Anda di halaman 1dari 22

Referat

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK NEUROLOGI

Oleh :

Ummatul Khairiyah 0908151679

PEMBIMBING dr. Tondi Maspian Tjili Sp.BS

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RSUD ARIFIN AHMAD PEKANBARU 2013

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Selama beberapa dekade ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai perkembangan atau perjalanan penyakit. Disamping berbagai alat dan fasilitas yang canggih tersebut, anamnesis dan pemeriksaan fisik masih tetap mempunyai peranan yang penting dalam menentukan diagnosis dan menilai pekembangan penyakit pasien. Sampai saat ini petugas medis khususnya dokter masih harus tetap memupuk kemampuan untuk melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan pemeriksaan anamnesis, fisik yang cermat, kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Anamnesis adalah suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu percakapan antara seorang dokter dengan pasien secara langsung atau tidak langsung untuk mengetahui tentang kondisi pasien. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat maka informasi yang didapatkan akan sangat berharga bagi penegakan diagnosis. Cakupan dan banyaknya informasi yang dibutuhkan bergantung dari kebutuhan dan keluhan pasien, dan keadaan klinis pasien tersebut. Sedangkan pemeriksaan fisik adalah proses evaluasi pasien secara objektif baik dengan cara observasi, palpasi, perkusi, maupun auskultasi. Secara umum sekitar 6070% kemungkinan diagnosis yang benar dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang benar.1 Neurologi adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari kelainan, gangguan fungsi, penyakit, dan kondisi lain pada sistem saraf manusia. Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf, sama dengan cabang ilmu kedokteran lainnya diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat sehingga kemungkinan diagnosis yang tept dapat ditegakkan. 2 1.2 Batasan Masalah Referat ini membahas tentang teknik pemeriksaan anamnesis, dan pemeriksaan fisik neurologis yang terdiri dari pemeriksaan kesadaran, rangsang selaput otak, saraf otak, system motorik, sistem sensorik, dan refleks,.

1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan referat ini adalah : 1. Memahami dan mengetahui teknik pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologi. 2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di Bagian Bedah Saraf 3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad.

1.4 Metode Penulisan Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada beberapa literatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anamnesis Dalam melakukan anamnesis khususnya pada penyakit-penyakit neurologi, riwayat penyakit merupakan hal yang penting. Penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan kadang-kadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan

penderitanya merupakan gejala sisa. Seperti teknik anamnesis pada umumnya, wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan, dan alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya yaitu keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pada tiap keluhan perlu ditelusuri :2 1. Sejak kapan dimulai. 2. Sifat serta beratnya. 3. Lokasi serta penjalarannya. 4. Hubungannya dengan waktu. 5. Keluhan lain yang berhubungan dengan keluhan tersebut. 6. Pengobatan sebelumnya 7. Faktor yang memperberat dan memperringan, dll Anamnesis pada pasien dengan penyakit neurologi dapat dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis. Autoanamnesis dilakukan langsung pada penderita sedangkan alloanamnesis dilakukan pada orang lain atau keluarga penderita. Alloanamnesis dilakukan pada keadaan-keadaan seperti penderita dengan penyakit epilepsi, demensia, dan koma, serta pada anak dan bayi. Pada pasien dengan penyakit neurologi, ada beberapa kemungkinan keluhan atau kelainan dibawah ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut : 2 1. Nyeri kepala : Bagaimana sifat nyeri? dalam bentuk serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah progresif, makin lama makin berat, atau makin sering? Apakah mengganggu aktivitas? 2. Muntah tiba, mendadak, menyemprot? 3. Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah tiba-

bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya dengan posisi tubuh? Apakah disertai mual muntah? Apakah disertai telinga berdenging? 4. Gangguan Penglihatan : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu mata atau kedua mata? Apakah pandangan anda dobel? 5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus atau telinga anda berdenging? 6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi (pengeluaran air ludah) , lakrimasi (pengeluaran air mata)? Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel atau pelo? Apakah suara berubah? Apakah sulit menelan? 7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda atau memahami pembicaraan orang lain? 8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, mendadak merasa lemah dan seperti ingin pingsan? 9. Motorik : Adakah bagian tubuh yang menjadi lemah atau lumpuh? Bagaimana sifatnya, hilang timbul, menetap, atau berkurang? 10. Sensibilitas : Apakah ada perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau ekstremitas? Apakah ada rasa kesemutan, ditusuk, atau seperti dibakar? Dimana tempatnya? Apakah rasa tersebut menjalar? 11. Saraf Otonom : Bagaimana buang air kecil, dan buang air besar ? Adakah retensio atau inkontinensia urin atau alvi? Disamping data tersebut, perlu ditelusuri lagi adanya keluhan lain, seperti kelainan jantung, paru, tekanan darah tinggi, dan penyakit diabetes. Selain itu, keadaan sosial, ekonomi, dan pekerjaan perlu ditelusuri, demikian juga keadaan keluarga, dan penyakit yang bersifat herediter.

2.2

Pemeriksaan fisik neurologi

2.2.1 Kesadaran Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi, dan bila perlu memberikan rangsang nyeri.2 1. Inspeksi. Perhatikan apakah pasien berespons secara wajar terhadap stimulus visual, auditor, dan taktil yang ada disekitarnya 2. Konversasi. Apakah pasien memberikan reaksi wajar terhadap suara konversasi, atau dapat dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan suara yang kuat? 3. Nyeri. Bagaimana respons pasien terhadap rangsang nyeri? Secara sederhana tingkat kesadaran dapat dibagi menjadi: Kompos mentis Sopor (stupor) Koma-ringan Koma (dalam atau komplit).

Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respons terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respons tersebut. Tanggapan atau respons penderita yang perlu diperhatikan adalah :2 1. Membuka mata Spontan Terhadap bicara Terhadap rangsang nyeri Tidak ada reaksi 2. Respons verbal (bicara) Baik dan tidak ada disorientasi : 5 Kacau Tidak tepat Mengerang Tidak ada jawaban :4 :3 :2 :1 :4 :3 :2 :1

3. Respons motorik ( gerakan) Menurut perintah Mengetahui lokasi nyeri :6 :5

Reaksi menghindar Reaksi fleksi Reaksi ekstensi Tidak ada reaksi

:4 :3 :2 :1

2.2.2 Rangsang Selaput Otak ( Iritasi meningeal) Bila selaput otak meradang atau di rongga subarachnoid terdapat benda asing misalnya, darah, seperti pada perdarahan subarachnoid maka hal ini dapat merangsang selaput otak, dan terjadilah iritasi meningeal atau rangsang selaput otak. Adapun beberapa gejala dari rangsang selaput otak dapat memberikan beberapa gejala, diantaranya :3 1. Kaku kuduk (nuchal neck rigidity) Cara pemeriksaannya adalah dengan menempatkan tangan pemeriksa dibawah kepala pasien yang sedang berbaring. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mecapai dada. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. 2. Tanda Lasegue Cara pemeriksaannya adalah pasien dibaringkan dan diluruskan kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal, kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70 derajat, maka tanda lasegue positif. Tanda lasegue positif dijumpai pada kelainan berikut : rangsang selaput otak, isialgia, dan iritasi pleksus lumbosakral (misalnya hernia nucleus pulposus lumbalis).

Gambar 1. Pemeriksaan tanda lasegue

3. Tanda Kernig Pada pemeriksaan ini, penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah

diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda Kernig positip.

Gambar 2. Pemeriksaan Kernig sign 4. Tanda Brudzinski I (Brudzinskis neck sign) Cara pemeriksaan ini adalah dengan menempatkan tangan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, lalu kepala ditekukkan sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda Brudzinski positif, maka tindakan ini mengakibatkan fleksi kedua tungkai.

Gambar 3. pemeriksaan Burdzinski sign 5. Tanda Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign) Pada pasien yang sedang berbaring satu tungkai difleksikan pada persendian panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Bila tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi, maka disebut tanda Brudzinski II positip. Sebagaimana halnya dalam memeriksa adanya tanda Brudzinski I, perlu diperhatikan terlebih dahulu apakah terdapat kelumpuhan tungkai.

2.2.3 Pemeriksaan nervus kranialis Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan nervus kranialis adalah 1. Lesi Supranuclear Lesi yang terjadi di atas inti saraf cranial di batang otak dan memberikan gejala klinis sentral. Misalnya kelumpuhan sesisi wajah bagian bawah akibat lesi yang terjadi di atas inti dari NVII (pons). Hal ini akan berbeda pada lesi yang terjadi setinggi nucleus ataupun infra nucleus, yang memberikan kelumpuhan sesisi oto waja disertai tidak bias menutup mata dan mengangkat alis. Gejala klinis ini terjadi karena impuls motorik untuk persarafan wajah bagian bawah bersifat kontralateral, sedangkan wajah bagian atas bilateral.

2. Deviasi conjugate Deviasi conjugate lateral (melirik terus kesalah satu sisi) bias diakibatkan oleh adanya lesi destruktif/iritatif di daerah lobus frontalis ataupun batang otak. 3. False localized sign Adanya kelemahan / kelumpuhan saraf otak sebagai akibat proses yang jauh letaknya dari batang otak. Misalnya tumor didaerah lobus parietal superficial yang menekan kearah batang otak sehingga menimbulkan parese dari saraf-saraf otak. Contoh lain, suatu sindroma tekanan intracranial yang meningkat kadang-kadang member gejala parese dari saraf otak (saraf ke VI) baik unilateral atau bilateral. Bisa juga menimbulkan gejala parese saraf ke III bila terjadi gejala-gejala tentorial herniation.

Pemeriksaan saraf I ( Nervus olfaktorius) Adapun cara pemeriksaannya yang pertama dengan memeriksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau polip. Zat yang dapat digunakan sebaiknya zat yang dikenal sehari-hari misalnya kopi, teh, tembakau, atau jeruk. Jangan menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung. Zat tersebut didekatkan ke hidung pasien dan pasien diminta menciumnya dengan jalan menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan. Interpretasi dari hasil pemeriksaan adalah : Hiperosmia Parosmia Cachosmia : Pembauan lebih peka : Rangsangan bau ada tetapi interpretasinya salah : Sensasi yang tidak menyenangkan

Anosmia Hiposmia Halusinasi olfaktorik

: Hilangnya daya pembauan : Berkurangnya daya pembauan : Tercium bau tetapi tidak ada perangsangan.

Gambar 4. Pemeriksaan nervus I Pemeriksaan saraf II (Nervus optikus) Tujuan dari pemeriksaan saraf II adalah : Mengukur ketajaman penglihatan dan menentukan apakah kelainan pada visus disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau oleh kelainan saraf. Mempelajari lapangan pandang. Memeriksa keadaan papil optik.

Melakukan pemeriksaan visus, dapat dilakukan dengan: a. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity) Dengan Kartu snellen, Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter

antara pasien dengan tabel, jika tidak terdapat ruangan yang cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6)

Gambar 5. Pemeriksaan nervus II dengan kartu snellen

b. Pemeriksaan Penglihatan Perifer

Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai dari mata hingga korteks oksipitalis. Dapat dilakukan dengan: Tes Konfrontasi , jarak antara pemeriksa pasien : 60 100 cm, Objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut. Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang kanan dan kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa harus menatap lurus ke depan dan tidak boleh melirik ke arah objek tersebut. Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal.

Gambar 6. Pemeriksaan tes konfrontasi

c. Refleks Pupil Respon cahaya langsung. Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil. Respon cahaya konsensual Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama. d. Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi) Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus. e. Tes warna Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n.optikus.

Pemeriksaan saraf III, IV, dan VI (nervus okulomotorius, trokhlearis, dan abduscens)) a. Observasi bola mata Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepala ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula. b. Gerakan bola mata Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas dan bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.

Gambar 7 . Pemeriksaan gerakan bola mata c. Pemeriksaan pupil a. Bentuk dan ukuran pupil b. Perbandingan pupil kanan dan kiri c. Refleks pupil. Meliputi pemeriksaan refleks cahaya langsung (bersama N. II) , refleks cahaya tidak langsung (bersama N. II) , refleks pupil akomodatif atau konvergensi.

Gambar 8. Pemeriksaan pupil Pemeriksaan saraf V (nervus trigeminus) a. Cabang optalmicus : Memeriksa refleks berkedip klien dengan menyentuhkan kapas halus saat klien melihat ke atas b. Cabang maxilaris : Memeriksa kepekaan sensasi wajah, lidah dan gigi c. Cabang Mandibularis : Memeriksa pergerakan rahang dan gigi

Gambar 8. Pemeriksaan nervus trigeminus Pemeriksaan fungsi motorik : mengerutkan dahi (dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam), mimik, mengangkat alis, menutup mata (menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa), moncongkan bibir atau menyengir, memperlihatkan gigi, bersiul (suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang lumpuh) Pemeriksaan fungsi sensorik meliputi nyeri, raba, dingin, dan panas. Pemeriksaan dilakukan dengan cara membandingkan sensasi kulit satu sisi dengan sisi lain pada daerah muka, kepala, mukosa konjungtiva, hidung dan mulut. Pemeriksaan nyeri dilakukan dengan menusukkan jarum, sensasi raba dengan menggunakan kapas, sensasi dingin dengan es, dan sensasi panas dengan botol berisi air panas.

Gambar 9. Area pemeriksaan n.Trigeminus cabang optalmicus, maxilaris, dan Mandibularis

Pemeriksaan reflex trigeminal terdiri dari pemeriksaan jaw jerk reflex dan reflex kornea. Jaw jerk reflex dilakukan dengan cara meminta pasien membuka mulut dan mengeluarkan suara aaa jari telunjuk pemeriksa diletakkan di garis tengah dagu dan palu reflex dilakukan pengetukan. Sedangkan reflex kornea dilakukan dengan menggoreskan ujung kapas pada kornea satu sisi dan dilihat kedipan kelopak mata secara bilateral.

Pemeriksaan saraf VII ( nervus fasialis ) Pemeriksaan fungsi motorik : mengerutkan dahi (dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam), mimik, mengangkat alis, menutup mata (menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa), moncongkan bibir atau menyengir, memperlihatkan gigi, bersiul (suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang lumpuh)

gambar 10.Pemeriksaannervus fasialis Pemeriksaan saraf VIII (nervus vestibulokoklearis) Memeriksa ketajaman pendengaran klien, dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes Weber dengan menggunakan garpu tala..

Pemeriksaan saraf IX (nervus glosofaringeus) Memeriksa gerakan reflek lidah, klien diminta mengucap AH, menguji kemampuan rasa lidah depan, dan gerakan lidah ke atas, bawah, dan samping. Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan disartria. Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut ah jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat. Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada posterior lidah (N. IX)

Pemeriksaan saraf X (nervus vagus) Memeriksa sensasi faring, laring, dan gerakan pita suara

Pemeriksaan saraf XI (nervus aksesorius) Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus

Pemeriksaan saraf XII (nervus hipoglosus) Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara :Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah jika terdapat lesi upper atau lower motorneuron unilateral. Lesi UMN dari N XII biasanya bilateral dan menyebabkan lidah imobil dan kecil. Kombinasi lesi UMN bilateral dari N. IX. X, XII disebut kelumpuhan pseudobulbar.

2.2.4. Pemeriksaan Sistem Motorik Pada tiap bagian badan yang dapat bergerak harus dilakukan : 1. Inspeksi Pada inspeksi diperhatikan sikap, bentuk, ukuran, dan adanya gerak abnormal yang tidak dapat dikendalikan. 2. Palpasi Pasien diminta mengistirahatkan ototnya. Kemudian otot ini dipalpasi untuk menentukan konsistensi serta adanya nyeri tekan. Dengan palpasi kita dapat menilai tonus otot, terutama bila ada hipotoni. Penentuan tonus dilakukan pada berbagai posisi anggota gerak dan bagian badan. 3. Pemeriksaan gerakan pasif Penderita disuruh mengistirahatkan ekstremitasnya. Bagian dari ekstremitas ini kita gerakkan pada persendiannya. Gerakkan dibuat bervariasi, mula-mula cepat kemudian lambat, cepat, lebih lambat, dan seterusnya. Nilai tahanan yang didapatkan apakah pada satu jurusan saja, misalnya tungkai sukar difleksikan tetapi mudah di ekstensikan. 4. Pemeriksaan gerakan aktif Pada pemeriksaan ini kita nilai kekuatan otot. Pemeriksaan dinilai dengan 2 cara : Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa menahan gerakan ini Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pasien disuruh menahan. Penilaian tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan angka dari 0-5 0 1 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot; lumpuh total : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut. 2 3 4 : Didapatkan gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya gravitasi : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan 5 : Tidak ada kelumpuhan

5. Koordinasi gerak Gangguan koordinasi dibagi menjadi 2 yakni equilibratory coordination dan non equilibratory coordination. Untuk pemeriksaan equilibratory coordination terdiri dari: - Test Romberg Pasien diminta berdiri dengan kedua kaki saling merapatkan, dimulai dengan mata terbuka lalu mata tertutup. - Test Tandem Walking Pasien diminta berjalan pada satu garis diatas lantai, tempatkan satu tumit langsung di depan jari-jari kaki yang berlawanan, baik dengan mata terbuka atau mata tertutup. Sedangkan pemeriksaan non equilibratory coordination terdiri dari : 3 - Finger-to-nose test Pemeriksaan ini bisa dilakukan denganberbaring, duduk, atau berdiri. Dengan posisi abduksi dan ekstensi lengan secara komplit, mintalah pada pasien untuk menyentuh hidungnya dengan ujung jari telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan kemudian diganti dengan gerakan cepat, baik dengan mata terbuka maupun tertutup. - Nose-finger-nose test Gerakan awal seperti pemeriksaan finger-to-nose test, hanya ditambahkan 2 gerakan lagi yaitu setelah menyentuh hidungnya dengan telunjuk jarinya sendiri, diteruskan gerakan menyentuh ujung jari pemeriksa dan kembali menyentuh ujung hidung sendiri. Jari-jari pemeriksa bias diubah jarak maupun bidang gerakan. - Finger-to-finger test Pasien diminta mengabduksikan lengan pada bidang horizontal kemudian diminta menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu/bersentuhan tepat ditengah bidang horizontal tersebut. Diawali dengan gerakan perlahan-lahan kemudian dipercepat baik dengan mata terbuka maupun tertutup. - Disdiadokonesia Pasien diminta menggerakkan kedua tangannya bergantian, pronasi dan supinasi dengan posisi siku diam, mintalah gerakan tersebut secepat mungkin, baik dengan mata terbuka atau mata tertutup - Rebound test

Pasien diminta adduksi bahu, fleksi pada siku dan supinasi lengan bawah, siku difiksasi/ diletakkan pada meja periksa, kemudian pemeriksa menarik lengan bawah tersebut dan penderita diminta menahannya. Kemudian dengan mendadak pemeriksa melepaskan tarikan tersebut tetapi sebelumnya lengan lain harus menjaga muka dan badan pasien supaya tidak terpukul oleh lengan pasien sendiri. - heel-to-knee-to-toe test Pasien diminta untuk menggerakkan tumit kakinya ke lutu kontralateral, diteruskan dengan mendorong tumit tersebut secara lurus menuju jari-jari kakinya.

2.2.5 Pemeriksaan Sistem Sensorik Untuk melakukan pemeriksaan sistem sensorik pasien diminta memejamkan mata. Teknik pemeriksaannya terdiri dari : a. Menguji sensasi nyeri: dengan menggunakan Spatel lidah yang di patahkan atau ujung kayu aplikator kapasdigoreskan pada beberapa area kulit, Minta klien untuk bersuara pada saat di rasakan sensasi tumpul atau tajam. b. . Menguji sensai panas dan dingin: dengan menggunakan Dua tabung tes, satu berisi air panas dan satu air dingin, Sentuh kulit dengan tabung tersebut minta klien untuk mengidentifikasi sensasi panas atau dingin. c. Sentuhan ringan : dengan menggunakan Bola kapas atau lidi kapas, Beri sentuhan ringan ujung kapas pada titik-titik berbeda sepanjang permukaan kulit minta klien untuk bersuara jika merasakan sensasi d. Vibrasi/getaran : dengan garputala, Tempelkan batang garpu tala yang sedang bergetar di bagian distal sendi interfalang darijari dan sendiinterfalang dari ibu jari kaki, siku, dan pergelangantangan. Minta klien untuk bersuara pada saat dan tempat di rasakan vibrasi 2.2.6 Pemeriksaan Refleks 1. Reflek fisiologis a. Reflek bisep Posisi dilakukan dengan pasien duduk, dengan membiarkan lengan untuk beristirahat di pangkuan pasien, atau membentuk sudut sedikit lebih dari 90 derajat di siku. Identifikasi tendon:minta pasien memflexikan di siku sementara pemeriksa

mengamati dan meraba fossa antecubital. Tendon akan terlihat dan terasa seperti tali tebal. Berikan ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku. Respon : fleksi lengan pada sendi siku

b. Reflek trisep
Posisi : dilakukan dengan pasien duduk. dengan. Perlahan tarik lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut kanan di bahu. atau Lengan bawah harus menjuntai ke bawah langsung di siku. cara : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi. Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku c. Reflek brachioradialis Posisi: dapat dilakukan dengan duduk. Lengan bawah harus beristirahat longgar di pangkuan pasien. Cara : ketukan pada tendon otot brakioradialis (Tendon melintasi (sisi ibu jari pada lengan bawah) jari-jari sekitar 10 cm proksimal pergelangan tangan. posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi. Respons: flexi pada lengan bawah dan supinasi pada siku dan tangan.

d. Reflek patella Posisi pasien: dapat dilakukan dengan duduk atau berbaring terlentang. Cara : ketukan pada tendon patella. Respon : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris e.Reflek achiles Posisi : pasien duduk, kaki menggantung di tepi meja ujian. Atau dengan berbaring terlentang dengan posisi kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki dalam posisi tipe katak. Identifikasi tendon:mintalah pasien untuk plantar flexi. Cara : ketukan hammer pada tendon achille. Respon : plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius 2. Reflek Patologis Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus tertentu. a. Reflek babinski:

- Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan. - Tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap pada tempatnya. - Lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior Respon : posisitf apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya

Gambar 4. Pemeriksaan refleksi Babinski b. Reflek chaddok - Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis dari posterior ke anterior - Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai mekarnya (fanning) jarijari kaki lainnya.

Gambar 5. Pemeriksaan reflex chaddok. c. Reflek schaeffer - Menekan tendon achilles. - Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning)

jari-jari kaki lainnya. d. Reflek oppenheim - Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke distal - Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jarijari kaki lainnya.

Gambar 6. Pemeriksaan reflex oppenheim

a. Reflek Gordon - Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis) - Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.

Anda mungkin juga menyukai