Anda di halaman 1dari 31

Mekanisme syok , macam macam shok dan penatalaksanaan

Titin Setyowati Staf Pengajar Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran UNIMUS Semarang

I. Pengelolaan pasien yang memiliki hemodinamika tidak stabil di Intensive Care Unit (ICU)

Tujuan dari pengelolaan hemodinamik : menjaga perfusi dan fungsi organ akhir.

Terapi yang kurang tepat akan mengarah hipoperfusi jaringan-- kerusakan seluler--disfungsi sistem multipel organ---kematian.

II. Hipotensi dan syok : sindrom dari menurunnya perfusi jaringan akibat kerusakan seluler. Pada awalnya mekanisme kompensasi neurohumoral membantu menjaga perfusi organ vital-----fatal ---gagal organ

Tanda-tanda klinis hipoperfusi organ akhir : oliguria/anuria, perubahan status mental acidemia.

III. Syok digolongkan berdasarkan: penyebab karakteristik pola hemodinamik.

IV. Syok : bukanlah suatu bentuk penyakit tunggal tetapi lebih merupakan hasil akhir yang umum dari sebabbervariasi

Syok dikenali dari aliran darah yang inadekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan.

. dewasa, tekanan darah sistolik <90 mmHg, .tekanan rata-rata arterial <60 mmHg, .atau penurunan tekanan darah sistolik >40 mmHg dari garis batas tekanan darah pasien menunjukkan hipotensi yang signifikan.

Syok adalah hipotensi yang dikaitkan dengan abnormalitas hipoperfusi. Hipoperfusi dapat membawa disfungsi organ atau kematian. Manajemen harus ditujukan langsung pada koreksi hipoperfusi, bukan hipotensi, sebagai tujuan akhir utama.

A. Tipe-tipe Syok 1. Syok hipovolemik disebabkan oleh kehilangan volume akut sebesar 20% - 25% dari volume darah yang beredar Syok hipovolemik dikenali: . penurunan tekanan darah (Blood Pressure/BP), . penurunan kardiak output (Cardiac Output/CO) .penurunan tekanan vena sentral (Central Venous

Pressure/CVP) .penurunan tekanan arteri pulmonal (Pulmonary Artery Pressure/PAP).

2. Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan utama dari jantung untuk menghasilkan CO(cardiac output) yang adekuat.

Ini bisa dikarenakan: kegagalan ventrikel kiri ventrikel kanan atau keduanya.

Penyebab

tersering

dari syok

kardiogenik

adalah

.infark miokard dan komplikasi akutnya .disritmia ventrikuler, .miokarditis, kontusio kardiak pembedahan aorta proksimal.

Wujud fisiologis syok kardiogenik: . hipotensi .CO rendah walaupun status volume adekuat, .peningkatan PAP(Pulmonary arterial pressure) .dan tekanan oklusi arteri pulmonal (Pulmonal Artery Occlusion Pressure/PAOP) .serta tanda-tanda klinis hipoperfusi. 3. Syok distributif dikenali dari : .penurunan denyut vaskuler akibat vasodilatasi arterial, .venous pooling, .dan redistribusi aliran darah.

Hal ini dapat dikarenakan oleh bakteria hidup dan produk mereka dalam syok septik, mediator sindrom respon inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome/SIRS), berbagai macam bahan vasoaktif dalam syok anafilaktik, atau dikarenakan hilangnya denyut vaskuler dalam syok neurogenik atau apopleksi adrenal.

Syok distributif dikenali dari BP yang rendah dan CO yang ,tinggi.

4. Syok obstruktif dikaitkan dengan kesukaran mekanis pada arus balik vena dan/atau aliran arteri ke jantung. Penyebab-penyebabnya antara lain : .tension pneumothorax, .emboli pulmonal, .pericardial tamponade, .sindrom kompartemen abdominal .kadang-kadang ventilasi tekanan positif, positive endexpiratory pressure (PEEP) dan auto-PEEP

. Syok obstruktif dikenali dari penurunan BP dan CO disertai kenaikan CVP. . Bentuk hemodinamik berbagai tipe syok terangkum dalam tabel -1.

Tabel -1 Parameter Hemodinamik dalam Syok Tipe Syok Tekanan Darah Sistemik CVP/PAOP CO/SV

Hipovolemik Kardiogenik Distributif Septik

Anafilaktik Neurogenik Obstruktif

B. Dasar fisiologis syok, adalah perkembangan dari hipoperfusi jaringan, tidaklah sepenting perluasan hipotensi dan/atau penurunan pengantaran oksigen.

Hipoperfusi jaringan akan mengarah pada hipoksia jaringan, metabolisme anaerob dan gangguan integritas seluler.

Mekanisme kompensasi itu antara lain adalah: 1. Respons Neurohumoral Respons neurohumoral meningkatkan rangsang simpatetik, dimana hal ini akan menaikkan kontraktilitas miokardial dan vasokonstriksi peripheral, serta melepaskan hormonhormon stres seperti epinefrin, glukagon, aldosteron, kortisol dan hormon antidiuretik.

2. Respon Metabolik

Respon metabolik melepaskan hormon-hormon anti insulin yang akan merangsang resistensi insulin, hiperglikemia dan lipolisis.

3. Pelepasan Mediator Inflamasi

. Pelepasan mediator inflamasi menyebabkan proteolisis otot, menghasilkan asam amino yang penting untuk menyokong sintesis protein sebagai dasar pertahanan host (misalnya reaktan-reaktan fase akut). . katabolik ini dapat menyebabkan muscle wasting,

kelemahan, penyembuhan luka yang buruk, kehilangan integritas mukosa gastrointestinal, hipoalbuminemia dan energi. . Luka seluler juga dapat disebabkan oleh reperfusi jaringan ketika oksigen, metabolit-metabolit lokal dan enzim-enzim oksidatif menghasilkan radikal-radikal bebas dan zat-zat sitotoksik lainnya.

C. Tanda dan gejala disfungsi organ tunggal tidaklah sepenting aliran organ akhir yang inadekuat. Antara lain: 1. Sistem saraf pusat: perubahan status mental. 2. Jantung: nyeri dada, iskemia dalam elektrokardiogram (EKG), hemodinamik yang tidak stabil. 3. Ginjal: penurunan jumlah urin, peningkatan konsentrasi urea, nitrogen dan serum kreatinin dalam darah. 4. Gastrointestinal: nyeri abdominal dan kembung,

penurunan bising usus dan hematochezia. 5. Perifer: akral dingin, waktu pengisian kapiler yang buruk dan pulsasi yang lemah.

D. Pengawasan 1. Pengawasan standar termasuk EKG, pulse oxymetry, pengukuran noninvasif tekanan darah sistemik, pengeluaran urin, dan suhu tubuh inti.

2. Pengawasan perfusi jaringan. Pengukuran tekanan darah merupakan dasar untuk menilai adekuatnya perfusi jaringan. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil harus memiliki kateterisasi arterial untuk pengawasan tekanan karena hal itu merupakan metode yang paling reliabel untuk mengukur tekanan darah. Dibutuhkan CVP untuk

pengawasan dan untuk memasukkan obat-obatan vasoaktif.

3. Kateterisasi arteri pulmonal : diizinkan untuk pengukuran CO dan penilaian status volume sirkulasi sistemik dan pulmonal.

Metode pengawasan tambahan dan beberapa indikator metabolik untuk menilai adekuatnya perfusi jaringan telah diusulkan sebagai alternatif atau pelengkap dalam

pengawasan tekanan darah (lihat juga tabel 8-2). Antara lain: a. Metabolic academia dapat menjadi tanda dari

metabolisme anaerob dan ini merupakan tanda yang penting. Namun demikian, hal ini tidak spesifik dan relatif terlambat muncul. b. Laktat serum adalah produk dari metabolisme anaerob yang dapat diukur, sehingga menjadi indikator logis dari hipoperfusi jaringan.

c. Mixed venous PO2 (PvO2) atau Saturation (SvO2) dipengaruhi oleh derajat pengambilan O2 jaringan. Oleh karenanya dapat mengindikasikan adanya peningkatan penggunaan energi atau bahkan hutang oksigen d. (oxygen debt) yang berbahaya. Namun demikian, perubahan pada PvO2 dapat terjadi untuk alasan fisiologis lainnya (terangkum dalam tabel 8-3). Untuk mengerti tanda klinis yang signifikan dari penurunan PvO2, harus ada pengukuran PaO2 dan CO dimana hal ini membutuhkan pengawasan invasif. Banyak studi klinis yang mengatakan pemanfaatan PvO2 atau SvO2 sebagai penanda perfusi jaringan. Namun, studi terkini dari pasien-pasien septik yang ditambahkan dalam departemen emergensi menganjurkan sasaran

pengukuran SvO2 secara kontinyu melalui kateterisasi vena sentral (tidak sepenuhnya mixed karena diukur sebelum darah vena benar-benar tercampur) dapat menjadi nilai untuk menentukan resusitasi awal. e. pH mukosa lambung digunakan sebagai taksiran pH interseluler (pHi) dalam perut dengan mengukur pCO2 dalam kantung berisi saline yang merupakan bagian dari nasogastric tube (NGT) khusus. pCO2 ini harus seimbang dengan pCO2 mukosa lambung tempat kantung berada. Nilai pH kemudian dikalkulasi dengan persamaan Henderson-Hasselbach menggunakan

konsentrasi bikarbonat arterial. Kekurangan utama metode ini adalah tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap operator, kecenderungannya terpengaruh oleh variabel lain selain splanchnic perfusion, misalnya penggunaan acid secretion blockers dan kecacatan teoretisnya, dalam hal ini penggunaan arterial sebagai pengganti konsentrasi bikarbonat mukosa lambung.

Tabel -2 Tanda-tanda Klinis Hipoperfusi Jaringan dan Disfungsi Seluler o Tekanan darah arteri dan cardiac output rendah, pengeluaran urin sedikit, penurunan turgor kulit, perubahan status mental. o Asidosis metabolik, defisit basa, bikarbonat serum rendah. o Peningkatan laktat serum. o pH intra gastric rendah. o Mixed venous PO2 rendah

Tabel -3 Determinan Mixed Venous PO2 o Cardiac Output o PaO2

o O2 dissociation curve shift o Konsumsi O2 jaringan (VO2)

E. Pengelolaan Syok 1. Pengukuran menyeluruh dilakukan dengan segera

termasuk terapi suportif dan studi diagnostik. a. Akses intravena (IV) yang adekuat harus terjamin, termasuk saluran IV perifer kaliber besar mendekati akses sentral, dengan tujuan untuk memastikan

pengaturan volume aliran. b. Evaluasi jalan napas harus dilakukan karena intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan ketika terjadi hipoksemia, hiperkarbia, edema jalan napas atau perubahan status mental.

2. Penggantian volume intravaskuler merupakan dasar dari perawatan hipotensi dan syok, terutama syok hipovolemik dan syok distributif.

Resusitasi yang inadekuat dapat terlihat dari hipoperfusi jaringan, tetapi penggantian volume yang berlebihan dapat menyebabkan edema jaringan, gagal jantung kongestif, kekacauan metabolisme dan koagulopati. a. Kristaloid. Larutan kristaloid yang paling sering

dipakai adalah Ringer Lactate dan normal saline. Larutan-larutan ini hampir isotonik, cepat keluar dari ruang intravaskuler dan volumenya setara kali defisit intravaskuler yang dibutuhkan untuk mengembalikan volume sirkulasi. Keuntungan larutan kristaloid

termasuk biaya rendah, penyimpanan yang mudah dan ketersediaan. Larutan yang mengandung Dextrose tidak boleh digunakan dalam resusitasi volume karena bahaya hiperglikemia dan kesukaran mengawasi level glukosa darah dengan tepat selama resusitasi. Sedikit volume Hypertonic saline (3% NaCl) dapat memenuhi volume intravaskuler tanpa menaikkan volume intravaskuler secara signifikan dan dapat berguna pada resusitasi pasien dengan/tanpa cidera kepala. b. Koloid meningkatkan tekanan onkotik plasma dan menjaga volume sirkulasi lebih lama disbanding kristaloid. Koloid termasuk larutan alami dan sintetis. 1) Human albumin adalah turunan dari pooled human plasma dan tersedia sebagai larutan normal saline 5%

dan 25%. Terapi panas mengurangi risiko penularan infeksi virus. 2) Allogenic blood products seperti paket sel darah merah dan plasma segar beku tidak dianjurkan untuk karena potensinya menularkan penyakit virus (albeit low), imunosupresi dan terbatasnya ketersediaan serta biaya yang tinggi. 3) Dextran adalah larutan glukosa polimer sintetis salah satu dari 40 kd (D-40) atau 70 kd (D-70). Kekurangan utama dari dextran adalah tingginya reaksi anafilaktik (1%-5%). Hampir seluruh dextran telah digantikan oleh komponen dari bahan dasar zat tepung. 4) Hydroxyethyl starch (HES) adalah komponen

glukosa high-polymeric yang tersedia dalam sediaan dan konsentrasi yang bervariasi. Frekuensi reaksi anafilaktik karena HES jauh lebih sedikit

dibadingkan larutan berbahan dextran. HES memiliki efek yang bergantung dari dosis pada level faktor VIII, sehingga merusak fungsi platelet. Dosis maksimum yang dianjurkan untuk meminimalisasi efek samping negative adalah 1500 ml/24 jam. c. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa suatu tipe cairan itu lebih baik dibanding yang lainnya dalam meresusitasi syok. Walaupun beberapa studi

eksperimental mengatakan superioritas suatu larutan dibanding lainnya melihat pada keluaran yang spesifik seperti fungsi sel, edema usus dan pertukaran gas, satusatunya percobaan yang luas, prospektif dan acak dari koloid (human albumin) versus kristaloid untuk

resusitasi volume dalam populasi ICU yang heterogen menunjukkan tidak ada keuntungan dalam penggunaan koloid. Karena memberikan perbedaan yang signifikan dalam harga, kami menganjurkan kristaloid sebagai solusi utama yang digunakan untuk resusitasi volume secara umum. 3. Kontroversi Penyaluran Oksigen/Konsumsi Oksigen (Oxygen delivery/ Oxygen consumption) a. Suatu rangkaian studi yang diadakan pada tahun 1980-an mengatakan bahwa mencapai status hemodinamik yang supranormal (mis. Pengisian tekanan tinggi, CO tinggi dan pengantaran O2 yang tinggi [DO2]) oleh resusitasi volume yang agresif dan penggunaan inotropik akan meningkatkan keluaran pada pasien syok. Lebih lanjut, sekelompok kecil pasien dapat mengalami suatu ketergantungan patologis (pathologic dependence) akan konsumsi oksigen (VO2) dalam DO2, dimana VO2 meningkat hampir untuk jangka waktu yang tak terbatas seperti DO2 yang meningkat secara farmakologis, mengindikasikan sebuah hutang oksigen tersembunyi

(hidden oxygen debt) yang dikaitkan terutama dengan tingkat motalitas yang tinggi. b. Penelitian lebih lanjut mengatakan kekurangan utama teori ini dan disain percobaan klinis serta entusiasme akan supranormal resusitasi ditolak. Namun, studi terkini yang diadakan dengan metodologi yang lebih teliti menyarankan ke-agresifitas-an itu. Resusitasi yang lebih cepat dengan volume dan vasopresor dari pasien dengan syok septik dan akan menjalani bedah mayor bias saja benar-benar meningkatkan hasil. Walaupun kontroversi tetap ada mengenai perlunya mencapai nilai supranormal, studi-studi ini menegaskan pentingnya meresusitasi pasien syok lebih cepat dan lengkap. 4. Perawatan Spesifik a. Syok Hipovolemik mengharuskan resusitasi volume yang cepat dan adekuat. Koagulopati dilusional dan hipotermia dapat mengiringi pengaturan volume cairan atau produk darah dalam jumlah besar. b. Syok kardiogenik adalah hasil dari disfungsi sistolik miokardial yang akut dan parah, yang biasanya akan menjadi infark miokardial. Mortalitas karena kondisi ini mencapai 30% - 60%. c. Syok septic adalah hasil dari komplikasi infeksi oleh bakterial hidup, bakterial endotoksin dan produk inflamasi, dikenali dari hipotensi dan tanda-tanda

kegagalan sistem organ. Secara hemodinamis, ini adalah contoh klasik dari syok distributive, dengan denyut vaskuler yang rendah dan kardiak output yang tinggi. Arus utama dari terapi adalah pemberian antibiotik yang tepat, drainase bedah infeksi yang dapat diambil, serta pengukuran suportif untuk meningkatkan denyut vascular dan optimalisasi perfusi jaringan. Patogenesis dan perawatan syok septik termasuk terapi spesifik seperti kortikosteroid dan protein C

teraktivasi. d. Syok anafilaktik adalah reaksi akut yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE) sehingga menyebabkan

lepasnya mediator dari sel mast dan basofil ketika terjadi pemaparan kembali oleh antigen yang sebelumnya telah tersensitisasi individu ybs. Penyebab umum anafilaktik termasuk antibiotik dan obat lainnya, agen kontras radiografi serta latex. Secara klinis, sindrom ini termasuk vasodilatasi dan hipotensi yang disertai flushing, urtikaria, peningkatan permeabilitas kapiler, edema jalan napas dan bronkokonstriksi. Perawatan membutuhkan menghilangkan identifikasi antigen yang yang cepat dan menjadi

diduga

penyebabnya, menyokong sirkulasi dengan volume dan obat-obatan vasoaktif serta terapi farmakologis langsung menuju mediator imun termasuk epinefrin,

diphenhydramine penghambat reseptor histamine-H1 dan histamine-H2 dan ranitidin serta kortikosteroid. e. Syok obstruktif membutuhkan intervensi spesifik tergantung ditangani dilanjutkan kompartemen penyebabnya. dengan oleh needle tube Tension pneumothorax yang

decompression thoracostomy.

Sindrom bedah

abdominal

ditangani

dengan

dekompresi abdomen. Emboli pulmonal ditangani dengan dan mungkin melibatkan fungsi trombolisis atau pembedahan embolectomy. Cardiac tamponade ditangani dengan perikardiosentesis.

V. Farmakologi Terapi Hipotensi dan Syok Bila penggantian cairan yang tepat gagal untuk mengembalikan tekanan darah dan perfusi organ yang adekuat, terapi vasopresor harus segera dilakukan. Terapi vasopresor juga dibutuhkan untuk menjaga perfusi organ menghadapi hipotensi yang mengancam nyawa bahkan ketika fluid challenge masih berlangsung dan hipovolemia belum terkoreksi sepenuhnya. Obat yang tepat dipilih berdasarkan etiologi dan patofisiologi tipe syok yang dicurigai pada pasien (lihat juga tabel 8-4).

Tabel -4. Inotropik dan Vasopresor yang Umum digunakan Nama Obat Katekolamin Target Reseptor Efek

Dopamin Epinefrin Norepinefrin Katekolamin Sintetis Dobutamin Dopexamin Efedrin Fenilefrin Inhibitor FosfodiesteraseIII Milrinon Hormon Vasopresin

1 , 1 , 1 , 1 , 2 1 , 1 1 , 2 1 , 2 , 1 , 1 , 2 1 Cyclic GMP mediated

CO, BP, HR, perfusi ginjal CO, BP, HR, bronkodilator CO, BP CO, HR, /BP CO, HR, perfusi ginjal Seperti epinefrin, tapi tidak sekuat epinefrin BP, HR, //CO /BP, HR, CO BP

G protein mediated

A. Zat inotropik menaikkan kontraktilitas jantung. 1. Dopamin adalah pelopor norepinefrin dan epinefrin. Pada dosis rendah akan mempengaruhi vascular 1-dopamine receptors (ginjal dan mesenterika) mengarah ke

vasodilatasi. Pada dosis yang lebih tinggi, dopamine akan mempengaruhi 1-adrenergic receptors yang bergabung dengan inotropik positif dan efek kronotropik. Pada dosis yang jauh lebih tinggi dopamine akan mengajak 1adrenergik receptors yang akan bergabung dengan efek vasokonstriktif. Dopamine sering dipilih sebagai zat utama untuk syok karena potensi efeknya yang bermanfaat dalam sirkulasi ginjal dan CO. Namun efek kronotropik dan prodisritmik yang diperkirakan akan berkurang pada pasien dengan iskemia miokardial. 2. Dobutamin juga menstimulasi reseptor -adrenergik, tetapi tidak berefek pada - dan -mediated. Oleh karena itu dobutamine menaikkan kontraktilitas jantung dan

menurunkan denyut vaskuler. Kombinasi dua efek ini membuat dobutamine menjadi zat yang sempurna untuk perawatan syok kardiogenik. Yang membatasi kerja dobutamine adalah efek vasodilator intrinsiknya, dimana hal ini menyebabkan hipotensi sistemik dan efek kronotropik yang lumayan. 3. Dopexamin adalah turunan sintetis dari dopamine dengan dan 2 yang lebih baik dibandingkan aktifitas 1 serta tidak ada aktifitas , sehingga mengurangi tipikal efek kronotropik dan efek pro-disritmik dopamine. Dopexamine tidak diizinkan untuk penggunaan klinis di USA, dan

penggunaannya di Eropa dihindari karena harganya yang mahal. 4. Epinefrin adalah katekolamin kuat yang menstimulasi reseptor -, 1- dan 2-adrenergik. Epinefrin tetap pilihan utama untuk resusitasi kardiopulmonar. Efeknya terhadap BP tergantung pada efek positif inotropik dan kronotropik serta dasar vasokonstriksi vaskuler, terutama kulit, mukosa dan ginjal. Efek 2 epinefrin yang kuat memicu bronkodilasi dan menghambat degranulasi sel mast. Sehingga membuat epinefrin menjadi obat pilihan untuk anafilaksis. Pada

dewasa, pemberian epinefrin IV 0,1-0,5 mg (0,1-0,5 ml dalam larutan 1:1000) merupakan dosis awal umum yang tepat untuk pasien hipotensi berat, diikuti infus kontinyu 1-4 g/menit. 5. Norepinefrin atau katekolamin, memiliki aktifitas - dan adrenergik. Efek vasokonstriksi dan inotropiknya yang kuat menjadikan norepinefrin sebagai obat pilihan di ICU untuk mengatasi ketidakstabilan hemodinamik pada pasien yang membutuhkan bantuan untuk denyut vaskuler dan

kontraktilitas miokardial. Contoh tipikal adalah pasienpasien syok septic yang memiliki derajat preexistent atau disfungsi miokardial akut. DIbandingkan dengan epinefrin, norepinefrin tidak memiliki aktifitas 2. 6. Inhibitor Phosphodiesterase-III (PDE-III). Amrinone dan milrinone menggunakan efek hemodinamiknya

melewati

inhibisi

dari

PDE-III,

dimana

hal

ini

meningkatkan jumlah cyclic guanosine monophosphate (GMP) dalam endothelium, sehingga meningkatkan

kontraktilitas miokardial dan relaksasi diastolik serta menurunkan denyut vaskuler. Efek-efek ini berguna dalam mengatasi gagal jantung sistolik. Infus intravena dimulai dengan dosis bolus diikuti dengan infusi. Amrinone telah banyak digantikan oleh milrinone karena durasi kerja yang lebih pendek dan titratabilitasnya yang lebih mudah. Milrinone diberikan dalam bolus 50g/kg diikuti oleh infus kontinyu . 60 menit, dibandingkan dengan 2 -3 jam amrinone. Hipotensi dan takikardi adalah efek samping utama yang membatasi kerja milrinone. B. Vasopresor 1. Phenylephrine adalah agonis 1 selektif yang menyebabkan vasokonstriksi arterial murni. Fenilefrin meningkatkan BP dengan cepat, berkaitan dengan reflek bradikardi. Fenilefrin adalah obat yang berguna untuk mengatasi vasodilatasi murni dan sedang, seperti mengikuti pemberian obat hipnotik kuat atau anestesi lokal epidural atau dalam kejadian infeksi ringan atau sedang. Karena onsetnya yang cepat dan pengurangan titrasi (obat ini tidak sekuat norepinefrin), fenilefrin sering digunakan melalui akses IV perifer sebagai tindakan pertama mengatasi hipotensi agar cepat menunjukkan kembali BP yang adekuat. Walaupun

ketepatan penggunaannya perlu direvisi setelah kestabilan tercapai. Karena efek vasokonstriksinya yang murni, fenilefrin dapat merusak pada pasien dengan fungsi ventrikuler kiri yang membahayakan. 2. Vasopressin (VP) adalah hormon yang disintesis dalam hipotalamus dan disimpan dalam pituitari posterior. VP juga dikenal sebagai antidiuretic hormone (ADH) dan terutama terlibat dalam proses osmosis dan homeostasis volume seperti regulasi hormon yang lain. VP juga merupakan vasokonstriktor langsung tanpa efek inotropik atau kronotropik. Studi terkini menunjukkan bahwa syok hipovolemik dan syok septik terkait dengan respon VP bifasik. Sebelum itu, level VP menjadi tinggi terutama ketika tubuh melepaskan semua simpanan VP dalam usaha untuk vasokonstriksi dan untuk bertahan dalam sodium dan air untuk menahan tekanan darah. Ketika syok terjadi, level VP bisa jatuh karena sebab yang tidak diketahui. Pemberian VP dosis rendah (terapi pengganti/replacement therapy) dalam sebuah populasi kecil pasien dengan syok septik, meningkatkan BP, menurunkan kebutuhan akan vasopresor lain seperti norepinefrin, dan bias dikaitkan dengan

peningkatan hasil. VP juga meningkatkan produksi kortisol, yang bias jadi relevan pada psaien dengan syok septik. Terapi dosis rendah VP mengandung 0,04 unit/menit. Dosis

ini tidak cocok dengan iskemia miokardial atau iskemia organ akhir lainnya dan berkurang dalam kardiak output. 3. Efedrin adalah -indirek dan agonis - yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kardiak output dengan vasokonstriksi sedang. VI. Oliguria didefinisikan sebagai pengeluaran urin <0,5

mL/kg/jam untuk >2 jam. Hal ini merupakan penanda penting untuk hipoperfusi. Oliguria bisa juga karena cidera ginjal langsung atau obstruksi postrenal. Dua keadaan ini menghalangi

penggunaan output urin sebagai target adekuatnya resusitasi syok. Penyebab oliguria dibagi menjadi prerenal, renal dan postrenal (lihat table 7-3).

Untuk pasien anak, output urin <1 mL/kg/jam menunjukkan oliguria. Untuk bayi <2 tahun, output urin <2mL/kg/jam menunjukkan oliguria.

Tabel 5-1 Diagnosis Deferensial Oliguria Prerenal o Penurunan kardiak output (mis. Deplesi volume, gagal jantung, tamponade). o Redistribusi aliran darah (syok distributif) dengan vasodilatasi perifer dan/atau shunting Renal o Penyakit glomeruler ( mis. glomerulonefritis) o Penyakit vaskuler (mis. vaskulitis) o Penyakit interstisial (mis. antibiotik)

o Penyakit tubulus renalis o Iskemia o Obat-obat nefrotoksik Postrenal (Obstruktif) o o o o Obstruksi ureter bilateral Striktur uretra Obstruksi bladder outlet Obstruksi karena kateter urin

Pada pasien kritis, penilaian status volume dengan pemeriksaan fisik seringkali sulit dilakukan dan pengawasan hemodinamik invasive dapat sangat membantu. Pada pasien dengan oliguria, pemeriksaan laboratorium tambahan dapat membantu untuk menilai kemampuan ginjal mengolah sodium dan air. Beberapa tes laboratorium untuk menilai fungsi ginjal terangkum dalam Tabel 7-4. Hasil dari tes-tes tsb harus didapatkan sebelum pemberian diuretik.

Tabel 5-2 Tes laboratorium untuk membedakan kondisi prerenal dari nekrosis tubular akut (ATN) Tes Laboratorium Prerenal ATN 10-20 >1010 <350 >40 >2

Rasio urea nitrogen/kreatinin >20 darah >1020 Gravitas urin spesifik >500 Osmolalitas urin (mOsm/L) <20 Sodium urin (mmol/L) <1 Fraksional Ekskresi Sodium* (%)

*Fraksional Ekskresi Sodium (FENa) = ([sodium urin Sodium serum] [kreatinin urin Kreatinin serum]) x 100

VII. MANAJEMEN INSUFISIENSI RENAL AKUT Syok kerena hipoperfusi dapat mengarah pada insufisiensi atau kegagalan, seperti penyebab langsung renal lainnya yang berkaitan dengan kritisnya sakit. Manajemen insufisiensi ginjal akut harus difokuskan pada koreksi penyebab pokoknya, bila memungkinkan. Volume intravaskuler yang adekuat harus dijaga. Walau jarang, obstruksi traktus urinarius amat mudah mengancam dan harus diwaspadai. Diagnosis obstruksi didasarkan pada adanya dilatasi ginjal atau sistem kolektif urin pada USG. Pengawasan yang teliti terhadap output urin disempurnakan dengan penggunaan kateter

urin. Resusitasi volume telah digunakan untuk menjaga output urin dan mencegah gagal ginjal sebelum dan sesudah pemberian agen radiokontras atau pada keadaan cedera mayor jaringan lunak. Loop diuretics juga digunakan dalam perawatan pasien dengan oliguria. Walau output urin bisa meningkat setelah pemberian diuretik, hal ini jangan diartikan sebagai peningkatan filtrasi glomerular. Volume intravaskuler harus diperbaiki sebelum penggunaan diuretik. Dopamin dengan dosis rendah, walau belum terbukti efektif, telah digunakan dalam usaha meningkatkan aliran darah ke ginjal. Sekali oliguria gagal ginjal akut terjadi, cairan harus dibatasi hanya untuk penggantian cairan yang hilang teerusmenerus (termasuk kehilangan yang tidak disadari). Dalam status penyakit yang dikaitkan dengan kehilangan cairan terus-menerus, pemberian cairan penting untuk menjaga preload ventrikuler kiri yang adekuat. Kehilangan ini bisa substansial, seperti pada pancreatitis, sepsis parah dan luka terbuka yang luas. Dosis obat yang bisa diekskresi ginjal harus disesuaikan, dan obatobat nefrotoksik harus dihindari bila memungkinkan. Elektrolit dan status asam basa pasien dengan gagal ginjal akut harus diawasi ketat. Perhatian khusus harus ditujukan pada konsentrasi potassium, fosfat, kalsium, dan bikarbonat. Hiperkalemia biasanya dapat diatasi secara medis sampai dialisis bisa dilakukan. Dialisis atau hemofiltrasi harus dilakukan untuk manajemen uremia, overload volume, hiperkalemia atau asidosis persisten. Dialisis bisa saja tercapai dalam hemodialisis, peritoneal dialisis,

hemofiltrasi arteriovena berkelanjutan dengan dialisis, atau hemofiltrasi vena-vena berkelanjutan dengan dialisis.

DAFTAR PUSTAKA 1. Stacey Remchuk,Keith Baker and Luca

Bigatello.Hemodinamic management In: CriticalCare Hand Book of Massachusetts General Hospital 4 th edition 2. FCCS Fundamental Critical Care Suport 3rd ed. Society of Critical Care Medicine.USA 2002 3. Marino PL. The Litle ICU Book of fact and Formula .Lippincott Williams Wilkins, a Wolters Kluwer .2009 : 97-171

Anda mungkin juga menyukai