C 3. Kelarutan dalam air : 157 g/100 mL pada 20 0C 4. Densitas : 1,569 g/cm3 5. Padatan berwarna putih 6. Larut dalam air dingin, air panas dan metanol 7. Tidak Larut dalam dietil eter dan n-oktanol (Lide, 2005)

2.9.2.8 Kalium Hidroksida (KOH) Fungsi: sebagai salah satu komponen medium dari mikroba desulfurisasi. 1. Berat molekul : 56,1056 gr/mol 2. Titik lebur : 4060C 3. Titik didih : 13270C 4. Kelarutan dalam air : 121 g/100 mL pada 25 0C 5. Densitas : 2,044 g/cm3 6. Padatan berwarna putih 7. Tidak Berbau 8. Tidak Larut dalam eter dan cairan amonia 9. Larut dalam alkohol dan gliserol (Lide, 2005 ; Schultz dkk. ; 2005)

2.9.2.9 Oksigen (O2) Fungsi: sebagai oksidator untuk H2S di proses desulfurisasi, sehingga terbentuk sulfur. 1. Berat molekul : 32 gr/mol 2. Titik lebur : -218,790C 3. Titik didih : -182,950C Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

4. Densitas : 1,429 g/L pada suhu 00C dan 101,325 kPa 5. Fase gas 6. Tidak Berbau 7. Oksigen lebih larut dalam air dibandingkan nitrogen (Emsley, 2001)

2.9.2.10 Kalium Karbonat (K2CO3) Fungsi : sebagai campuran larutan absorben. 1. Berat molekul : 138,205 gr/mol 2. Titik lebur : 891 0C 3. Densitas : 2,29 gr/cm3 4. Kelarutan dalam air : 112 g / 100 ml pada 200 C 5. Tidak larut didalam alkohol 6. Berwarna putih 7. Berupa padatan berbentuk serbuk (MSDS ScienceLab, 2010)

2.9.2.11 Air (H2O) Fungsi: sebagai absorben gas karbondioksida (CO2) di dalam kolom Absorber dan komponen dalam medium desulfurisasi. 1. Berat molekul 2. Titik lebur 3. Titik didih 4. Densitas 5. Spesifik graviti 6. Viskositas 7. Kapasitas panas 8. Panas pembentukan 9. Panas penguapan 10. Temperatur kritis 11. Tekanan kritis Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara : 18,016 gr/gmol : 0C (1 atm) : 100C (1 atm) : 1 gr/ml (4C) : 1,00 (4C) : 0,8949 cP : 1 kal/gr : 80 kal/gr : 540 kal/gr : 374C : 217 atm

(MSDS ScienceLab, 2012)

2.9.2.12 Karbon Dioksida (CO2) Fungsi : merupakan salah satu komponen di dalam biogas dan salah satu produk hasil fermentasi biohidrogen. 1. Berat Molekul : 44,01 g/mol 2. Temperatur kritis : 31oC 3. Tekanan kritis : 73,825 bar 4. Densitas kritis : 464 kg/m3 5. Fasa padat Densitas padat : 1562 kg/m3 Panas laten : 196,104 kJ/kg 6. Fasa cair Densitas cair : 1032 kg/m3 Titik didih : -78,5oC Panas laten uap : 571,08 kJ/kg Tekanan uap : 58,5 bar 7. Fasa gas Densitas gas : 2,814 kg/m3 Spesifik graviti : 1,521 Spesifik volume : 0,547 m3/kg CP : 0,037 kJ/mol.K CV : 0,028 kJ/mol.K Viskositas : 0,0001372 poise Kelarutan : 1,7163 vol/vol (Lide, 2005)

2.9.2.9 Gas Hidrogen (H2) Fungsi: sebagai produk utama. 1. Berat molekul Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara : 2 gr/gmol

2. Titik lebur 3. Titik didih 4. Densitas 5. Densitas kritis 6. Kalor peleburan 7. Kalor penguapan 8. Kapasitas panas 9. Temperatur kritis 10.Tekanan kritis (Wiberg dkk., 2001)

: -259,14 oC (1 atm) : -252,87 oC (1 atm) : 0,08988 g/L (0C, 1 atm) : 0,08988 g/L (0C, 1 atm) : 0,117 kJ/mol : 0,904 kJ/mol : 28,836 J/mol K : 32,19 K : 1,315 MPa

2.9.2.10 Sulfur (S) Fungsi: sebagai produk biodesulfurisasi 1. Berat molekul 2. Titik lebur 3. Titik didih 4. Kalor peleburan 5. Kalor penguapan 6. Kapasitas panas 7. Temperatur kritis 8.Tekanan kritis 9. Sulfur tidak larut dalam air. 10. Berwarna kuning. (Lide, 2005) : 32,065 gr/gmol : 115,21oC : 444,6oC : 1,727 kJ/mol : 45 kJ/mol : 22,75 J/mol K : 1.314 K : 20,7 Mpa

Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

PI

Air Pendingin 30oC


PC TC

TK-408
34

31

33
PC

PC

JC-406

E-407

T-316

32

Flare

Steam, saturated 150oC


FC

TC

30 29

E-315
PI
PC

PC

TK-405
TC

JC-314
20 21

TC

27 24

28

JC-403

E-404

E-311

26

23

FC

T-313 E-310
TC

T-308
22

J-309
FC 15

25

J-312
PC

Keterangan : BK-101 = Bak Umpan POME BK-205 = Bak Penampung Akhir C-105 = Belt conveyor (NaOH) C-109 = Belt conveyor (FeCl2) C-111 = Belt conveyor (Na2HPO4.2H2O) C-401 = Scew conveyor (Sulfur) E-207 = Cooler E-310 = Heat Exchanger E-311 = Cooler E-315 = Cooler E-404 = Cooler E-407 = Cooler J-102 = Pompa LCPKS J-106 = Pompa Pre-treatment J-112 = Pompa Umpan Reaktor Fermentasi Hidrogen Berpengaduk J-202 = Pompa Umpan Reaktor Fermentasi Biogas Berpengaduk J-204 = Pompa Bak Penampung Akhiri J-302 = Pompa Keluaran Absorber Desulfurisasi J-305 = Pompa Keluaran Reaktor Desulfurisasi J-307 = Pompa Keluaran Settler J-309 = Pompa Keluaran Absorber CO2 J-312 = Pompa Keluaran Stripper JC-206 = Kompressor Produk Gas Keluaran Reaktor Biohidrogen JC-403 = Kompressor Gas CO2 JC-314 = Kompressor Produk Absorber CO2 JC-406 = Kompressor Gas H2 L-104 = Gudang Penyimpanan NaOH L-108 = Gudang Penyimpanan FeCl2 L-110 = Gudang Penyimpanan Na2HPO4.2H2O M-103 = Tangki Pre-treatment M-107 = Tangki Pencampur LCPKS dan Nutrisi R-201 = Reaktor Fermentasi Biohidrogen R-203 = Reaktor Fermentasi Biogas R-303 = Bioreaktor Desulfurisasi S-306 = Clarifier T-301 = Kolom Absorber H2S T-308 = Kolom Absorber CO2 T-313 = Kolom Stripper T-316 = Kolom PSA TK-304 = Tangki O2 TK-402 = Tangki Sulfur TK-405 = Tangki Gas CO2 TK-408 = Tangki Gas H2

19

17

TC FC

14

FC

Instrumentasi FC = Flow Control PC = Pressure Control TC = Tempeartur Controler TI = Temperatur Indikator LI = Level Indikator

J-305 T-301
TC

R-303
FC

S-306
18

J-307

12

16 13

E-207 C-111 J-302 C-401


FC

LI

LI

TK-402

L-110
PC

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


DIAGRAM ALIR PRA RANCANGAN PABRIK PEMBUATAN BIOHIDROGEN DARI LIMBAH CAIR KELAPA SAWIT DENGAN FERMENTASI ANAEROBIK PADA KONDISI TERMOFILIK UNTUK KAPASITAS PRODUKSI 371,3771 TON TBS/TAHUN
Generator

TK-304
11

JC-206 C-109
5 7 4 9

Skala : Tanpa Skala Digambar Nama : Irma Suraya NIM : 080405001 : 19680820 199501 1 001 1. Nama : Dr. Eng. Ir. Irvan, Msi

Tanggal

Tanda Tangan

L-108

TC

TC

2
LC

8 10
FC FC

Diperiksa/ Disetujui

NIP

C-105

TC LC FC

LC

2. Nama : Ir. Bambang Trisakti, MT NIP : 19660925 199103 1 003

FC

L-104
1 3

FC

BK-101

M-103 J-102

J-106

J-202 M-107 J-112 R-201 R-203

J-204

BK-205

Air Pendingin Bekas, 60oC

Kondensat, 150oC

Irma Suraya 08 0405 001 Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai